Home / Pendekar / Rimba Memburu Senala / 4- Desa Jenang Porak-Poranda

Share

4- Desa Jenang Porak-Poranda

Author: Erbidee
last update Last Updated: 2025-03-12 14:31:40

Desa Jenang kini tinggal puing-puing. Asap tipis membubung dari rumah-rumah yang sudah tidak berbentuk. Angin membawa aroma kayu terbakar, bercampur dengan bau abu dan jerami gosong. Jerit tangis terdengar di sana-sini. Suara kehilangan memecah kesunyian siang itu.

Tiga jam sebelumnya, lima orang berkuda memasuki desa dengan langkah pasti. Mereka seperti badai yang membawa kehancuran. Wajah mereka masing-masing seperti cerminan bencana: satu lelaki bertampang legam bercodet di pipinya, membuatnya terlihat seperti bayangan kematian; satu lagi dengan jempol kanan yang sudah tidak ada, tetapi sering kali cengar-cengir menganggap semuanya hanya lelucon. Yang bertubuh besar menyerupai babi membawa aroma busuk, sementara yang bermata satu tampak menakutkan dengan kain hitam yang melilit kepala. Dan pemimpin mereka, tubuhnya ceking seperti batang pohon kering, memiliki mata yang menyorot tajam dan dingin.

Mereka turun dari kuda dengan sikap santai, tetapi aura mengancam tampak jelas. "Kami mencari Mamak Jambul," kata si Ceking. Suaranya menggema seperti suara burung hantu di tengah malam. Warga desa saling pandang. Wajah-wajah penuh kebingungan. Tidak ada yang tahu siapa Mamak Jambul itu. Di desa mereka, mamak-mamak memang ada, tetapi tidak ada yang berjambul. Kebingungan itu menyulut kemarahan si Ceking.

"Kalau kalian tak mau bicara, kami akan membuat kalian bicara!" serunya. Dengan satu perintah, empat orang lainnya mulai mengacak-acak desa. Rumah-rumah dihancurkan, lumbung-lumbung dibakar, dan ternak-ternak berhamburan, lari ketakutan dari kekacauan. Desa Jenang yang biasanya damai mendadak berubah menjadi neraka.

Di tengah kekacauan itu, Bagong berusaha sekuat tenaga menyembunyikan dirinya. Dia tahu rahasia tentang Mamak Jambul, tetapi mulutnya berusaha terkunci rapat. Tidak ada gunanya bicara. Dia memainkan peran sebagai orang bodoh dengan sangat meyakinkan. Tatapan kosongnya dan gerak-geriknya yang canggung membuat para penyerang mengabaikannya. Dengan hati-hati, dia menyelinap di antara reruntuhan dan lari ke arah hutan tanpa seorang pun menyadarinya.

Penduduk desa lainnya tidak seberuntung Bagong. Mereka hanya bisa berlari menyelamatkan diri sambil membawa apa pun yang bisa mereka angkut. Anak-anak menangis, sementara para orang tua memegangi tangan mereka dengan ketakutan. Tidak ada satu pun dari mereka yang memiliki kemampuan untuk melawan. Lima orang itu terlalu kuat, terlalu kejam.

Salah satu lelaki, si bau busuk yang tubuhnya seperti babi, tertawa keras ketika melihat seekor kambing yang berlari ketakutan. "Aku hampir kasihan pada mereka!" katanya dengan suara yang seperti geraman. Kasihan bukanlah sesuatu yang ada dalam kamus mereka. Desa Jenang menjadi ajang permainan kekuasaan.

Ketika matahari mencapai puncaknya, Desa Jenang sudah berubah menjadi puing-puing. Lima orang itu menaiki kuda mereka dengan puas, meninggalkan kehancuran di belakang mereka. Warga desa yang tersisa hanya bisa memandang dengan tatapan kosong, terlalu takut untuk melawan atau bahkan berkata-kata.

Ketegangan mulai mereda, tetapi rasa takut tetap menggantung di udara. Warga desa berkumpul di tengah puing-puing, mencoba menghitung berapa banyak yang telah hilang. Rumah-rumah, ternak, bahkan rasa aman mereka—semuanya lenyap dalam tiga jam saja.

Di tempat lain, Bagong yang berhasil melarikan diri duduk di bawah pohon di tepi hutan. Napasnya terengah-engah. Matanya memancarkan kecemasan. Dia tahu, keberadaan Mamak Jambul adalah penyebab bencana ini, dan itu membuat hatinya diliputi rasa bersalah.

---

Langit di atas Desa Jenang membisu. Namun Jingan, si elang yang gagah, memecah keheningan langit dengan kepakan sayapnya yang kuat. Dari ketinggian, matanya yang tajam seperti pedang mengamati desa yang nyaris luluh lantak. Asap membubung tinggi dari rumah-rumah yang terbakar, dan tangis warga menggema samar di udara, membawa pesan pilu ke seluruh penjuru angkasa. Dengan cermat, Jingan menangkap pergerakan lima lelaki berkuda yang bergerak ke utara, meninggalkan jejak kehancuran di belakang mereka.

Jingan mengepakkan sayapnya lebih lebar, mengikuti arah angin yang membawa bau sisa pembakaran. Dengan satu gerakan melingkar yang anggun, dia memutar haluan menuju Bukit Berkabut. Langit di atasnya tampak kian tenang saat dia mendekati tempat yang disebut rumah oleh Calistung dan Rimba.

Di beranda rumah panggung yang sederhana dan kokoh, Rimba berdiri menyambut Jingan dengan wajah ceria. Anak itu berlari kecil. Tangannya terulur untuk menyentuh bulu sayap elang itu. Namun Jingan menatapnya tajam, memberi isyarat bahwa kali ini bukan waktu untuk bermain. Mata hitam Rimba bertemu dengan pandangan tajam Jingan. Meskipun Rimba tak sepenuhnya memahami, dia tahu ada sesuatu yang penting.

Ekor mata Jingan menangkap sosok Calistung, si guru yang bijaksana. Dengan langkah perlahan, Calistung keluar dari dalam rumah panggung. Seperti selalu ada ketenangan dalam kehadirannya, senyum kecil Calistung penuh arti. Jingan mengibaskan sayapnya, mendekati Calistung, membawa pesan mendesak yang ingin segera disampaikan.

Calistung berdiri tegak di samping Jingan. Mata mereka bertemu dalam keheningan yang sarat makna. "Apa yang kau lihat dari atas sana, Jingan?" tanya Calistung dengan lembut. Tangannya terulur membelai kepala elang itu. Jingan, dengan bahasa unik yang hanya dimengerti oleh Calistung, mulai mengisahkan bencana yang melanda Desa Jenang.

Calistung mendengarkan dengan penuh perhatian. Setiap detail yang disampaikan Jingan seperti bayangan kelam yang ditanamkan ke dalam pikirannya. Rumah-rumah yang terbakar, tangis anak-anak, dan lima lelaki berkuda yang menyebar kehancuran. Wajahnya perlahan berubah dari bijaksana menjadi tegang. "Apa yang sedang terjadi?" gumamnya hampir seperti berbicara kepada dirinya sendiri.

Di sisi lain, Rimba memperhatikan dengan rasa ingin tahu. Meski dia belum bisa memahami cara unik Jingan berbicara, dia tahu sesuatu yang buruk telah terjadi. Naluri anak kecilnya, yang selama ini dilatih di Bukit Berkabut, membuatnya lebih peka terhadap perubahan suasana.

Calistung menghela napas panjang, mencoba menyusun langkah selanjutnya. "Rimba," katanya memanggil anak itu, "kita harus bersiap." Rimba mengangguk cepat, tak banyak bertanya. Dari cara bicara Calistung, dia tahu situasi ini bukan hal yang main-main.

Jingan terbang ke atas untuk mengawasi sekitar, sementara Calistung masuk ke dalam rumah. Dia mengambil sebuah tongkat kayu yang telah menemaninya bertahun-tahun. Tongkat itu bukan sekadar alat bantu, tetapi juga simbol dari kekuatan dan kebijaksanaan yang dia miliki.

Dengan penuh ketenangan, Calistung mulai memberi arahan pada Rimba. "Latihanmu selama ini bukan untuk bermain-main, Anakku. Mungkin waktunya tiba untuk kita mempertahankan apa yang harus kita lindungi."

Meski usianya masih belia, Rimba menyerap setiap kata Calistung seperti air ke dalam tanah yang kering. "Aku siap, Guru," katanya dengan suara lantang, dan memegang tongkat rotannya sendiri dengan kedua tangannya yang kecil, tapi kokoh. Ada kilatan tekad di matanya seperti anak singa yang akhirnya belajar mengaum.

Sementara itu, Jingan kembali dari pengawasannya di langit. Kepakan sayapnya terdengar jelas saat ia mendarat di depan Calistung dan Rimba. Dengan gerakan tubuh yang khas, Jingan menyampaikan bahwa lima lelaki berkuda itu sedang menuju bukit yang lain, tetapi waktunya mungkin tidak lama sebelum mereka kembali.

Calistung mengangguk. Ekspresi wajahnya berubah serius. Dia tahu bahwa mereka harus bersiap, bukan hanya untuk melindungi diri tetapi juga untuk menjaga rahasia Bukit Berkabut dan semua keajaiban yang ada di dalamnya. Hari itu, di tengah bayangan kehancuran, ikatan antara manusia, elang, dan seorang anak menjadi lebih kuat, bersiap menghadapi apa pun yang akan datang.

Bukit Berkabut mungkin terpencil, tetapi kali ini ia menjadi garis pertahanan terakhir. Dan di atas segalanya, cahaya matahari yang menembus kabut seperti memberitahu bahwa harapan belum sepenuhnya sirna. Pertarungan, jika itu tak terhindarkan, akan dilakukan dengan keberanian yang lahir dari kebenaran dan cinta.

---

Debu tipis menari di udara, mengikuti langkah lambat kuda-kuda kekar yang ditunggangi lima lelaki. Desa Jenang sudah tertinggal jauh di belakang, menyisakan asap tipis yang membubung dari kehancuran mereka. Si Ceking, dengan tubuhnya yang kurus kering, mengangkat tangan, memberi isyarat agar rombongan berhenti di pinggir sungai kecil yang beriak tenang. "Kita istirahat dulu. Perjalanan masih panjang," katanya santai seraya melompat turun dari kudanya.

Empat rekannya ikut turun.

Si Codet, wajahnya terlihat makin mengerikan dengan garis luka yang menonjol di pipinya, menguap lebar. "Ah, akhirnya bisa lurusin kaki!" keluhnya sambil meregangkan tubuh. Di sebelahnya, si Jempol, dengan tangan kanan yang tak lengkap, malah cekikikan tanpa alasan jelas. "Habis ini, Mamak Jambul pasti ketemu, kan? Hehehe."

Si Bau, yang tubuhnya seperti babi dan mengeluarkan aroma busuk yang tak sedap, langsung menghampiri sungai, mencelupkan tangannya ke air dan memercikkan ke wajah. "Eh, kalian nyadar enggak, aku selalu jadi yang paling kerja keras di kelompok ini?" katanya sambil tertawa.

Hal itu membuat si Mata Satu mengangkat alis. "Kerja keras bikin polusi, maksudmu?" balas si Mata Satu dengan nada sinis sambil mengikatkan kembali kain penutup matanya.

Di sela-sela obrolan santai itu, si Ceking duduk di atas batu besar, membuka peta kecil yang tampak kusut. "Sudah bertahun-tahun kita nyari Mamak Jambul. Kalian yakin dia masih hidup?" tanyanya memecah percakapan.

Si Codet mendekat, tangannya terlipat di dada. "Kalau dia masih hidup, itu artinya kita satu langkah lebih dekat buat jadi legendaris. Nama kita bakalan tercatat di semua cerita pendekar!"

"Eh, tapi kenapa sih kita ngejar Mamak Jambul? Dia emang sehebat itu?" si Jempol bertanya. Matanya berbinar penuh rasa ingin tahu.

Si Bau, yang sekarang duduk malas di tepi sungai, terkekeh sambil menggaruk kepala. "Yah, dia pendekar paling terkenal di zamannya. Menaklukkannya bakal bikin kita punya pamor tinggi, kayak makan daging rusa tapi gratis!" jawabnya sembari tertawa.

Si Mata Satu, yang sejak tadi diam, tiba-tiba bersuara. "Kalian tahu, Mamak Jambul tuh cuma mitos buat sebagian orang. Ada yang bilang dia cuma bayangan. Tapi kalau kita berhasil ketemu dia, itu bakal jadi bukti kalau mitos itu nyata." Nada serius dalam suaranya membuat semua terdiam sejenak, merenungkan kemungkinan itu.

Tanpa mereka sadari, Mamak Jambul sebenarnya bukan pendekar dengan kekuatan paling mumpuni. Masih ada Calistung, si pendekar sejati yang tersembunyi di Bukit Berkabut, yang jauh lebih sakti dibandingkan siapa pun. Tetapi rahasia itu terlalu dalam untuk diketahui oleh lima pemburu ini.

Usai istirahat, mereka berdiskusi tentang langkah selanjutnya. Si Ceking kembali mengambil alih komando. "Kita bergerak ke utara. Kata orang-orang, ada petunjuk soal tempat tinggal Mamak Jambul di sana," ujarnya sambil menunjuk ke arah hutan lebat yang tampak menjulang di kejauhan.

Sebelum kembali menaiki kuda, si Jempol mengajukan pertanyaan polos. "Tapi kalau dia pendekar hebat, kenapa dia tinggal di tempat terpencil? Apa dia takut sama kita?" tanyanya sambil menyengir lebar.

Si Codet langsung menepuk pundaknya keras-keras. "Mungkin dia lagi pensiun, bodoh! Tapi tunggu saja, kita bakal bikin dia keluar dari tempat persembunyiannya."

Si Bau, yang terakhir naik ke atas kuda, berbisik pelan pada si Mata Satu. "Hei, kalau kita gagal nemu Mamak Jambul, gimana?"

Si Mata Satu hanya tersenyum tipis, meluruskan kain penutup matanya. "Kalau gagal, kita bisa bilang ke semua orang kalau kita hampir berhasil. Cerita bohong juga kadang cukup buat bikin kita terkenal."

Mereka berlima kembali melanjutkan perjalanan, meninggalkan pinggir sungai yang kini sunyi. Debu kembali beterbangan, mengikuti irama langkah kuda-kuda yang gagah. Meski obrolan mereka santai, ada ketegangan yang menggantung di udara. Semua tahu bahwa perjalanan ini bisa membawa mereka pada kemenangan besar atau kehancuran yang tak terhindarkan.

Langit perlahan berubah oranye, menandai datangnya senja. Mereka menembus hutan yang semakin gelap, tenggelam masing-masing dalam pikiran mereka sendiri. Tujuan mereka jelas: menemukan Mamak Jambul. Tetapi apa yang akan mereka lakukan setelah itu? Pertanyaan itu terus berputar di kepala mereka, tanpa jawaban pasti. Namun bagi mereka, petualangan adalah jawabannya. "Ayo, kita buktikan siapa yang paling hebat!" Si Ceking berseru, memecah hening. Dan suara tawa mereka pun menggema di antara pepohonan.---

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Rimba Memburu Senala   88- Ayo, Tidur

    Rimba Rangkuti dan Cucu akhirnya melihat dengan mata kepala bagaimana sebuah perseteruan antara ayah-anak itu terjadi.“Ketika kita meninggalkan anak-anak Akarlangit, mereka tersenyum bahagia,” ujar Cucu.Rimba diam, tidak menimpali ucapan sahabatnya. Dia menarik selimut di kamar penginapan yang berisi empat orang. Yu Lie dan Lon Chang sudah lelap sedari tadi.“Aku, kamu, dan mereka berdua hanyalah pengembara.” Kata Rimba lagi, “Kita tidak bisa memilih apa yang akan kita lihat dan alami.”Kali ini Cucu diam di balik selimut. Pandangannya tajam pada langit-langit kamar tempat mereka menginap malam itu.“Setidaknya, pikiranmu kali ini lebih baik dari sebelumnya.”Rimba tersenyum di sisi Cucu lalu beringsut memunggunginya. “Ayo, tidur.”Sepasang mata merah Cucu menghilang nyalanya.---Langkah Lou Cho Nghek kembali menapaki dunia luar. Namun dunia yang dilihatnya bukan lagi dunia yang sama. Salju tampak lebih kelabu, langit tampak lebih rendah, dan wajah-wajah di jalanan tampak seperti b

  • Rimba Memburu Senala   87- Lou Cho Nghek Mendengki Kian Menggila

    Di tengah kabut salju yang meruap, langkah Lou Cho Nghek mengoyak kesunyian malam. Napasnya memburu. Matanya me-merah bukan karena dingin, melainkan karena bara yang membakar dadanya tak henti-henti.Di hadapannya, rumah kayu kecil berdiri tenang. Sepasang cahaya dari dalam memperlihatkan siluet Thong Chai dan Mei Chin yang tengah duduk bersebelahan. Sebuah ketenangan yang menjadi bahan bakar bagi amarah Lou Cho Nghek.Dia tak mengetuk. Pedangnya membelah pintu kayu itu seperti membelah kenangan masa kecil yang dipenuhi cacian: "Anak yang gagal menjadi bayangan ayahnya."Mei Chin bangkit lebih dulu. Kipas baja terlipat di tangannya. Tatapannya dingin, tapi tak gentar. Thong Chai berdiri dengan gerakan mengalir seperti embun yang tak bisa dicegah oleh badai.“Lou Cho Nghek,” ucap Thong Chai pelan, “kau datang dengan amarah, bukan keberanian.”“Aku datang dengan kebenaran yang kalian sembunyikan!” balasnya dengan suara parau.Pertarungan pun meletus. Ruang sederhana itu berubah menjadi

  • Rimba Memburu Senala   86- Kedengkian Tidak Memerlukan Alasan

    Kedengkian tidak memerlukan alasan. Ia hanya tumbuh bagai semak belukar. Mungkin hanya api yang dapat meluluhlantakkan kedengkian sehingga panasnya pun menjalar ke sekujur tubuh yang meronta-ronta.Lou Cho Nghek mengendapkan kedengkiannya kepada Thong Chai dan Mei Chin. Pasangan itu menghindar untuk menghindari perseteruan. Mereka berdua memilih ketenteraman di satu rumah sederhana. Keseharian mereka adalah berkebun, menggembalakan binatang ternak, merajut cinta dan kasih sayang dalam setiap senyum dan lelah tubuh mereka.Sekte Yǒngjiǔ tetap menjadi sekte yang disegani meskipun rumor kekalahan Lu Thong sudah menyebar. Namun banyak dari para pendekar berempati, dan beranggapan bahwa ayah lebih memilih untuk mengalah demi sang anak.“Lu Thong bukan orang sembarangan. Lou Cho Nghek itu anak bau kencur, sekali kepret, habis anak itu.” Satu pendekar mengungkapkan pendapatnya ketika sedang duduk-duduk di kedai.“Dan, Thong Chai bisa saja mengalahkan anak Lu Thong itu.” Satu pendekar berambu

  • Rimba Memburu Senala   85- Pertarungan Darah dan Nama

    Salju turun perlahan di atas puncak Gunung Xuelan, menyelimuti tanah dengan keheningan yang menyesakkan. Di bawah langit kelabu, dua bendera berkibar: satu berwarna biru keperakan bertuliskan Yǒngjiǔ, satu lagi merah darah bertuliskan Shèng Xuè. Dua sekte, dua jalan, dua darah yang sama—namun kini saling menantang.Di aula utama Sekte Darah Suci, Lou Cho Nghek berdiri di depan para murid barunya. Matanya tajam, penuh bara yang tak padam. Di belakangnya, Guru Duan duduk bersila, wajahnya tenang lamun penuh perhitungan.“Mulai hari ini,” kata Lou Cho Nghek. Suaranya menggema, “kita tidak tunduk pada warisan yang membusuk. Kita tidak tunduk pada nama yang hanya menjadi beban. Kita adalah darah yang murni, yang memilih jalannya sendiri.”Seorang murid muda, Liang Fei, mengangkat tangan. “Tapi ..., Tuan Lou, apakah benar Sekte Yǒngjiǔ adalah tempat kelahiranmu? Tempat ayahmu mengajar dan membesarkanmu?”Lou Cho Nghek menatapnya lama. “Benar. Dan karena itulah aku tahu betapa rusaknya akar

  • Rimba Memburu Senala   84- Keakraban Para Pengembara

    Rimba memandang sahabatnya. Raut wajahnya bingung. Sementara, Cucu, sahabatnya pun ekspresi wajahnya bingung.“Mengapa dalam pandangan mereka berdua, kita adalah binatang?”Cucu menggeleng bingung dan tak mengerti.“Aku tidak melangkah dengan empat kaki.”“Aku juga begitu,” sahut Cucu.Akibat bertemu tiba-tiba dengan Cucu yang tinggi besar dan Rimba Rangkuti, Lon Chang, si Pengembara Botak dan Yu Lie berhalusinasi. Mereka mengidentikkan tubuh Cucu dan Rimba ramping seperti kijang, tapi kulitnya bersisik keperakan dan matanya bersinar kehijauan. Mereka berdua hanya menatap dengan sorot yang tak manusiawi. Lalu halusinasi mereka mulai ngaco, hingga mitos Qisao, Gunung Xuelan dan sebagainya menjadi igauan. Di padang rumput, mereka berhalusinasi, mengigau. Sementara Rimba dan Cucu hanya mampu tertegun melihat tingkah Lon Chang dan Yu Lie.“Kita masih beruntung.”“Beruntung?”

  • Rimba Memburu Senala   83- Qisao adalah Mitos

    “Qisao adalah mitos,” sebut Lon Chang.Yu Lie diam, mengangguk tidak, menggeleng pun tidak.“Apa yang kualami cuma mimpi.”Yu Lie melirik gelang di genggaman Lon Chang.Lon Chang mengeratkan genggamannya.“Kalau sekadar mimpi, kenapa gelang itu bisa berada di tanganmu?”Lon Chang tersadar dan mengangkat genggamannya, melihat gelang itu dengan saksama. Kemudian dia memandang Gunung Xuelan.“Gerbang terbuka dalam semusim,” gumam Lon Chang.Yu Lie pun mencari apa yang dipandang oleh Lon Chang. Kemudian gadis itu berkata, “Kamu mau ke sana?”Lon Chang terlihat ragu. “Aku berharap ini sekadar mimpi.”---Lon Chang menatap siluet Gunung Xuelan yang menjulang dengan tenang dan dingin, seperti menyimpan ribuan rahasia dalam kabut abadi. Langit berwarna kelabu, menyiratkan musim yang berubah dan waktu yang tidak lagi pasti. Angin berdesir pelan,

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status