Share

Bab 141

Penulis: Adinda Permata
last update Terakhir Diperbarui: 2025-12-18 20:58:49

Radit tidak berani berkedip. Di permukaan jendela yang gelap, bayangannya balas menatap dengan seringai yang bukan miliknya. Seringai itu tidak terbuat dari otot dan kulit, melainkan dari ketiadaan—sebuah lubang hitam berbentuk senyuman yang menarik semua cahaya dan kehangatan di warung itu ke dalamnya. Seringai itu menjanjikan kelaparan yang tak akan pernah bisa dipuaskan oleh nasi goreng mana pun. Sesuatu yang dingin dan kuno kini menumpang di dalam siluetnya, mengenakan wujudnya seperti pakaian pinjaman yang pas.

Ponsel di sakunya bergetar hebat, memecah keheningan yang mencekik. Radit tersentak, seperti orang yang baru saja ditarik dari mimpi buruk. Ia menoleh kembali ke jendela dengan napas tertahan.

Bayangannya normal kembali. Wajah cemas yang terpantul di sana adalah miliknya, seratus persen miliknya. Tidak ada seringai, tidak ada lubang hitam. Hanya ada seorang penjual nasi goreng yang kelelahan.

Getaran kedua dari ponselnya terasa seperti jangkar yang menariknya kembali ke du
Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Bab Terkunci

Bab terbaru

  • Resep Rahasia Sang Pecundang   Bab 150

    “Drian… gue butuh bantuan lo.” Suara Radit serak, seutas tali yang nyaris putus oleh beban yang tak terlihat. Di seberangnya, Luna menggenggam cangkir tehnya yang mendingin, jemarinya memutih, matanya terpaku pada suaminya. “Ini bukan soal kompetisi. Bukan soal resep. Ini soal… logika. Soal sebuah sistem.”Di ujung telepon, keheningan sejenak. Radit bisa membayangkan Adrian di apartemennya yang minimalis, mungkin sedang menyesap segelas anggur mahal, keningnya berkerut dalam analisis dingin. “Sistem?” ulang Adrian, nadanya tajam, memotong semua basa-basi. “Sistem yang sama yang membuat nasi gorengmu dulu terasa seperti dicuri dari surga?”“Ya,” desis Radit. “Dan sekarang… sistem itu mencoba menginstal dirinya pada Maya.”Hening lagi, kali ini lebih lama. Radit bisa mendengar desah napas Adrian yang teratur, suara otaknya yang berputar. Ini adalah pertaruhan terakhirnya. Adrian adalah satu-satunya orang di dunia yang pernah mencoba memahami kekuatannya dari sudut pandang teknis, bukan

  • Resep Rahasia Sang Pecundang   Bab 149

    Presisi adalah kunci. Dunia yang tadinya hangat dan riuh oleh canda tawa seketika membeku. Kata-kata itu, diucapkan dengan kejernihan teknis yang mengerikan dari bibir seorang anak berusia lima tahun, adalah sebuah jangkar yang dilempar dari masa lalu kelam Radit, menyeretnya kembali ke kedalaman teror yang ia kira telah ia tinggalkan selamanya. Spatula di tangan Radit terasa sedingin es. Gelak tawa para pelanggan yang tersisa lenyap, digantikan oleh keheningan yang canggung dan penuh tanda tanya. Pak Tarno, yang tadi bertanya, hanya bisa mengerjap-ngerjapkan matanya. “Presisi?” ulangnya dengan bingung, menatap Maya yang masih asyik mewarnai seolah baru saja mengomentari cuaca. “Anak pinter, ya, Kang. Istilahnya sudah kayak chef di tipi.” Radit merasakan tatapan Luna menusuk punggungnya, tajam dan waspada. Ia harus bergerak. Sekarang. Kepanikan adalah api yang akan membakar mereka semua. Dengan sisa-sisa kekuatan yang ia miliki, Radit memaksakan sebuah tawa, suara serak yang terd

  • Resep Rahasia Sang Pecundang   Bab 148

    Ping![Resep ‘Nasi Goreng Imut’ telah dipelajari. Potensi Baru Ditemukan. Memulai Pemasangan Sistem Citarasa Ilahi versi 2.0 pada host yang kompatibel…]Gema itu, suara dingin tanpa nyawa yang telah menjadi hantu di masa lalunya, kembali bergema di dalam tengkorak Radit. Bukan sebagai kenangan, melainkan sebagai kehadiran aktif yang menusuk dan nyata. ‘Nasi Golem Imut’ di lidahnya yang tadinya hanya terasa seperti kekacauan cinta seorang anak, kini berubah menjadi abu. Seluruh semesta Radit, yang tadinya seluas dapur rumah yang hangat, kini menyusut menjadi satu titik teror yang membekukan: mata putrinya.Cahaya biru yang redup itu kembali berkedip sesaat di dalam iris hitam Maya, begitu cepat hingga bisa disalahartikan sebagai pantulan lampu. Namun, Radit tahu. Ia pernah hidup dengan cahaya itu, bertarung dengannya, dan akhirnya berdamai dengannya. Itu adalah cahaya dari penjara tanpa jeruji, dari anugerah yang sekaligus kutukan.“Ayah? Kok diem?” Suara Maya yang cempreng menariknya

  • Resep Rahasia Sang Pecundang   Bab 147

    Hiduplah selamanya dalam dunia yang hambar dan tanpa aroma.Kalimat itu bukan lagi sekadar ancaman; ia adalah sebuah semesta yang runtuh. Bagi Radit, dunia tanpa rasa adalah neraka yang paling personal, sebuah penjara yang dindingnya terbuat dari ketiadaan. Semua perjuangannya, semua kemenangannya, semua penemuannya—semuanya bermuara pada satu titik: indra perasa. Dan kini, sang penagih utang purba datang untuk merenggutnya, bukan sebagai hukuman, melainkan sebagai pembayaran lunas atas warisan yang telah ia selamatkan.Keheningan malam dipecah oleh suara serangga malam dan desau angin yang membawa bau sampah dari ujung jalan. Namun, di dalam lingkaran tak kasatmata di sekeliling warung tenda itu, hanya ada keheningan yang memekakkan. Radit menatap pria tua itu, sang penjaga perjanjian, yang duduk dengan punggung lurus, wajah keriputnya setenang batu kali yang telah diamplas oleh aliran sungai selama ribuan tahun.“Jadi… ini akhirnya,” bisik Radit, bukan pada pria itu, melainkan pada

  • Resep Rahasia Sang Pecundang   Bab 146

    Pria itu mencondongkan tubuhnya lebih dekat, aroma ozon dan listrik statis yang samar menguar darinya. Ia berbisik tepat di telinga Radit, kata-katanya setajam pecahan kaca.“Kelaparan Purba adalah bug yang berhasil kami karantina. Sekarang, saatnya mengambil kembali properti kami. Sudah waktunya… untuk mencabut pemasangan Sistem dari hardware aslinya.”Dunia Radit tidak meledak. Ia tidak runtuh. Ia hanya berhenti. Suara tepuk tangan yang menggema di Istana Negara terasa datang dari balik lapisan kaca tebal, teredam dan tidak nyata. Lencana emas di dadanya yang tadinya terasa berat kini tak terasa sama sekali. Seluruh perjalanannya—kegagalan, kebangkitan, pertarungan melawan dukun, persembahan pada Ratu Laut Selatan, hingga kemenangan melawan korporasi global—semua itu tereduksi menjadi satu kata yang dingin dan kejam: uji coba.Ia bukan pahlawan. Ia bukan pewaris. Ia hanyalah hardware. Sebuah prosesor organik yang dipinjam untuk menjalankan sebuah program.“Siapa… kalian?” bisik Radi

  • Resep Rahasia Sang Pecundang   Bab 145

    “Kenal sekali,” katanya dengan suara yang tiba-tiba kehilangan keramahannya, berganti menjadi sesuatu yang lebih dalam dan menagih. “Kakekmu itu… dia masih punya utang satu persembahan padaku.”Dunia Radit yang baru saja terasa lapang dan ringan kembali menyusut, terkompresi oleh satu kalimat itu. Angin sore yang tadinya sejuk kini terasa membawa hawa dingin dari liang lahad. Pria tua di hadapannya bukan lagi sekadar penjaga makam. Posturnya yang sedikit membungkuk kini terasa tegak, capingnya membayangi wajah yang dipenuhi keriput-keriput kuno, seolah setiap garisnya adalah peta dari zaman yang telah lama terlupakan.“Utang… persembahan apa?” tanya Radit, suaranya keluar lebih sebagai desisan. Ia tanpa sadar mengambil setengah langkah mundur, tangannya siap meraih apa pun yang bisa dijadikan senjata, meski ia tahu itu sia-sia.Pria tua itu tidak menjawab. Ia hanya menatap Radit, matanya yang kelam seperti sumur tanpa dasar, memindai sesuatu di dalam diri Radit yang tak kasatmata. “Su

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status