LOGINPOV GALANG“Siapa laki-laki yang bersama Ratna itu?” Suara ibu bergetar. Tatapannya terpaku ke arah luar kafe, netranya tampak berembun, seperti tak percaya dengan apa yang baru saja dilihatnya sendiri.Aku menelan ludah. Tenggorokanku terasa kering.“Kenapa kamu diam saja, Lang?” Suara ibu meninggi, nada marah bercampur kecewa. “Kenapa kamu nggak hajar laki-laki itu?”Nada suaranya membuat beberapa pengunjung lain melirik ke arah kami. Tapi ibu tidak peduli. Aku pun tidak peduli. Pandanganku masih tertuju pada sosok Ratna yang tampak jelas dari dinding kaca ini. Ratna yang duduk terlalu dekat dengan pria muda itu, lengannya sempat dirangkul dengan begitu akrab. Mereka tampak sangat santai, tanpa rasa bersalah.Ratna sangat berbeda dengan Ratna yang lemah lembut, yang selalu ia perlihatkan di depan ibuku selama ini.“Galang!” panggil ibu lebih keras.Aku menarik napas panjang. Dadaku terasa perih, seperti diremas dari dalam. Perlahan aku menoleh, lalu berjongkok di depan kursi roda ib
POV GALANGPerjalanan menuju rumah ibu memakan waktu hampir tiga jam. Jalan tol cipularang lebih lengang dari biasanya. Sepanjang jalan pikiranku tak lepas dari wajah Ankala dan Vania. Aku harus segera mengungkap kebenarannya.Begitu mobil berhenti di halaman rumah ibu, aku menarik napas panjang sebelum turun. Rumah ini sangat sepi. Kasian ibu. Seharusnya sejak dulu ibu ikut denganku tinggal di Jakarta. Tapi, ibu malah ingin menghabiskan sisa usianya dengan sepi di rumah ini.Aku membuka pintu dan belum sempat mengetuk, ibu sudah muncul di ambang pintu dengan tongkat di tangannya.“Masuklah,” katanya sambil tersenyum hangat. “Mana Ratna? Kenapa sekarang dia jarang ke sini? Apa kehamilannya sulit?”Dadaku sesak mendengar pertanyaan ibu. Aku memaksakan senyum.“Ratna baik-baik saja, Bu,” jawabku. “Oh iya, ibu mau ketemu Ratna, kan?” Aku masuk ke ruang tamu mengikuti ibu.Ibu mengangguk pelan. “Ibu mau pastikan cucu ibu baik-baik saja di perut Ratna.”Aku menarik kursi dan duduk di had
Aku melajukan mobil menuju restoran milik Vania. Sejak tadi dadaku selalu berdebar setiap memandang bayi itu. Sekarang aku harus menyusul Vania ke sana. Aku tau, Vania tidak akan kembali ke rumah Bimo. Setelah semua yang terjadi, setelah ia diperlakukan tidak adil oleh Bimo dan ibunya, kini dia akan berdiri sendiri.Begitu memasuki area parkir, mataku langsung menangkap mobil Adrian yang sudah terparkir di halaman restoran. Jantungku berdegup lebih cepat. Firasatku mengatakan ada sesuatu yang tidak beres. Dan benar saja, dari balik kaca restoran, aku melihat beberapa orang berdiri dengan gestur tegang. Suasana di dalam jelas tidak sedang baik-baik saja.Aku buru-buru turun dan melangkah masuk.“Ada apa ini?” tanyaku lantang begitu pintu terbuka.Semua mata langsung tertuju padaku. Pandanganku menyapu ruangan dan berhenti pada ... Vania. Ia berdiri sambil menggendong bayinya, wajahnya pucat, tubuhnya terlihat masih lemah. Di hadapannya, Bimo berdiri dengan wajah merah padam, urat leher
POV GALANG“Vania sudah melahirkan. Sudah waktunya semua harus aku bongkar.”Pagi-pagi sekali aku sudah rapi. Beberapa potong pakaian kumasukkan ke dalam ransel. Baru saja aku mengancingkan ritsleting tas, Ratna mendekat.“Kamu mau ke mana, Mas?” tanyanya.Aku menjawab tanpa menoleh. “Ke Bandung. Jemput ibu.”Langkah Ratna terhenti. Aku bisa merasakan keterkejutannya meski tak melihat wajahnya.“A-apa?” Suaranya terdengar kaku. “Ibu mau menginap di sini?”Aku akhirnya menoleh dan menatapnya tajam. “Iya. Kenapa? Kamu keberatan?”Ratna langsung menggeleng cepat. Wajahnya yang sempat tegang mendadak berubah. Senyum ia paksakan terbit di bibirnya.“Ah, ya nggak dong, Mas. Aku malah senang kalau ibu bisa nginap beberapa hari di sini.”“Beberapa hari?” Aku mengulang pelan. “Ratna, aku mau ajak ibu tinggal di sini. Kasihan ibu sendirian di sana.”Ratna kembali terkejut. Reaksinya refleks, terlalu cepat untuk ditutupi.“Apa?” katanya spontan. “Tinggal di sini?” Suaranya meninggi.“Iya,” jawa
POV RATNA“Brengsek kamu, Desta!”Suaraku melengking, nyaris pecah. Mataku seakan mau copot melihat pemandangan di depan sana. Seorang wanita muda, cantik, kulitnya mulus, tubuhnya masih setengah tertutup sprei, berada tepat di bawah tubuh Desta. Rambutnya terurai berantakan, wajahnya pucat, jelas sama terkejutnya denganku.Dadaku sesak. Panas. Amarah dan rasa malu bercampur jadi satu.Entah siapa perempuan itu. Pacarnya? Atau … hanya perempuan yang dibawanya setelah aku pergi?“Mbak Ratna?” Desta langsung melompat bangkit. Gerakannya tergesa, hampir jatuh dari ranjang. Spontan ia meraih celananya, menutupi tubuhnya yang setengah telanjang. Wajahnya pucat, matanya membelalak.Aku berdiri kaku . Seluruh tubuhku gemetar. Tapi di detik yang sama, aku langsung tersadar.Aku tidak berhak marah.Aku dan Desta tidak punya ikatan apa-apa.Tidak ada janji di antara kami. Tidak ada status yang bisa dijelaskan.Namun, jauh di dalam dadaku … ada rasa perih yang tak bisa kupungkiri. Cemburu. Menya
POV RATNA“Desta, stop! Ngapain, sih?”Aku spontan mendorong bahunya menjauh. Jantungku berdegup keras. Entah kenapa tindakannya mencium perutku tadi membuatku tersentak. Ada rasa aneh yang merambat di dadaku, seperti ketakutan yang tak bisa kujelaskan.Desta tidak marah. Sama sekali tidak. Ia justru tersenyum. Raut wajahnya yang tenang malah membuatku semakin kesal.“Kenapa?” tanyanya ringan.Ia lalu menarik tanganku pelan, membimbingku ke atas ranjang, perlahan dan sangat lembut. Seakan aku ini adalah barang berharga yang tidak boleh tergores sedikitpun.“Sini, Mbak,” katanya pelan. “Aku ada ide.”Aku ragu. Tapi entah kenapa kakiku tetap mengikutinya. Mungkin karena tubuhku masih lelah. Mungkin karena pikiranku terlalu penuh. Atau mungkin karena aku benar-benar merindukan rasa nyaman yang sejak lama tak kudapatkan.Desta duduk lebih dulu, lalu menarikku ke dalam pelukannya. Tubuhku bersandar di dadanya. Kepalaku pas di antara bahu dan lehernya. Hangat. Sangat nyaman.Dan yang palin







