Desa Jenang kini tinggal puing-puing. Asap tipis membubung dari rumah-rumah yang sudah tidak berbentuk. Angin membawa aroma kayu terbakar, bercampur dengan bau abu dan jerami gosong. Jerit tangis terdengar di sana-sini. Suara kehilangan memecah kesunyian siang itu.
Tiga jam sebelumnya, lima orang berkuda memasuki desa dengan langkah pasti. Mereka seperti badai yang membawa kehancuran. Wajah mereka masing-masing seperti cerminan bencana: satu lelaki bertampang legam bercodet di pipinya, membuatnya terlihat seperti bayangan kematian; satu lagi dengan jempol kanan yang sudah tidak ada, tetapi sering kali cengar-cengir menganggap semuanya hanya lelucon. Yang bertubuh besar menyerupai babi membawa aroma busuk, sementara yang bermata satu tampak menakutkan dengan kain hitam yang melilit kepala. Dan pemimpin mereka, tubuhnya ceking seperti batang pohon kering, memiliki mata yang menyorot tajam dan dingin.
Mereka turun dari kuda dengan sikap santai, tetapi aura mengancam tampak jelas. "Kami mencari Mamak Jambul," kata si Ceking. Suaranya menggema seperti suara burung hantu di tengah malam. Warga desa saling pandang. Wajah-wajah penuh kebingungan. Tidak ada yang tahu siapa Mamak Jambul itu. Di desa mereka, mamak-mamak memang ada, tetapi tidak ada yang berjambul. Kebingungan itu menyulut kemarahan si Ceking.
"Kalau kalian tak mau bicara, kami akan membuat kalian bicara!" serunya. Dengan satu perintah, empat orang lainnya mulai mengacak-acak desa. Rumah-rumah dihancurkan, lumbung-lumbung dibakar, dan ternak-ternak berhamburan, lari ketakutan dari kekacauan. Desa Jenang yang biasanya damai mendadak berubah menjadi neraka.
Di tengah kekacauan itu, Bagong berusaha sekuat tenaga menyembunyikan dirinya. Dia tahu rahasia tentang Mamak Jambul, tetapi mulutnya berusaha terkunci rapat. Tidak ada gunanya bicara. Dia memainkan peran sebagai orang bodoh dengan sangat meyakinkan. Tatapan kosongnya dan gerak-geriknya yang canggung membuat para penyerang mengabaikannya. Dengan hati-hati, dia menyelinap di antara reruntuhan dan lari ke arah hutan tanpa seorang pun menyadarinya.
Penduduk desa lainnya tidak seberuntung Bagong. Mereka hanya bisa berlari menyelamatkan diri sambil membawa apa pun yang bisa mereka angkut. Anak-anak menangis, sementara para orang tua memegangi tangan mereka dengan ketakutan. Tidak ada satu pun dari mereka yang memiliki kemampuan untuk melawan. Lima orang itu terlalu kuat, terlalu kejam.
Salah satu lelaki, si bau busuk yang tubuhnya seperti babi, tertawa keras ketika melihat seekor kambing yang berlari ketakutan. "Aku hampir kasihan pada mereka!" katanya dengan suara yang seperti geraman. Kasihan bukanlah sesuatu yang ada dalam kamus mereka. Desa Jenang menjadi ajang permainan kekuasaan.
Ketika matahari mencapai puncaknya, Desa Jenang sudah berubah menjadi puing-puing. Lima orang itu menaiki kuda mereka dengan puas, meninggalkan kehancuran di belakang mereka. Warga desa yang tersisa hanya bisa memandang dengan tatapan kosong, terlalu takut untuk melawan atau bahkan berkata-kata.
Ketegangan mulai mereda, tetapi rasa takut tetap menggantung di udara. Warga desa berkumpul di tengah puing-puing, mencoba menghitung berapa banyak yang telah hilang. Rumah-rumah, ternak, bahkan rasa aman mereka—semuanya lenyap dalam tiga jam saja.
Di tempat lain, Bagong yang berhasil melarikan diri duduk di bawah pohon di tepi hutan. Napasnya terengah-engah. Matanya memancarkan kecemasan. Dia tahu, keberadaan Mamak Jambul adalah penyebab bencana ini, dan itu membuat hatinya diliputi rasa bersalah.
---
Langit di atas Desa Jenang membisu. Namun Jingan, si elang yang gagah, memecah keheningan langit dengan kepakan sayapnya yang kuat. Dari ketinggian, matanya yang tajam seperti pedang mengamati desa yang nyaris luluh lantak. Asap membubung tinggi dari rumah-rumah yang terbakar, dan tangis warga menggema samar di udara, membawa pesan pilu ke seluruh penjuru angkasa. Dengan cermat, Jingan menangkap pergerakan lima lelaki berkuda yang bergerak ke utara, meninggalkan jejak kehancuran di belakang mereka.
Jingan mengepakkan sayapnya lebih lebar, mengikuti arah angin yang membawa bau sisa pembakaran. Dengan satu gerakan melingkar yang anggun, dia memutar haluan menuju Bukit Berkabut. Langit di atasnya tampak kian tenang saat dia mendekati tempat yang disebut rumah oleh Calistung dan Rimba.
Di beranda rumah panggung yang sederhana dan kokoh, Rimba berdiri menyambut Jingan dengan wajah ceria. Anak itu berlari kecil. Tangannya terulur untuk menyentuh bulu sayap elang itu. Namun Jingan menatapnya tajam, memberi isyarat bahwa kali ini bukan waktu untuk bermain. Mata hitam Rimba bertemu dengan pandangan tajam Jingan. Meskipun Rimba tak sepenuhnya memahami, dia tahu ada sesuatu yang penting.
Ekor mata Jingan menangkap sosok Calistung, si guru yang bijaksana. Dengan langkah perlahan, Calistung keluar dari dalam rumah panggung. Seperti selalu ada ketenangan dalam kehadirannya, senyum kecil Calistung penuh arti. Jingan mengibaskan sayapnya, mendekati Calistung, membawa pesan mendesak yang ingin segera disampaikan.
Calistung berdiri tegak di samping Jingan. Mata mereka bertemu dalam keheningan yang sarat makna. "Apa yang kau lihat dari atas sana, Jingan?" tanya Calistung dengan lembut. Tangannya terulur membelai kepala elang itu. Jingan, dengan bahasa unik yang hanya dimengerti oleh Calistung, mulai mengisahkan bencana yang melanda Desa Jenang.
Calistung mendengarkan dengan penuh perhatian. Setiap detail yang disampaikan Jingan seperti bayangan kelam yang ditanamkan ke dalam pikirannya. Rumah-rumah yang terbakar, tangis anak-anak, dan lima lelaki berkuda yang menyebar kehancuran. Wajahnya perlahan berubah dari bijaksana menjadi tegang. "Apa yang sedang terjadi?" gumamnya hampir seperti berbicara kepada dirinya sendiri.
Di sisi lain, Rimba memperhatikan dengan rasa ingin tahu. Meski dia belum bisa memahami cara unik Jingan berbicara, dia tahu sesuatu yang buruk telah terjadi. Naluri anak kecilnya, yang selama ini dilatih di Bukit Berkabut, membuatnya lebih peka terhadap perubahan suasana.
Calistung menghela napas panjang, mencoba menyusun langkah selanjutnya. "Rimba," katanya memanggil anak itu, "kita harus bersiap." Rimba mengangguk cepat, tak banyak bertanya. Dari cara bicara Calistung, dia tahu situasi ini bukan hal yang main-main.
Jingan terbang ke atas untuk mengawasi sekitar, sementara Calistung masuk ke dalam rumah. Dia mengambil sebuah tongkat kayu yang telah menemaninya bertahun-tahun. Tongkat itu bukan sekadar alat bantu, tetapi juga simbol dari kekuatan dan kebijaksanaan yang dia miliki.
Dengan penuh ketenangan, Calistung mulai memberi arahan pada Rimba. "Latihanmu selama ini bukan untuk bermain-main, Anakku. Mungkin waktunya tiba untuk kita mempertahankan apa yang harus kita lindungi."
Meski usianya masih belia, Rimba menyerap setiap kata Calistung seperti air ke dalam tanah yang kering. "Aku siap, Guru," katanya dengan suara lantang, dan memegang tongkat rotannya sendiri dengan kedua tangannya yang kecil, tapi kokoh. Ada kilatan tekad di matanya seperti anak singa yang akhirnya belajar mengaum.
Sementara itu, Jingan kembali dari pengawasannya di langit. Kepakan sayapnya terdengar jelas saat ia mendarat di depan Calistung dan Rimba. Dengan gerakan tubuh yang khas, Jingan menyampaikan bahwa lima lelaki berkuda itu sedang menuju bukit yang lain, tetapi waktunya mungkin tidak lama sebelum mereka kembali.
Calistung mengangguk. Ekspresi wajahnya berubah serius. Dia tahu bahwa mereka harus bersiap, bukan hanya untuk melindungi diri tetapi juga untuk menjaga rahasia Bukit Berkabut dan semua keajaiban yang ada di dalamnya. Hari itu, di tengah bayangan kehancuran, ikatan antara manusia, elang, dan seorang anak menjadi lebih kuat, bersiap menghadapi apa pun yang akan datang.
Bukit Berkabut mungkin terpencil, tetapi kali ini ia menjadi garis pertahanan terakhir. Dan di atas segalanya, cahaya matahari yang menembus kabut seperti memberitahu bahwa harapan belum sepenuhnya sirna. Pertarungan, jika itu tak terhindarkan, akan dilakukan dengan keberanian yang lahir dari kebenaran dan cinta.
---
Debu tipis menari di udara, mengikuti langkah lambat kuda-kuda kekar yang ditunggangi lima lelaki. Desa Jenang sudah tertinggal jauh di belakang, menyisakan asap tipis yang membubung dari kehancuran mereka. Si Ceking, dengan tubuhnya yang kurus kering, mengangkat tangan, memberi isyarat agar rombongan berhenti di pinggir sungai kecil yang beriak tenang. "Kita istirahat dulu. Perjalanan masih panjang," katanya santai seraya melompat turun dari kudanya.
Empat rekannya ikut turun.
Si Codet, wajahnya terlihat makin mengerikan dengan garis luka yang menonjol di pipinya, menguap lebar. "Ah, akhirnya bisa lurusin kaki!" keluhnya sambil meregangkan tubuh. Di sebelahnya, si Jempol, dengan tangan kanan yang tak lengkap, malah cekikikan tanpa alasan jelas. "Habis ini, Mamak Jambul pasti ketemu, kan? Hehehe."
Si Bau, yang tubuhnya seperti babi dan mengeluarkan aroma busuk yang tak sedap, langsung menghampiri sungai, mencelupkan tangannya ke air dan memercikkan ke wajah. "Eh, kalian nyadar enggak, aku selalu jadi yang paling kerja keras di kelompok ini?" katanya sambil tertawa.
Hal itu membuat si Mata Satu mengangkat alis. "Kerja keras bikin polusi, maksudmu?" balas si Mata Satu dengan nada sinis sambil mengikatkan kembali kain penutup matanya.
Di sela-sela obrolan santai itu, si Ceking duduk di atas batu besar, membuka peta kecil yang tampak kusut. "Sudah bertahun-tahun kita nyari Mamak Jambul. Kalian yakin dia masih hidup?" tanyanya memecah percakapan.
Si Codet mendekat, tangannya terlipat di dada. "Kalau dia masih hidup, itu artinya kita satu langkah lebih dekat buat jadi legendaris. Nama kita bakalan tercatat di semua cerita pendekar!"
"Eh, tapi kenapa sih kita ngejar Mamak Jambul? Dia emang sehebat itu?" si Jempol bertanya. Matanya berbinar penuh rasa ingin tahu.
Si Bau, yang sekarang duduk malas di tepi sungai, terkekeh sambil menggaruk kepala. "Yah, dia pendekar paling terkenal di zamannya. Menaklukkannya bakal bikin kita punya pamor tinggi, kayak makan daging rusa tapi gratis!" jawabnya sembari tertawa.
Si Mata Satu, yang sejak tadi diam, tiba-tiba bersuara. "Kalian tahu, Mamak Jambul tuh cuma mitos buat sebagian orang. Ada yang bilang dia cuma bayangan. Tapi kalau kita berhasil ketemu dia, itu bakal jadi bukti kalau mitos itu nyata." Nada serius dalam suaranya membuat semua terdiam sejenak, merenungkan kemungkinan itu.
Tanpa mereka sadari, Mamak Jambul sebenarnya bukan pendekar dengan kekuatan paling mumpuni. Masih ada Calistung, si pendekar sejati yang tersembunyi di Bukit Berkabut, yang jauh lebih sakti dibandingkan siapa pun. Tetapi rahasia itu terlalu dalam untuk diketahui oleh lima pemburu ini.
Usai istirahat, mereka berdiskusi tentang langkah selanjutnya. Si Ceking kembali mengambil alih komando. "Kita bergerak ke utara. Kata orang-orang, ada petunjuk soal tempat tinggal Mamak Jambul di sana," ujarnya sambil menunjuk ke arah hutan lebat yang tampak menjulang di kejauhan.
Sebelum kembali menaiki kuda, si Jempol mengajukan pertanyaan polos. "Tapi kalau dia pendekar hebat, kenapa dia tinggal di tempat terpencil? Apa dia takut sama kita?" tanyanya sambil menyengir lebar.
Si Codet langsung menepuk pundaknya keras-keras. "Mungkin dia lagi pensiun, bodoh! Tapi tunggu saja, kita bakal bikin dia keluar dari tempat persembunyiannya."
Si Bau, yang terakhir naik ke atas kuda, berbisik pelan pada si Mata Satu. "Hei, kalau kita gagal nemu Mamak Jambul, gimana?"
Si Mata Satu hanya tersenyum tipis, meluruskan kain penutup matanya. "Kalau gagal, kita bisa bilang ke semua orang kalau kita hampir berhasil. Cerita bohong juga kadang cukup buat bikin kita terkenal."
Mereka berlima kembali melanjutkan perjalanan, meninggalkan pinggir sungai yang kini sunyi. Debu kembali beterbangan, mengikuti irama langkah kuda-kuda yang gagah. Meski obrolan mereka santai, ada ketegangan yang menggantung di udara. Semua tahu bahwa perjalanan ini bisa membawa mereka pada kemenangan besar atau kehancuran yang tak terhindarkan.
Langit perlahan berubah oranye, menandai datangnya senja. Mereka menembus hutan yang semakin gelap, tenggelam masing-masing dalam pikiran mereka sendiri. Tujuan mereka jelas: menemukan Mamak Jambul. Tetapi apa yang akan mereka lakukan setelah itu? Pertanyaan itu terus berputar di kepala mereka, tanpa jawaban pasti. Namun bagi mereka, petualangan adalah jawabannya. "Ayo, kita buktikan siapa yang paling hebat!" Si Ceking berseru, memecah hening. Dan suara tawa mereka pun menggema di antara pepohonan.---
Saat musim berganti dan salju tak lagi memaksakan dinginnya, Sekte Yǒngjiǔ berdiri sebagai monumen dari banyak luka yang perlahan disembuhkan. Para pendekar kembali ke jalan masing-masing, membawa bukan hanya ajaran bela diri, tetapi pelajaran tentang hati, tentang kehilangan, dan tentang keberanian untuk memaafkan.---Di ruang meditasi yang tenang, Yu Lie menulis jurnalnya sendiri, bukan untuk dikenang, melainkan untuk menjaga agar sejarah tak kembali dibengkokkan oleh ambisi. “Kebenaran bukan pisau,” tulisnya. “Ia adalah cermin. Kadang menyakitkan, tapi tanpanya, kita berkelana tanpa arah.” Dia menyadari bahwa tugasnya tak pernah hanya tentang membongkar rahasia—tapi mengembalikan jiwa yang terluka ke pelukan dunia.Langit malam di atas Tanah Riuh menggantung kelabu, seolah-olah enggan memberi cahaya pada hari-hari yang masih mengandung luka. Angin membawa bau debu, lilin yang telah padam, dan sisa harapan yang belum dibakar oleh ketakutan.Di ruang meditasi yang sama, Yu Lie duduk
Di tengah Tanah Salju yang kini menampakkan rona musim semi, Pertemuan Agung dimulai dengan arak-arakan para pendekar dari berbagai sekte. Aula utama Sekte Yǒngjiǔ kembali menjadi pusat perhatian. Simbol naga bersinar terpahat segar di dinding, dan langit tampak bersahabat, menyingkirkan salju demi cahaya kehangatan.Pertemuan Agung itu adalah pertemuan kedelapan semenjak Mei Chin dan Thong Chai terpisah.Thong Chai berdiri di podium kehormatan, mengenakan jubah biru keperakan, sementara Mei Chin berada di sisinya, tangannya menggandeng seorang bocah lelaki yang belum genap sepuluh tahun, tetapi sorot matanya tajam dan menyala penuh semangat.“Ini adalah Chen Lung,” ucap Mei Chin dengan suara bergetar, “Putra kami. Buah dari cinta yang tumbuh di tengah badai.”Chen Lung menggenggam jubah ayahnya. Tatapan para pendekar berubah dari hormat menjadi haru. Anak kecil itu membungkuk perlahan seperti telah diajarkan sejak bayi untuk menghormati para tetua. Mungil tubuhnya, tapi langkahnya ga
Malam telah menjelma sunyi, memeluk Tanah Salju dengan keheningan yang dalam. Bangunan utama Sekte Yǒngjiǔ tampak seperti benteng batu yang membeku. Namun di dalamnya, Yu Lie dan tiga rekannya sudah menyusup ke lorong tersembunyi, dipandu oleh petunjuk yang mereka temukan di naskah tua kedai penginapan: peta kecil dengan tinta tipis yang memudar. Tidak ada yang tahu bahwa mereka sudah berada di jantung tempat yang dulu hanya bisa dimasuki oleh Lu Thong sendiri.“Lorong ini tidak tercatat dalam arsip umum,” bisik Yu Lie sambil mengusap embun dari dinding.Rimba berlutut memeriksa celah lantai. “Ada jejak. Beku. Tapi baru satu-dua hari. Mungkin Lu Thong sempat ke sini sebelum wafat.”Lon Chang mendorong sebuah rak tua dengan lambang ukiran naga. Terdengar suara berderak, dan rak itu bergeser membuka lorong tangga turun yang gelap.Cucu tersenyum tipis. “Akhirnya tempat rahasia yang layak disebut rahasia. Mari kita turun dan menggali kebenaran.”---Ruangan di bawah tanah itu dingin dan
Angin di luar aula berderu pelan, seperti bisikan alam yang turut berduka. Aroma dupa menyesakkan dada, menggiring pikiran para pelayat pada kenangan yang belum sempat diselesaikan.Lou Cho Nghek datang tepat ketika langit meredup. Langkah-langkahnya tidak terdengar, tapi tatapan matanya mengguncang suasana. Dia berdiri di ambang pintu aula, mengenakan jubah abu-abu tua yang dipenuhi lapisan salju. Rambutnya sebagian mencair dari embun, sebagian lagi mengeras, menambah kesan beku pada wajahnya yang tanpa ekspresi.Beberapa murid yang mengenal wajahnya hanya bisa menunduk—ada ketakutan, ada dendam, ada hormat. Phe I Yek mendongak perlahan dan matanya membelalak.“Kamu datang juga,” katanya parau, nyaris seperti gumaman.Lou Cho Nghek tidak menjawab. Matanya hanya terarah pada peti mati. Langkah-langkahnya lambat, seperti menghitung dosa yang dibawanya dari masa lalu. Di depan peti, dia berlutut. Tangannya gemetar menyentuh kayu dingin.“Guru,” ucapnya lirih, “Aku …, tidak sempat bicara
Asap hitam membubung meninggalkan atap penginapan. Jelaga yang dibawa bersama asap hitam itu terpisah oleh butiran-butiran salju yang turun dari langit. Matahari sudah muncul dari ufuk, tetapi tidak membuat Tanah Salju menghangat karena sinarnya seakan-akan terhalang oleh butiran-butiran salju. Mungkin matahari memilih muncul ufuknya di wilayah lain, tidak di Tanah Salju.Di dalam kamar penginapan, kayu bakar menyisakan hangat dengan sisa-sisa batang-batang kayunya berubah warna menjadi sekam. Sisi jendela penginapan bagian luar menempel salju sehingga tampak seperti mata tombak yang berjejer. Embusan angin dingin berani menyelinap masuk ke dalam kamar, membuat Yu Lie menarik selimut untuk menghalau dingin.Lon Chang tidur masih dengan lelap meski suasana dingin di kamar penginapan begitu menyengat. Sementara Cucu dan Rimba, mereka berdua anteng-anteng saja. sepertinya dingin yang meliputi kamar penginapan mereka bukanlah gangguan bagi mereka untuk tetap pulas.Hingga Yu Lie merasa tu
Rimba Rangkuti dan Cucu akhirnya melihat dengan mata kepala bagaimana sebuah perseteruan antara ayah-anak itu terjadi.“Ketika kita meninggalkan anak-anak Akarlangit, mereka tersenyum bahagia,” ujar Cucu.Rimba diam, tidak menimpali ucapan sahabatnya. Dia menarik selimut di kamar penginapan yang berisi empat orang. Yu Lie dan Lon Chang sudah lelap sedari tadi.“Aku, kamu, dan mereka berdua hanyalah pengembara.” Kata Rimba lagi, “Kita tidak bisa memilih apa yang akan kita lihat dan alami.”Kali ini Cucu diam di balik selimut. Pandangannya tajam pada langit-langit kamar tempat mereka menginap malam itu.“Setidaknya, pikiranmu kali ini lebih baik dari sebelumnya.”Rimba tersenyum di sisi Cucu lalu beringsut memunggunginya. “Ayo, tidur.”Sepasang mata merah Cucu menghilang nyalanya.---Langkah Lou Cho Nghek kembali menapaki dunia luar. Namun dunia yang dilihatnya bukan lagi dunia yang sama. Salju tampak lebih kelabu, langit tampak lebih rendah, dan wajah-wajah di jalanan tampak seperti b