Disandera oleh trauma masa lalu membuat Fariz masih menjomblo diumurnya yang sudah memasuki 36 tahun. Membuat kedua orang tuanya cemas dan gelisah. Meneror tiada henti disetiap harinya, hingga membuat Fariz akhirnya mengalah, meminta untuk kedua orang tuanya mencarikan pasangan untuknya. Wanita itu adalah Kaira, wanita muda yang terpaut umur cukup jauh dengannya. Wanita dengan karalter serta penampilan yang berbeda jauh dari lima wanita dari masalalunya. Apakah Faris mampu melawan masa lalunya dan bisa menerima Kaira? Bagaimana cara yang Kaira gunakan untuk meluluhkan hati Fariz? Apa hubungan keduanya bisa berjalan selayaknya pasangan sebenarnya? Jika resep cinta dalam doa itu ada, mungkin Kaira akan menggunakan itu untuk bisa meniti mahligai dihati penuh luka milik Fariz.
View More"Pa bukan berarti harus dijodohin juga kan? Ariz bisa kok cari pendamping hidup Ariz sendiri"
"Mau sampai kapan kamu buat Papa Mama nunggu? Ayolah nak, kamu tidak kasihan dengan kami? Kami sudah semakin tua, sudah waktunya punya menantu, menggendong cucu. Teman-teman Papa Mama saja sudah punya cucu banyak." Bian mengiba, menatap putranya lembut.Fariz memutus tatapan matanya dari Bian, hatinya melemah, ia tak kuat. Fariz hanya mampu menunduk lesu sekarang. Ini masih jam kerja, baru pukul 10.30 pagi. Tapi Bian sudah datang dan menceramahinya di ruang kerja kantornya. Tadi sebelum Bian datang Fariz tengah bergelut dengan setumpuk dokumen.Seumur hidup, Fariz sebenarnya paling tidak suka jika sedang diusik ketika tengah bekerja. Terlebih membahas masalah pribadi di jam kerja dan ditempat kerja, seperti tidak ada waktu lain saja.Tapi ini Bian, ayah kandungnya sendiri. Mana berani ia mengusir pria yang telah membesarkannya hingga sebesar ini.Bian menatap Fariz dalam diam, tatapan pria tua itu mengandung banyak arti yang mendalam. Tatapan yang teramat Fariz hindari sebenarnya, pasti ia tidak akan pernah sanggup dan pasti akan luluh lantah ditangan pria tua itu.Fariz hanya mampu memijat pelipisnya perlahan, kepalanya berdenyut nyeri, sekujur tubuhnya juga merasa lelah. Dengan perasaan gundah, Fariz mengangkat kembali kepalanya, menangkap tatapan teduh Bian sambil menghembuskan napasnya berat.Tatapan itu, tatapan penuh harap itu, rasanya tidak mungkin jika tidak meluluhkan relung hatinya."Pa, bukan Ariz nolak gitu saja buat menikah. Papa sendiri tahu kan masalalu apa yang terjadi dalam hidup Ariz. Ariz cuma butuh waktu sampai benar-benar siap, setidaknya kasih Ariz waktu," kata Fariz akhirnya panjang lebar. Mengambil kesempatan terakhir yang ia punya untuk merengkuh simpati Bian.Bian menghembuskan napasnya berat, kedua pundaknya melorot, wajahnya semakin sendu. Ia tahu tentang itu, tentang masa lalu putranya. Ia juga tahu jika pekerjaan adalah hal yang disukai putranya dan sesuatu yang menolong putranya dari keterpurukan juga. Tapi ia juga sudah cukup membiarkan Fariz larut dengan dunia kerasnya selama lima tahun belakangan ini. Lina istrinya juga semakin mengkhawatirkan kondisi gila kerja Fariz yang nyaris lupa jalan pulang."Ariz pikir dulu baik-baik. Papa tidak mungkin asal meminta jika tanpa alasan jelas. Mamamu juga semakin hari semakin rentan karena terlalu banyak mikirin kamu. Jujur, jika Papa boleh memilih maka Papa akan lebih memilih Ariz dengan ekonomi yang sederhana tapi memikirkan dirinya dan masa depannya. Dibandingkan Ariz yang gila kerja meskipun berlimpah harta." Ujar Bian lembut sebagai akhir dari pembicaraan keduanya. Karena setelahnya pria tua yang rambutnya mulai memutih itu bergegas pergi meninggalkan Fariz yang terpaku tak berdaya. Hatinya bagai diremas lalu dihantam dengan induk gajah."Oh Tuhan, masalah apa lagi ini? Tidak cukupkah engkau memberikan kesakitan padaku hingga sedalam ini?" gumam Fariz putus asa sambil meremas rambutnya kuat-kuat.******Malam harinya, di kediaman Kaira.Albi, duduk termenung seorang di kuris kayu yang sudah renta, di teras depan rumahnya. Ditemani secangkir kopi hitam yang mulai mendingin. Pikirannya menerawang entah kemana, pandanganya kosong meskipun terarah pada pohon mangga yang berdiri tegak cukup jauh darinya.Semilir angin berhembus sepoy-sepoy, tak ada satupun bintang. Bulan pun hanya mengintip malu-malu karena tertutup awan mendung. Sesekali kening pria tua itu berkerut, matanya menyipit, terkadang ia juga menghembuskan napasnya berat tanpa sadar. Hatinya gelisah, ada setumpuk pertanyaan yang sebenarnya memenuhi pikirannya.Albi memegangi dagunya sendiri, lalu mengusap dagu yang hanya ditumbuhi beberapa helai rambut yang mulai memutih itu secara berulang."Abi kenapa? Ada masalah?" tanya Silfi, istrinya. Umurnya tak terlalu jauh dari pria tua itu. Hanya tiga tahun lebih muda saja. Entah sejak kapan wanita itu sudah duduk di sisinya, menatapnya dengan kening berkerut.Albi menoleh, meletakkan tangannya pada pegangan kursi lalu tersenyum simpul."Tidak ada Ummi.""Ada sesuatu yang terjadi di sekolah? Atau di majelis?" tanya Silfi belum puas.Albi tak langsung menjawab, ia justru meraih cangkir kopi yang tinggal setengah itu dan meminumnya setelah menghirup aromanya sesaat."Ada sepasang suami istri yang meminta Abi untuk dicarikan pasangan untuk putra tunggalnya.""Lalu? Bukanya sudah biasa yang seperti itu ya Abi?" tanya Silfi lagi. Albi memang kerap diminta menjadi perantara dalam proses ta'aruf.Albi mengangguk. "Tapi yang kali ini sedikit berbeda Ummi."Silfi mengerutkan keningnya. Ia masih berusaha untuk tenang meskipun rasa penasaranya sudah memuncak sejak tadi. "Berbeda bagaimana Abi? Apa terlalu rumit kriteria yang diberikan?"Albi lenggang sesaat, ia justru menebarkan pandangannya ke arah lain. Bukan lagi pohon mangga, atau silfi tapi pada bunga anggrek yang menempel pada batang pohon mangga.Harap-harap cemas, Silfi masih berusaha menunggu dengan sabar."Abi menaruh hati untuk menjadikan sepasang suami istri itu menjadi besan kita Ummi," katanya hati-hati.JEDARSilfi terperanjat. "Kenapa begitu Bi?" tanya Silfi, nada suaranya terdengar lebih keras dari sebelumnya, raut wajahnya juga berubah menjadi pias. Silfi tidak sebodoh itu sehingga tidak bisa menangkap maksud yang dikatakan suaminya.Tatapan Albi memang masih tertuju pada bunga angrek, tapi ia juga bisa melihat dari ekor matanya jika Silfi tengah mentapnya saat ini.Albi menggeleng ragu, lalu menoleh menatap Silfi. "Abi sendiri tidak tahu Ummi, Abi hanya merasa hati Abi condong ke arah sana. Abi juga sudah Salat Istikharah selama satu bulan ini. Tapi hasilnya justru semakin yakin."Silfi terpaku, ia jadi tahu apa alasanya suaminya itu terlihat murung selama satu bulan ini. Meski bersikap seperti biasanya pada dirinya dan putrinya, tapi pria tua itu lebih banyak termenung akhir-akhir ini. Lebih banyak diam, dan memasang wajah tak bersemangat.Kaira putrinya mungkin tidak merasakan perubahan-perubahan itu, tapi Silfi adalah istri dan ibu disini. Pemegang kunci kenyamanan dalam rumah sekaligus berperan sebagai rumah itu, ia pasti memahami perubahan sekecil apapun yang terjadi dari penghuni rumah tanpa terkecuali."Yang meminta adalah jama'ah Abi di majelis, mereka baru saja mulai berhijrah. Seorang orang tua sama seperti kita yang mengkhawatirkan nasib putra tunggalnya yang sudah berumur 36 tahun. Tapi, belum menemukan pendamping karena rasa traumanya. Abi belum tahu pasti karena belum sempat berbincang lagi dengan keduanya. Tapi yang pasti masalahnya berkaitan dengan putranya yang gila kerja dan lingkungan yang meninggalkannya karena sifatnya itu."Silfi belum angkat bicara, ia tidak tahu harus merespon tentang berita yang Albi sampaikan itu dengan hal apa."Abi tahu dengan kita merelakan Ara, sama saja kita mempertaruhkan masa depan putri kita satu-satunya. Itu kenapa Abi salat istikharah selama satu bulan ini dan belum menceritakan hal ini dengan Ummi." Sambung Albi masih menjelaskan.Silfi mengulurkan tangan kanannya, meraih punggung tangan kiri Albi dan mengusapnya lembut."Ummi akan menyampaikan niat baik Abi ini dengan putri kita. Terimakasih sudah mau mengatakan kejujuran ini dengan Ummi, Abi. Ummi terkejut itu pasti, tapi Ummi lebih percaya, suami Ummi adalah suami dan Ayah yang hebat. Yang selalu melibatkan Tuhan dalam setiap apa yang terjadi di kehidupannya, jadi tidak ada alasan lagi untuk Ummi ragu. Ummi yakin putri kita pun demikian," kata Silfi pada akhirnya.Albi mendengus lega, hatinya menghangat. Tangan kanan nya terulur meraih tangan Silfi yang masih menggenggam tangan kirinya. "Jika memang Ara tidak mau tidak apa-apa Mi, Abi bisa mencarikan yang lain dan mungkin jawaban Ara itu juga salah satu petunjuk dari Allah."Silfi mengangguk, wanita tua itu juga mengukirkan senyumnya sebelum akhirnya berlalu meninggalkan Albi untuk menemui putrinya.Empat tahun kemudian. Hubungan Fariz dan Kaira semakin harmonis serta mencengkram. Mereka sudah pindah kerumah yang Fariz buat, kurang lebih lima bulan yang lalu sebelum kelahiran putra kedua mereka. Teren Qoir Kamran putra pertama mereka dan Bima Lim Kamran untuk putra kedua mereka. Jika mengira hubungan mereka semulus dan seindah yang dibayangkan jawabanya tidak. Huru dan hara masih tetap menerpa keluarga kecil mereka, tapi setelah kejadian beberapa tahun silam Fariz tak lagi meragukan istrinya dia juga jadi tenang menghadapi apapun masalah rumah tangga mereka. Apapun itu mereka selesaikan bersama dan mereka pecahkan dengan kepala dingin. "Sayang, dimana dasi Mas?" teriak Fariz kencang-kencang dari arah walk in closet. Kaira tengah memandikan Teren anak sulung mereka yang umurnya sudah tiga tahun. "Sayang Bima pup." Teriak Fariz lagi. Baru beberapa menit pria itu berteriak menanyakan dasi kini sudah berteriak lagi. "Mas gantikan dulu lah!" jawab Kaira mengeraskan suaranya tapi
"Mas seneng?" tanya Kaira sembari memandang selembar Fariz yang sedang mengamati selembar kertas dengan kedua mata yang berkaca-kaca. Pria itu senang sekaligus terharu. Seluruh beban di pundaknya tiba-tiba terlepas. Mereka duduk bersila di atas ranjang saling berhadapan.Fariz mengangguk, tapi enggan membalas tatapan Kaira."Masih kepikiran takut Ara tinggalin?" tanya Kaira, Fariz menganggukkan kepalanya lagi. Betapa bahagianya dia hari ini."Mas...." peringat Kaira dengan suara sedikit meninggi. Spontan Fariz menoleh, menatap Kaira.Wajah Kaira yang garang sembari menatapnya nyalang membuat Fariz mengedip-kedipkan kedua matanya tanpa sadar."Sebegitu susah dipercayanya kah Ara di mata Mas?"Fariz menggeleng, Kaira melebarkan kedua matanya. "Terus kenapa susah betul buat percaya sama Ara, apa di mata Mas Ara sebejat itu?" tanya Kaira lagi. Fariz dengan cepat menggeleng keras. Bukan itu maksudnya. Dia hanya takut, itu saja."La terus? Kenapa Mas selalu berpikir jelek tentang Ara?""Mas
Demam Fariz berlanjut hingga lima hari lamanya, bahkan bisa dikatakan semakin memburuk hingga Kaira harus memasan infus mandiri kepada Fariz. Demam Tifoid Fariz kambuh karena terlalu stres dan kelelahan. Tapi pria itu menolak dirawat di rumah sakit dengan berbagai macam alasan, yang katanya kasurnya sempit lah, makananya tidak enak lah, cat ruangan nya bikin silau mata lah, dan masih banyak lagi. Mau tidak mau Kaira mengalah dan mengizinkan Fariz dirawat di rumah saja dengan wanita itu sendiri yang turun tangan merawat suaminya.“Sayang, Ara janji kan tidak akan tinggalin Mas?” tanya Fariz hari ini sudah entah yang keberapa kalinya. Sampai Kaira muak mendengarnya.Kaira berdecak nyaring, bangkit dari posisi duduknya, berdiri di sisi ranjang menghadap suaminya sambil berkacak pinggang. Sedangkan Fariz sedang bersandar di kepala ranjang, tangan kanan nya terpasang alat infus. “Ara cuma mau ke rumah sakit lihat hasilnya Mas. Memang mas lihat ara bawa koper?” tanya Kaira kesal.Fariz meng
“Mas minta maaf dulu sebelumnya...” kata Fariz membuka cerita.Dia menarik napas dalam lalu membuangnya asal. Setelahnya pria itu menceritakan segalanya, tentang apa yang terjadi kemarin di kantor, hari ini dan beberapa tahun silam tanpa terkecuali. Dan Kaira juga menyimak tanpa menyela. Tidak ada ekspresi apapun yang wanita itu tunjukkan.Hati Fariz gelisah bukan main, tapi bebannya sedikit terangkat meskipun rasa takut semakin mendominasi dirinya.“Sebenarnya Mas yakin anak itu bukan Anak Mas. Tapi Mas tahu Ara tidak akan percaya tanpa bukti, Mama juga sudah minta bukti kalau memang dia bukan anak biologis Mas. Walaupun waktu itu mas terpengaruh sama obat dan setengah mabuk juga. Tapi mas masih cukup sadar sayang, wine yang dicampur obat itu Mas minum cuma satu tegukan." Fariz menjeda ucapanya sejenak, pikiranya mulai menerawang akan kejadian kelam beberapa tahun silam."Mas sebenarnya tahu kelakuan bejat wanita itu dari awal karena kecerobohan dia. Waktu itu mas mikirnya ya itu nor
Hasil tes DNA baru akan keluar satu sampai dua minggu lagi. Dan tidak bisa di nego, padahal Fariz sudah meminta percepatan waktu berapapun biayanya dia tidak masalah. Tapi sayangnya maju pun hanya bisa satu minggu saja. Dan Fariz tidak punya pilihan lain selain sabar menanti. “Bos, kita ke kantor?” tanya pak Manut. Melirik kaca spion depan mobil, melihat Fariz yang duduk di bangku penumpang belakang sambil memijat keningnya berulang dan mata terpejam rapat. Mobil Alphard hitam itu baru saja melaju kurang lebih lima menit.Fariz tak langsung menjawab, kepalanya pusing, banyak sekali yang memenuhi pikirannya. Niatnya dia jika hasil tes bisa keluar hari ini dia bisa menjelaskan segalanya pada Kaira istrinya, tapi malah justru baru keluar satu minggu lagi.“Bos ada masalah? Maaf nih ya bos kalau terkesan lancang. Tapi sebaiknya bos pulang saja istirahat dan cerita dengan Bos Ara, biasanya separuh beban bisa terangkat kalau cerita sama istri mah.” Saran pak Manut.Dia tidak bodoh, pak Man
Selepas kejadian itu tak ada yang berubah dalam rumah tangga Fariz dan Kaira. Semua nampak normal, Kaira nya juga seperti biasa, hangat, dan selalu perhatian.Siang itu juga Fariz meminta Tian untuk mencari tahu tentang Sindi. Semua tentang latar hidup Sindi tanpa terkecuali, termasuk anak wanita itu yaitu Mila.Tidak butuh waktu lama, besoknya Tian menyodorkan satu map berisi semua informasi Sindi, dari soal Sinda yang ternyata menikah empat tahun lalu dengan pria yang berbeda dengan yang menjadi alasan wanita itu meninggalkanya. Suaminya yang dipenjara karena melakukan kekerasan pada putrinya, dan dia yang bercerai dengan suaminya satu bulan lalu. Semua Fariz dapatkan termasuk alamat tempat tinggal dan tempat wanita itu bekerja.Tanpa membuang-buang waktu. Pagi itu juga jam 09.00, Fariz mendatangi alamat restoran jepang, tempat dimana wanita itu bekerja sebagai pelayan.“Fariz...” Sapa wanita itu dengan wajah berbinar.Berjalan tergopoh-gopoh mendekati Fariz dan berdiri di hadapan p
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments