Home / Pendekar / Rimba Memburu Senala / 30h- Zulaika Bertemu Salman

Share

30h- Zulaika Bertemu Salman

Author: Erbidee
last update Huling Na-update: 2025-06-15 10:25:40

Senala menatap Bukit Berkabut yang menjulang tinggi.

“Bagaimana kita bisa ada di puncak bukit itu, Mak?” tanya Senala sedang matanya memicing.

“Baramundi?” tanya Mamak memastikan Pendekar Golok Rajawali itu yang menjawab pertanyaan muridnya.

Baramundi tidak menjawab. Dia ikut pula mendongak sebagaimana Senala mendongak. Rambutnya yang terikat bagai punuk di belakang batok kepalanya menjadi miring. Satu tangannya di atas dahi sebagai penangkal sinar matahari mengganggu pandangannya kala berusaha memastikan puncak Bukit Berkabut.

Si Manis di bahu Senala tidak ikut mendongak. Wajahnya menengok ke sana kemari. Binatang itu menyadari bahwa wilayah yang sedang dikunjunginya adalah sebuah wilayah yang “baru” dan “aneh” menurutnya.

Mamak Jambul mengulang panggilannya kepada Baramundi.

Lelaki berjanggut hitam itu pun menoleh, tersenyum kepada Senala. Kemudian, satu tangannya terulur menunjuk satu titik di bahu Bukit Berkabut yang sedikit tertutup kabut.

“Ke sana?” tanya Senala ragu.

Sementara
Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App
Locked Chapter

Pinakabagong kabanata

  • Rimba Memburu Senala   93- Syahdan di Tanah Salju

    Saat musim berganti dan salju tak lagi memaksakan dinginnya, Sekte Yǒngjiǔ berdiri sebagai monumen dari banyak luka yang perlahan disembuhkan. Para pendekar kembali ke jalan masing-masing, membawa bukan hanya ajaran bela diri, tetapi pelajaran tentang hati, tentang kehilangan, dan tentang keberanian untuk memaafkan.---Di ruang meditasi yang tenang, Yu Lie menulis jurnalnya sendiri, bukan untuk dikenang, melainkan untuk menjaga agar sejarah tak kembali dibengkokkan oleh ambisi. “Kebenaran bukan pisau,” tulisnya. “Ia adalah cermin. Kadang menyakitkan, tapi tanpanya, kita berkelana tanpa arah.” Dia menyadari bahwa tugasnya tak pernah hanya tentang membongkar rahasia—tapi mengembalikan jiwa yang terluka ke pelukan dunia.Langit malam di atas Tanah Riuh menggantung kelabu, seolah-olah enggan memberi cahaya pada hari-hari yang masih mengandung luka. Angin membawa bau debu, lilin yang telah padam, dan sisa harapan yang belum dibakar oleh ketakutan.Di ruang meditasi yang sama, Yu Lie duduk

  • Rimba Memburu Senala   92- Kehadiran Chen Lung

    Di tengah Tanah Salju yang kini menampakkan rona musim semi, Pertemuan Agung dimulai dengan arak-arakan para pendekar dari berbagai sekte. Aula utama Sekte Yǒngjiǔ kembali menjadi pusat perhatian. Simbol naga bersinar terpahat segar di dinding, dan langit tampak bersahabat, menyingkirkan salju demi cahaya kehangatan.Pertemuan Agung itu adalah pertemuan kedelapan semenjak Mei Chin dan Thong Chai terpisah.Thong Chai berdiri di podium kehormatan, mengenakan jubah biru keperakan, sementara Mei Chin berada di sisinya, tangannya menggandeng seorang bocah lelaki yang belum genap sepuluh tahun, tetapi sorot matanya tajam dan menyala penuh semangat.“Ini adalah Chen Lung,” ucap Mei Chin dengan suara bergetar, “Putra kami. Buah dari cinta yang tumbuh di tengah badai.”Chen Lung menggenggam jubah ayahnya. Tatapan para pendekar berubah dari hormat menjadi haru. Anak kecil itu membungkuk perlahan seperti telah diajarkan sejak bayi untuk menghormati para tetua. Mungil tubuhnya, tapi langkahnya ga

  • Rimba Memburu Senala   91- Bayangan di Balik Dinding Sekte

    Malam telah menjelma sunyi, memeluk Tanah Salju dengan keheningan yang dalam. Bangunan utama Sekte Yǒngjiǔ tampak seperti benteng batu yang membeku. Namun di dalamnya, Yu Lie dan tiga rekannya sudah menyusup ke lorong tersembunyi, dipandu oleh petunjuk yang mereka temukan di naskah tua kedai penginapan: peta kecil dengan tinta tipis yang memudar. Tidak ada yang tahu bahwa mereka sudah berada di jantung tempat yang dulu hanya bisa dimasuki oleh Lu Thong sendiri.“Lorong ini tidak tercatat dalam arsip umum,” bisik Yu Lie sambil mengusap embun dari dinding.Rimba berlutut memeriksa celah lantai. “Ada jejak. Beku. Tapi baru satu-dua hari. Mungkin Lu Thong sempat ke sini sebelum wafat.”Lon Chang mendorong sebuah rak tua dengan lambang ukiran naga. Terdengar suara berderak, dan rak itu bergeser membuka lorong tangga turun yang gelap.Cucu tersenyum tipis. “Akhirnya tempat rahasia yang layak disebut rahasia. Mari kita turun dan menggali kebenaran.”---Ruangan di bawah tanah itu dingin dan

  • Rimba Memburu Senala   90- Ada yang Janggal

    Angin di luar aula berderu pelan, seperti bisikan alam yang turut berduka. Aroma dupa menyesakkan dada, menggiring pikiran para pelayat pada kenangan yang belum sempat diselesaikan.Lou Cho Nghek datang tepat ketika langit meredup. Langkah-langkahnya tidak terdengar, tapi tatapan matanya mengguncang suasana. Dia berdiri di ambang pintu aula, mengenakan jubah abu-abu tua yang dipenuhi lapisan salju. Rambutnya sebagian mencair dari embun, sebagian lagi mengeras, menambah kesan beku pada wajahnya yang tanpa ekspresi.Beberapa murid yang mengenal wajahnya hanya bisa menunduk—ada ketakutan, ada dendam, ada hormat. Phe I Yek mendongak perlahan dan matanya membelalak.“Kamu datang juga,” katanya parau, nyaris seperti gumaman.Lou Cho Nghek tidak menjawab. Matanya hanya terarah pada peti mati. Langkah-langkahnya lambat, seperti menghitung dosa yang dibawanya dari masa lalu. Di depan peti, dia berlutut. Tangannya gemetar menyentuh kayu dingin.“Guru,” ucapnya lirih, “Aku …, tidak sempat bicara

  • Rimba Memburu Senala   89- Phe I Yek Berkabung

    Asap hitam membubung meninggalkan atap penginapan. Jelaga yang dibawa bersama asap hitam itu terpisah oleh butiran-butiran salju yang turun dari langit. Matahari sudah muncul dari ufuk, tetapi tidak membuat Tanah Salju menghangat karena sinarnya seakan-akan terhalang oleh butiran-butiran salju. Mungkin matahari memilih muncul ufuknya di wilayah lain, tidak di Tanah Salju.Di dalam kamar penginapan, kayu bakar menyisakan hangat dengan sisa-sisa batang-batang kayunya berubah warna menjadi sekam. Sisi jendela penginapan bagian luar menempel salju sehingga tampak seperti mata tombak yang berjejer. Embusan angin dingin berani menyelinap masuk ke dalam kamar, membuat Yu Lie menarik selimut untuk menghalau dingin.Lon Chang tidur masih dengan lelap meski suasana dingin di kamar penginapan begitu menyengat. Sementara Cucu dan Rimba, mereka berdua anteng-anteng saja. sepertinya dingin yang meliputi kamar penginapan mereka bukanlah gangguan bagi mereka untuk tetap pulas.Hingga Yu Lie merasa tu

  • Rimba Memburu Senala   88- Ayo, Tidur

    Rimba Rangkuti dan Cucu akhirnya melihat dengan mata kepala bagaimana sebuah perseteruan antara ayah-anak itu terjadi.“Ketika kita meninggalkan anak-anak Akarlangit, mereka tersenyum bahagia,” ujar Cucu.Rimba diam, tidak menimpali ucapan sahabatnya. Dia menarik selimut di kamar penginapan yang berisi empat orang. Yu Lie dan Lon Chang sudah lelap sedari tadi.“Aku, kamu, dan mereka berdua hanyalah pengembara.” Kata Rimba lagi, “Kita tidak bisa memilih apa yang akan kita lihat dan alami.”Kali ini Cucu diam di balik selimut. Pandangannya tajam pada langit-langit kamar tempat mereka menginap malam itu.“Setidaknya, pikiranmu kali ini lebih baik dari sebelumnya.”Rimba tersenyum di sisi Cucu lalu beringsut memunggunginya. “Ayo, tidur.”Sepasang mata merah Cucu menghilang nyalanya.---Langkah Lou Cho Nghek kembali menapaki dunia luar. Namun dunia yang dilihatnya bukan lagi dunia yang sama. Salju tampak lebih kelabu, langit tampak lebih rendah, dan wajah-wajah di jalanan tampak seperti b

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status