Mamak Jambul bersedekap. Pandangannya jauh menatap ufuk Kampung Tanjung Indah. Hawa dingin yang dia hirup membuatnya dia memejamkan mata sembari tubuhnya tegak berdiri. Raut wajahnya tenang. Seulas senyum menguntai. Kelopak matanya membuka.
“Teh jahe, Guru,” Rimba berkata lalu meletakkan segelas menguarkan asap di satu beranda rumah yang khusus diperuntukkan mereka berdua.
Mamak Jambul berbalik badan, menghampiri meja lalu duduk di sisinya.
“Kamu?”
“Ini,” jawab Senala. Dia mengangsurkan satu tangannya yang lain. Tubuhnya duduk dengan anggun semeja dengan gurunya.
Mereka berdua menikmati suasana ditemani gelas dan pemandangan Kampung Tanjung Indah yang hijau bersahaja.
“Baramundi belum kasih kabar soal Calistung?”
Senala menggeleng sembari meletakkan gelasnya ke atas meja. Begitu mendengar nama “Calistung”, si Culun hadir tanpa diundang dalam syak wasangkanya. Wajar saja. Sepe
Dia berdiri di balik topeng merah-kusam milik Pemurni, mengintai reruntuhan Gosora dari bayang-bayang menara setengah roboh. Senja tumpah ke padang sunyi dalam semburat kelabu, dan gema baru—yang Suar asli pancarkan—masih menggeliat di langit seperti luka yang belum sembuh.“Cucu sedang bergerak ke arah utara,” lapor seorang Pembisik lain melalui perangkat suara sunyi.“Jangan ganggu yang lain. Aku yang akan menangani ini,” sahut Akhsan cepat.Dia tak tahu kenapa suaranya terdengar gemetar. Apakah karena nama itu?Cucu.Dalam doktrin para Pemurni, nama itu adalah simbol penyimpangan. Dia tidak hanya mendengar gema; ia menjawabnya. Dan jawaban adalah bentuk pembangkangan paling berbahaya.---
Menjelang tengah hari, kedua matahari mendekat satu sama lain, menciptakan bayangan vertikal tajam yang menyayat tanah. Udara menegang.Kemudian terdengar suara itu.Gema dalam. Dalam sekali. Bukan hanya didengar—tapi dirasakan. Seperti sumsum yang dipanggil keluar dari tulang.Cucu dan Rimba membeku. Hara pun terdiam otomatis, bak bayi berhenti menangis. Hanya lidah api di unggun yang tetap meliuk, bagai tak terpengaruh oleh dunia.Seorang lelaki tua yang kebetulan berjalan bersama mereka, berlutut, menempelkan telinga ke tanah.“Sangkala Waktu …, tapi ini beda,” gumamnya. “Nadanya miring. Ada yang rusak.”Rimba berbalik ke arah Cucu. “Kau dengar itu? Seperti ada …, sesuatu lain di bawah sana?”“Bukan cuma gema,” bisik Cucu. “Lebih seperti ..., seseorang memanggil balik.”---“Wahai Pak Tua, Anda mau ke mana?” tanya Hara ketika S
Cucu dan Rimba tiba di lerengnya saat langit mulai beranjak ke jingga pekat. Kedua matahari tampak seperti arang berpijar yang tenggelam perlahan, meninggalkan semburat cemerlang di kaki langit. Jalur menuju Puncak Arah berliku dan sempit, menanjak melalui celah-celah batu dan jembatan gantung dari akar kering yang telah mengeras karena panas.Udara semakin tipis. Namun suara menjadi lebih jernih.“Di atas sana,” kata seorang penduduk muda yang menjadi penunjuk jalan mereka, “tetua kami tinggal di ruang gema. Beliau jarang bicara, kecuali pada mereka yang membawa luka masa lalu.”Rimba dan Cucu saling pandang. Luka mereka tidak hanya dibawa—luka itu menempel di napas, menyatu dengan jejak kaki.Sesampainya di atas, mereka memasuki ruang sempit yang dikelilingi lingkaran batu hitam. Tak ada lampu, ha
Pada suatu pagi, langit Tilangkar mengerjap seperti mata yang tak bisa memutuskan untuk terjaga atau terpejam. Semburat jingga berganti kelabu, lalu memucat kembali. Kedua matahari menari lamban, tidak seperti biasanya—seperti ada jeda di antara napas mereka.Rimba berdiri di dekat bibir jurang batu Karang Tundra. Angin mengibaskan rambutnya, membawa aroma garam kering dan abu. Di belakangnya, Cucu mendekat perlahan, membawa secarik kain tenun dari Gunung Silam yang dia pinjam semalam dari seorang penenun angin.“Mereka butuh penanda,” kata Cucu. “Bendera atau lambang. Mereka perlu tahu bahwa mereka lebih dari sekadar pelarian.”Rimba menatap ke bawah, ke arah pengungsi yang kini membuat kamp kecil di ceruk antara dua punggung batu. Mereka mulai membangun tenda dari sobekan kain, menata batu-batu kecil menjadi tanda batas. Seorang anak memahat sesuatu di dinding karang dengan ujung tulang: bentuk lingkaran bertemu segitiga, lalu dib
Meski mereka hidup dalam damai, Tilangkar tidak lepas dari ancaman. Gurun sekitarnya menyimpan makhluk pasir—pengembara abadi yang kehilangan identitas dan menjadi hantu bentuk dari keinginan atau dendam terdalam mereka. Kadang malam-malam tertentu, siluet-siluet muncul di pinggir gunung, menatap diam dari kejauhan. Penduduk menyebut mereka “Bayang Lama.”Pemerintah Tanah Gulung dulu mengasingkan orang-orang yang dianggap “berbeda” ke Tilangkar—pemimpi, penyair, ilmuwan. Namun dari pengasingan itulah, lahir peradaban batu yang bisa bertahan di bawah dua matahari.---Pada masa lalu, ketika langit Tilangkar masih diselimuti kabut merah lembut dan cakrawala belum retak oleh dua matahari, Bayang Lama adalah manusia biasa—para pelintas gurun, pemikir yang terlalu keras bersuara, pelukis ya
Di malam yang sama, mereka berkumpul di dalam Balai Tua. Ruang utama yang dulu jarang digunakan kini terang oleh puluhan pelita. Di tengah ruangan, taplak kuno berwarna bata terbentang di atas meja bulat batu, diapit sembilan kursi kayu, masing-masing disiapkan bagi yang terlibat dalam prosesi sakral.Mamak Jambul berdiri. Gaya bicaranya perlahan berubah. Suaranya kini berat, nyaris bergema.“Besok malam, tanah ini akan kita hidupkan kembali. Bukan sekadar seremoni. Ini soal menjaga keseimbangan.”Baramundi bangkit. “Persiapan makanan sudah rampung. Rakyat kampung siap menyajikan hasil panen dan ternakan untuk persembahan.”“Minuman?” Mamak Jambul menoleh ke arah Zulaika.“Empat jenis ramuan sudah disiapkan,” jawabnya cepat. “Tiga untuk penjaga tanah. Satu untuk—”Zulaika terdiam.“Untuk?” desak Mamak Jambul.Zulaika menggigit bibir. “Untuk yang