“Sudah, jangan ribut. Mbak Delima melakukan itu juga karena terpaksa. Karena dia takut kehilangan Ayah. Jadi, sebaiknya masalah ini diselesaikan dengan kepala dingin, jangan pakai emosi,” timpal Lala dengan intonasi sangat lembut.
“Dia bukan takut kehilangan Ayah, tapi takut kehilangan harta Ayah!”“Pa, Mama mohon. Jangan usir Mama dari sini. Maafkan Mama. Mama khilaf, dan Mama janji tidak akan melakukannya lagi. Mama juga akan mengembalikan uang Lala yang sudah Mama ambil, tapi dengan cara dicicil. Soalnya sudah buat beli mobil untuk Ibu dan buat beli berlian. Aku minta maaf, Pa. Ampun. Jangan usir Mama.” Mbak Delima mencekal kaki Ayah sambil menangis tersedu.“Oke, Papa mau kasih kamu kesempatan sekali lagi, tapi, jatah bulanan kamu Papa kurangi separo. Anggap saja itu hukuman dari Papa, karena kesalahan yang sudah kamu perbuat. Papa benar-benar nggak nyangka kamu bisa sejahat itu sama Papa dan anak aku. Padahal, selama ini Papa tidak pernah pilih“Perut sialan. Kenapa sakit banget begini sih? Bayi kurang ajar, kenapa kamu nggak mati saja!” umpatku kesal, seraya memukuli perut yang terasa sakit. Sudah mulas dari dua hari yang lalu, tetapi anak ini tidak juga keluar. Bikin semua terasa nyeri dan tidak nyaman saja. Argh! Menjerit histeris, meremas-remas perut yang kian terasa nyeri juga mendorongnya agar si bayi lekas lahir. “Sepertinya harus dirujuk ke rumah sakit dan menjalani operasi caesar, Bu. Soalnya bayinya sungsang!” Ucapan bidan kembali terngiang di telinga, membuat diri ini kian frustrasi dibuatnya. Boro-boro buat operasi caesar. Buat makan saja Senin Kamis. Jual diri juga tidak laku karena wajah terlihat jelek dan perut gendut. Paling banter dapet tamu dari kelas teri, yang bayarannya pake duit recehan, bau apek lagi badannya. Mas Arya juga. Pake dipenjara segala, padahal aku sedang mengandung. Bodoh banget memang itu laki-laki. Hanya menabrak orang sa
Samar-samar terdengar suara panik beberapa orang, akan tetapi aku tidak bisa meminta bantuan kepada siapa pun, karena suaraku tercekat di kerongkongan. Tidak bisa mengucapakan kata, karena semakin lama semakin terasa kehabisan napas.Membuka mata perlahan, lalu menutupnya kembali mengadaptasi cahaya yang menyilaukan. Aku menoleh ke kanan dan ke kiri, merasa nyeri di perut bagian bawah dan tidak bisa menggerakkan sebagian anggota tubuh. Perut juga sudah terlihat mengempis, tidak sebesar tadi saat sebelum aku jatuh dan terbentur. Apa aku sudah melahirkan?Pintu kamar rawat inapku terbuka perlahan. Seorang perawat datang dengan buku catatan pasien di tangan, mengulas senyum tipis kepadaku lalu mengecek infus yang menggantung di tiang penyangga.“Suster, kenapa saya tidak bisa menggerakkan tubuh bagian bawah saya?” tanyaku penasaran, karena kedua kaki terasa sudah mati rasa.“Mungkin efek anestesi, Bu. Ibu kan habis menjalank
Buk!Aku meringis kesakitan ketika sebuah bola sepak tidak sengaja mengenai kepala. Seorang anak laki-laki berusia sekitar tiga belas tahunan berjalan setengah berlari ke arahku, mengambil bola tersebut sambil berkali-kali mengucap kata maaf.“Aku nggak sengaja, Pak. Tadi nendangnya terlalu kenceng!” ucapnya penuh dengan penyesalan.“Iya, gak apa-apa. Ngomong-ngomong, siapa nama kamu?” tanyaku seraya mengusap lembut rambut bocah berseragam SMP itu, merasa kagum dengan sikapnya yang santun juga mau mengakui kesalahan. Pasti dia terlahir dari keluarga paham agama, sebab dari cara dia berbicara juga sikapnya, menunjukkan betapa suksesnya sang orang tua mendidik anak tersebut.“Nama aku Azam, Pak!” Dia mengulas senyum tipis, menunjukkan kedua ceruk di pipinya, menambah kesan tampan di wajah bocah itu.“Azam. Nama yang bagus.”“Terima kasih. Nama Bapak sendiri siapa?”“Arya.”“Sekali lagi aku minta ma
[La, tolong transfer uang lima puluh juta ke nomor rekening Mas sekarang ya.]Aku mengernyitkan dahi membaca pesan singkat dari suami. Untuk apa dia meminta uang dalam jumlah banyak seperti itu?[Untuk apa, Mas?] Send, Mas Arya.[Aku butuh banget. Ibu sakit.][Sakit apa, Mas? Aku ke Jakarta nyusul kamu aja ya? Sekalian pengen liat Ibu.][Nggak usah, La. Kamu juga ‘kan keadaannya sedang kurang sehat. Di rumah saja, nanti uangnya tolong ditransfer. Jangan pake lama, soalnya butuh banget.][Oke.]Aku menatap layar gawai, ada sedikit rasa khawatir karena setahuku Ibu memang memiliki riwayat penyakit gula, dan bisa kambuh kapan saja.Tapi, kok tumben sekali suami meminta uang sebanyak ini kepadaku? Biasanya semua masalah akan dia tangani sendiri dan tidak pernah melibatkan diriku sama sekali. Apa mungkin Mas Arya sedang sangat kesulitan di Jakarta?“Ada apa, Nok?” Aku terkesiap ketika tiba-tiba seseorang mengusap lembut bahuku. Dia adalah Bi Sarni—orang yang membantu merawatku sejak kecil
POV Arya."Mas, liat story-nya Nirmala. Di memosting foto pernikahan Mas Arya sama Mbak Siska!" bisik Irni adikku, membuat mata ini membulat tidak percaya.Dengan tangan gemetar mengambil ponsel dari saku celana, mengecek kebenaran ucapan Irni dan ternyata Nirmala benar-benar mengunggah foto pernikahanku dengan istri baruku.Duh, bisa gawat kalau begini. Mana dia belum transfer uang yang aku minta lagi. "Mas, kamu mau ke mana?" tanya Siska ketika melihat diri ini turun dari pelaminan."E--enggak, Dek. Mas cuma mau liat temen. Tadi katanya dia sudah sampai di depan gang!" dustaku, sebab tidak mau Siska sampai tahu kalau aku sebenarnya sudah punya pendamping hidup."Oh, ya sudah!" Dia tersenyum manis kepadaku.Aku pun segera berlari ke arah parkiran, mencari keberadaan istri ingin memberi penjelasan kepadanya. Kosong. Tidak ada mobil Nirmala di sana.Ya Tuhan...Pasti dia marah sekali dan kecewa karena pengkhianatan ini.Habis mau bagaimana lagi? Aku malu punya istri cacat seperti dia.
“Bagaimana, Mas Arya? Bisa ditransfer hari ini, apa mau bayar kes?” tanya Mbak Naomi sang wedding organizer sambil tersenyum ramah.Lagi, aku menggaruk kepala yang tidak gatal. Bingung mau menjawab apa, sebab di anjungan tunai mandiri hanya ada saldo tiga ratus ribu saja, ditambah tadi lima puluh ribu dari Nirmala.Ah, sial! Kenapa harus mendapatkan masalah sesulit ini sih?“Emm...Mbak, maaf. Bisa nggak saya minta tenggang waktu tiga atau empat hari. Soalnya kartu ATM saya rusak dan mobile banking saya lagi bermasalah.” Mencoba mencari alasan yang sedikit masuk akal, siapa tahu Mbak Naomi mengerti.“Ya sudah. Tapi beneran ya, Mas. Soalnya saya juga butuh uang untuk membayar orang-orang yang membantu saya mengurus acara pernikahan Mas kemarin. Saya nggak enak karena biasanya sehari setelah resepsi mereka sudah bayar, tapi ini malah belum dapet bayaran dari Mas Arya. Padahal kemarin mereka sudah pada semangat banget karena di sini Mas Arya terkenal orang paling kaya. Ternyata...!” Mbak
Mendadak dadaku bergemuruh tidak karuan membayangkan jika ternyata Nirmala tidak ada. Bisa mati aku. Duh! Lala. Kamu ke mana sih? Merogoh saku celana, mengambil ponsel mencoba menghubungi nomor istri, tetapi tidak aktif. Ya salam... Kepanikan mulai kurasakan ketika sudah hampir setengah jam menekan bel tapi tidak kunjung ada yang membukakan pintu. Jantung ini semakin mengentak kuat, seperti ingin lepas dan terhempas dari raga. Aku menguyar rambut frustrasi. Stres, khawatir, takut malu, itu yang sedang kurasakan saat ini. Sekali lagi menekan bel rumah, berharap Nirmala keluar sambil menerbitkan senyuman lalu mengajakku masuk kemudian memberikan uang setelah kupuaskan. Hening. Hanya angin yang menyapa, membelai kulit seolah sedang menertawakan diriku. S*al! Argh!!! Bisa gila mendadak aku kalau begini. “Cari siapa, Mas? Mbak Lala ya?” tanya seorang tetangga yang kebetulan lewat di depan rumah. “Iya, Bu. Tapi dari tadi nggak ada yang bukain pintu. Kira-kira pada ke mana ya pen
Apa aku gadaikan sertifikat rumah saja ya?“Bagaimana, Ar?”“Kalau sertifikat rumah ibuku kira-kira bisa buat pinjam berapa duit, Jo?”“Jangan terlalu bernafsu, Ar. Pinjam secukupnya, takut nanti tidak bisa bayar nyaho, lo!”“Halah...! ‘Kan kamu tau sendiri gaji aku itu gede. Pasti bisalah bayar angsuran doang mah! Yang penting angsurannya jangan terlalu besar!”“Ya sudah. Aku hubungi temen dulu, nanti kalo udah deal, aku langsung kabari kamu. Gimana?”“Aku butuh cepet, Jo. Kalo bisa besok ato lusa!”“Kamu itu hidup susah dibikin sendiri. Udah enak-enakkan hidup sama Nirmala, malah bertingkah. Padahal apa sih kurangnya dia. Cacat juga kamu sendiri yang bikin!” Dia menggeleng kepala.“Jangan sampai rahasia aku bocor, Jo. Masalah ini juga. Apalagi kalau Siska istri baruku tau tentang statusku. Bisa ditinggalin aku sama dia!”“Aku nggak mau ikut campur urusan lain, Ar.”“Ya sudah. Aku pamit balik. Jangan lupa kabari segera. Nggak pake lama, jangan sampai aku dipermalukan!”Jojo hanya dia