Share

BAB 5 (Titik Awal)

Makan malam terasa begitu panjang, dan selesai saat menyentuh tengah malam. Morgan dan Teera menginap untuk malam itu. Teera tidur bersama Riku, dan Morgan tidur sendiri, dia selalu punya tempat untuk kembali, karena ini juga rumahnya.

Sebab kebahagian yang memuncak, Riku tertidur lebih pulas, sehingga ia bangun lebih pagi esoknya. Keluar rumah, membawa semua hadiahnya semalam, jimat--yang kini ia ikatkan menjadi kalung di lehernya--dan busur barunya yang diberikan oleh Teera.

"Baiklah, waktunya mencoba." Sebab langit masih sangat gelap, maka Riku akan mencoba berlatih untuk mengetahui kekuatan jimatnya. Mengetahui jimat ini menerimanya, dan lagi, ini adalah peninggalan ayahnya, ia tak sabar sekali untuk mencobanya. Ia berusaha mengingat apa yang dijelaskan oleh Morgan semalam.

"Dalam mengaktifkan kekuatan Jimat. Banyak sekali prosesnya, Riku. Em...maksudnya, banyak sekali pemicu."

"Bisa ketika berlatih, bertapa menfokuskan diri, terlibat pertarungan, bahkan kadang muncul disaat-saat yang genting." Jelas Morgan tadi malam.

Riku memperhatikan dan mengangguk.

"Kau sendiri bagaimana, Teera?" Tanya Riku tadi malam, sesaat setelah Morgan menjelaskan.

"Em...seingatku, mungkin bisa disebut pertarungan." 

"Saat aku baru pulang dari hutan, kakek tiba-tiba menyerangku dari jauh dengan sihir Jimatnya,"

"Aku yang saat itu tengah kesal, tidak memperdulikannya. Tiba-tiba, tanganku tertutup selaput angin dan spontan menangkis serangannya. Seingatku, seperti itu, Riku." Jelas Teera.

"Kalau aku…" Morgan bicara.

"...menggunakan cara tradisional, ya dengan duduk diam memfokuskan diri, merasakan aliran kekuatan dan mengeluarkan semuanya keluar."

"Saat membuka mataku, aku lihat sihir jimatku memenuhi seluruh tubuhku." Jelas Morgan.

"Tidakkah berbahaya, Morgan? Terlebih kalau melihat jenis sihir jimatmu?" Tanya Riku.

"Pengetahuan dasar, Riku. Pemilik sihir tidak akan terluka oleh sihirnya. Tubuhnya bisa rusak karena kelelahan atau sejenisnya."

"Tapi, sihirmu sendiri tidak akan berasa melukaimu, seperti itu." Riku kembali mengangguk, berusaha mencatat hal-hal penting tersebut di kepalanya.

"Kalau kakek? Seperti apa?" Tanya Morgan.

Kakek yang sudah pikun, mencoba mengingat masa-masa dulu.

"Kalau kakek, sepertinya karena terdesak." Ia coba mengingat.

"Saat kakek bermain di hutan, dan lupa kalau tidak boleh berada di padang rumput, semua bison datang mengejar kakek."

"Untuk sesaat kakek pikir akan mati, ternyata sihir kakek keluar, dan mereka semua seketika tidak bergerak. Lalu, kakek hanya berjalan pulang dengan santai"

Semua hanya diam memperhatikan, berbahaya kakek tua ini, gumam Riku dan Teera. Morgan sendiri terlihat bingung, tapi tidak kaget, hanya tertawa, hahaha.

Setelah semua membagikan pengalamannya tadi malam. Kini, Riku menimbang cara apa dulu yang harus dia coba.

Apa mungkin memfokuskan diri ya? Itu sepertinya agak mudah. Latihan? Bisa juga, sudah keseharianku. Saat-saat genting? Aku harap tidak, terlalu berbahaya, pikir Riku

"Baik, aku akan mencoba dengan yang bertapa." Ucapnya seraya duduk, memposisikan dirinya sedemikian nyaman, berusaha menarik nafas yang panjang, disusul dengan mengaturnya secara perlahan.

Dimulai sudah, proses pencarian kekuatan jimat Riku. Mencari fokus adalah hal yang sulit bagi banyak orang, membutuhkan waktu, membutuhkan latihan yang lama. Tapi, hal itu tidak berlaku bagi Riku.

Hidup bertahun-tahun di hutan yang sunyi. Melatih diri untuk berburu seumur hidupnya, kemampuannya dalam memanah, tidak mungkin didapatkan jika ia bukanlah orang yang tenang. Fokus, ketenangan, sudah menjadi bagian dari dirinya. Hal yang sulit disini adalah untuk merasakan kekuatan dari sihir tersebut, dan mendorongnya untuk keluar.

Lima belas menit berlalu, langit pun masih terlihat gelap. Riku masih dalam posisi yang sama. Tingkat ketenangan dan fokus yang luar biasa. Dia terus mencari titik kekuatan di alam bawah sadarnya.

Tiga puluh menit berlalu. Waktu yang masih sedikit untuk mencapai titik tersebut. Tapi, sekali lagi, itu bukan masalah bagi Riku, dengan segenap keteguhannya, yang bisa disebut bahwa dia memang seorang anak yang diberi anugerah, ya--dia berhasil menemukan titik itu.

Kini ia mencoba untuk menyebarkan seluruh energi yang terbatas itu, menuju seluruh tubuhnya, dan bagian ini akan memakan waktu lagi.

Sementara Riku memfokuskan diri. Langit mulai bergerak, menyikap mentari di balik awan-awan, menerangi seluruh benua. Teera baru saja bangun, kaget melihat Riku yang sudah tidak ada ditempatnya, merangsek berdiri, mencari Riku. Dia pergi ke dapur, Riku tidak ada. Dia pergi ke kamar mandi, Riku tidak ada. Setelah puas mencari di dalam rumah, ia berniat mencari Riku di luar, dan--

"Riku? Apa yang kau lakukan?" Tanya Teera yang terkejut melihat Riku sudah berkeringat dengan beberapa luka, dan pohon-pohon di depannya, terbakar, hitam legam habis terbakar.

"Aku? Latihan." Ucap Riku dengan wajah kumuhnya saat melirik Teera.

"Itu latihan apa bodoh? Lihatlah, kau membakar semua hutan itu!?" Geram Teera, ini bukan latihan baginya, hanya permainan Riku.

"Itu latihan, Teera." Teera melihat kebelakang, itu Morgan yang berbicara.

"Dan itu lebih dari latihan, itu berkah." Lanjut Morgan yang berjalan menuju Teera dan memegang kepalanya dengan bersahabat.

"Latihan apa Morgan? Meski itu Riku, aku tidak suka mereka yang merusak pepohonan." Jelas Teera.

Riku tidak menghiraukan mereka, tubuhnya penuh keringat, ia gemetar, beberapa seperti kotor dan luka kecil, nafasnya sedikit memburu, dia tengah menenangkannya.

"Bagaimana Riku? Sudah kau dapatkan?"

Teera hanya terdiam, bingung, sudah kau dapatkan? Apa? Kebakaran?!

Riku hanya tertawa ringan sambil melirik ke arah Morgan, "Mau dicoba?"

Teera yang tidak memahami apa yang tengah terjadi hanya diam dan berteriak.

"Apa yang dicoba?! Hey?!"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status