“Jangan bangun dulu!” bisik Wira. “Pasti suruhan Firman, sial!” umpatnya.
Mobil bak terbuka yang mereka tumpangi terus melesat dengan kecepatan sedang membelah jalanan yang dingin. Supir tidak tahu bahwa ada bahaya yang mengintai dua orang penumpangnya. Sementara tak ada yang bisa Wira lakukan selain menyelimuti Nadya dengan tubuhnya sendiri.
Kecepatan mobil menurun, suara riuh orang-orang mulai terdengar. Beberapa aroma tercium di indera penciuman. Jalan yang dilalui cukup membuat tubuh mereka berdua terguncang ke kanan dan kiri.
“Kayanya kita udah masuk pasar, alhamdulillah, sementara kita aman, Nad.” Wira bangkit. Ia perhatikan sekeliling, dan benar mobil bak terbuka ini sudah memasuki area pasar pagi.
Nadya bangkit seiring dengan mobil yang berhenti di muka sebuah bangunan besar dengan slot-slot pedagang di dalamnya. Wira segera melompat turun. Pemuda itu segera mengulurkan tangannya, sebuah bantuan lain yang ia sed
Tiba-tiba Nadya merasa kedinginan karena kata-kata Wira. Ya, dengan kemampuannya itu dia memang tahu. Tapi apakah pantas seorang gadis yang tengah mengutarakan perasaannya hanya dibalas dengan kata-kata sedingin itu? Nadya kecewa namun segera berhasil menanganinya, ia berpengalaman soal ini.“Bukan waktunya ngomongin itu, aku curiga sama orang di belakangmu ini,” ujar Wira lirih.“Belakangku? Ada apa?” tanya Nadya panik. Baru saja bus berangkat dan belum keluar dari kompleks terminal, sudah ada sesuatu yang mencurigakan.Percakapan mereka berhenti karena seorang penjual koran, cemilan dan air mineral menawarkan barang dagangan. Wira meraih uang lima ribu rupiah dan membeli koran itu.“Bang, airnya mau satu!” pinta Nadya sambil mengacungkan jarinya pada penjual air mineral.“Enggak, Bang, nggak jadi! Maaf, ya....” seru Wira sampil menyatukan telapak tangan. Wajah penjual air mineral itu tampak kecewa,
“Toloooong!” sayup-sayup terdengar teriakan perempuan yang amat Wira kenal suaranya. Sumber suara berasal dari balik pintu besar ini.Wira segera membuka pintu itu. Logam bergesekan dengan logam membuat suara derit yang cukup tajam. Sepanjang penglihatan Wira hanya semak belukar yang rimbun sampai ke pagar dinding bata merah. Tapi ada jalan lagi berbelok ke balik bangunan toilet umum ini.“Astaga, itu jilbab Nadya!”Wira cepat-cepat meraih kain dengan motif bunga yang terhampar di rerumputan. Firasat Wira benar-benar buruk kali ini. Tapi ia memutuskan untuk tidak bersuara atau memanggil Nadya. Pendengarannya tak salah, tadi ia mendengar suara minta tolong tak jauh dari sini.Wira melangkah menembus rumput setinggi mata yang di beberapa titik roboh. Tak salah lagi, rumput-rumput ini baru saja terinjak seseorang. Patahan daun dan batangnya masih segar. Pemuda itu mengikuti arah robohnya rerumputan itu. Di depan sana sekitar 50 meter
BUGH!Sebuah tinju menghantam telak perut pria itu. Ia melenguh, sebenarnya ingin berteriak namun rasa sakit itu membuat energinya habis untuk menahan rasa sakit. Cengkraman Wira di kausnya sudah terlepas. Pemuda itu membiarkannya tersungkur di lantai toilet umum.Nadya menggapit lengan Wira. Akan sangat bahaya bila emosi Wira tak terkendali di tempat ini. Tentu banyak yang mengenali pria ini. Entah itu preman atau orang yang menguasai wilayah terminal ini.“Wir, udah, mending pergi aja. Jangan cari masalah, kita bukan orang sini,” bujuk Nadya. Lengan Wira masih saja berkontraksi, efek dari telapaknya yang menggenggam kuat.“Dia juga bukan orang sini, dia orangnya Firman. Penjaga toilet yang asli dia beri uang agar dia dapat menjaga sesuka hati. Demi mencelakaimu,” sahut Wira masih dengan amarah.“Iya, Nadya paham. Tapi mungkin aja di sini masih ada orangnya Firman kan?” bujuk Nadya lagi. “Kita jangan sampa
“Nurut! Atau gue bongkar isi perut Lu!” bentak pria itu. Wira semakin terpojok saja. Memanfaatkan sedikit saja kesempatan rasanya tak akan cukup sekarang.Tiga orang terakhir muncul dari balik lorong kios pedagang buah. Lengkap sudah semua yang mengejar Wira. Napas pemuda itu masih saja tersengal. Momentum menegangkan sejak turun dari bus sampai jatuh tersungkur belum sepenuhnya mampu membuat jantungnya berdetak dengan normal.“Oh, ini bocah yang punya kekuatan super?” ledek seorang yang baru datang. “Gue jadi pengen tahu apa bisa kekuatan Lu itu ngalahin kami berenam?”“Buruan, kasih tahu dimana cewek itu!” bentak seorang dengan sebatang kayu di tangan.“Kalau gue nggak mau kasih tahu gimana?” lirih Wira dengan senyum kecut di ujung bibir.“Bangsat!”Pria itu mengayunkan kayu di tangannya dengan kuat, tepat mengenai rahang kiri Wira hingga menimbulkan suara yang cukup k
Wira segera menutup sambungan teleponnya. Padahal ia menggunakan nomor baru, bagaimana orang itu bisa tahu? Apa jangan-jangan terjadi sesuatu pada Mamak? Pikiran Wira berkecamuk. Ia masih berdiri memandang kosong bangunan dengan kubah besar berwarna hijau di hadapannya. Tangan kanannya masih menggenggam pergelangan tangan Nadya.“Wir, kenapa?” Nadya menjajari tubuh pemuda itu.“Orang itu, kenapa bisa tahu nomorku? padahal ini nomor baru. Aku takut terjadi sesuatu pada Mamak,” ujar Wira khawatir.Jemari Wira kini mengusap-usap layar gawainya. Lalu mendial nomor wanita tercintanya. Semalam ia sudah meminta tetangga sebelah yang juga ketua RT untuk menjaga Mamak selama ia pergi. Namun tetap saja ia tak tenang.“Halo, Mak? Mamak dimana? Nggak kenapa-kenapa kan?” kejar Wira.“Apa sih, Wir? Mamak lagi metis di rumah sama Bu RT. Kenapa?” Mamak balas bertanya dengan santainya.“Alhamdulillah ...
Dengan melumpuhkan sembilan orang yang mengejar membuat perjalanan Wira dan Nadya kali ini sedikit lebih tenang. Meski tak sampai satu setengah jam jarak tempuh, sudah cukup untuk mereka berdua memejamkan mata sekira lima belas menit.“Pasir Sakti, yo! Abis, abis!”Teriakan kondektur yang tak nyaman di telinga membangunkan Wira dan beberapa penumpang yang juga tertidur. Ditambah ketukan uang logam pada besi yang begitu nyaring. Wira menguap dan segera membuka matanya. Nadya di sebelahnya masih tertidur sambil meringkuk memeluk ransel. Dalam ruang sempit, postur 166 cm itu masih tampak nyaman.“Nad, udah sampe nih.” Wira mengguncangkan tubuh gadis itu.Nadya mengusap kedua kelopak matanya. Bangunan terminal dari seberang jendela bus ia lihat dengan haru. Tak ada perubahan berarti dari gedung ini sejak empat tahun lalu.“Alhamdulillah, sampe juga, Wir.” Nadya tersenyum. Ia setengah bangkit dan memberikan kode pada
Bibir gadis itu tak henti-hentinya mengurai senyum. Semua momentum masa lalu yang begitu indah ia lihat di benaknya kini. Berjalan kaki sejauh lima kilometer terasa begitu ringan untuknya. Beberapa wraga yang awalnya cuek, kini mulai mengenali Nadya.Wira berjalan mendapinginya. Tak banyak yang bisa pemuda itu lakukan. Ia sibuk mengabadikan kondisi jalan dan panorama indah bukit dan laut dengan gawainya. Seorang anak yang mengendarai sepeda BMX-nya segera berteriak setelah menyadari keberadaan Nadya di desanya.“Budeee! Mbak Nadya pulang ... bawa pacarnya!” teriaknya lantang.Kayuhan sepeda kecilnya serasa tak mau berhenti. Ia berbelok ke halaman rumah panggung dengan bentangan halaman belakang yang luas dibatasi oleh bibir pantai. Ia masih terus saja berteriak di bawah rumah. Wira dan Nadya saling pandang, keduanya mengurai senyum manis.Seorang wanita berjilbab instan dan bergamis hitam keluar dengan terburu. Ia mengatakan beberapa patah kat
“Assalamualaikum,” salam seorang laki-laki yang suara tak Nadya kenal. Tapi laki-laki itu masuk ke rumah dari belakang.“Wa’alaikumussalam,” balas Ibu dan Nadya bersamaan.“Bu itu tamu sia ... pa? Kak Nanad?” remaja itu berjingkat dan menghambur memeluk kakaknya. Empat tahun berlalu dan ia masih saja memanggil Nadya dengan Nanad.“Fik? Kok kamu udah lebih tinggi dari Kakak?” tanya Nadya begitu tubuh mereka saling berhimpitan. Taufik kecil yang masih setinggi dadanya saat ditinggalkan. Kini bahkan suaranya sudah seperti laki-laki dewasa.“Kak Nanad yang nyusut kayanya,” gurau Taufik. “Yang di depan itu siapa, Kak? Pacar Kakak?”“Udah kamu temuin belum? Temuin gih! Mana tahu dia berjodoh sama Kakakmu. Kan nanti kamu jadi punya kakak cowok,” ujar Ibu.Taufik melerai pelukannya dan mengangguk. Ia selalu mendambakan punya kakak lelaki yang bisa mengajarinya