Teera yang tidak memahami apa yang tengah terjadi hanya diam dan berteriak.
"Apa yang dicoba?! Hey?!"
Morgan hanya tersenyum, dan--splash. Morgan melesat cepat, yang kini, secara tiba-tiba, sudah berada di atas Riku. Teera tercengang dengan pergerakan Morgan.
Inikah pergerakan seorang anggota pasukan kerajaan? Gumam Teera.
Dalam gerak lambatnya di atas Riku, Morgan mengeluarkan sesuatu dari sakunya. Riku mengambil posisi, memperhatikan apa yang keluar dari sakunya Morgan, itu--Riku terdiam, bingung, pemantik api?
Morgan menyalakan pemantik api, dan dalam sekejap semua api dari pemantik tersebut seperti ditarik keluar dan berputar memadati salah satu tangannya yang teracung ke bawah, mengarah tepat ke Riku.
"Sihir api." Ucapnya.
"Fire...ball!"
Selepas kata itu disebut, gumpalan api yang terkumpul di tangan Morgan melesat cepat bagai meriam api, dengan sasarannya, Riku.
Teera yang tidak paham dengan arah kejadian ini, seketika panik melihat Morgan menyerang Riku dengan gamblang seperti itu, ia bersiap menolong.
"Riku, cepat per-" ia tidak bisa bergerak, tubuhnya tertahan
"Tunggu anak muda"
Suara itu berasal dari belakang dia, itu--kakek. Apa yang kakek lakukan padaku? Ini pasti kekuatan kakek, ah sial!
"Kakek kita harus menolong Riku!!" Paksa Teera. Namun kakek hanya menggelengkan kepala saat sampai di sisi Teera. Tangan kirinya teracung ke atas, lalu tangan kanannya menunjuk ke arah pertarungan itu, lihatlah, itu maksudnya.
Morgan mengambil jarak cukup jauh untuk melepas serangan tersebut. Serangannya unik, semakin jauh jaraknya, serangan dia akan semakin cepat, yang dalam arti lain berarti serangannya bertambah kuat.
Serangan sebesar itu kini akan menghantam anak muda yang baru dewasa itu. Riku melihatnya dengan tenang, bahkan ia melepaskan kuda-kudanya, dan hanya menjulurkan satu tangannya ke arah serangan itu.
Teera geram melihatnya.
"Bodoh! Apa yang kau lakukan?! Lari!!"
Tapi, Riku tetap kokoh dengan posisinya. Morgan dan kakek melihat ini semakin menarik, apa yang akan ia lakukan, gumam mereka berdua.
Teera menutup matanya, dan--bumm. Teera tahu betapa kuatnya serangan tadi.
Latihan pun tidak perlu sekeras ini, sial, gumamnya.
Ledakan besar tadi membuat sekitar mereka penuh dengan debu dan asap, menutup jarak pandang, tidak ada yang dapat melihat Riku.
Namun, setelah debu serta asap tadi mulai menghilang, Teera sadar, bahwa ia sudah salah menilai kawannya yang satu ini. Ia memang sedikit bodoh, orang yang kasar, suka semaunya, tapi, ia adalah orang yang lebih kuat dari siapapun. Riku, berhasil menghindari itu.
Ledakan tadi bukan berasal dari Riku, tetapi dari pohon besar di sebelahnya yang terkena serangan Morgan.
Apakah ia memantulkannya? Pikir Teera. Namun, pertanyaannya lekas terjawab setelah semuanya jelas terlihat. Lihatlah Riku, tubuhnya--berselimut api.
"Itu dia." Ucap Morgan sesaat setelah menyentuh tanah.
Hebat sekali, Riku. Hanya dalam beberapa jam, dia sudah dapat mengeluarkan kekuatannya, ini ajaib, gumam Teera.
Kakek yang melihat Riku sudah mampu menguasai sihir jimatnya, hanya dengan beberapa jam setelah jimat itu ada, merasa begitu senang, tapi itulah kakek, dia tidak akan menunjukkan kebahagian seperti itu di depan mereka semua.
Tangan kiri kakek berangsur turun, tepat setelah sempurna turun, Teera yang dalam posisi terdiam tidak bergerak, secara tiba-tiba terjatuh, bisa bergerak.
"Silahkan kau temani dia." Ucap kakek seraya berjalan ke dalam rumah, entah apa yang akan dilakukannya.
Teera yang mampu bergerak, langsung pergi menuju Riku dan Morgan disana.
"Jadi, api ya." Ucap Teera sesaat setelah sampai disana.
"Ya, begitulah. Setidaknya punyaku lebih kuat dari punyamu, Teera." Disusul tawa mereka semua, hahaha.
"Jarang sekali ada mereka yang bisa mengetahui, atau bahkan menguasai sihir jimat dalam waktu beberapa jam saja." Ucap Morgan.
"Bahkan, untuk seorang pasukan kerajaan. Kau, memang berbakat." Lanjutnya.
Riku yang mendengar kata itu, merasa begitu senang, tidak ada hari yang lebih menyenangkan dalam hidupnya, kecuali hari ini. Dengan semangat yang masih membara, melihat api berkobar di sekitar tubuhnya, dia ingin lagi, Riku ingin berlatih.
"Morgan, ayo kita latihan lagi." Pintanya.
Morgan adalah seorang pasukan ahli, tahu kondisi dan keadaan, dan Riku, sudah cukup lelah dengan tubuhnya, ia harus istirahat.
"Tidak, Riku. Tubuhmu sudah lelah dan energimu sudah terkuras. Normalnya pun seseorang akan pingsan setelah mengeluarkan sihir sebanyak itu." Jelas Morgan.
"Iya, aku pun begitu." Ucap Teera setuju.
"Tapi, aku masih bisa be-" brukk, Riku terjatuh, pingsan.
Hari bergerak begitu cepat, kini langit sudah mulai senja. Warna kelabu mekar bagai dedaunan musim semi, dan Riku, masih tertidur di kamarnya. Kekuatan yang begitu besar, waktu yang begitu cepat, membuat Riku melepas batasan terluarnya, dia butuh banyak istirahat.
"Kau mau pulang sekarang, Morgan?" Tanya kakek saat melihat Morgan sudah siap dengan semua peralatannya di depan rumah.
"Iya, kakek, aku akan pulang. Sebab, besok akan ada misi besar." Jelas Morgan
Teera sudah pulang lebih awal, dia meminta izin untuk kembali. Setelah melihat apa yang terjadi pada Riku, ia tidak bisa diam saja. Riku, bagi Teera, adalah teman sekaligus rival yang begitu kuat, aku akan pulang dan berlatih, ucapnya.
"Terimakasih sudah menyempatkan dirimu untuk hadir, Morgan. Orang tua ini sangat tersanjung, kau sang ketua pasukan kerajaan, bisa meluangkan waktunya untuk orang asing." Ucap kakek.
"Asing? Hahaha. Kau ada-ada saja, kakek. Kalian semua keluargaku, bahkan mati pun akan ku jalani kalau itu untuk menolong kalian. Sudah lah, aku berangkat dulu. Sampai jumpa." Ucap Morgan seraya melambaikan tangan, tanda perpisahan dan mulai berjalan meninggalkan rumah.
"Semoga saja kekuatanmu tidak akan bertarung dengan kekuatanku, Riku."
Hari yang besar sudah terlewati. Semua kembali kepada kehidupannya. Kekuatan besar telah lahir di dalam diri seorang anak yang baru dewasa. Semua tampak bahagia, sebab mereka tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. Setiap kekuatan yang besar, ditakdirkan untuk sesuatu yang besar.
Jauh di tengah hutan, sayup-sayup terdengar suara.
"Kau sudah pastikan? Apa dia seperti yang dikatakan?"
"Iya, benar. Dan dia baru saja menguasai sihir jimat. Sihir yang persis seperti ayahnya, sihir api murni."
"Baiklah, kita lakukan sesuai rencana."
"Baik, ketua, laksanakan!"
"Semua kekuatan besar adalah ancaman. Dan ancaman, harus segera dimusnahkan."
Malam setelah Riku mendapat kekuatannya, ia terbangun setelah kelelahan tadi sore. Ia pergi ke ruang makan, perutnya lapar setelah seharian berlatih dengan Morgan.Sesaat setelah sampai, kakek tengah duduk sendirian di meja makan. Riku duduk, dan langsung mengambil makan, tak memperdulikan kakeknya."Kau kelelahan? Dasar lemah!? Hehe." Ucap kakeknya, membuat Riku menahan suapannya, waktunya membalas."Bilang saja kau iri, heh. Sekarang aku sudah kuat, dan setelah berlatih menjadi lebih kuat, aku akan pergi dari sini.""Berkelana jauh, menuju tempat-tempat yang belum pernah aku kunjungi. Tempat dimana kau tidak bisa memarahiku.""Lalu--" ucapnya tertahan."Pergi mencari ayah." Ucap Riku, dan melanjutkan makan.Kakek hanya memandangnya diamDia sudah tumbuh secepat ini hah? Hehe. Lihat lah Kur
Setelah panjang menjelaskan bagaimana kehidupan Ayah Riku. Kakek pun melanjutkan pembicaraan.“Kekuatanmu persisi seperti ayahmu, kekuatan api murni." Ucap Kakek.Riku yang mendengar kata itu pun masih bingung, ia tidak paham mengenai dasar-dasar kekuatan dan sejenisnya.“Jika aku pemilik api murni, apakah artinya ada pemilik kekuatan api yang tidak murni? Dan apa yang membedakan keduanya, kakek?” Ucap Riku.Kakek melihat keingintahuan Riku, sepertinya ia harus menjawab semua hal yang ingin ditanyakan Riku malam ini.“Mudahnya, kekuatan murni adalah kekuatan dimana pemiliknya dapat mengeluarkan sihir tersebut tanpa perlu pemantik atau sesuatu sejenisnya…” Jelas kakek.“Sebagai contoh kekuatan api-mu. Kau bisa langsung mengeluarkan kekuatan tersebut bukan? Berbeda dengan Morgan yang menggunakan pemantik api, ja
Riku baru saja sampai di rumah pohon. Ia perhatikan dengan seksama temannya yang satu ini. Teman tak bernyawa yang telah menemaninya pada masa-masa awal kehidupan bermainnya. Tempat berteduh, tempat belajar, tempat berlindung, tempat untuk kembali. Ia tarik nafas yang dalam, dan mulai memanjat naik ke atas.Dilihatnya apa-apa yang ada disana, seluruh proyeksi kehidupannya, gambaran perkembangan dirinya. Dibukanya semua catatannya, disana lah semua kebahagian, keluh kesah yang ia miliki tercurahkan. Ia baca sekali lagi dan ia tutup buku tersebut, ia tak akan membawa buku itu, ia sudah bertekad untuk pergi dan menjadi dirinya, semua hal yang akan membuatnya rindu kembali, akan ia tinggalkan.Dia ambil beberapa buku disana, ia baca kembali sebelum ia masukkan ke dalam tas. Apapun yang terjadi nantinya, ia akan menggunakan semua yang ia pahami untuk berjuang di tempat selanjutnya. Ia membaca dan terus mengulang bacaan tersebut sampai
"Apa yang kau lakukan disini, Morgan?"Morgan hanya memandangnya dengan dingin."Aku mencarimu." Tegasnya.Mencariku? Untuk apa?"Apa kau akan melindungi kami dari para penyerang hutan ini?" Tanya Riku.Morgan hanya menghela nafas, menundukkan kepala ke arah Riku."Aku yang membakar hutan ini"Apa ini? Gumam Riku.Morgan membakar hutan ini? Mengapa? "Aku membakar hutan ini, sebab kakek tidak mau memberi tahu apapun.""Jadi, aku menyerangnya dan membakar hutan ini. Memancingmu untuk datang kesini."Apa? Memancingku? Kenapa ia juga menyerang kakek?Morgan maju selangkah lebih dekat dengan berdiri tegap."Riku, atas perintah dari perdana menteri kerajaan, kau kami tahan karena terlahir sebagai anak dari orang yang terkutuk, Raja Api Kuri."Terkutuk? Raja Api Kuri? Ayahku? Ayahku orang terkutuk?"Apa maksudmu, Morgan? Bukankah ayahku adal
"Apa yang kau lakukan disini, Morgan?"Morgan hanya memandangnya dingin."Aku mencarimu." Tegasnya.Mencariku? Untuk apa?"Apa kau akan melindungi kami dari para penyerang hutan ini?" Tanya Riku.Morgan hanya menghela nafas, menundukkan kepala ke arah Riku."Aku yang membakar hutan ini"Apa? Gumam Riku.Morgan membakar hutan ini? Mengapa?"Aku membakar hutan ini, karena kakek tidak mau memberitahu keberadaanmu.""Jadi aku menyerangnya dan membakar hutan ini, memancingmu untuk datang kesini."Apa? Memancingku? Tapi, untuk apa? Dan mengapa ia melakukan semua ini?Morgan maju selangkah lebih dekat dengan berdiri tegap."Riku, atas perintah dari perdana menteri kerajaan, kau kami tahan karena terlahir sebagai anak dari orang yang terkutuk, Raja Api Kuri."Terkutuk? Raja Api Kuri? Ayahku?Ayahku orang terkutuk? A
Kepulan asap membuat jarak pandang semakin sempit, itu bukanlah ledakan kecil. Morgan beserta pasukannya masih dalam posisi siap. Mereka tahu ini tidak akan mudah, mengalahkan anak Raja Api? Sama seperti mengalahkan Raja Api itu sendiri. Sesaat setelah kepulan asap itu hilang, di tempat Riku berdiri, tidak ada siapa-siapa. Kemana dia? Pikir Morgan. "Fire...ball." Empat bola api raksasa tiba-tiba datang, bergerak cepat dari atas mereka, menyerang dengan ganas. "Menghindar!" teriak Morgan. "Aarrgghh!" teriak salah satu dari mereka, terhempas jatuh terluka oleh bola api itu. "Satu." Morgan membalikkan tubuhnya, mengambil posisi, dinyalakannya pemantik api miliknya, ia akan menyerang. Dengan cepat ia mengumpulkan sejumlah besar gumpalan api di tangannya, mengarahkannya kepada Riku yang tengah bergerak ke arahnya. Dipadatkannya api itu, besar, lebih besar, dan lebih besar. "Sihir Ap
"Morgan, kau akan mati."Riku mengangkat pedangnya, dia akan membunuh Morgan."Hahaha!!"Riku menahan pedangnya, Morgan--dia tertawa."Apa yang lucu?"Morgan menatap Riku. Sorot matanya, berubah."Yang lucu?""Fakta bahwa kau tidak akan bisa membunuhku.Hahaha!!"Tawanya mengerikan. Morgan, tanpa sadar, kehilangan kendali.Sementara Morgan tertawa. Riku kembali mengangkat pedangnya."Mati lah kau dengan kebodohanmu, Morgan"Pedang itu bergerak cepat ke arah leher Morgan, dan--Bumm!!Ledakan dahsyat tiba-tiba terjadi di sana. Riku terhempas oleh ledakan itu, seluruh tubuhnya terbakar, yang cepat ia padamkan dengan api biru. Api biru membakar api biasa. Riku tidak menyadari serangan itu, ia membentuk kuda-kuda, instingnya merasakan sesuatu akan datang. Matanya terfokus pada arah ledakan tadi, yang tepat mengenai dirinya dan juga Morgan.Musuh, kah?
“Kau tinggal sendiri?”Morgan yang syok melihat orang tuanya terbunuh, hanya diam mematung.“Hei, bocah?”Suara itu memanggilnya lagi. Tapi, nihil, dia masih terguncang dengan semua itu.“Hei, bocah! Kau dengar aku?”Suara itu, tapi percuma. Matanya, Morgan, tampak semakin kosong tiap detiknya. Tatapan ngeri.Tolong, bunuh saja aku, gumamnya. Plakk!Pemilik suara tadi, menampar Morgan. Pukulannya begitu kuat, menyadarkan tatapan Morgan. Kini ia mampu mengenali dan melihat sekitarnya. Dia menatap pria itu.“Apa kau malaikat maut?”Plakk, satu tamparan lagi.“Aduh! Apa sih masalahmu? Bodoh.” Geram Morgan.Siapa orang ini? Yang pasti bukan pembunuh yang tadi, dia terlihat baik.Pria itu berdiri. Tubuhnya gagah bak benteng raksasa, tatapannya tajam menusuk, dan wajahnya, wajah seorang pemimpin