Jingan menukik tajam, membelah udara. Tubuhnya yang besar nan gagah memburu satu titik di rerimbunan hutan. Tubuh Jingan kian mendekati sasaran. Seekor harimau. Makhluk itu mengendap menuju mangsanya.
Biru langit jelas menyaksikan pertarungan elang raksasa itu melawan seekor harimau yang hendak memangsa bayi manusia yang kejer menangis.
Harimau itu mengaum, bersiap memangsa bayi mungil merah yang menangis ketakutan. Secepat kilat kibasan sayap Jingan, si elang bertubuh besar nan gagah menghalau gerigi harimau yang nyaris menggigit leher sang bayi. Pertarungan Jingan dan harimau pun terjadi. Merasa terganggu oleh kibasan sayap si elang, harimau itu berusaha mencakar sayap Jingan. Elang besar itu berkelit dengan gerakan lincah, tepat sehingga cakaran harimau gagal merobek salah satu sayapnya. Jingan terbang dengan penuh perhitungan mencari titik lemah lawannya. Upaya itu sekaligus sebagai pengalihan agar harimau menjauh dari mangsanya.
Pada satu detik waktu yang tidak terduga, Jingan menyerang dengan kedua sayapnya terbuka lebar. Manakala menyadari mendapat serangan mendadak, harimau itu berdiri dengan kedua kaki depannya berusaha menghalau cakaran kedua kaki Jingan. Mereka beradu kekuatan. Cakaran kedua makhluk itu diselingi auman harimau dan pekik Jingan penuh semangat. Kepakan kedua sayap Jingan menjadikan tubuhnya tetap dalam posisi di atas, sedangkan tubuh harimau masih berdiri dengan kedua kaki depannya menghalau cakaran liar Jingan bertubi-tubi.
Harimau itu mengaum panjang. Kesakitan. Satu bagian wajahnya me-merah. Darah deras mengucur. Satu matanya terluka. Cakaran Jingan berhasil membuat satu mata harimau itu bercucuran darah. Aumannya terhenti seiring tubuhnya lari dari medan pertarungan.
Jingan mendekati bayi mungil itu. Sepersekian detik binar sepasang matanya tajam menatap wajah bayi yang masih menangis meski tangisannya tidak sekejer barusan. Dengan perlahan, Jingan mencengkeram tubuh bayi mungil itu, membawanya terbang mengangkasa.
---
Kabut pagi menyelimuti Bukit Berkabut dengan keheningan yang magis, menyerupai selimut tipis yang merangkul bumi. Bukit Berkabut bagai seorang pandita mengenakan pakaian putih yang duduk tenang bertemankan awan. Di sebuah lapangan berumput yang tersembunyi dalam rimbunan bukit, seorang anak lelaki bergerak lincah seperti rusa yang tak mengenal lelah.
Anak lelaki itu berteriak lantang,
“Hiya!”
Tangannya terentang, dan dia lagi berteriak sembari gerak tubuhnya gesit.
“Hiya!”
Kakinya melompat.
“Hiya!”
Terkadang dia berguling-guling di tanah basah oleh embun. Latihannya menyerupai tarian alam yang harmonis, sebuah paduan kecekatan dan keluguan anak kecil, tetapi sarat dengan kekuatan tersembunyi. Udara pagi yang dingin tak membuatnya surut; dia terus melatih jurus-jurus yang diajarkan gurunya.
Dari kejauhan, Calistung mengawasi dengan tenang dari petilasannya. Jubahnya serbaputih, bersih dan sederhana, menjadikan sosoknya seolah-olah bagian dari kabut itu sendiri.
“Tegakkan tulang punggungmu!”
Sesekali senyumnya terlukis di wajah kerasnya, mencerminkan rasa bangga dan kagum pada kemajuan murid kecilnya.
“Jadikan rotanmu lurus menohok!” tuturnya lantang.
Sekali lagi senyumnya mengembang.
Pandangannya terhenti, matanya menerawang, dan ingatannya melayang ke masa lampau. Bayang-bayang pertemuannya dengan bayi kecil yang diantarkan oleh Jingan, sang elang perkasa, kembali membanjiri pikirannya.
Kala itu, Jingan muncul dari cakrawala dengan gagahnya, mencengkeram seorang bayi mungil dengan cakarnya yang kokoh, tapi lembut. “Dari mana anak ini, Jingan?” tanya Calistung dengan suara berat, tetapi penuh keingintahuan. Jingan menjelaskan dalam bahasanya yang unik dan dipahami oleh Calistung, bahwa bayi itu diselamatkannya dari serangan harimau ganas di tengah hutan. Kilatan mata tajam Jingan, yang mampu menembus lebatnya dedaunan, menyelamatkan bayi itu dari takdir tragisnya.
Kini, Bukit Berkabut telah menjadi rumah bagi bayi yang tumbuh menjadi Rimba Rangkuti, seorang anak yang tangguh dan gigih. Tempat yang sulit dijangkau oleh manusia biasa ini menjadi saksi dari pertumbuhan luar biasa Rimba. Pepohonan menjulang dan gemercik air terjun menciptakan melodi abadi, bagai memeluk anak itu dalam keajaiban alam.
Pagi itu, dengan tongkat rotan di tangannya, Rimba mengiris udara yang dingin, mengukir bayangan gerakan yang sarat energi dan kegigihan. Sinar matahari yang mulai naik menambah kilau peluh di kulitnya. Dari atas, Calistung turun layaknya burung rajawali yang melayang, menguji muridnya dengan serangan-serangan yang tak terduga. Rimba bertahan, menyerang balik, hingga satu gerakan cepat dari gurunya membuat tongkat rotan itu terlepas dari genggamannya.
Calistung tersenyum, menepuk lembut kepala Rimba. “Kamu telah berusaha keras, Anakku. Sekarang waktunya kita makan,” ucapnya penuh kebapakan.
“Mari, Guru.” Rimba berkata dengan sopan.
Dan dengan tawa ringan, keduanya melangkah menuju hangatnya sarapan, meninggalkan lapangan yang masih dipenuhi energi perjuangan dan semangat hidup.
---
Langit biru yang melengkung di atas Bukit Berkabut menyatu dengan tenangnya alam. Di bawah pandangan tajam Jingan, si elang raksasa, sosok Calistung dan Rimba terlihat kecil. Sayapnya yang megah terbentang seperti layar besar, berkilauan diterpa matahari menjelang siang. Elang itu melayang-layang, mencermati langkah dua penghuni bukit yang menuju rumah panggung berbingkai kayu kokoh, diam melayang seperti penjaga rahasia alam.
Tanpa berpaling, tangan Calistung terangkat, lambaiannya sederhana, tapi sarat makna. Seruan bisu itu dimengerti Jingan, yang segera menukik turun menembus udara dengan kepakannya yang nyaris tanpa suara. Dalam sekejap, elang perkasa itu berdiri gagah di dekat mereka, tubuhnya terlihat kekar, dengan otot-otot yang membungkus sayapnya seakan-akan siap melindungi siapa saja yang ada dalam jangkauannya. Matanya memindai Bukit Berkabut yang terbentang, mencari tanda-tanda ancaman. Namun kabut yang tebal menutupi segalanya, menghadirkan kedamaian dan misteri dalam satu helaan napas.
Sesampainya di rumah panggung, aroma makanan yang sederhana sungguh menggoda menyambut mereka. Perut Rimba, yang bergejolak seperti drum perang sesudah latihan yang menguras tenaga, taksabar lagi menanti santapan.
Dengan lahap Rimba mengunyah. Tiap suapan seperti perayaan kecil bagi seorang anak yang lapar dan puas.
“Masakan Nenek Suyatim tidak pernah salah,” ujar Rimba, “..., selalu benar!”
“Selalu enak, Rimba,” tukas Calistung selesai meneguk minumannya.
Rimba tersipu malu. Begitu pun Nenek Suyatim yang ikut pula makan bersama mereka berdua.
Di seberang meja, Calistung masih menyantap makanannya dengan tenang. Setiap gerakannya perlahan, mencerminkan kedalaman seorang guru yang memaknai hidup dengan sederhana dan bijaksana.
Nenek Suyatim sejenak menengok ke beranda rumah.
Tak jauh dari sana, di beranda rumah, Jingan menikmati bagiannya. Elang itu mematuk seonggok daging segar. Ketenangan dan kekuatan bagai terpancar dari tiap gerakannya.
Dalam kebersamaan yang aneh namun alami itu, Bukit Berkabut sekali lagi menjadi saksi bisu dari harmoni antara manusia dan alam, makhluk kuat, Guru Calistung dan seorang anak kecil yang berusaha keras mengenali takdirnya. Di bawah kabut yang menyelimuti, rahasia pagi itu tetap terjaga, hanya untuk mereka yang bersedia mendengarkan cerita yang tidak pernah diucapkan.---
Rimba Rangkuti dan Cucu akhirnya melihat dengan mata kepala bagaimana sebuah perseteruan antara ayah-anak itu terjadi.“Ketika kita meninggalkan anak-anak Akarlangit, mereka tersenyum bahagia,” ujar Cucu.Rimba diam, tidak menimpali ucapan sahabatnya. Dia menarik selimut di kamar penginapan yang berisi empat orang. Yu Lie dan Lon Chang sudah lelap sedari tadi.“Aku, kamu, dan mereka berdua hanyalah pengembara.” Kata Rimba lagi, “Kita tidak bisa memilih apa yang akan kita lihat dan alami.”Kali ini Cucu diam di balik selimut. Pandangannya tajam pada langit-langit kamar tempat mereka menginap malam itu.“Setidaknya, pikiranmu kali ini lebih baik dari sebelumnya.”Rimba tersenyum di sisi Cucu lalu beringsut memunggunginya. “Ayo, tidur.”Sepasang mata merah Cucu menghilang nyalanya.---Langkah Lou Cho Nghek kembali menapaki dunia luar. Namun dunia yang dilihatnya bukan lagi dunia yang sama. Salju tampak lebih kelabu, langit tampak lebih rendah, dan wajah-wajah di jalanan tampak seperti b
Di tengah kabut salju yang meruap, langkah Lou Cho Nghek mengoyak kesunyian malam. Napasnya memburu. Matanya me-merah bukan karena dingin, melainkan karena bara yang membakar dadanya tak henti-henti.Di hadapannya, rumah kayu kecil berdiri tenang. Sepasang cahaya dari dalam memperlihatkan siluet Thong Chai dan Mei Chin yang tengah duduk bersebelahan. Sebuah ketenangan yang menjadi bahan bakar bagi amarah Lou Cho Nghek.Dia tak mengetuk. Pedangnya membelah pintu kayu itu seperti membelah kenangan masa kecil yang dipenuhi cacian: "Anak yang gagal menjadi bayangan ayahnya."Mei Chin bangkit lebih dulu. Kipas baja terlipat di tangannya. Tatapannya dingin, tapi tak gentar. Thong Chai berdiri dengan gerakan mengalir seperti embun yang tak bisa dicegah oleh badai.“Lou Cho Nghek,” ucap Thong Chai pelan, “kau datang dengan amarah, bukan keberanian.”“Aku datang dengan kebenaran yang kalian sembunyikan!” balasnya dengan suara parau.Pertarungan pun meletus. Ruang sederhana itu berubah menjadi
Kedengkian tidak memerlukan alasan. Ia hanya tumbuh bagai semak belukar. Mungkin hanya api yang dapat meluluhlantakkan kedengkian sehingga panasnya pun menjalar ke sekujur tubuh yang meronta-ronta.Lou Cho Nghek mengendapkan kedengkiannya kepada Thong Chai dan Mei Chin. Pasangan itu menghindar untuk menghindari perseteruan. Mereka berdua memilih ketenteraman di satu rumah sederhana. Keseharian mereka adalah berkebun, menggembalakan binatang ternak, merajut cinta dan kasih sayang dalam setiap senyum dan lelah tubuh mereka.Sekte Yǒngjiǔ tetap menjadi sekte yang disegani meskipun rumor kekalahan Lu Thong sudah menyebar. Namun banyak dari para pendekar berempati, dan beranggapan bahwa ayah lebih memilih untuk mengalah demi sang anak.“Lu Thong bukan orang sembarangan. Lou Cho Nghek itu anak bau kencur, sekali kepret, habis anak itu.” Satu pendekar mengungkapkan pendapatnya ketika sedang duduk-duduk di kedai.“Dan, Thong Chai bisa saja mengalahkan anak Lu Thong itu.” Satu pendekar berambu
Salju turun perlahan di atas puncak Gunung Xuelan, menyelimuti tanah dengan keheningan yang menyesakkan. Di bawah langit kelabu, dua bendera berkibar: satu berwarna biru keperakan bertuliskan Yǒngjiǔ, satu lagi merah darah bertuliskan Shèng Xuè. Dua sekte, dua jalan, dua darah yang sama—namun kini saling menantang.Di aula utama Sekte Darah Suci, Lou Cho Nghek berdiri di depan para murid barunya. Matanya tajam, penuh bara yang tak padam. Di belakangnya, Guru Duan duduk bersila, wajahnya tenang lamun penuh perhitungan.“Mulai hari ini,” kata Lou Cho Nghek. Suaranya menggema, “kita tidak tunduk pada warisan yang membusuk. Kita tidak tunduk pada nama yang hanya menjadi beban. Kita adalah darah yang murni, yang memilih jalannya sendiri.”Seorang murid muda, Liang Fei, mengangkat tangan. “Tapi ..., Tuan Lou, apakah benar Sekte Yǒngjiǔ adalah tempat kelahiranmu? Tempat ayahmu mengajar dan membesarkanmu?”Lou Cho Nghek menatapnya lama. “Benar. Dan karena itulah aku tahu betapa rusaknya akar
Rimba memandang sahabatnya. Raut wajahnya bingung. Sementara, Cucu, sahabatnya pun ekspresi wajahnya bingung.“Mengapa dalam pandangan mereka berdua, kita adalah binatang?”Cucu menggeleng bingung dan tak mengerti.“Aku tidak melangkah dengan empat kaki.”“Aku juga begitu,” sahut Cucu.Akibat bertemu tiba-tiba dengan Cucu yang tinggi besar dan Rimba Rangkuti, Lon Chang, si Pengembara Botak dan Yu Lie berhalusinasi. Mereka mengidentikkan tubuh Cucu dan Rimba ramping seperti kijang, tapi kulitnya bersisik keperakan dan matanya bersinar kehijauan. Mereka berdua hanya menatap dengan sorot yang tak manusiawi. Lalu halusinasi mereka mulai ngaco, hingga mitos Qisao, Gunung Xuelan dan sebagainya menjadi igauan. Di padang rumput, mereka berhalusinasi, mengigau. Sementara Rimba dan Cucu hanya mampu tertegun melihat tingkah Lon Chang dan Yu Lie.“Kita masih beruntung.”“Beruntung?”
“Qisao adalah mitos,” sebut Lon Chang.Yu Lie diam, mengangguk tidak, menggeleng pun tidak.“Apa yang kualami cuma mimpi.”Yu Lie melirik gelang di genggaman Lon Chang.Lon Chang mengeratkan genggamannya.“Kalau sekadar mimpi, kenapa gelang itu bisa berada di tanganmu?”Lon Chang tersadar dan mengangkat genggamannya, melihat gelang itu dengan saksama. Kemudian dia memandang Gunung Xuelan.“Gerbang terbuka dalam semusim,” gumam Lon Chang.Yu Lie pun mencari apa yang dipandang oleh Lon Chang. Kemudian gadis itu berkata, “Kamu mau ke sana?”Lon Chang terlihat ragu. “Aku berharap ini sekadar mimpi.”---Lon Chang menatap siluet Gunung Xuelan yang menjulang dengan tenang dan dingin, seperti menyimpan ribuan rahasia dalam kabut abadi. Langit berwarna kelabu, menyiratkan musim yang berubah dan waktu yang tidak lagi pasti. Angin berdesir pelan,