Share

Part 7

Daninda yakin baru saja bermimpi. Tapi saat ia membuka mata memeriksa ponselnya dan melihat lagi. Masih mengenai perpisahannya. Damar telah mengirim pesan bahwa, ia marah karena kelakuan Daninda malam itu. Dan akan menceraikannya. Ia hanya bisa tertawa hampa, menjadi gugup. Memikirkan rumah tangganya. Wajahnya basah dengan air mata yang tertumpah. Dalam hati bertanya, apa yang kamu lakukan padaku? Ini bukan kenyataan, saat ia menutup matanya, itu akan menjadi mimpi. Daninda mencoba menyangkal perpisahannya dengan Damar. Air matanya sudah kering dan hanya menggumamkan namanya.

 

Di dalam kamar ia meringkuk menjadi bola, berteriak menangis. Cinta yang seperti mimpi. Sekali mengucapkannya selamat tinggal, itu menjadi kenyataan. Seperti bangun tanpa alarm. Jika Damar kembali, ia akan memberinya satu kesempatan lagi. Daninda akan bersikap baik padanya. Seperti orang yang begitu bodoh. Semuanya demi Fahrania. Bahkan jika Damar merobek hatinya. Bahkan jika Damar menginjak-injaknya. Ia tidak mau putrinya menjadi anak dari keluarga broken home. Di samping ia sangat marah dan tidak bisa menahannya. 

 

***

 

Suasana rumah sepi tidak seperti biasanya. Daninda menyisir rambut Fahrania. Ia mencoba tidak terjadi apa-apa di depan putrinya. Wajahnya pucat pasi. "Nah, udah selesai. Kita jalan-jalan ya. Rania, mau ke mana?" 

 

"Main mandi bola, Ma." Daninda mengangguk. Beberapa hari ini ia menitipkan Fahrania pada Deira. Daninda belum berani ke rumah orang tuanya. Ia takut orang tuanya curiga mengenai rumah tangganya.  

 

"Kita ke mall kalau begitu ya," ucap Daninda. Fahrania senang sekali. 

Mereka jalan-jalan ke sebuah Mall. Daninda memperhatikan putrinya bermain. Fahrania yang tumbuh begitu cepat. Hatinya mencelus ketika mengingat pengkhianatan Damar. Sesak menyelimutinya. 

 

Satu jam bermain Daninda memutuskan untuk mencari makanan. Fahrania mengeluh sudah lapar. Saat ia hendak masuk ke sebuah tempat makan cepat saji. Ia melihat gadis yang menjadi selingkuhan suaminya. Baru keluar dari toko kue. Tentu saja Daninda tidak menyia-yiakan kesempatan itu. Ia mengejar gadis itu. Sambil menggendong Fahrania berlari. Mengikuti Pricilla naik taksi sampai ke sebuah kantor. Daninda tidak membawa mobil karena pikirannya sedang kalut. Takut terjadi apa-apa apalagi bersama Fahrania. Pricilla datang ke kantor orang tuanya, pikir Daninda. Ia menatap gedung bertingkat tinggi di hadapannya. 

 

"Anak itu memang kaya," ucap Daninda tertawa mengejek. "Apa Mas Damar menyukainya karena dia kaya?" seru batinnya. 

 

Di gandengnya tangan Fahrania masuk ke dalam kantor. Di bagian resepsionis tidak ada orang itu menjadi kesempatannya untuk menyusup ke dalam. Ia melihat Pricilla naik lift. Buru-buru menyusulnya. Pricilla membuka pintu ruangan itu lalu masuk. Di lorong itu sepi. Di meja depan ruangan itupun kosong. Memang jadwal makan siang.

 

"Mama, kita mau ke mana?" tanya Fahrania. 

 

Daninda berjongkok. "Kamu tunggu di sini ya. Mama mau masuk ke dalam. Nanti pulangnya kita beli es krim," ucapnya membujuk. "Kamu jangan kemana-kemana," memperingatkan.  

 

"Iya, Ma," jawab Fahrania mengangguk patuh. Ia menginginkan es krim juga.  

Daninda berdiri, menarik napas panjang sebelum masuk, mempersiapkan diri. Ia akan memberi pelajaran pada gadis itu. Tekadnya sudah bulat saat tangannya memegang knop pintu. 

 

Krekk 

 

"Om dari ma-" ucap gadis itu terputus setelah melihat siapa yang datang.

 

"Hai, pelakor!!" sapa Daninda sinis. Ia menutup pintu. Tanpa banyak bicara langsung menjambak rambut Pricilla.

 

"Dasar cewek nggak tau diri!! Kamu nggak tau apa kalau Damar udah punya istri! Dasar cewek murahan!!" teriaknya sembari menarik rambut Pricilla. Gadis itu menjerit kesakitan dan berusaha melawan. "DASAR PELACUR!!" teriak Daninda lalu menampar Pricilla. Ia melampiaskan semua kekesalan dan kemarahannya. Terjadi keributan di dalam ruangan itu. 

 

***

 

Daniel baru saja bertemu rekan kerjanya diluar dan kembali ke kantor. Langkahnya memelan saat melihat ada gadis kecil berdiri di dekat dinding ruang kerjanya. Siapa dan sedang apa gadis kecil itu di depan ruanganku? Tanya batinnya. "Eum," Daniel berdehem. Gadis itu menenggakkan kepalanya ke atas. "Sedang apa disini?" Fahrania malah menunjuk ke pintu ruangannya. Alis pria itu menyatu, bingung. Ada apa di ruangannya? karena penasaran Daniel segera membuka pintu.

 

Ia terperangah seketika  melihat apa yang terjadi. Ada dua wanita bertengkar di ruang kerjanya. Daninda memaki Pricilla yang ada di bawahnya. Pertengkaran mereka tidak di dengar dari luar karena ruang kerja Daniel kedap suara. "Apa yang kalian lakukan di ruangan saya!" bentak Daniel. 

 

Daninda menghentikan perbuatannya lalu menoleh ke arah suara itu. Wajahnya tertutup rambut yang sudah acak-acakan. Ia berdiri dengan napas tersengal. Tangannya merapikan rambut panjangnya yang kusut. Pricilla menangis.  

 

"Kalian?" Daniel tidak percaya. Ia mengingat kejadian malam itu. Dan sekarang berlanjut di ruangannya? "Apa kalian sudah gila?Bertengkar di ruangan orang lain?!" lanjutnya marah.

Daninda tidak mendengarkan perkataannya. Matanya mencari Fahrania. Ia malu dalam keadaan berantakan. Fahrania mendengar perkataannya untuk 'tidak masuk'. Ia tersenyum kecil. Daniel memperhatikan senyuman itu. Ia menyangka bahwa Daninda mengejeknya. Sontak menyulutkan emosinya. 

 

"Maaf, Om- Hikss. Hikss.." Pricilla mencoba bangkit. Wajahnya memerah dan terluka. "Aku ke sini untuk minta maaf karena kejadian kemarin malam." 

 

"Urus urusan kalian di tempat lain. Bukan di ruangan saya!" bentaknya marah.  

 

Daninda  berdesis,  "bisa anda mengajarkan pada sepupu anda untuk tidak mengambil hak orang lain?" menatap tajam Pricilla. "Dia gadis murahan! Pelacur!! Pelakor!!" umpatnya kasar. 

 

Kepala Daniel berdenyut nyeri. Ini bukan masalahnya. Ia tidak mau ambil pusing dengan tingkah laku saudaranya itu. Kenapa dirinya berada dalam situasi seperti ini, keluhnya dalam hati.  "Keluar kalian dari ruangan saya!" ucap Daniel dingin. Daninda mengambil tasnya.

   

"Damar akan marah karena kamu menyakitiku. Asal kamu tau, aku sedang hamil anaknya!" ucapan Pricilla tiba-tiba menghentikan langkahnya. Sontak tubuh Daninda membeku saat akan melewati Daniel. Pricilla tertawa menang. "Sebentar lagi Damar akan menceraikanmu! Dan memilihku!!" tambahnya sinis. "Pricilla pergi dulu, Om." Pamitnya pada Daniel. Ia pergi begitu saja setelah mengucapkannya. 

Wajah Daninda mengeras. Tangannya terkepal keras. Bahkan tubuhnya tidak bisa bergerak sama sekali. Air matanya terjun bebas. Kakinya terasa lunglai, ia jatuh. Lidahnya terasa kelu. Tangisannya tidak bersuara. Daninda memukul dadanya yang sesak.

 

Daniel masih berdiri di samping Daninda yang duduk di lantai. Pria itu tidak bisa berbuat apa-apa. Ia sendiri pun bingung apa yang harus dirinya lakukan. Daninda segera menghapus air matanya. Berusaha berdiri hampir terjatuh. Jika Daniel tidak sigap menahan tangannya.  

 

"Maaf," ucap Daninda pelan. Air matanya masih mengalir. "Maaf.. " lirihnya. 

 

"Sebaiknya anda duduk dulu," ucap Daniel menggiringnya ke sofa. Bagaimanapun ia masih punya hati. "Hapus air mata anda itu. Saya akan memanggil putrimu di luar. Kasian pasti dia lelah menunggu."

 

Daninda menuruti. Ia menghapus air matanya. Walaupun masih menyisakan bekas jejak-jejaknya. Kenyataan yang harus ia terima. Jika Pricilla hamil anak Damar.

 

"Mama!!" teriak Fahrania. Ia memeluk sang ibu. Menepuk-nepuk pipinya pelan.

 

"Mama nangis?" 

 

"Nggak kok sayang. Mama kelilipan debu tadi. Mata Mama merah ya?" Daninda masih berusaha untuk tersenyum. 

 

"Iya  melah," balasnya. Daninda mengusap rambut Fahrania.

 

Tidak lama sekretaris Daniel datang membawakan minum. Pria itu menelepon agar sekretarisnya menyuruh OB menyiapkan minuman. "Minumlah dulu," ucap Daniel yang sudah duduk di sofa.  

 

"Terima kasih," Daninda meminumnya. Ia meraup udara sebanyak-banyak agar paru-parunya menyuplai udara. Daniel memandangi ibu dan anak tersebut. Pricilla kenapa tega menghancurkan hidup orang lain. Terlebih ada gadis kecil yang tidak tahu apa-apa. "Maaf membuat keributan di kantor anda. Saya kira ini kantor orang tua gadis itu." 

 

"Bukan, ini kantor saya. Saya tidak menyangka kalian berbuat seperti itu dikantor saya." Daniel menggunakan bahasa formal. "Saya dan Pricilla memang sepupu. Tapi untuk masalah ini saya tidak mau ikut campur." 

 

Daninda menunduk, "saya tau."

 

"Mama Lania lapel," keluhnya jujur. Daninda lupa putrinya belum makan siang.  

 

"Maaf, sayang. Kita beli makan ya." Daninda hendak bangkit namun kakinya masih lemas hingga terjatuh kembali ke sofa. Ia belum sanggup berdiri. 

 

"Sebaiknya anda duduk saja dulu. Untuk berdiri saja rasanya sulit," ucap Daniel.

 

"Kamu mau makan apa?" tanyanya ramah pada Fahrania. Gadis kecil itu menatap Daninda seolah meminta izin untuk menjawab. Sang Mama mengangguk.

 

"Mau ciken," jawabnya malu-malu. 

 

"Baiklah, Om pesankan dulu ya." Ia menelepon sekretarisnya untuk di pesankan ayam goreng yang di inginkan Fahrania. 

 

Mereka sama-sama diam sambil menunggu. Fahrania memandangi sekeliling ruang kerja Daniel. Sedangkan Daninda mengusap-ngusap rambut Fahrania dengan mata yang memancarkan kepedihan.  

 

"Maaf merepotkan anda." Daninda menoleh padanya. 

 

"Tidak apa-apa," timpal Daniel.  

Pesanan ayam goreng tepung milik Fahrania datang. Daninda menyuapi putrinya. Daniel hanya memesan kopi untuk dirinya. Dalam lubuk hatinya yang terdalam. Ia merasa kasihan pada Daninda dan Fahrania.  

 

Di dunia ini kenapa ada pria semacam itu. Menyia-yiakan dan menyakiti istri dan juga anak. Ia pun sangat menyayangkan dengan pilihan Pricilla. Apa lagi kini sepupunya sedang hamil di luar nikah.  Selesai makan, Fahrania berkeliling di ruangan tersebut. Gadis kecil itu malah berani duduk di kursi kerja Daniel. Daninda cukup terkejut. Ia memanggil Fahrania agar tidak duduk disana. Daniel hanya terkekeh. 

 

"Rania!" panggilnya.  

 

"Biarkan saja, tidak apa-apa." Daniel mengecek jam tangannya.  

 

"Maaf," Daninda segera menghampiri Fahrania. "Kita pulang yuk."

 

"Saya akan mengantar anda," ucap Daniel sembari berdiri. Ia mengancingkan jasnya. 

 

"Nggak usah, makasih." Daninda tidak enak hati. 

 

"Hanya mengantar saja," Daniel mengambil kunci mobilnya dan tidak mau di bantah.

 

Selama di perjalanan Daninda diam saja. Ia malah melamun sambil memangku Fahrania. Daniel mengantarnya pulang. Sampai di depan rumah, ada seseorang yang menunggunya. Siapa lagi kalau bukan Damar. Daninda turun dari mobil. Tanpa di duga Damar menghampiri dan langsung menamparnya. 

 

Plaaakk  

 

Daninda syok tiba-tiba pipinya menerima tamparan keras. Begitu juga Daniel yang berada di  dalam mobil. Fahrania memukul pinggang ayahnya dengan tangan mungilnya. Ia membela sang ibu. 

 

"Kamu berani-beraninya menampar Pricilla, hah!" bentaknya. Daninda memegang pipinya yang terasa panas. Satu titik air matanya jatuh.

 

"Papa jahat!! Jangan mukul Mama!" ucap Fahrania sambil menangis. Damar mendorongnya hingga terjatuh. Daninda segera membantu Fahrania berdiri. Ia menatap benci pada Damar.  

 

Tanpa di duga seseorang menarik paksa kemeja Damar sampai berbalik. Lalu dipukulnya wajah Damar dengan keras. Daniel menghembuskan napas kasar seraya merapikan jas mahalnya. 

 

"Siapa kamu?!" tanya Damar marah. Ia terkejut karena tiba-tiba ada yang memukulnya. Terlebih Damar tidak mengenalinya.  

 

"Anda tahu, pria yang memukul wanita macam anda adalah sampah!! SHIT!! LOSER!!" umpat Daniel kasar. "Terlebih pada anaknya sendiri." Giginya bergemeletuk menahan emosi.

 

"Apa dia selingkuhanmu, Ninda?" tanya Damar dengan wajah mengejek. Ia mengusap darah di sudut bibirnya. Daninda tidak habis pikir. Suaminya malah menuduhnya. Maling teriak maling itulah istilahnya. 

 

"Dasar gila!! Kamu yang selingkuh sampai gadis itu hamil! Dan sekarang bisa-bisanya kamu menuduhku selingkuh? Pakai otakmu itu!! Kamu mau kita cerai? BAIKLAH, KITA CERAI!!" teriak Daninda emosi. Ia tidak bisa lagi melihat perlakuan Damar pada putrinya. Fahrania masih menangis ketakutan memeluk kakinya. 

 

 

 

Sorry typo & absurd 

 

Thankyuuu^^ 

      

 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status