Home / Pendekar / Rimba Memburu Senala / 2- Di Sisi Lain Bukit Berkabut

Share

2- Di Sisi Lain Bukit Berkabut

Author: Erbidee
last update Last Updated: 2025-03-12 14:28:37

Di tengah kebahagiaan yang meluap-luap, siapa yang akan menyadari niat buruk itu?

Pagi itu, rumah kecil di ujung desa menjadi pusat keramaian. Suara tawa dan canda bercampur dengan tangisan bayi yang baru lahir, menciptakan harmoni yang meriah. Senala, bayi perempuan yang baru saja diberi nama, menjadi pusat perhatian. Kulitnya seputih kapas, rambutnya hitam pekat meski belum lebat, dan pipinya yang bulat membuat siapa pun yang melihatnya tak kuasa menahan senyum.

Para tetangga berdatangan, membawa doa dan harapan untuk bayi mungil itu. Rumah yang biasanya sunyi kini penuh dengan suara langkah kaki dan obrolan hangat. Tawa bahagia menyelimuti setiap sudut, seperti selimut tak kasatmata yang melindungi keluarga kecil itu dari dinginnya pagi.

Namun, di tengah kebahagiaan itu, ada satu sosok yang menyembunyikan niat gelap. Bagong, tetangga yang selama ini dikenal pendiam, berdiri di sudut ruangan dengan senyum tipis yang sulit diartikan. Matanya sesekali melirik ke arah Senala, bukan dengan kasih sayang, melainkan dengan rencana yang berbahaya.

Hari-hari berlalu, dan Senala tumbuh menjadi bayi yang menggemaskan. Pipinya yang merah muda seperti apel segar membuat siapa saja ingin mencubitnya. Orang tuanya, yang tak pernah lelah mencurahkan kasih sayang, merasa hidup mereka kini lengkap. Kebahagiaan itu seperti aliran sungai yang tak pernah kering.

Mereka memutuskan untuk mengadakan perayaan besar-besaran. Semua tetangga diundang, dan persiapan dilakukan dengan penuh semangat. Makanan terbaik, minuman segar, dan buah-buahan melimpah disiapkan untuk menyambut tamu. Rumah itu kembali menjadi pusat perhatian, kali ini dengan dekorasi yang meriah.

Namun, di balik tirai malam sebelum perayaan, Bagong merencanakan aksinya. Dia tahu, di tengah kelelahan setelah persiapan panjang, pengawasan terhadap Senala akan melemah. Dengan langkah yang hati-hati, dia menyelinap masuk ke rumah itu, mengambil bayi mungil yang sedang terlelap, dan menghilang dalam gelapnya malam.

Pagi harinya, rumah yang semalam penuh dengan tawa berubah menjadi lautan air mata. Orang tua Senala panik, mencari ke setiap sudut rumah, memanggil-manggil nama bayi mereka yang hilang. Para tetangga, yang semula datang untuk merayakan, kini hanya bisa saling pandang, bertanya-tanya bagaimana kebahagiaan yang begitu besar bisa berubah menjadi duka yang mendalam dalam sekejap. Di tengah kabut pagi, misteri hilangnya Senala mulai menyelimuti desa itu, membawa cerita yang tak akan pernah dilupakan. Rumah yang semalam penuh dengan tawa berubah menjadi lautan air mata.

Di luar rumah, kabut pagi menyelimuti desa, seolah-olah ikut menyembunyikan jejak Bagong. Langit yang biasanya cerah kini tampak suram, mencerminkan suasana hati keluarga Senala. Mereka tak pernah menyangka bahwa kebahagiaan yang mereka rasakan akan direnggut begitu cepat.

Bagong, dengan bayi di pelukannya, melangkah cepat menuju hutan di pinggir desa. Dia merasa puas dengan rencananya yang berjalan mulus. Namun, di dalam hatinya, ada rasa gelisah yang mulai tumbuh, seperti duri kecil yang menusuk tanpa henti.

Sementara itu, para tetangga mulai berkumpul di rumah keluarga Senala. Mereka mencoba menenangkan orang tua yang kehilangan, meski mereka sendiri tak tahu harus berbuat apa. Suasana yang semula penuh dengan tawa kini berubah menjadi keheningan yang mencekam.

---

Di bawah langit yang gelap tanpa bintang, Bagong melangkah dengan hati-hati. Bayi mungil bernama Senala terbungkus kain lusuh di punggungnya, tubuh kecilnya nyaris tak bergerak, hanya sesekali terdengar suara napas lembutnya. Bagong, dengan tubuh gemuknya yang berkeringat, berjalan menyusuri jalan setapak yang jarang dilalui manusia. Kabut tebal menyelimuti hutan, membuat setiap langkah terasa seperti memasuki dunia lain yang penuh misteri.

Tidak ada yang tahu niat busuk Bagong. Senala, bayi tak berdosa itu, akan dijual kepada seorang perempuan bernama Mamak Jambul. Perempuan itu, meski namanya aneh, tidak memiliki jambul di kepalanya. Sebaliknya, dia adalah sosok tinggi semampai dengan kulit bersih dan senyum yang selalu tampak salah tempat—bak ada sesuatu yang disembunyikan di balik keramahan palsunya. Mamak Jambul telah menjanjikan sekeping emas kepada Bagong, cukup untuk membuat mata siapa pun berbinar.

Bagong terus berjalan, melewati jalan-jalan sempit yang dipenuhi akar pohon dan semak belukar. Tidak ada yang mencurigainya. Bahkan ketika dia melewati beberapa orang di desa kecil yang dilaluinya, mereka hanya mengira dia membawa barang dagangan biasa. Bagong tahu, jalur yang dia pilih adalah jalur yang sulit, tetapi itu membuatnya merasa aman. Tidak ada yang akan mengejarnya di tempat seperti ini.

Bila malam, Bagong menyewa penginapan kecil di desa-desa yang dia lewati. Dia memastikan untuk tidak menarik perhatian, meski tubuhnya yang besar dan wajahnya yang selalu berkeringat sering kali membuat orang melirik. Senala, yang terbungkus kain di punggungnya, tetap diam, seperti mengerti bahwa tangisannya bisa membawa bahaya.

Setelah beberapa hari perjalanan, Bagong akhirnya tiba di sebuah rumah besar di pinggir hutan. Rumah itu milik Mamak Jambul. Perempuan itu menyambutnya dengan senyum lebar yang membuat bulu kuduk Bagong meremang. "Ah, akhirnya kau datang," katanya dengan suara lembut yang terdengar seperti bisikan ular. Matanya langsung tertuju pada Senala, yang masih terlelap dalam kain pembungkusnya.

Mamak Jambul mengambil bayi itu dengan hati-hati, laksana memegang harta karun yang paling berharga. "Ini yang aku impikan," katanya, matanya berbinar dengan kegembiraan yang aneh. Tanpa banyak bicara, dia menyerahkan sekeping emas kepada Bagong. Keping emas itu berkilauan di bawah cahaya lampu minyak, membuat wajah Bagong yang lelah tiba-tiba cerah.

Namun, sebelum Bagong sempat pergi, Mamak Jambul mendekatkan wajahnya ke arah Bagong. Senyumnya menghilang, digantikan oleh ekspresi dingin yang membuat darah Bagong membeku. "Ingat," katanya dengan suara rendah, "jangan pernah kau buka mulut tentang ini. Jika kau berani, aku sendiri yang akan mencabut nyawamu."

Bagong mengangguk cepat, senyum lebar yang tadi menghiasi wajahnya kini berubah menjadi senyum kaku. Dia tahu ancaman itu bukan sekadar kata-kata. Mamak Jambul, dengan segala keanehannya, adalah sosok yang tidak bisa dianggap enteng. Dengan langkah tergesa, Bagong meninggalkan rumah itu, kepingan emas di genggamannya terasa lebih berat dari yang seharusnya.

Di dalam rumah, Mamak Jambul menatap Senala dengan mata yang penuh obsesi. Bayi itu kini menjadi miliknya, atau setidaknya begitulah yang dia pikirkan. Namun, di luar sana, di balik kabut yang menyelimuti hutan, sesuatu yang tak terlihat sedang mengintai. Sebuah bayangan gelap yang membawa ancaman, bukan hanya untuk Mamak Jambul, tetapi juga untuk Bagong dan semua yang terlibat dalam kejahatan ini. Malam itu, udara terasa lebih dingin dari biasanya, seolah-olah alam sendiri menahan napas, menunggu apa yang akan terjadi selanjutnya.

Langit di atas desa tampak suram meski matahari bersinar seperti biasa. Rasanya sinar itu tak mampu menembus kabut duka yang menyelimuti setiap sudut Desa Jenang. Di sebuah rumah kecil, tangis seorang ibu terdengar lirih, nyaris seperti bisikan. Matanya bengkak karena air mata yang tak kunjung berhenti. Di sisinya, seorang pria duduk dengan kepala tertunduk, genggamannya erat pada segelas air yang bahkan tak disentuhnya. Mereka adalah orang tua Senala yang masih meratap kehilangan bayi mungil mereka.

Orang-orang desa tak tinggal diam. Dari pagi hingga sore, mereka menyusuri setiap jengkal tanah mencari jejak yang mungkin mengarah pada Senala. Semua usaha terasa sia-sia. Di batas hutan, hanya keheningan yang menjawab. Di goa-goa yang gelap, hanya bayang-bayang yang menyambut. Bahkan di lembah tersembunyi yang jarang dijamah manusia, tidak ada tanda-tanda kehidupan. Senala seperti lenyap ditelan bumi.

Di setiap pertemuan, para tetua desa duduk melingkar, membicarakan legenda lama tentang siluman naga yang konon mendiami Bukit Berkabut.

"Mungkinkah ini ulahnya?" Salah seorang warga bertanya dengan suara bergetar.

Tak ada yang menjawab, tetapi keheningan itu cukup untuk menanamkan ketakutan di hati mereka.

Jika benar, mungkinkah mereka masih bisa menyelamatkan Senala?

Sementara itu, ibu Senala tak pernah menyerah. Bila malam, dia duduk di beranda rumahnya, memandangi langit dengan harapan yang hampir padam. "Kembalikan anakku," bisiknya pada angin malam. Suaranya penuh dengan luka dan kerinduan. Setiap hembusan angin yang melewati wajahnya terasa seperti jawaban meski tak satu pun membawa kabar baik.

Ayah Senala, meski hatinya hancur, berusaha tetap kuat. Dia bergabung dalam setiap pencarian, melangkah melewati jalan setapak yang sulit dengan tekad yang hanya dimiliki seorang ayah yang putus asa. Setiap bayangan di kejauhan membuatnya berharap, hanya untuk kemudian dihancurkan oleh kenyataan. Tapi dia tak pernah berhenti. Di matanya, setiap sudut desa adalah peluang untuk menemukan putrinya.

Tetangga-tetangga yang dulu datang dengan senyum kini menawarkan dukungan dengan keheningan penuh empati. Mereka membawa makanan untuk keluarga Senala, meski tahu mungkin tak akan disentuh. Mereka duduk di halaman rumah keluarga itu, menemani dalam diam, karena kadang-kadang, kehadiran jauh lebih berarti daripada kata-kata.

Hari berganti menjadi minggu. Anak-anak desa, yang biasanya berlarian ceria, kini hanya bermain dekat rumah, mata mereka sesekali melirik dengan rasa ingin tahu sekaligus cemas. Kehilangan Senala terasa seperti luka yang dimiliki bersama.

Namun, di tengah kegelapan itu, ada secercah harapan yang tak bisa dipadamkan. Ibu dan ayah Senala percaya, entah bagaimana, bahwa mereka akan melihat senyum mungil putri mereka lagi. Keyakinan itu, meski rapuh, menjadi bahan bakar yang menjaga mereka tetap berjalan, tetap berharap, dan tetap memohon pada semesta untuk mengembalikan Senala ke tempat yang seharusnya: rumah.---

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Rimba Memburu Senala   18- Lembah Rahasia

    Rimba duduk anteng di pangkal dahan besar sebuah pohon yang tinggi menjulang. Kesendiriannya diliputi suasana khas Hutan Belubuk. Sunyi. Meski kesunyian yang begitu dia nikmati kadang terganggu oleh gemeresak dedaun atau rerumput yang terinjak oleh tubuh maupun kaki penghuni Hutan Belubuk yang gesit bergerak, semua itu tidak membuat Rimba batal anteng duduk di pangkal dahan besar sebuah pohon yang tinggi menjulang.Rimba baru saja selesai berlatih gerakan bela diri. Tanpa dia sadari, gurunya telah berhasil mendidiknya dengan menanamkan suatu pemahaman: alah bisa karena biasa. Bugar dia dapatkan lantaran rutin berlatih jurus-jurus Calistung. Setiap hari. Setiap waktu. Tidak peduli di mana tempat, Rimba tekun berlatih bela diri dengan mengulang gerakan jurus-jurus yang sudah diajarkan gurunya, Calistung.Meskipun sendirian, duduk anteng untuk mengusir lelah dan membuat keringatnya menguap, mata dan pendengaran Rimba tetap awas, waspada. Sebuah pengajaran Calistung kepadanya. Sebuah ilmu

  • Rimba Memburu Senala   17- Lima Bangkotan Itu Berlatih

    Matahari sepenggalah. Hutan Belubuk menghangat. Begitu juga dengan Padepokan Mamak Jambul. Sebuah area di dalam jantung Hutan Belubuk yang tersembunyi itu diliputi oleh pagar bambu yang rapat, berdiri terpancang setinggi tiga meter.Di angkasa biru, Jingan melayang dengan sayap terkembang. Matanya yang awas mengawasi beberapa tubuh yang tengah bergerak kompak di area Padepokan Mamak Jambul. Tanah lapang itu menjadi saksi bagaimana lima orang yang sudah bisa disebut: bangkotan, masih sudi menimba ilmu, berguru kepada Mamak Jambul.Codet begitu bersemangat. Walau gerakan-gerakan kaki dan tangannya belum sekompak dengan murid sebangkotan lainnya, dia bersikeras. Terkadang dia meringis menahan nyeri akibat lukanya yang belum sembuh total. Untuk menghalaunya, Codet beberapa kali berteriak. Teriakan itu sebagai cara dia melampiaskan rasa nyeri bila datang tiba-tiba.Codet masih bertahan meski napasnya sudah mulai berat. Gerakan kakinya sedikit terseret, tapi pandangannya tetap tajam. Dia me

  • Rimba Memburu Senala   16- Berempat, Mereka Menuju Padepokan

    Sungguhpun lelah dan terengah-engah, Calistung segera menggunakan jurus pernapasan untuk mengatasinya. Pepohonan yang porak-poranda dan semak yang menghitam menjadi saksi bisu pertarungan sengit tadi. Udara malam membawa bau hangus dan jejak energi yang tak lagi dapat dijelaskan. Calistung, seorang pendekar berumur yang selalu tampak tenang, perlahan berdiri. Napasnya yang awalnya terengah-engah mulai teratur, berkat jurus pernapasan yang dia pelajari bertahun-tahun. Tongkat kayu tua yang kini menjadi tumpuannya terasa sedikit lebih berat, tapi dia tetap melangkah dengan langkah penuh kepercayaan diri.Sementara itu, lambat laun tubuh Siluman Ular Belubuk berubah menjadi asap dan lesap, menyatu bersama udara malam Hutan Belubuk. Kegelapan yang pekat di hutan itu terasa berbeda, bagai menyimpan rahasia yang tak mampu diungkap oleh manusia biasa. Yang tersisa hanya pepohonan yang acakadut, roboh, semak-semak menghitam dalam gelapnya malam di Hutan Belubuk.Pendekar Calistung menyeka dah

  • Rimba Memburu Senala   15- Senala, Joran, dan Rimba

    Aliran sungai jernih satu-satunya di lembah itu dikelilingi pohon-pohon besar. Tidak jauh dari sungai itu, satu dataran cukup lapang dijadikan tempat berlatih Senala barusan. Gadis remaja Hutan Belubuk itu, dengan gesit dan lincah, meliuk-liuk menghindari serangan tongkat kayu Rimba. Rimba, dengan wajah serius, berusaha keras melancarkan serangan. Namun gerakannya masih kaku dan kurang terarah.Sebenarnya, Rimba menutupi kemampuan bela diri yang sudah dimilikinya. Senala tidak mengetahui bahwa Calistung adalah pendekar digdaya yang sebenarnya. Nama Calistung tidak setenar Mamak Jambul. Justru ketidaktenarannya itu membuatnya merasa lebih aman dan nyaman. Calistung tidak membutuhkan ketenaran dan nama besar.Mereka berdua benar-benar lelah. Di pinggir aliran sungai, Rimba mengusap wajahnya dengan air sungai yang jernih. Kesegaran menyentuh pori-pori wajahnya yang hangat berkeringat. Rambut ikalnya, juntaiannya ikut pula basah.Senala ikut pula berjongkok di sisi Rimba. Dengan adat yang

  • Rimba Memburu Senala   14- Calistung versus Ular Siluman Belubuk

    Calistung berdiri tegak, tangannya terangkat, memancarkan cahaya biru yang kuat. Perisai energi yang melindunginya bergetar hebat saat Siluman Ular Belubuk menyerang dengan taring dan ekornya yang besar. Desisan ular itu memekakkan telinga, dan setiap serangannya mengguncang tanah di sekitar mereka."Kau tidak akan bisa mengalahkanku, manusia!" desis Siluman Ular Belubuk. Suaranya seperti gemuruh batu yang bergesekan. "Hutan ini adalah wilayahku, dan kau tidak punya hak untuk melewatinya!""Aku tidak mencari masalah," jawab Calistung tegas. Suaranya tenang. "Tapi kami harus melewati hutan ini untuk menyelamatkan teman kami.""Tidak ada yang boleh melewati hutan ini!" raung Siluman Ular Belubuk. Amarahnya memuncak. Ia meluncurkan serangan dahsyat, menerjang perisai energi Calistung dengan seluruh kekuatannya. Perisai itu bergetar hebat, dan retakan-retakan mulai muncul di permukaannya.Calistung mengerahkan seluruh kekuatannya untuk mempertahankan perisai itu. Keringat membasahi dahiny

  • Rimba Memburu Senala   13- Siluman Ular Belubuk

    Di dalam rumah di pinggir Hutan Belubuk, Codet meringkuk di atas tikar pandan, keringat dingin membasahi dahinya. Luka menganga di perutnya, bekas sabetan Golok Rajawali Baramundi, sudah berhenti mengeluarkan darah. Jempol dan Bau sudah tidak begitu cemas lagi."Bagaimana keadaannya, Jempol?" tanya Bau. Suaranya bergetar.Jempol berhenti mondar-mandir, menatap Codet yang pucat pasi. "Luka ini terlalu dalam. Kita butuh tabib, Bau.""Tapi tabib terdekat ada di desa seberang hutan. Perjalanan ke sana bisa memakan waktu berjam-jam," sahut Bau, kembali khawatir.Codet mengerang pelan, matanya terbuka sedikit. "Jangan ..., jangan pergi ..., tinggalkan aku ....""Kami tidak akan meninggalkanmu, Codet," kata Jempol, menggenggam tangan Codet erat. "Kami akan mencari cara untuk membantumu."Tiba-tiba, pintu rumah terbuka. Ceking dan Matu masuk diikuti Mamak Jambul, Calistung, dan Baramundi. Mata mereka langsung tertuju pada Codet yang terbaring lemah."Ya ampun, parah sekali lukanya," seru Mama

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status