"Terimakasih," ucap Zalila usai kepada seorang apoteker, usai membayar dan menerima obat yang dibelinya.
Berbalik badan, Zalila langsung berhadapan dengan Indrita. Terjadilah saling pandang, namun Zalila langsung tertunduk.
"Kau, Zalila," sebut Indrita.
Zalila tetap tertunduk, tak berani mengangkat wajahnya. Ia sangat ketakutan.
Indrita terus menatap dalam Zalila, ada sesuatu yang Ia pikirkan tentang Zalila.
"Ayo ikut aku." Indrita menarik Zalila untuk segera keluar dari apotik.
Di luar, Indrita baru melepaskan dari mencekal pergelangan tangan Zalila.
"Kamu enak-enakan beli obat, sementara hutangmu belum juga kau bayar!" ketusnya memarahi Zalila.
"Maaf Nyonya, obat ibu saya sudah habis," sahut pelan Zalila.
'Hmm!' batin Indrita sambil mengangguk-angguk.
Indrita menarik lagi Zalila, mengajaknya secara paksa untuk masuk ke dalam mobilnya.
"Cepat masuk!" hentak Indrita.
"Tapi, Nyonya. Saya harus memberikan obat ini, ibu saya harus minum obat!" teriak Zalila yang terus dipaksa masuk. Indrita terus mendorongnya, hingga Zalila benar-benar masuk ke mobil.
"Cepat jalan!" titahnya pada sang supir.
Mobil pun melaju membawa Zalila. Sepertinya memang sudah menjadi nasibnya, Ia dipaksa lagi masuk ke dalam mobil lalu dibawa.
Sementara Ibu Zalila menunggu dengan perasaan yang tak enak.
"Bibi Radiah, sedang apa? kelihatan cemas begitu?" Tanya Mira, anak tetangga sebelah.
"Ini, Mir. Lila belum pulang," sahut Radiah.
"Memangnya Kak Lila, kemana?" tanyanya lagi.
"Ke apotik, Mir," sahut Radiah.
"Akhh, aduh!" pekik Radiah merasa sakit di pinggangnya.
"Bik! Bibik--!" teriak Mira.
Radiah semakin meringis kesakitan memegangi pinggangnya. Mira menuntun Radiah masuk. Usai merebahkan Radiah, Mira buru-buru ke dapur untuk mengambilkan air minum.
"Ini, Bik. Minum dulu," ucap Mira menyodorkan segelas air putih itu.
"Makasih, Mir," balas Radiah kemudian meminum air putihnya.
Radiah merebahkan pelan tubuhnya, masih begitu terasa sakit di pinggangnya.
"Bik, Kak Lila nya ke apotik mana? biar Mira susul,"
"Bibik tidak tahu, Mir," sahut lemas Radiah.
"Coba Mira cari saja ya, Bik!"
Mira langsung berlari ke luar guna mencari Zalila, tangan Radiah yang menggapai untuk mencegah tak sampai keburu.
Zalila yang dicari-cari, kini telah berada di rumah Betara dengan Indrita yang membawanya.
"Pi!" teriak Indrita.
"Papi!" teriaknya lagi.
Betara pun baru pulang dari menyelesaikan salah satu dari banyak urusannya yang tertunda.
"Ada apa, Mi," sahutnya sambil berjalan lebih mendekat.
Indrita menoleh asal suara Betara itu, begitu pun dengan Zalila. Ia semakin ketakutan melihat sosok Betara, teringat akan ancamannya seminggu lalu.
Zalila berpikir, habis lah sudah Ia kali ini tak akan bisa lolos lagi. Ia memejamkan takut matanya.
"Kau lihat, siapa yang ku bawa?" tanya Indrita.
"Ya, dia Zalila. Lalu kenapa?" sahut Betara.
"Dia yang akan merawat Gala!" cetus Indrita.
"Hah!" kaget Betara.
"Hey, Zalila! sebagai bayaran hutang mu, Kau harus merawat Gala, putraku," tegas Indrita.
Apa yang dikatakan Indrita mengejutkan Zalila, pun dengan Betara. Tanpa mengkonfirmasikan terlebih dahulu pada Betara, Indrita mengambil keputusan itu sendiri.
"Kau harus melayani Gala, menuruti semua perintahnya selama 24 jam," katanya lagi.
Belum berhenti dari keterkejutan atas perkataan yang pertama, Zalila semakin terkejut dengan kata 24 jam.
"Tapi, Nyonya!" pekik Zalila bermaksud ingin menolak.
"Tapi, jika dengan merawat Gala sebagai bayaran hutang, itu sangat tidak setimpal dengan hutangnya," protes Betara.
"Terserah, yang pasti aku ingin bebas. Aku ingin menikmati lagi duniaku," tandas Indrita.
"Sekarang juga, kau sudah mulai melaksanakan tugas mu, Zalila," titah Indrita.
"T-tapi, Nyonya!" Zalila kebingungan, Ia sungguh mengkhawatirkan Ibunya.
"Jangan membantah, cepat sana temui Gala. Tanya kan padanya, apa yang harus kau layani," ketus Indrita.
Betara tak dapat berkata dan berbuat apa-apa. Jika sudah mengenai keinginan istrinya itu, Ia tidak dapat menolak kalau tak ingin mendengar rengekan Indrita yang melebihi rengekan anak kecil.
"Ayo, Pi. Kita harus menemui si Jono, bukan,"
"Ya, baiklah," mengalah Betara.
"Bik!" panggil Indrita kepada asisten rumah tangganya.
"Iya, Nyonya!" sahut sang asisten sambil berlari.
"Tunjukkan gadis ini kamar Gala," perintah Indrita.
"Baik, Nyonya," sahut sang asisten rumah tangga.
Indrita dan Betara semakin jauh melangkah, hingga benar-benar keluar pintu.
"Kau yang akan merawat Tuan muda?" tanya sang asisten rumah tangga.
Zalila tak mengiyakan juga tidak menyangkal. Ia memilih pasrah untuk takdirnya ini.
"Ini kamarnya,"
"Kau harus hati-hati, dia akan melempar mu gelas kaca jika kau tak segera menurutinya." ucap asisten rumah tangga menakuti Zalila, lalu Ia segera pergi untuk melanjutkan tugasnya.
Zalila semakin ketakutan, namun tak mungkin baginya untuk pergi menghindar.
Zalila mengetuk pelan pintu kamar Gala yang tertutup rapat.
Tak mendapat sahutan dari dalam, Zalila mengulang lagi mengetuk pintunya.
Gala merasa heran dengan ketukan pintu yang berkali-kali itu, menandakan bukan papi atau maminya yang biasanya hanya sekali mengetuk pintu lalu masuk. Sang asisten rumah tangganya yang setelah mengetuk pintu pasti langsung memanggilnya dengan sebutan seperti biasanya.
"Siapa?" tanya Gala dengan nada kesal.
Baru saja, Zalila ingin menyahuti. Gala keburu berkata lagi."Jika kau seorang suster, maka pergilah,"
'Suster?' gumam Zalila.
"Saya bukan suster," sahut Zalila.
Mendengar sahutan Zalila, Gala merasa penasaran. Suara Zalila yang lembut belum pernah Ia dengar. Akhirnya Ia membuka pintu kamarnya.
Pintu terbuka, Gala langsung melihat Zalila berdiri di depan pintu. Seorang gadis bertubuh mungil dan berwajah manis dengan rambut diikat ke belakang. Begitu pun Zalila, langsung melihat Gala yang duduk di kursi roda. Seorang pria tampan berusia dua puluh tujuh tahun.
"Siapa, Kau?" tanya Gala.
Zalila terdiam sejenak, Ia teringat dengan pesan Indrita yang menyuruhnya menanyakan apa yang harus Ia layani. Namun, Ia juga teringat dengan ucapan sang ART yang menakut-nakutinya.
"Tu-Tuan muda, a-apa yang harus saya layani," sebuah kalimat dengan suara gugup berhasil terlontar dari mulut Zalila.
Seketika Gala teringat dengan suster nakal itu.
"Oh, kau ingin melayaniku?" Gala tertawa pahit.
"Masuklah!" titahnya kemudian.
Zalila menurut masuk, langkahnya begitu pelan dan takut.
Gala menutup pintu kamarnya, usai Zalila masuk. Lalu memperhatikan Zalila dari atas hingga ke ujung mata kakinya.
"Apa itu?" tanya Gala perihal bungkus plastik yang dipegang Zalila.
"Obat untuk ibu saya, Tuan muda," sahut Zalila.
"Letakkan di sana!" titahnya seraya menunjuk nakas di samping tempat tidurnya.
Zalila menurut lagi, Ia melangkah beberapa langkah menuju nakas. Kemudian Ia meletakkan bungkusan berisi obat ibunya.
"Sekarang kau masuklah ke kamar mandi," titah Gala lagi.
"Ke kamar mandi?" tanya Zalila tak mengerti maksud Gala.
"Iya, cepat!" Gala mulai meninggikan suaranya.
Tak bertanya lagi, Zalila masuk ke kamar mandi. Ada bathub berwarna putih, tak berjauh jarak ada shower yang menempel di tembok.
Dengan mendorong kursi rodanya sendiri, Gala lebih mendekat pada Zalila, Denis dan si bibi yang tengah membicarakannya."Nah, tu dia. Si tuan muda!" Pekik Denis.Zalila menatap nanar pada Gala, entah rasa apa yang dirasakannya. Ia pun tidak mengerti."Zalila!" Panggil Gala."Hey, tuan muda. Berdirilah, tunjukkan pada Zalila kalau kau sudah bisa berjalan," ucap Denis tajam.Gala tidak menyahut, Ia tetap duduk tenang pada kursi rodanya."Apa aku harus memaksamu?" Denis semakin mendekati Gala kemudian Ia memegang kerah baju Gala dengan kasar."Mas Denis!" Teriak Zalila terkejut.Si Bibi pun terkejut dengan apa yang dilakukan
"Baiklah, aku akan datang," ucap Zalila menutup perbincangannya melalui telepon.Di Lain tempat, Indrita turun dari lantai atas rumahnya tepatnya keluar dari kamarnya. Berniat untuk mengambil makanan di lemari es untuk menemaninya membaca novel, karena merasa belum mengantuk. Bak nyonya besar piyama yang ia kenakan pun terlihat mewah.Belum sampai pada lemari es langkahnya terhenti, Ia terkejut melihat Gala. Kemudian Ia segera sembunyi di balik tembok.'Gala!' gumamnya dengan wajah dan mata yang begitu terkejut. Dari balik tembok ia terus memperhatikan Gala sampai putranya itu masuk ke dalam kamarnya.Begitu Gala menutup pintu kamarnya, Indrita segera berlari menaiki tangga dengan tergesa-gesa.Terengah-engah masuk ke kamarnya, melihat pada Betara yang sudah terti
"Pulang denganku, kau mau kan, Zalila?" Tanya Arkan yang sebenarnya hanya untuk memancing kecemburuan Lucy."Oh, tentu aku mau. Kau tidak membawaku di depan, bukan? Lalu Lucy dibelakang," bercandanya Zalila.Arkan pernah meledek Zalila dengan tubuhnya yang imut, Arkan berkata akan membonceng Zalila tetapi posisinya Zalila di depan kemudi layaknya membawa anak kecil.Arkan dan Zalila tertawa bersamaan membuat Lucy semakin cemberut."Sudahlah, Arkan. Kau jangan membuat Lucy marah," ucap Zalila usai tawanya terhenti."Aku duluan, ya!" Pamit Zalila akhirnya."Hati-hati di jalan, okey!" Teriak Arkan."Oke, akur-akur lah kalian berdua," balas Zalila kemudian berlalu.****Zalila kembali menemui Gala yang tengah bersama kedua orang tuanya.Tak berkata-kata, Indrita dan Betara meninggalkan Gala bersamaan mendekatnya Zalila.Zalila tak mengerti dan tak mengetahui apa yang dibahas keluarga kecil itu, yang pasti tak a
"Bisakah kau pulangkan Zalila? ibunya sakit," ucap Denis menjawab pertanyaan Gala."Apa? Ibu sakit?" sosor Zalila mengambil handphone Gala dari tangan Gala.Gala yang sempat terkejut dengan aksi Zalila kini melihat Zalila sambil mengerutkan keningnya."Mas Denis! mas Denis! bagaimana keadaan ibu sekarang?" cecar Zalila panik."Ya, kau pulang dulu saja," sahut Denis."Iya, iya, Mas Denis. Aku pulang," sahut balas Zalila.Percakapan dalam sambungan telepon pun berakhir. Zalila baru tersadar jika kini Ia telah memegang handphone Gala."Maaf, tuan muda. Ini...handphonenya," perlahan dan malu-malu Zalila mengembalikan ponsel Gala."Tadinya kau bilang aku saja yang terima, akhirnya kau rebut juga handphoneku," ledek Gala."Maaf, tuan muda," wajah Zalila memerah."Tuan muda, saya harus segera pulang. Ibu saya, ibu saya," panik Zalila seketika teringat ibunya."Ya, pulang lah!" sahut Gala."Terimakasih, tuan
"Mas Denis memang atasan saya, tapi kami sudah pernah bertemu sebelumnya. Jadi sedikit akrab," jelas Zalila sambil menatap Gala."Oh!" timpal Gala pendek.Pagi harinya, Zalila memang tak pulang lagi semalam."Terimakasih, Mas Denis!" ucap Zalila mengakhiri dari menelpon Denis, untuk meminta lagi pertolongannya memberi kabar kepada Ibunya."Ini tuan muda, handphonenya." Zalila mengembalikan ponsel milik Gala yang Ia pinjam untuk menelpon Denis."Kau boleh pulang, Zalila! lupakan kesempatanmu dengan Mami," ucap Gala setelah menerima handphonenya."Maafkan aku!"Aku tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Aku pikir, kau adalah seorang suster yang bekerja untuk merawat ku, ternyata ini adalah tuntutan dari keluarga ku." Gala membelakangi Zalila, merasa tak enak dengan Zalila."Jadi, selama ini tuan muda tidak tahu siapa saya?" Zalila terhenyak. Dia mengira Gala telah tahu tentangnya dan perjanjiannya."Jadi...!" henyak Zalil
'Cepat datang kesini sekarang juga!' ucap Indrita dalam sambungan telepon.'Tapi, Nyonya, ini sudah malam sekali' sahut Zalila.'Saya tidak peduli' tandas Indrita.Tut...Sambungan telpon pun terputus.Zalila kebingungan dengan apa ia akan kesana, kendaraan umum tidak mungkin ada jam segini. Namun ada hal lain yang membuatnya lebih bertanya-tanya lagi, apa yang membuat Nyonya besar itu menyuruhnya datang semalam ini.'Apa ada hubungannya dengan tuan Gala? tapi apa yang terjadi dengan tuan Gala?' gumam Zalila.'Oh, Tuhan. aku sangat mengkhawatirkannya' gumamnya semakin khawatir.Tiba-tiba, Zalila teringat satu nama.'Mas Denis!'Zalila teringat akan ucapan Denis.'Kalau ada apa-apa, kau boleh meminta bantuan ku''Tapi, apa aku tidak mengganggunya malam-malam begini meminta bantuannya?' pikir Zalila.Zalila mondar-mandir kebingungan. Apakah Ia akan meminta bantuan Denis yang adalah bosnya.
Gala menatap Zalila tajam, membuat Zalila mundur beberapa langkah."Kenapa tidak kau lakukan saja apa yang ingin lakukan tadi, sekarang?" ucap Gala."Meskipun aku tidak dalam keadaan tidur pun, aku tidak bisa melawan, bukan?" Gala melemahkan ucapannya merasa dirinya lemah."Ti-tidak, tuan muda. Tuan muda, hebat kok," timpal Zalila tergagap."Bilang saja aku ini laki-laki lumpuh tidak berguna." Gala memalingkan wajahnya menyembunyikan sendunya."Tuan Gala, diluar sana pasti sudah menunggu orang-orang yang dulu mengenal tuan yang gagah. Aku yakin mereka merasa kehilangan tuan Gala saat ini," hibur Zalila."Karena itu demi orang-orang yang mencintai tuan. Anda harus bisa bangkit lagi, tuan harus bisa berjalan lagi kemudian hadir di hadapan mereka." Zalila terus memberi semangat kepada Gala.Ujaran semangat Zalila ternyata mengena di hati Gala."Kau yakin seperti itu?" tanya Gala."Yakin Tuan! Ayo, kita belajar berjalan lagi
"Kau bilang tidak akan melanjutkan perjanjian dengan gadis itu. Tapi kau biarkan dia bersama Gala," Ucap Betara seraya menuruni anak tangga."Ya biarkanlah, Pi. Lagi pula aku sudah mengancam dia agar tidak main-main," jawab Indrita sambil melangkah menuju sofa, kemudian Ia duduk di sana."Aku tidak yakin si Bibik bisa menjalani dua pekerjaan sekaligus, bisa tidak masak dia," lanjutnya."Dia itu lamban sekali dalam bekerja," katanya lagi."Ya sudah, jika begitu maunya mami," balas Betara."Oh ya, Pi. Jam sembilan nanti jadikan, kita survei lokasi lagi," tanya Indrita."Ya, dari semalam aku menghubungi si Jhon. Tapi tidak diangkat juga, dia juga belum telpon balik." Betara kebingungan tentang orang yang pernah mengadakan kerjasama dengannya, bahkan Ia yang telah menginvestasikan lebih banyak."Masih sibuk mungkin, si Johan," tebak Indrita.Matahari semakin bersinar seiring berjalannya waktu. Zalila mengajak Gala menghirup udara d
"Dasar wanita, kalian semua sama saja. Murahan," marah Gala sendirian, menggebrak kursi rodanya.Ya, Gala lah yang tadi melihat Zalila yang seperti memeluk Denis disaat hampir terjatuhnya tadi. Ia bersama Betara mengikuti Zalila sampai Rumahnya. Tentu itu atas kemauan Gala yang sebenarnya berniat ingin lebih jauh mengenal Zalila.Gala begitu marah melihat kejadian tadi. Ia mengira Zalila benar-benar memeluk Denis. Entah Ia cemburu atau tidak suka dengan wanita yang menurutnya begitu mudah jatuh ke pelukan seorang pria.Dada Gala begitu terbakar rasa marah kepada Zalila, Ia tadinya Ia berfikir jika Zalila berbeda dengan gadis atau wanita lain yang selama ini Ia temui. Namun akhirnya pandangan predikat wanita baik terhadap Zalila, kini terpatahkan dengan peristiwa tadi.Sementara Betara pun mengadukan apa yang dialaminya bersama Gala tadi kepada Indrita."Gala terlihat cemburu, saat gadis miskin itu bersama laki-laki lain?" ulang Indrita bertanya usa