Share

RCDD | 2. Keputusan Kaira

Silfi baru benar-benar menemui putrinya setelah selang waktu sepuluh menit, ia memilih menenangkan hatinya yang terguncang lebih dulu sebelum akhirnya menyampaikan berita mengejutkan itu pada Kaira.

Di depan pintu berwarna putih tulang yang tertempel tulisan "ARA ROOM" besar-besar, Silfi menghembuskan napasnya berulang. Tangannya sudah memegang gagang pintu sejak tiga menit yang lalu. Setelah melafalkan Basmalah akhirnya mantap Silfi mengetuk daun pintu itu sebanyak tiga kali dan membukanya setelah terdengar suara nyaring putrinya dari balik pintu.

"Masuk saja Ummi, tidak Ara kunci kok pintunya," kata Kaira. Gadis itu belum beralih dari posisi duduknya, bahkan menoleh pun tidak. Hanya mulutnya saja yang bersuara.

"Ummi mengganggu ya?" tanya Silfi basa basi.

Kaira menggeleng cepat, barulah ia menoleh menatap Silfi, kepalanya sedikit menunduk karena pandangannya terhalang oleh kacamata baca yang sudah melorot hingga menutupi hidungnya.

"Tidak kok Ummi, Ara cuma lagi baca-baca saja. Ada apa ya Ummi?"

Silfi duduk di pinggir ranjang tidur Kaira menghadap Kaira yang sedang duduk di kursi depan meja kerja.

"Emm-" Silfi mendehem panjang, ragu-ragu ingin mulai bicara.

Kaira menautkan kedua alisnya, keningnya berkerut, kemudian ia melepas kacamatanya dan meletakkannya di atas meja. "Ada apa Ummi, katakan saja."

Silfi menarik napasnya dalam, lalu menghembuskan perlahan. Jantungnya mulai bergemuruh hebat.

"Ummi minta maaf sebelumnya, ini mungkin akan mengguncang Ara. Tapi, apapun yang Ara dengan dari Ummi nanti tolong pikirkan dulu baik-baik ya sayang!"

Kerutan di kening Kaira semakin menajam, tapi ia tetap menganggukkan kepalanya sebanyak dua kali meski ragu-ragu. Sedangkan Silfi justru semakin gugup dan berulang kali membuang napas berat.

"Putri Ummi dan Abi sudah dewasa kan sekarang? Sudah jadi dokter umum. Umurnya juga sudah 25 tahun, sudah siap untuk membina rumah tangga."

Silfi bungkam sejenak, ingin tahu reaksi apa yang Kaira tunjukkan. Ekspresi Kaira masih sama, tenang. Walaupun sepertinya juga bingung secara bersamaan. Silfi kembali melanjutkan ucapannya. "Tadi sebelum Ummi kesini, Abi sempat menyampaikan satu hal yang selama satu bulan ini mengganggu pikiran Abi. Itu semua berkaitan dengan Ara."

Kaira menegang, dan Silfi bisa melihat itu. Wanita tua itu kembali menjeda ucapanya sejenak.

"Satu bulan lalu ketika Abi mengisi tausiah di Masjid Agung Semarang, ada jama'ah yang baru mulai hijrah. Sepasang suami istri, dan beliau meminta Abi untuk dicarikan calon istri untuk putra tunggalnya yang gila kerja dan punya masa lalu buruk, ditinggalkan karena hal itu. Abi belum tahu pasti tapi yang Umi tangkap dari cerita Abi tadi seperti itu. Tapi Abi justru memiliki kecondongan untuk menjadikan anak itu sebagai menantunya, suami Ara kelak. Abi juga sudah salat istikharah selama satu bulan ini dan jawabanya justru hatinya semakin condong." Jelas Silfi panjang lebar.

Tidak ada ekspresi lain lagi dari Kaira setelah yang terakhir kali Silfi lihat berupa ketegangan.

Silfi bungkam, Kaira pun demikian. Kamar Kaira yang bernuansa campuran merah muda, putih dan kuning ini lenggang. Hanya suara pendingin ruangan dan jam dinding saja yang terdengar.

"Tadi Abi juga bilang Abi tidak memaksa, justru jawaban Ara adalah final dari salat istikharah Abi selama sebulan ini, apapun jawaban itu. Mau atau tidaknya."

Kaira membuang napas sedikit keras, ia juga menggigit sebentar bibir bawahnya. "Ummi, mungkin akan terkesan gegabah kedengaranya jika Ara memutuskan sekarang. Tapi seperti yang Ummi bilang, Abi sudah salat istikharah selama satu bulan full. Tidak ada alasan lagi buat Ara ragu apalagi menolak. Abi adalah orang yang beriman, yang Abi rasakan, dapatkan, itu tidak bisa kita anggap remeh kan Ummi? Bisa jadi itu petunjuk dari Allah. Jadi, tolong sampaikan dengan Abi jika Ara menerima dengan keikhlasan hati dan kelapangan hati tanpa paksaan." Ujar Kaira.

Silfi hanya mampu mematung, tak tahu harus menjawab seperti apa. Hatinya menghangat, tanpa sadar bulir bening berhasil melewati pipi kanannya.

Putrinya, gadis kecil yang akan ia anggap kecil selamanya ini sudah menjadi gadis dewasa dengan kelapangan hati yang seluas samudra.

Tanpa membuang waktu lama, setelah keluar dari kamar putrinya Silfi langsung membagi kabar gembira itu pada suaminya. Albi yang masih ditempat yang sama ternganga karena apa yang Silfi sampaikan.

"Abi... Abi dengar apa yang Ummi bilang kan?" tegur Silfi karena Albi justru melamun.

Albi langsung tersadar. "Eh, dengar Ummi. Abi hanya kaget saja." Jawabnya.

Silfi tersenyum simpul. "Ummi tadi juga kaget Abi, apalagi waktu lihat Ara justru seyakin itu seolah bukan hal yang besar."

"Mungkin sebenarnya putri kita juga kaget Ummi, walaupun mungkin dia sungkan untuk menolak, tapi Ara juga pasti memiliki alasan tersendiri kenapa menerima begitu saja Mi. Ummi tahu sendiri Ara selama ini selalu jadi anak penurut dan berbakti. Mungkin saat ini dia menyesali keputusannya atau justru menangis."

Silfi mengangguk setuju, apa yang Albi memang katakan benar. Kaira bukan anak yang pembangkang, gadis itu justru nyaris tidak pernah menolak permintaan kedua orang tuanya dengan alasan apa yang kedua orang tuanya putuskan untuk hidupnya itu adalah yang terbaik, dan ridho orangtua adalah separuh dari ridho Allah.

"Abi jika Ara tiba-tiba merubah keputusannya bagaimana?" tanya Silfi.

Albi diam sejenak. "Insya Allah Ara tidak akan merubah keputusanya Ummi. Tapi jikapun iya, ya tidak masalah, Ara berhak menolak. Abi juga sudah mengatakan bukan kalau jawaban Ara itu menjadi final dari masalah ini?"

"Tapi menurut firasat Abi apa putri kita akan berubah pikiran?"

Albi menggeleng pelan. "Firasat Abi bilang sih tidak Ummi. Dia sedih pasti, tapi putri kita bukan orang yang mudah goyah, sebenarnya dia pasti sudah memikirkan dan pasti punya alasan ketika memutuskan jalan yang akan dia ambil walaupun hanya sepintas memikirkanya. Putri kita punya prinsip yang kuat Ummi."

Silfi hanya mampu mengangguk sebagai akhir dari perbincangan mereka tentang Kaira.

Benar dugaan Albi, tidak melenceng sedikitpun. Di dalam kamar seorang diri, Kaira tengan menangis tersedu-sedu. Membenamkan wajahnya permukaan bantal untuk bisa meredam suara tangisnya. Ia tidak ingin kedua orang tuanya tahu jika ia menangis.

Kaira tidak menyesali keputusannya. Apa yang Kaira katakan pada Silfi itu sebuah kejujuran. Albi itu seorang ulama, orang beriman, orang shalih yang insyaAllah dicintai Allah. Firasatnya, mimpinya, itu tidak boleh dianggap sepele dan remeh. Ia juga tidak tahu kenapa ia menangisi semua ini jika bukan karena menyesal.

Kaira mengangkat kepalanya, mengibas kedua tangan didepan wajah.

"It's okay Kaira Qistina, ridho orang tua adalah separuh dari ridho Allah. Keputusan Abi Ummi mustahil menyesatkanmu. Jalani dengan sabar, terima dengan hati yang lapang, dan percaya jika Allah tidak mungkin memberi sesuatu tanpa maksud didalamnya." Gumam Kaira disela tangisnya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status