Beranda / Urban / Revenge / I Hate You

Share

I Hate You

Penulis: Yani Santoso
last update Terakhir Diperbarui: 2021-02-11 14:59:36

Setelah Gendis menghabiskan makanan yang dibawakan oleh pak Markus, dia mencoba untuk merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur, namun apa daya, luka-luka di punggungnya belum kering dan terasa perih setiap kali tergesek.

Hingga akhirnya Gendis memutuskan untuk bersandar dengan memiringkan tubuhnya. Dia berusaha untuk memejamkan matanya, kalau bisa tidur, itu lebih baik. Setidaknya, dia tidak merasa begitu sakit ketika tertidur.

Ketika kesadarannya mulai berkurang, antara tidur dan terjaga, Gendis merasakan sesuatu menyentuh pipinya dengan halus.

Ingin sekali dia membuka mata, namun matanya terasa begitu berat untuk di buka.

"Tidurlah, kamu pasti merasa lelah." Dia berkata, sambil membetulkan selimut yang di pakai Gendis 

Mendengar suara itu, Gendis begitu terhenyak.

Jantungnya berdetak lebih kencang dan tidak beraturan.

Lalu perlahan, dia membuka matanya dan melihat seorang laki-laki duduk di tepi ranjang.

Laki-laki bertubuh jangkung dengan tatapan mata tajam menghujam itu tersenyum pada Gendis.

"Tidurlah kembali." Perintahnya.

"Kenapa kamu ada di sini, bukankah kamu ...."

"Gendis teringat ucapan pak Markus yang mengatakan bahwa Steve akan pulang malam. Tapi kenapa dia sudah ada di sini? Apakah ini sudah malam?" Hati Gendis bertanya-tanya.

"Tentu saja aku di sini, ini adalah rumahku. Kamu ingat?" Steve menjawab pertanyaan Gendis. 

Namun, Gendis tidak puas dengan pertanyaan Steve, dan kembali bertanya, "Tapi pak Markus bilang kalau kamu ...."

"Ah ... Pak tua itu." Steve mendesis, lalu dia kembali berkata "Jadi Pak Markus mengatakan padamu kalau aku pulang malam, begitu, kan?"

Steve menatap mata Gendis, membuat Gendis harus menyembunyikan wajahnya di bantal.

"Kenapa kamu tidak mau memandangku?" tanya Steve yang melihat Gendis membuang muka dan memilih menenggelamkan wajahnya ke bantal.

"Kamu membuatku takut." Gendis menjawab, masih dengan menyembunyikan wajahnya.

Steve mengusap wajahnya, dia tampak kesal mendengar jawaban Gendis.

"Kamu takut padaku? Kenapa? Apakah wajahku seperti monster?" tanya Steve, yang masih tidak terima dengan jawaban Gendis.

Gendis perlahan melihat ke arah Steve yang duduk di tepi tempat tidur, dia berusaha untuk duduk sambil menutup tubuhnya dengan selimut, Gendis berkata, "Kamu bertanya padaku, apakah wajahmu seperti monster? Lihat, lihat apa yang kamu lakukan padaku, apakah ini perbuatan manusia?" 

Gendis berteriak, kemudian dia duduk membelakangi Steve dan membuka selimut yang membungkus tubuhnya.

"Kamu lihat ini ... apakah ada manusia yang tega melakukan perbuatan ini pada seorang perempuan?" Kembali, Gendis berteriak histeris, sambil memperlihatkan luka dan lebam bekas penganiayaan yang dilakukan Steve semalam.

Dimana, tergambar jelas pukulan dari ikat pinggang yang dia cambukkan di atas punggung Gendis semalam. Bahkan, tak cukup hanya dengan mencambuk, namun juga cakaran dan gigitan di pundak Gendis.

Steve mengulurkan tangannya untuk menyentuh punggung Gendis yang di penuhi luka. Tiba-tiba dia seperti anak kecil yang kehilangan mainan favoritnya, menangis tersedu.

"Tidak ... tidak mungkin aku melakukan ini, itu bukan aku. Kamu pasti berbohong, kan ....?" ucap Steve dengan suara memelas.

Hal itu membuat Gendis terkejut dan syok, karena apa yang ada di hadapannya saat ini, jauh sekali berbeda dengan apa yang dia lihat semalam. "Apakah dia benar-benar orang yang sama?" tanya Gendis dalam hati.

"Apa yang tidak mungkin, semua ini perbuatanmu. Dan kamu melakukan dengan kedua tanganmu sendiri." Gendis kembali mencecar Steve dan mengingatkan akan apa yang telah dia perbuat terhadap dirinya semalam.

"Tidak ... tidak mungkin, itu bukan aku."

Steve menutup telinganya dengan tangan, menolak mendengar kata-kata yang Gendis ucapkan.

"Bukan, bukan aku yang melakukannya."

Teriak Steve lalu dia meraih nampan dan mangkok kosong yang ada di meja kemudian melemparnya ke lantai.

Prang ... prang ....

Di susul benda lain yang ada di kamar, tak luput dari pelampiasan kemarahan Steve.

Klek ....

Suara pintu dibuka dari luar, kemudian dari balik pintu, pak Markus muncul dan dengan cepat mendekati Steve yang terduduk di lantai.

"Pak Markus ... katakan padanya, kalau aku tidak melakukan apapun dan tidak pernah menyakitinya."

Steve berkata setengah memohon pada pak Markus.

Melihat hal itu, Gendis semakin bingung. Steve persis anak kecil yang mencari perlindungan dan pembenaran setelah ketahuan melakukan sebuah kesalahan.

Gendis mengalihkan pandangannya ke arah pak Markus, dilihatnya, lelaki tua itu menggelengkan kepala, menyuruh untuk tidak bertanya atau melanjutkan kalimatnya.

"Tuan muda, tenanglah, ini hanya kesalahpahaman saja." Pak Markus berkata.

"Pak Markus, katakan padanya, kalau aku tidak melakukan apapun, kumohon ...."

Steve memandang wajah pak Markus, dengan tatapan memelas. Lelaki yang selama ini dia anggap seperti orang tuannya sendiri sejak kepergian kedua orang tuanya.

"Baiklah, tapi Tuan harus tenang dulu. Biar saya yang mengatakan pada gadis itu."

Kemudian, pak Markus membantu Steve untuk berdiri dan membawanya keluar dari kamar.

Sebelum pak Markus keluar, dia menoleh ke arah Gendis dan kembali menggelengkan kepalanya.

Gendis memandang heran dan penuh tanya atas kelakuan Steve tadi, kemudian berkata pada dirinya sendiri, "Dia tidak bersalah? Apakah dia lupa kalau semalam telah menghajar dan menganiaya aku? Apakah aku sedang bermimpi?"

Gendis menepuk-nepuk kedua pipinya, terasa sakit. Lalu dia mencoba bangkit dan berjalan ke arah jendela, dimana dia melihat pemandangan perkebunan teh tadi.

Namun, baru beberapa langkah, kembali Gendis merasakan tubuhnya sakit dan perih.

Auuuchhh....

Teriak Gendis saat tubuhnya menabrak sudut tempat tidur.

Gendis meraba pahanya yang terasa sakit, lalu menunduk untuk mengambil selimut yang terjatuh di lantai ketika dia membuka dan menunjukkan pada Steve luka-luka yang ada di punggungnya tadi.

Ketika dia berjongkok, matanya melihat sesuatu yang berada di bawah tempat tidur. Dengan susah payah, Gendis sedikit membungkukkan tubuhnya kembali untuk mengambil benda yang berada di sana.

Tangannya mencoba meraih sesuatu di sana, dan ketika benda itu telah berhasil Gendis keluarkan, dia mengernyitkan kening.

"Tali? Kenapa ada di bawah tempat tidur? Dan ini ... cambuk? Apakah benda-benda ini ...." Gendis bergumam, sementara pikirannya berkecamuk, saling mengaitkan antara barang-barang yang dia temukan serta perlakuan kasar Steve padanya.

"Jangan-jangan ini ...."  Gendis melemparkan benda yang dia pegang hingga membuat tubuhnya sedikit terjengkang, manakala dia sudah mendapatkan gambaran tentang benda-benda yang ada di bawah tempat tidur dengan sikap Steve.

Gendis menutup mulut dengan kedua tangannya, sulit bagi dirinya mempercayai semuanya. Namun apa yang telah menimpanya, semua begitu nyata, dan luka di tubuhnya adalah bukti.

Gendis mengembalikan benda-benda yang dia keluarkan tadi kembali ke bawah tempat tidur, dan akan berpura-pura tidak pernah melihatnya.

Sebuah cambuk berwarna hitam dengan ukiran di gagangnya, terlihat bagus dan mahal. Juga tali.

"Apakah Steve seorang Psycho? Sadomasokis? Mimpi buruk apa lagi yang harus aku alami, Tuhan ... belum cukupkah semua cobaan ini?" 

Gendis mulai meratap, menangisi nasib buruk yang telah menimpa dirinya dan juga kesialan yang akan dia hadapi selanjutnya.

Klek ....

Pintu kamar terbuka, pak Markus datang, sambil membawa sapu.

Dia tertegun melihat Gendis duduk di lantai sementara matanya menatap ke arah tempat tidur.

"Mari, Nona, saya bantu berdiri."

Buru-buru pak Markus membantu Gendis berdiri dan memapahnya kembali ke atas tempat tidur. Lelaki tua itu seolah tidak ingin Gendis melihat apa yang ada di bawah tempat tidur itu.

Namun tanpa sepengetahuan pak Markus, bahwa sebenarnya, Gendis telah melihat apa yang ada di bawah  tempat tidur itu.

****

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Revenge   Saling Memaafkan

    "Calon mantu?"Kali ini ayah Gendis yang mengulang kalimat.Dengan pandangan bingung, laki-laki paruh baya itu berdiri, mendekati tamu yang baru datang ke rumahnya.Ditatapnya satu persatu wajah orang-orang yang baru datang ke rumahnya itu."Gendis, apa benar, kamu kenal dengan mereka?" tanya nya.Diarahkan pandangan matanya pada anak perempuannya itu.Gendis mengerjap, merasa bingung harus dari mana dia menceritakan semuanya. Karena sejak kedatangannya kembali ke rumah, belum sempat bercerita pada kedua orang tuanya. Yang mereka tahu, kalau anak perempuannya telah pulang kembali ke rumah dan berkumpul bersama mereka."Bapak, Gendis kenal dengan mereka. Merekalah yang telah menyelamatkan Gendis dari cengkeraman jahat Dirga dan bapaknya," ujar Gendis menjelaskan."Saya Steve, Pak," ucap Steve sambil mengulurkan tangannya untuk menjabat tangan bapak Gendis.Sejenak merasa ragu, lalu, disambutnya ukuran tangan pemuda jangkung yan

  • Revenge   Menyusul Gladys

    Steve membanting tubuhnya di atas tempat tidur, diembuskan kasar napasnya.Ada rasa kesal sekaligus kesedihan yang bercampur jadi satu.Dibukanya kembali surat yang ditulis Gladys."Bagaimana bisa dia melakukan ini padaku," dengkus Steve.Dia melempar surat itu kasar, lalu menenggelamkan tubuhnya di atas tempat tidur, tatapannya kosong, menerawang menembus langit-langit kamar.Diletakkannya sebelah tangan di atas dahi.Beberapa kali Steve merubah posisi tidurnya, lalu dia bergegas bangkit menuju lemari pakaian, mengganti piyama dengan kemeja lengan panjang, yang digulung hingga bawah siku.Rasa nyeri di perut, tidak dirasakan lagi."Tuan Muda, mau pergi? Biar saya yang nyetir mobilnya," ucap pak Markus, saat melihat Steve berjalan menuju garasi."Tidak usah, Pak. Saya bisa nyetir sendiri," jawab Steve."Tapi Tuan Muda belum sepenuhnya pulih ....""Pak Markus, aku bisa sendiri." Steve menolak."Tapi mau keman

  • Revenge   Gladys Meninggalkan Rumah Steve

    Di dalam kamar, Gladys terduduk lesu.Hati kecilnya ingin sekali tinggal di rumah ini lebih lama, terlebih saat ini sikap Steve tidak sedingin sebelumnya.Namun di sisi hatinya yang lain, keinginan untuk bertemu orang tuanya semakin menggebu, apalagi sudah hampir tiga tahun sejak Dirga membawanya keluar dari rumahnya, belum pernah sekalipun dia bertemu atau sekedar mendengar kabar tentang keluarganya.Cukup lama Gladys terpekur, sesekali matanya menatap langit-langit kamar, lalu kembali menunduk. Beberapa kali dia menarik napas dalam."Dys ... kamu dari mana?" tanya Suli yang baru keluar dari kamar mandi."Oh, aku baru saja dari halaman depan. Menghirup udara pagi," jawab Gladys.Dia kembali menunduk, meremas jari jemarinya, lalu beranjak menuju lemari pakaian. Suli memperhatikan setiap gerak-gerik sahabatnya itu tanpa mengeluarkan sepatah kata."Buat apa kamu mengeluarkan tas itu, Dys? Juga pakaian itu ....?" tanya Suli keheranan saat me

  • Revenge   Maaf

    Steve sudah kembali ke rumahnya, di hari kedua, dia bahkan sudah bisa berjalan-jalan di sekitar rumah, walau sedikit lambat.Namun pagi ini, rupanya ada yang sedang mengganjal hatinya, hingga membuatnya terlihat tidak tenang, wajah dinginnya terlihat sedikit murung.Akan tetapi, dia berusaha untuk tetap bersikap tenang, walau getar-getar di hatinya, membuatnya susah tidur.Beberapa kali dia menarik napas berat, lalu dengan kasar mengembuskannya."Tuan ...."Sebuah panggilan lembut mengagetkan lamunannya, Steve menoleh ke arah suara. Di sana, Gladys berdiri dengan menyembunyikan kedua tangannya ke dalam saku."Gladys, kamu sudah bangun?" tanya Steve."Sudah, Tuan sendiri ... kenapa sudah berada di luar. Ini masih sangat pagi," jawab Gladys.Steve yang mendengar pertanyaan Gladys menjadi sedikit kikuk, lalu dengan cepat dia menjawab, "Oh, aku ingin mencari udara segar. Berbaring di tempat tidur membuatku bosan.""Oh, begitu ..

  • Revenge   Love it or Hate it

    Gladys berlari sepanjang koridor, di belakangnya, Suli dengan napas terengah mencoba mengejar langkah sahabatnya itu.Pikirannya sangat kacau, ketika Roy mengabarkan kalau saat ini Steve tengah menjalani operasi, walaupun Roy juga sudah mengatakan kalau semua baik-baik saja.Kedua wanita itu kemudian masuk ke dalam salah satu ruangan, di mana terdapat dua orang pria berbadan tegap berdiri di dekat pintu.Mereka adalah anak buah Steve yang sengaja ditugaskan oleh Roy untuk berjaga di luar."Steve ... bagaimana keadaanmu?" tanya Gladys begitu dia berada di dalam ruangan."Dia baik-baik saja, operasinya berjalan lancar." Roy yang duduk di kursi sebelah brankar menjawab."Syukurlah." Gladys menarik napas lega sembari mendekat ke arah Steve yang masih terbaring.Gladys duduk di sebelah Roy, sembari meraih tangan Steve."Ouh ... sakit," rintih Steve ketika tidak sengaja Gladys menyentuh bagian tubuh Steve yang terlukan."Maaf, aku

  • Revenge   Sakit Hati Suli

    "Keluar, atau aku akan menyeretmu dari sana!" Gladys kembali berteriak. Suaranya menggema ke seluruh ruangan.Setelah menunggu beberapa saat, tidak ada tanda-tanda ada orang lain di dalam ruangan itu.Gladys berjalan pelan menuju meja, suara sepatunya memaku lantai.Tok tok tok ....Baru beberapa langkah, Gladys berhenti.Dari bawah meja, tampak seseorang berjongkok, lalu perlahan dia bangkit berdiri menghadap arah Gladys.Melihat siapa yang muncul dari balik meja, Gladys tersenyum. Lalu dia berkata."Kita bertemu lagi, Tania. Walau dalam suasana yang berbeda," ucap Gladys."Iya, senang bisa bertemu denganmu lagi, Gendis."Tania berkata sambil merapikan rambutnya, dia berusaha bersikap tenang, namun tetap saja, kegugupan tampak jelas di wajahnya.Tiba-tiba, Suli yang sejak tadi diam di depan pintu, berlari menghampiri Tania, dan tangan kanannya langsung bergerak cepat meninju wajah Tania.Mendapat serangan yang tib

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status