Share

Resep Cinta Dalam Doa
Resep Cinta Dalam Doa
Author: EdpDian

RCDD | 1. Asal Muasal Perjodohan

"Pa bukan berarti harus dijodohin juga kan? Ariz bisa kok cari pendamping hidup Ariz sendiri"

"Mau sampai kapan kamu buat Papa Mama nunggu? Ayolah nak, kamu tidak kasihan dengan kami? Kami sudah semakin tua, sudah waktunya punya menantu, menggendong cucu. Teman-teman Papa Mama saja sudah punya cucu banyak." Bian mengiba, menatap putranya lembut.

Fariz memutus tatapan matanya dari Bian, hatinya melemah, ia tak kuat. Fariz hanya mampu menunduk lesu sekarang. Ini masih jam kerja, baru pukul 10.30 pagi. Tapi Bian sudah datang dan menceramahinya di ruang kerja kantornya. Tadi sebelum Bian datang Fariz tengah bergelut dengan setumpuk dokumen.

Seumur hidup, Fariz sebenarnya paling tidak suka jika sedang diusik ketika tengah bekerja. Terlebih membahas masalah pribadi di jam kerja dan ditempat kerja, seperti tidak ada waktu lain saja.

Tapi ini Bian, ayah kandungnya sendiri. Mana berani ia mengusir pria yang telah membesarkannya hingga sebesar ini.

Bian menatap Fariz dalam diam, tatapan pria tua itu mengandung banyak arti yang mendalam. Tatapan yang teramat Fariz hindari sebenarnya, pasti ia tidak akan pernah sanggup dan pasti akan luluh lantah ditangan pria tua itu.

Fariz hanya mampu memijat pelipisnya perlahan, kepalanya berdenyut nyeri, sekujur tubuhnya juga merasa lelah. Dengan perasaan gundah, Fariz mengangkat kembali kepalanya, menangkap tatapan teduh Bian sambil menghembuskan napasnya berat.

Tatapan itu, tatapan penuh harap itu, rasanya tidak mungkin jika tidak meluluhkan relung hatinya.

"Pa, bukan Ariz nolak gitu saja buat menikah. Papa sendiri tahu kan masalalu apa yang terjadi dalam hidup Ariz. Ariz cuma butuh waktu sampai benar-benar siap, setidaknya kasih Ariz waktu," kata Fariz akhirnya panjang lebar. Mengambil kesempatan terakhir yang ia punya untuk merengkuh simpati Bian.

Bian menghembuskan napasnya berat, kedua pundaknya melorot, wajahnya semakin sendu. Ia tahu tentang itu, tentang masa lalu putranya. Ia juga tahu jika pekerjaan adalah hal yang disukai putranya dan sesuatu yang menolong putranya dari keterpurukan juga. Tapi ia juga sudah cukup membiarkan Fariz larut dengan dunia kerasnya selama lima tahun belakangan ini. Lina istrinya juga semakin mengkhawatirkan kondisi gila kerja Fariz yang nyaris lupa jalan pulang.

"Ariz pikir dulu baik-baik. Papa tidak mungkin asal meminta jika tanpa alasan jelas. Mamamu juga semakin hari semakin rentan karena terlalu banyak mikirin kamu. Jujur, jika Papa boleh memilih maka Papa akan lebih memilih Ariz dengan ekonomi yang sederhana tapi memikirkan dirinya dan masa depannya. Dibandingkan Ariz yang gila kerja meskipun berlimpah harta." Ujar Bian lembut sebagai akhir dari pembicaraan keduanya. Karena setelahnya pria tua yang rambutnya mulai memutih itu bergegas pergi meninggalkan Fariz yang terpaku tak berdaya. Hatinya bagai diremas lalu dihantam dengan induk gajah.

"Oh Tuhan, masalah apa lagi ini? Tidak cukupkah engkau memberikan kesakitan padaku hingga sedalam ini?" gumam Fariz putus asa sambil meremas rambutnya kuat-kuat.

******

Malam harinya, di kediaman Kaira.

Albi, duduk termenung seorang di kuris kayu yang sudah renta, di teras depan rumahnya. Ditemani secangkir kopi hitam yang mulai mendingin. Pikirannya menerawang entah kemana, pandanganya kosong meskipun terarah pada pohon mangga yang berdiri tegak cukup jauh darinya.

Semilir angin berhembus sepoy-sepoy, tak ada satupun bintang. Bulan pun hanya mengintip malu-malu karena tertutup awan mendung. Sesekali kening pria tua itu berkerut, matanya menyipit, terkadang ia juga menghembuskan napasnya berat tanpa sadar. Hatinya gelisah, ada setumpuk pertanyaan yang sebenarnya memenuhi pikirannya.

Albi memegangi dagunya sendiri, lalu mengusap dagu yang hanya ditumbuhi beberapa helai rambut yang mulai memutih itu secara berulang.

"Abi kenapa? Ada masalah?" tanya Silfi, istrinya. Umurnya tak terlalu jauh dari pria tua itu. Hanya tiga tahun lebih muda saja. Entah sejak kapan wanita itu sudah duduk di sisinya, menatapnya dengan kening berkerut.

Albi menoleh, meletakkan tangannya pada pegangan kursi lalu tersenyum simpul.

"Tidak ada Ummi."

"Ada sesuatu yang terjadi di sekolah? Atau di majelis?" tanya Silfi belum puas.

Albi tak langsung menjawab, ia justru meraih cangkir kopi yang tinggal setengah itu dan meminumnya setelah menghirup aromanya sesaat.

"Ada sepasang suami istri yang meminta Abi untuk dicarikan pasangan untuk putra tunggalnya."

"Lalu? Bukanya sudah biasa yang seperti itu ya Abi?" tanya Silfi lagi. Albi memang kerap diminta menjadi perantara dalam proses ta'aruf.

Albi mengangguk. "Tapi yang kali ini sedikit berbeda Ummi."

Silfi mengerutkan keningnya. Ia masih berusaha untuk tenang meskipun rasa penasaranya sudah memuncak sejak tadi. "Berbeda bagaimana Abi? Apa terlalu rumit kriteria yang diberikan?"

Albi lenggang sesaat, ia justru menebarkan pandangannya ke arah lain. Bukan lagi pohon mangga, atau silfi tapi pada bunga anggrek yang menempel pada batang pohon mangga.

Harap-harap cemas, Silfi masih berusaha menunggu dengan sabar.

"Abi menaruh hati untuk menjadikan sepasang suami istri itu menjadi besan kita Ummi," katanya hati-hati.

JEDAR

Silfi terperanjat. "Kenapa begitu Bi?" tanya Silfi, nada suaranya terdengar lebih keras dari sebelumnya, raut wajahnya juga berubah menjadi pias. Silfi tidak sebodoh itu sehingga tidak bisa menangkap maksud yang dikatakan suaminya.

Tatapan Albi memang masih tertuju pada bunga angrek, tapi ia juga bisa melihat dari ekor matanya jika Silfi tengah mentapnya saat ini.

Albi menggeleng ragu, lalu menoleh menatap Silfi. "Abi sendiri tidak tahu Ummi, Abi hanya merasa hati Abi condong ke arah sana. Abi juga sudah Salat Istikharah selama satu bulan ini. Tapi hasilnya justru semakin yakin."

Silfi terpaku, ia jadi tahu apa alasanya suaminya itu terlihat murung selama satu bulan ini. Meski bersikap seperti biasanya pada dirinya dan putrinya, tapi pria tua itu lebih banyak termenung akhir-akhir ini. Lebih banyak diam, dan memasang wajah tak bersemangat.

Kaira putrinya mungkin tidak merasakan perubahan-perubahan itu, tapi Silfi adalah istri dan ibu disini. Pemegang kunci kenyamanan dalam rumah sekaligus berperan sebagai rumah itu, ia pasti memahami perubahan sekecil apapun yang terjadi dari penghuni rumah tanpa terkecuali.

"Yang meminta adalah jama'ah Abi di majelis, mereka baru saja mulai berhijrah. Seorang orang tua sama seperti kita yang mengkhawatirkan nasib putra tunggalnya yang sudah berumur 36 tahun. Tapi, belum menemukan pendamping karena rasa traumanya. Abi belum tahu pasti karena belum sempat berbincang lagi dengan keduanya. Tapi yang pasti masalahnya berkaitan dengan putranya yang gila kerja dan lingkungan yang meninggalkannya karena sifatnya itu."

Silfi belum angkat bicara, ia tidak tahu harus merespon tentang berita yang Albi sampaikan itu dengan hal apa.

"Abi tahu dengan kita merelakan Ara, sama saja kita mempertaruhkan masa depan putri kita satu-satunya. Itu kenapa Abi salat istikharah selama satu bulan ini dan belum menceritakan hal ini dengan Ummi." Sambung Albi masih menjelaskan.

Silfi mengulurkan tangan kanannya, meraih punggung tangan kiri Albi dan mengusapnya lembut.

"Ummi akan menyampaikan niat baik Abi ini dengan putri kita. Terimakasih sudah mau mengatakan kejujuran ini dengan Ummi, Abi. Ummi terkejut itu pasti, tapi Ummi lebih percaya, suami Ummi adalah suami dan Ayah yang hebat. Yang selalu melibatkan Tuhan dalam setiap apa yang terjadi di kehidupannya, jadi tidak ada alasan lagi untuk Ummi ragu. Ummi yakin putri kita pun demikian," kata Silfi pada akhirnya.

Albi mendengus lega, hatinya menghangat. Tangan kanan nya terulur meraih tangan Silfi yang masih menggenggam tangan kirinya. "Jika memang Ara tidak mau tidak apa-apa Mi, Abi bisa mencarikan yang lain dan mungkin jawaban Ara itu juga salah satu petunjuk dari Allah."

Silfi mengangguk, wanita tua itu juga mengukirkan senyumnya sebelum akhirnya berlalu meninggalkan Albi untuk menemui putrinya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status