Pria tua itu melangkah memasuki kamarnya, sesekali terlihat dia menggelengkan kepala.
"Kamu melakukannya lagi, Tuan muda." Pria tua itu bergumam.
Matanya menatap deretan foto yang berjejer rapi di atas meja yang yang terletak di sudut kamarnya.
"Maafkan aku, Tuan. Yang telah gagal mendidik Steve. Aku gagal, Tuan."
Pria tua yang duduk di tepi tempat tidurnya, membungkuk sambil menutup wajah dengan kedua tangannya.
Pria itu merenung, bayangan masa lalu seolah berkejaran di benaknya. Bagaimana dirinya, yang saat itu berusia belasan tahun, dipungut dari jalanan oleh sang Tuan, yang merupakan Ayah dari Steve.
Masih lekat di ingatannya, bagaimana Ayah Steve yang saat itu masih muda, memperlakukan dirinya seperti saudara, memberinya tempat tinggal yang layak, baju dan juga pendidikan.
Hampir seumur hidupnya, dia abdikan pada keluarga yang telah mengambilnya dari jalanan hingga membawa dirinya bergaul dengan orang-orang yang menyebut diri mereka "The Have."
Pria tua itu merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur, sesekali dia membalikkan tubuhnya dan menutup telinga tiap kali suara lengkingan dan jerit kesakitan dari kamar Tuan Muda terdengar.
Benar-benar suara yang mengiris hati.
*****
"Tolong, tolong aku ... jangan pukul lagi, kumohon."
Gendis berteriak, lalu dia membuka matanya.
Namun ketika dia menggerakkan tubuhnya, Gendis merasakan sakit yang luar biasa di punggung dan bagian tubuh yang lain, rasanya begitu perih.
Dia baru menyadari, ternyata dalam mimpi pun dia mendapat siksaan seperti yang dia rasakan semalam.
Gendis menggerakkan tubuhnya, berusaha merubah posisi tengkurap dan berusaha memiringkan tubuh, keringat mulai keluar membasahi keningnya.
Susah payah dia berusaha memiringkan tubuhnya, namun apa daya, rasa sakit dan perih di bagian belakang tubuhnya, membuat dirinya hanya mampu menggerak-gerakkan tangan dan kaki saja.
"Jangan terlalu banyak bergerak, Nona."
Sebuah suara membuat Gendis berhenti bergerak, lalu dengan pelan, dia menengok ke arah suara itu berasal.
Seorang pria tua datang membawa sebuah kotak kecil berjalan mendekati Gendis yang terbaring tak berdaya.
"To--tolong saya, Pak," mohon Gendis di antara rintihannya.
Pria tua itu tidak menjawab, dia duduk d tepi ranjang, lalu dengan pelan membuka kotak yang dibawa nya.
Dengan pelan, pria tua itu mengelap punggung Gendis dengan sebuah kain yang dibasahi dengan air hangat, membersihkan darah yang sudah mengering.
Setiap kali tangan pria tua itu membasuh pelan punggungnya, Gendis meringis menahan sakit.
Di remasnya seprei yang membungkus kasur empuk itu. Sesekali dia menggigit bibir bawahnya, yang juga terasa perih, karena bibir mungilnya pun tak lepas dari pukulan hingga menyisakan warna merah kehitaman serta robek di beberapa bagian.
"Kamu tahan sedikit, ya, aku akan mengoleskan beberapa krim pada luka-lukamu ini. Sedikit perih memang, tapi percayalah, ini akan membuat luka-lukamu cepat kering dan sembuh."
Dengan cekatan, pria tua itu mengoleskan krim ke bagian tubuhnya yang luka.
Gendis sekali lagi berteriak, karena begitu krim itu menyentuh kulitnya yang luka, terasa begitu perih. Seperti luka yang di siram air garam da cuka, Gendis menangis menahan rasa perih.
"Mungkin kamu bisa mengobati luka fisikku, namun luka dalam hatiku, tak akan pernah bisa kalian sembuhkan."
Teriak hati Gendis, sementara tangannya masih meremas dengan dada yang bergemuruh.
"Sudah selesai. Tetaplah berbaring seperti itu untuk beberapa saat, sampai obat itu meresap dan bekerja." Pria itu berkata pada Gendis begitu selesai mengoleskan krim di punggunya.
"Aku ingin pulang ...." lirih, Gendis berkata.
Dari sudut matanya, Gendis melihat pria tua itu menarik nafas dalam beberapa kali, lalu dia bangkit dan berjalan menuju pintu.
"Pak ... tunggu, ijinkan aku pulang," teriak Gendis, hingga pria tua itu menghentikan langkahnya lalu membalikkan tubuh menatap ke arahnya.
"Nona beristirahatlah, saya akan bawakan makanan untuk Nona."
Kamar itu kembali menjadi sepi, hanya suara nafas Gendis yang terdengar, benar-benar sepi.
Hal itu membuat Gendis penasaran, untuk mencari tahu.
Perlahan, dia turun dari tempat tidur dan di tariknya selimut untuk menutupi tubuhnya yang bugil.
Tertatih, Gendis berjalan menuju jendala dan menyibak gorden.
Tak ada apapun di luar, sejauh matanya memandang dari balik jendela kaca, hanya hamparan kebun teh yang berada di luar dinding tinggi yang mengelilingi rumah ini.
"Bukankah rumah ini ada di kota, kenapa terdapat perkebunan teh di sana?"
Penasaran, Gendis menggeser tubuhnya dan berjalan ke sisi jendela yang lain, lalu membuka gordennya.
Setelah melihat keluar, dia menarik nafas lega.
"Ternyata kebun itu di bagian belakang rumah ini," gumam Gendis.
Klek ....
Suara pintu di buka perlahan, Gendis menoleh dengan cepat ke arah pintu.
Dilihatnya, pria tua itu masuk dengan membawa nampan berisi beberapa makanan di atasnya.
Menyadari hal itu, Gendis buru-buru menutup tubuhnya dengan selimut yang dia pegang.
"Aku ... hanya melihat pemandangan di luar." Gendis mencoba menjelaskan apa yang sedang dia lakukan.
"Dari sisi sana, pemandangannya terlihat jauh lebih bagus," jawab pria itu, sambil menunjuk jendela yang berada di ujung.
"Dari sana, kamu akan melihat kebun teh dan bukit yang hijau. Jika musim petik tiba, banyak gadis-gadis seumuranmu yang memetik daun teh di sana," lanjut pria itu.
Gendis menatap keluar jendela, dari balik kaca, dia melihat ke arah yang di maksud pria tersebut.
Sebuah perbukitan hijau, menghampar luar di sana, membuat damai dan sejuk setiap mata yang memandang.
Sementara pria tua itu memperhatikan Gendis dari tempatnya berdiri, menyadari dirinya sedang di perhatikan, buru-buru Gendis berkata.
"Tuan, apakah aku boleh meninggalkan tempat ini."
Dengan mata dan suara menghiba, Gendis bertanya pada pria tua itu.
"Jangan panggil aku Tuan, panggil saja Markus," jawab pria itu, sembari memperkenalkan namanya pada Gendis.
Perlahan, Gendis mendekat ke arah pak Markus, melihat Gendis berusaha mendekat ke arahnya, Markus dengan sigap maju dan membantu Gendis berjalan.
"Nona mau kemana? Biar saya bantu duduk di sofa itu."
Kemudian, pak Markus menuntun Gendis dan membantunya duduk di atas sofa yang ada di kamar itu.
Gendis mendongakkan kepalanya menatap wajah pak Markus, lalu kembali dia berkata,
"Pak ... ijinkan saya pulang," ucap Gendis lirih, yang dibarengi dengan air mata yang meleleh di kedua pipinya.
"Maaf, Nona. Saya hanya di suruh menjaga Nona selama berada di sini. Tunggulah sampai tuan muda datang, lalu, katakan keunginanmu padanya."
Gendis menunduk lemah, menunggu Steve pulang dan meminta ijin padanya untuk keluar dari tempat ini sama saja dengan memberitahukan padanya tentang rencana bahwa dia ingin kabur.
"Apakah Nona membutuhkan sesuatu yang lain?" pak Markus bertanya pada Gendis yang masih menunduk lemah.
"Tidak, Pak." Gendis menjawab, masih dengan kepala tertunduk.
"Baiklah, kalau perlu sesuatu, tekan saja tombol ini. Saya ada di bawah."
Pak Markus menunjuk sebuah tombol yang berada di sisi meja, yang berfungsi sebagai alat untuk memanggil.
Namun Gendis hanya melirik sekilas tombol itu, dan tetap menekuk wajahnya.
Pak Markus beranjak dari kamar, meninggalkan Gendis yang termenung di ataa sofa.
Ketika tangan pak Markus memegang gagang pintu, pria tua itu memutar tubuhnya kembali dan berkata kepada Gendis, "Sebaiknya Nona cepat habiskan makanannya, mumpung masih hangat."
Klek!
Pintu kembali tertutup rapat.
Gendis mengarahkan pandangannya ke atas meja, dimana pak Markus meletakkan makanan yang dia bawa untuknya.
Semangkok oatmeal dengan taburan kismis di atasnya serta segelas besar susu.
Melihat makanan itu, membuat Gendis kehilangan selera, terlebih, makanan itu tidak biasa dia makan ketika berada di kampung.
Namun rasa lapar di perutnya, menggerakkan tangannya untuk meraih gelas yang berisi susu lalu meneguk isinya hingga tinggal setengah.
Setelah menghabiskan setengah dari isi gelas, tangan Gendis beralih mengambil mangkuk berisi bubur oat tersebut.
Pelan, dia menyendok isi mangkok tersebut dan memindahkan ke dalam mulutnya.
Rasa gurih oatmeal dan manis dari buah kismis, membuatnya tanpa sadar telah menghabiskan seluruh isi mangkok tersebut.
Apakah karena dia yang merasa begitu lapar, sehingga menghabiskan semua makanan yang berada di atas nampan.
Setelah selesai makan, Gendis kembali ke atas tempat tidur, dan mencoba bersandar di sana, namun ternyata luka-luka di punggungnya membuat Gendis harus merubah posisi menjadi setengah memiringkan tubuhnya.
****
"Calon mantu?"Kali ini ayah Gendis yang mengulang kalimat.Dengan pandangan bingung, laki-laki paruh baya itu berdiri, mendekati tamu yang baru datang ke rumahnya.Ditatapnya satu persatu wajah orang-orang yang baru datang ke rumahnya itu."Gendis, apa benar, kamu kenal dengan mereka?" tanya nya.Diarahkan pandangan matanya pada anak perempuannya itu.Gendis mengerjap, merasa bingung harus dari mana dia menceritakan semuanya. Karena sejak kedatangannya kembali ke rumah, belum sempat bercerita pada kedua orang tuanya. Yang mereka tahu, kalau anak perempuannya telah pulang kembali ke rumah dan berkumpul bersama mereka."Bapak, Gendis kenal dengan mereka. Merekalah yang telah menyelamatkan Gendis dari cengkeraman jahat Dirga dan bapaknya," ujar Gendis menjelaskan."Saya Steve, Pak," ucap Steve sambil mengulurkan tangannya untuk menjabat tangan bapak Gendis.Sejenak merasa ragu, lalu, disambutnya ukuran tangan pemuda jangkung yan
Steve membanting tubuhnya di atas tempat tidur, diembuskan kasar napasnya.Ada rasa kesal sekaligus kesedihan yang bercampur jadi satu.Dibukanya kembali surat yang ditulis Gladys."Bagaimana bisa dia melakukan ini padaku," dengkus Steve.Dia melempar surat itu kasar, lalu menenggelamkan tubuhnya di atas tempat tidur, tatapannya kosong, menerawang menembus langit-langit kamar.Diletakkannya sebelah tangan di atas dahi.Beberapa kali Steve merubah posisi tidurnya, lalu dia bergegas bangkit menuju lemari pakaian, mengganti piyama dengan kemeja lengan panjang, yang digulung hingga bawah siku.Rasa nyeri di perut, tidak dirasakan lagi."Tuan Muda, mau pergi? Biar saya yang nyetir mobilnya," ucap pak Markus, saat melihat Steve berjalan menuju garasi."Tidak usah, Pak. Saya bisa nyetir sendiri," jawab Steve."Tapi Tuan Muda belum sepenuhnya pulih ....""Pak Markus, aku bisa sendiri." Steve menolak."Tapi mau keman
Di dalam kamar, Gladys terduduk lesu.Hati kecilnya ingin sekali tinggal di rumah ini lebih lama, terlebih saat ini sikap Steve tidak sedingin sebelumnya.Namun di sisi hatinya yang lain, keinginan untuk bertemu orang tuanya semakin menggebu, apalagi sudah hampir tiga tahun sejak Dirga membawanya keluar dari rumahnya, belum pernah sekalipun dia bertemu atau sekedar mendengar kabar tentang keluarganya.Cukup lama Gladys terpekur, sesekali matanya menatap langit-langit kamar, lalu kembali menunduk. Beberapa kali dia menarik napas dalam."Dys ... kamu dari mana?" tanya Suli yang baru keluar dari kamar mandi."Oh, aku baru saja dari halaman depan. Menghirup udara pagi," jawab Gladys.Dia kembali menunduk, meremas jari jemarinya, lalu beranjak menuju lemari pakaian. Suli memperhatikan setiap gerak-gerik sahabatnya itu tanpa mengeluarkan sepatah kata."Buat apa kamu mengeluarkan tas itu, Dys? Juga pakaian itu ....?" tanya Suli keheranan saat me
Steve sudah kembali ke rumahnya, di hari kedua, dia bahkan sudah bisa berjalan-jalan di sekitar rumah, walau sedikit lambat.Namun pagi ini, rupanya ada yang sedang mengganjal hatinya, hingga membuatnya terlihat tidak tenang, wajah dinginnya terlihat sedikit murung.Akan tetapi, dia berusaha untuk tetap bersikap tenang, walau getar-getar di hatinya, membuatnya susah tidur.Beberapa kali dia menarik napas berat, lalu dengan kasar mengembuskannya."Tuan ...."Sebuah panggilan lembut mengagetkan lamunannya, Steve menoleh ke arah suara. Di sana, Gladys berdiri dengan menyembunyikan kedua tangannya ke dalam saku."Gladys, kamu sudah bangun?" tanya Steve."Sudah, Tuan sendiri ... kenapa sudah berada di luar. Ini masih sangat pagi," jawab Gladys.Steve yang mendengar pertanyaan Gladys menjadi sedikit kikuk, lalu dengan cepat dia menjawab, "Oh, aku ingin mencari udara segar. Berbaring di tempat tidur membuatku bosan.""Oh, begitu ..
Gladys berlari sepanjang koridor, di belakangnya, Suli dengan napas terengah mencoba mengejar langkah sahabatnya itu.Pikirannya sangat kacau, ketika Roy mengabarkan kalau saat ini Steve tengah menjalani operasi, walaupun Roy juga sudah mengatakan kalau semua baik-baik saja.Kedua wanita itu kemudian masuk ke dalam salah satu ruangan, di mana terdapat dua orang pria berbadan tegap berdiri di dekat pintu.Mereka adalah anak buah Steve yang sengaja ditugaskan oleh Roy untuk berjaga di luar."Steve ... bagaimana keadaanmu?" tanya Gladys begitu dia berada di dalam ruangan."Dia baik-baik saja, operasinya berjalan lancar." Roy yang duduk di kursi sebelah brankar menjawab."Syukurlah." Gladys menarik napas lega sembari mendekat ke arah Steve yang masih terbaring.Gladys duduk di sebelah Roy, sembari meraih tangan Steve."Ouh ... sakit," rintih Steve ketika tidak sengaja Gladys menyentuh bagian tubuh Steve yang terlukan."Maaf, aku
"Keluar, atau aku akan menyeretmu dari sana!" Gladys kembali berteriak. Suaranya menggema ke seluruh ruangan.Setelah menunggu beberapa saat, tidak ada tanda-tanda ada orang lain di dalam ruangan itu.Gladys berjalan pelan menuju meja, suara sepatunya memaku lantai.Tok tok tok ....Baru beberapa langkah, Gladys berhenti.Dari bawah meja, tampak seseorang berjongkok, lalu perlahan dia bangkit berdiri menghadap arah Gladys.Melihat siapa yang muncul dari balik meja, Gladys tersenyum. Lalu dia berkata."Kita bertemu lagi, Tania. Walau dalam suasana yang berbeda," ucap Gladys."Iya, senang bisa bertemu denganmu lagi, Gendis."Tania berkata sambil merapikan rambutnya, dia berusaha bersikap tenang, namun tetap saja, kegugupan tampak jelas di wajahnya.Tiba-tiba, Suli yang sejak tadi diam di depan pintu, berlari menghampiri Tania, dan tangan kanannya langsung bergerak cepat meninju wajah Tania.Mendapat serangan yang tib
"Jangan sentuh aku!" teriak Gladys.Sementara Dirga merasa semakin bergairah, melihat kemarahan Gladys. Tidak ada rasa ketakutan dari sorot mata wanita yang ada di hadapannya itu, berbeda sekali saat pertama kali dia membawanya dulu, wanita polos dengan sorot mata penuh ketakutan.Apa yang dilihatnya pada diri Gladys saat ini, membuat Dirga semakin tertantang untuk kembali menguasai dan memilikinya seperti yang pernah dia lakukan waktu itu.Brukk!!Gladys dengan sekuat tenaga menendang selangkangan Dirga, hingga membuatnya meringis kesakitan.Dirga memegang bagian sensitifnya, yang baru saja ditendang oleh Gladys. Beberapa saat kemudian, dia kembali berdiri, matanya merah, lalu .... Plak!!Sebuah tamparan keras mendarat keras di pipi kiri Gladys, hingga membuatnya jatuh terjengkang.Gaun yang dia kenakan tersingkap hingga menampakkan pahanya yang putih mulus.Melihat itu, Dirga membulatkan kedua matanya.Perlahan, dia mendekat
Roy berlari mengejar pria yang tadi hendak mencelakai Suli.Akan tetapi, dengan cepat, pria bertubuh gempal itu berbalik dan berlari menjauh dari Roy.Tepat di saat itu, sebuah mobil melaju kencang dari arah berlawanan, dan tiba-tiba berhenti di depan pria bertubuh gempal, hingga meninggalkan suara ban derdecit."Buruan masuk!" teriak seseorang dari dalam.Dalam beberapa detik saja, pria tersebut sudah masuk ke dalam mobil, dan langsung meninggalkan Roy yang terengah-engah karena berlari.Roy bisa melihat dengan jelas, Gladys dengan tangan terikat ke belakang dan mulut di tutup lakban duduk sambil meronta, ketika pintu mobil tersebut terbuka."Gladys ... Gladys ...!" Roy berusaha memanggil Gladys, sambil berlari di belakang mobil yang melaju.Hingga mobil itu makin menjauh, Roy berbalik menuju ke mobilnya."Suli, cepat masuk!" perintah Roy.Dengan sigap, Suli masuk ke dalam mobil dan langsung memasang sabuk pengaman, dan di saat
Tania terlihat begitu anggun dan cantik dengan gaun hitam selutut yang dia kenakan.Sesekali tangan dengan jari lentiknya mengusap keringat dingin di dahi dengan tisu.Dia begitu gugup, walaupun sebelumnya pernah tinggal serumah dengan Gladys, namun yang akan dia temui saat ini, bukanlah wanita yang sama seperti beberapa tahun yang lalu.Matanya melirik arloji yang melingkar di pergelangan tangan kirinya.Sementara itu, dua orang pria berkemeja hitam yang duduk di pojok ruangan, terlihat sama, tegang dan terlihat gelisah. Berkali-kali keduanya melihat ke arah pintu, untuk melihat apakah orang yang mereka tunggu telah datang."Maaf, saya terlambat, tadi sedikit macet soalnya."Sebuah suara lembut membuat Tania mendongak. Di depannya, seorang wanita cantik dengan gaun berwarna lila berdiri anggun, tangan kirinya memegang clutch warna senada dengan bajunya."Oh, hai ... Nona Gladys, silahkan duduk."Tania berdiri lalu dengan sikap