Share

Bab 134. Menyusui

Author: Rina Novita
last update Huling Na-update: 2025-12-13 15:27:04
POV GALANG

Aku duduk di kursi yang sejak tadi tidak kutinggalkan. Tanganku masih menggenggam tangan Vania. Dingin, tapi tidak selemah sebelumnya. Itu saja sudah cukup membuatku bertahan di sini tanpa bergerak.

Detik demi detik berlalu pelan. Napas Vania terdengar teratur, meski wajahnya masih pucat dan matanya tertutup rapat.

Sejak tadi jantungku tidak pernah benar-benar tenang. Degupnya cepat, seperti terus mengingatkanku bahwa aku hampir kehilangan dia.

Tiba-tiba … jemarinya bergerak.

Aku refleks mencondongkan tubuh.

“Nia?” panggilku pelan.

Kelopak matanya bergetar. Sekali. Dua kali. Lalu terbuka perlahan.

Aku menghembuskan napas panjang yang sejak tadi seperti tertahan di dadaku.

“Nia … kamu dengar aku?” Suaraku terdengar serak.

Matanya bergerak seperti mencari sesuatu. Pandangannya berhenti tepat di wajahku.

“Mas … Galang?” ucapnya lirih.

Aku mengangguk cepat. Senyumku muncul tanpa bisa kutahan. “Iya. Aku di sini.”

Dia tampak bingung beberapa detik. Lalu d
Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App
Locked Chapter
Mga Comments (2)
goodnovel comment avatar
Rina Novita
makasih Kak Tari
goodnovel comment avatar
Tari Emawan
lanjut kak
Tignan lahat ng Komento

Pinakabagong kabanata

  • Ketika Suamiku Tak Lagi Mampu   Bab 147. Tidak Mirip?

    POV VANIA“Mbak Van, ada yang nyari. Katanya perawat bayi.”Suara Rini terdengar dari balik pintu kamarku. Hari masih sangat pagi, cahaya matahari baru menyelinap dari sela tirai, sementara dari arah dapur restoran terdengar hiruk-pikuk para koki yang sudah mulai bekerja. Aroma bawang putih dan kaldu tipis-tipis tercium sampai ke paviliun tempat aku dan Ankala beristirahat.“Langsung diajak masuk aja, Rin,” jawabku sambil merapatkan selimut Ankala yang masih terlelap di dadaku.Rini mengangguk dan bergegas pergi. Tak lama kemudian, seorang perempuan berusia sekitar empat puluhan berdiri di ambang pintu. Wajahnya ramah, senyumnya menenangkan.“Selamat pagi, Bu Vania. Saya Lani. Saya yang akan merawat Baby Ankala.”Aku refleks menaikkan alis. Ankala. Ia menyebut nama itu tanpa ragu.Dadaku menghangat tanpa alasan yang jelas.Pasti Mas Galang yang bilang, batinku.“Silakan masuk, Mbak Lani,” kataku sambil tersenyum. “Terus terang, saya masih harus banyak belajar. Ini anak pertama saya.”

  • Ketika Suamiku Tak Lagi Mampu   Bab 146. Kebenaran mulai terungkap

    POV GALANG “Jadi … anak yang dikandung Ratna itu anak siapa sebenarnya?” Pertanyaan ibu membuatku terdiam. Aku sudsh menduga ibu akan menanyakan hal ini. Tetapi aku tidak pernah menyangka ibu akan tau kebenarannya secepat ini. Tanganku menggenggam setir lebih erat, sampai buku-buku jariku memutih. Mobil masih melaju membelah jalan yang masih macet. Aku menelan ludah. Dadaku naik turun, berusaha menahan gelombang emosi yang sejak tadi kuahan. Haruskah aku mengatakan semuanya sekarang?Haruskah aku menghancurkan sisa harapan ibu dalam satu kalimat? “Ibu …” panggilku pelan, tapi suaraku terdengar serak. Ibu menoleh ke arahku. Tatapannya tidak lagi marah seperti di kafe tadi. Tapi aku tau ada luka di sana. Ibu yang selama ini percaya penuh pada Ratna, kini tiba-tiba saja menerima kebohongan yang sangat menyakitkan. Ibu kembali menatapku tajam “Jawab ibu, Lang,” katanya lirih. “Ibu punya hak untuk tahu.” Aku menghela napas panjang. Dalam kepalaku berputar semua yang dilakukan Rat

  • Ketika Suamiku Tak Lagi Mampu   Bab 145. Anak Siapa?

    POV GALANG“Siapa laki-laki yang bersama Ratna itu?” Suara ibu bergetar. Tatapannya terpaku ke arah luar kafe, netranya tampak berembun, seperti tak percaya dengan apa yang baru saja dilihatnya sendiri.Aku menelan ludah. Tenggorokanku terasa kering.“Kenapa kamu diam saja, Lang?” Suara ibu meninggi, nada marah bercampur kecewa. “Kenapa kamu nggak hajar laki-laki itu?”Nada suaranya membuat beberapa pengunjung lain melirik ke arah kami. Tapi ibu tidak peduli. Aku pun tidak peduli. Pandanganku masih tertuju pada sosok Ratna yang tampak jelas dari dinding kaca ini. Ratna yang duduk terlalu dekat dengan pria muda itu, lengannya sempat dirangkul dengan begitu akrab. Mereka tampak sangat santai, tanpa rasa bersalah.Ratna sangat berbeda dengan Ratna yang lemah lembut, yang selalu ia perlihatkan di depan ibuku selama ini.“Galang!” panggil ibu lebih keras.Aku menarik napas panjang. Dadaku terasa perih, seperti diremas dari dalam. Perlahan aku menoleh, lalu berjongkok di depan kursi roda ib

  • Ketika Suamiku Tak Lagi Mampu   Bab 144. Kejutan di cafe

    POV GALANGPerjalanan menuju rumah ibu memakan waktu hampir tiga jam. Jalan tol cipularang lebih lengang dari biasanya. Sepanjang jalan pikiranku tak lepas dari wajah Ankala dan Vania. Aku harus segera mengungkap kebenarannya.Begitu mobil berhenti di halaman rumah ibu, aku menarik napas panjang sebelum turun. Rumah ini sangat sepi. Kasian ibu. Seharusnya sejak dulu ibu ikut denganku tinggal di Jakarta. Tapi, ibu malah ingin menghabiskan sisa usianya dengan sepi di rumah ini.Aku membuka pintu dan belum sempat mengetuk, ibu sudah muncul di ambang pintu dengan tongkat di tangannya.“Masuklah,” katanya sambil tersenyum hangat. “Mana Ratna? Kenapa sekarang dia jarang ke sini? Apa kehamilannya sulit?”Dadaku sesak mendengar pertanyaan ibu. Aku memaksakan senyum.“Ratna baik-baik saja, Bu,” jawabku. “Oh iya, ibu mau ketemu Ratna, kan?” Aku masuk ke ruang tamu mengikuti ibu.Ibu mengangguk pelan. “Ibu mau pastikan cucu ibu baik-baik saja di perut Ratna.”Aku menarik kursi dan duduk di had

  • Ketika Suamiku Tak Lagi Mampu   Bab 143. Nama yang Indah

    Aku melajukan mobil menuju restoran milik Vania. Sejak tadi dadaku selalu berdebar setiap memandang bayi itu. Sekarang aku harus menyusul Vania ke sana. Aku tau, Vania tidak akan kembali ke rumah Bimo. Setelah semua yang terjadi, setelah ia diperlakukan tidak adil oleh Bimo dan ibunya, kini dia akan berdiri sendiri.Begitu memasuki area parkir, mataku langsung menangkap mobil Adrian yang sudah terparkir di halaman restoran. Jantungku berdegup lebih cepat. Firasatku mengatakan ada sesuatu yang tidak beres. Dan benar saja, dari balik kaca restoran, aku melihat beberapa orang berdiri dengan gestur tegang. Suasana di dalam jelas tidak sedang baik-baik saja.Aku buru-buru turun dan melangkah masuk.“Ada apa ini?” tanyaku lantang begitu pintu terbuka.Semua mata langsung tertuju padaku. Pandanganku menyapu ruangan dan berhenti pada ... Vania. Ia berdiri sambil menggendong bayinya, wajahnya pucat, tubuhnya terlihat masih lemah. Di hadapannya, Bimo berdiri dengan wajah merah padam, urat leher

  • Ketika Suamiku Tak Lagi Mampu   Bab 142. Nama yang Bagus

    POV GALANG“Vania sudah melahirkan. Sudah waktunya semua harus aku bongkar.”Pagi-pagi sekali aku sudah rapi. Beberapa potong pakaian kumasukkan ke dalam ransel. Baru saja aku mengancingkan ritsleting tas, Ratna mendekat.“Kamu mau ke mana, Mas?” tanyanya.Aku menjawab tanpa menoleh. “Ke Bandung. Jemput ibu.”Langkah Ratna terhenti. Aku bisa merasakan keterkejutannya meski tak melihat wajahnya.“A-apa?” Suaranya terdengar kaku. “Ibu mau menginap di sini?”Aku akhirnya menoleh dan menatapnya tajam. “Iya. Kenapa? Kamu keberatan?”Ratna langsung menggeleng cepat. Wajahnya yang sempat tegang mendadak berubah. Senyum ia paksakan terbit di bibirnya.“Ah, ya nggak dong, Mas. Aku malah senang kalau ibu bisa nginap beberapa hari di sini.”“Beberapa hari?” Aku mengulang pelan. “Ratna, aku mau ajak ibu tinggal di sini. Kasihan ibu sendirian di sana.”Ratna kembali terkejut. Reaksinya refleks, terlalu cepat untuk ditutupi.“Apa?” katanya spontan. “Tinggal di sini?” Suaranya meninggi.“Iya,” jawa

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status