LOGINPOV VANIASuara tawa itu masih terdengar ramai di telingaku ketika tiba-tiba saja terdengar sebuah bentakan.“Apa maksud lo ngomong kayak gitu, hah?!”Aku menoleh cepat. Bimo mendadak bangkit dari duduknya. Wajahnya merah padam, matanya menyala penuh amarah. Sebelum siapa pun sempat bereaksi, tangannya sudah mencengkeram leher salah satu temannya, orang yang tadi melontarkan kalimat tentang Galang dengan nada bercanda.“Bim! Bim, santai!” beberapa temannya berteriak panik.Namun Bimo seperti tidak mendengar. Cengkeramannya makin kuat. Dan di saat yang sama, Ankala yang masih berada di dalam gendongan Bimo ... tiba-tiba menangis keras. Tangisnya pecah, membuat dadaku seakan diremas.“Mas!” seruku refleks.Aku langsung masuk ke dalam ruangan itu tanpa peduli tatapan orang-orang. Jantungku berdegup kencang, bukan karena takut pada keributan, tapi karena tangis Ankala yang terdengar seperti jeritan ketakutan.Aku mendekat dan langsung meraih Ankala dari tangan Bimo.“Maaf,” kataku tegas,
POV VANIA“Mbak Van, ada yang nyari. Katanya perawat bayi.”Suara Rini terdengar dari balik pintu kamarku. Hari masih sangat pagi, cahaya matahari baru menyelinap dari sela tirai, sementara dari arah dapur restoran terdengar hiruk-pikuk para koki yang sudah mulai bekerja. Aroma bawang putih dan kaldu tipis-tipis tercium sampai ke paviliun tempat aku dan Ankala beristirahat.“Langsung diajak masuk aja, Rin,” jawabku sambil merapatkan selimut Ankala yang masih terlelap di dadaku.Rini mengangguk dan bergegas pergi. Tak lama kemudian, seorang perempuan berusia sekitar empat puluhan berdiri di ambang pintu. Wajahnya ramah, senyumnya menenangkan.“Selamat pagi, Bu Vania. Saya Lani. Saya yang akan merawat Baby Ankala.”Aku refleks menaikkan alis. Ankala. Ia menyebut nama itu tanpa ragu.Dadaku menghangat tanpa alasan yang jelas.Pasti Mas Galang yang bilang, batinku.“Silakan masuk, Mbak Lani,” kataku sambil tersenyum. “Terus terang, saya masih harus banyak belajar. Ini anak pertama saya.”
POV GALANG “Jadi … anak yang dikandung Ratna itu anak siapa sebenarnya?” Pertanyaan ibu membuatku terdiam. Aku sudsh menduga ibu akan menanyakan hal ini. Tetapi aku tidak pernah menyangka ibu akan tau kebenarannya secepat ini. Tanganku menggenggam setir lebih erat, sampai buku-buku jariku memutih. Mobil masih melaju membelah jalan yang masih macet. Aku menelan ludah. Dadaku naik turun, berusaha menahan gelombang emosi yang sejak tadi kuahan. Haruskah aku mengatakan semuanya sekarang?Haruskah aku menghancurkan sisa harapan ibu dalam satu kalimat? “Ibu …” panggilku pelan, tapi suaraku terdengar serak. Ibu menoleh ke arahku. Tatapannya tidak lagi marah seperti di kafe tadi. Tapi aku tau ada luka di sana. Ibu yang selama ini percaya penuh pada Ratna, kini tiba-tiba saja menerima kebohongan yang sangat menyakitkan. Ibu kembali menatapku tajam “Jawab ibu, Lang,” katanya lirih. “Ibu punya hak untuk tahu.” Aku menghela napas panjang. Dalam kepalaku berputar semua yang dilakukan Rat
POV GALANG“Siapa laki-laki yang bersama Ratna itu?” Suara ibu bergetar. Tatapannya terpaku ke arah luar kafe, netranya tampak berembun, seperti tak percaya dengan apa yang baru saja dilihatnya sendiri.Aku menelan ludah. Tenggorokanku terasa kering.“Kenapa kamu diam saja, Lang?” Suara ibu meninggi, nada marah bercampur kecewa. “Kenapa kamu nggak hajar laki-laki itu?”Nada suaranya membuat beberapa pengunjung lain melirik ke arah kami. Tapi ibu tidak peduli. Aku pun tidak peduli. Pandanganku masih tertuju pada sosok Ratna yang tampak jelas dari dinding kaca ini. Ratna yang duduk terlalu dekat dengan pria muda itu, lengannya sempat dirangkul dengan begitu akrab. Mereka tampak sangat santai, tanpa rasa bersalah.Ratna sangat berbeda dengan Ratna yang lemah lembut, yang selalu ia perlihatkan di depan ibuku selama ini.“Galang!” panggil ibu lebih keras.Aku menarik napas panjang. Dadaku terasa perih, seperti diremas dari dalam. Perlahan aku menoleh, lalu berjongkok di depan kursi roda ib
POV GALANGPerjalanan menuju rumah ibu memakan waktu hampir tiga jam. Jalan tol cipularang lebih lengang dari biasanya. Sepanjang jalan pikiranku tak lepas dari wajah Ankala dan Vania. Aku harus segera mengungkap kebenarannya.Begitu mobil berhenti di halaman rumah ibu, aku menarik napas panjang sebelum turun. Rumah ini sangat sepi. Kasian ibu. Seharusnya sejak dulu ibu ikut denganku tinggal di Jakarta. Tapi, ibu malah ingin menghabiskan sisa usianya dengan sepi di rumah ini.Aku membuka pintu dan belum sempat mengetuk, ibu sudah muncul di ambang pintu dengan tongkat di tangannya.“Masuklah,” katanya sambil tersenyum hangat. “Mana Ratna? Kenapa sekarang dia jarang ke sini? Apa kehamilannya sulit?”Dadaku sesak mendengar pertanyaan ibu. Aku memaksakan senyum.“Ratna baik-baik saja, Bu,” jawabku. “Oh iya, ibu mau ketemu Ratna, kan?” Aku masuk ke ruang tamu mengikuti ibu.Ibu mengangguk pelan. “Ibu mau pastikan cucu ibu baik-baik saja di perut Ratna.”Aku menarik kursi dan duduk di had
Aku melajukan mobil menuju restoran milik Vania. Sejak tadi dadaku selalu berdebar setiap memandang bayi itu. Sekarang aku harus menyusul Vania ke sana. Aku tau, Vania tidak akan kembali ke rumah Bimo. Setelah semua yang terjadi, setelah ia diperlakukan tidak adil oleh Bimo dan ibunya, kini dia akan berdiri sendiri.Begitu memasuki area parkir, mataku langsung menangkap mobil Adrian yang sudah terparkir di halaman restoran. Jantungku berdegup lebih cepat. Firasatku mengatakan ada sesuatu yang tidak beres. Dan benar saja, dari balik kaca restoran, aku melihat beberapa orang berdiri dengan gestur tegang. Suasana di dalam jelas tidak sedang baik-baik saja.Aku buru-buru turun dan melangkah masuk.“Ada apa ini?” tanyaku lantang begitu pintu terbuka.Semua mata langsung tertuju padaku. Pandanganku menyapu ruangan dan berhenti pada ... Vania. Ia berdiri sambil menggendong bayinya, wajahnya pucat, tubuhnya terlihat masih lemah. Di hadapannya, Bimo berdiri dengan wajah merah padam, urat leher







