Home / Pendekar / Rimba Memburu Senala / 70- Sudah Waktunya

Share

70- Sudah Waktunya

Author: Erbidee
last update Last Updated: 2025-07-10 21:21:58

Namun sayang, perpecahan kian meruncing di Akarlangit. Tanpa mereka sadari, mereka menciptakan konfrontasi yang dapat menghancurkan persatuan Akarlangit yang sudah tercipta selama ini.

Gerakan klandestin yang dibentuk diam-diam oleh Hara bertujuan untuk melindungi Suar dari politisasi. Meski gerakan ini hanya memiliki beberapa anggota, menurut Hara, satu waktu mereka akan bangkit melindungi Suar pada momentum yang tepat.

Sementara itu, Cucu harus memilih untuk bersama para penghuni Akarlangit atau menyusup ke dalam Mahkota Cahaya demi menghentikannya dari dalam.

Manakala perpecahan meruncing, Rimba memutuskan meninggalkan Akarlangit untuk mencari si Pelupa—figur legendaris yang mampu menutup ingatan Tilangkar apabila disalahgunakan.

Amugra, sang Penjilid Ingatan. Nama lain yang diketahui bagi Amugra adalah si Pelupa. Kilasan peristiwa bagai selarik cahaya yang melintas dalam pikirannya menangkap satu informasi valid tentang Amugra.

Mau tak ma

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Locked Chapter

Latest chapter

  • Rimba Memburu Senala   83- Qisao adalah Mitos

    “Qisao adalah mitos,” sebut Lon Chang.Yu Lie diam, mengangguk tidak, menggeleng pun tidak.“Apa yang kualami cuma mimpi.”Yu Lie melirik gelang di genggaman Lon Chang.Lon Chang mengeratkan genggamannya.“Kalau sekadar mimpi, kenapa gelang itu bisa berada di tanganmu?”Lon Chang tersadar dan mengangkat genggamannya, melihat gelang itu dengan saksama. Kemudian dia memandang Gunung Xuelan.“Gerbang terbuka dalam semusim,” gumam Lon Chang.Yu Lie pun mencari apa yang dipandang oleh Lon Chang. Kemudian gadis itu berkata, “Kamu mau ke sana?”Lon Chang terlihat ragu. “Aku berharap ini sekadar mimpi.”---Lon Chang menatap siluet Gunung Xuelan yang menjulang dengan tenang dan dingin, seperti menyimpan ribuan rahasia dalam kabut abadi. Langit berwarna kelabu, menyiratkan musim yang berubah dan waktu yang tidak lagi pasti. Angin berdesir pelan,

  • Rimba Memburu Senala   82- Qisao

    Lon Chang sedang asyik duduk. Di sudut bibirnya, satu batang rumput jadi sasaran bermain sepasang bibir dan geliginya. Hamparan rumput membuatnya betah duduk berlama-lama di bawah naungan rimbun sebuah pohon.Matahari tidak seberapa cerah, teriknya terhalang oleh awan.Lon Chang masih menikmati kesendiriannya semasih duduk menjelepok. Batang rumput di sudut bibirnya bergoyang-goyang.“Ah, sungguh indah pemandangan yang kulihat ini,” gumamnya.Salju sedang kalah oleh hangatnya matahari, mencair lalu menuju aliran sungai kecil maupun besar hingga ke muara.Gunung Xuelan tegak berdiri bagai mengamati gerak-gerik Lon Chang. Puncaknya yang senantiasa bersalju menambah keagungan dan misteri keberadaannya.Seseorang memanggil pemuda botak yang masih asyik menikmati pemandangan di hamparan rumput. Lon Chang menoleh, mencari asal suara pemanggilnya.Lon Chang tersenyum. “Yu Lie,” gumamnya.Seorang gadis berlari-l

  • Rimba Memburu Senala   81- Pertemuan Agung yang Mengubah Segalanya

    Hari Pertemuan Agung tiba. Sekte-sekte besar berkumpul. Arena tidak berselimut salju, licin dan membeku. Suasana menegangkan.Beberapa kandidat dari tiap perguruan yang diutus, naik ke arena pertarungan di Pertemuan Agung. Pertarungan tangan kosong menjadi pembuka di arena Pertemuan Agung. Aturan mainnya sederhana: petarung yang ke luar dari arena pertarungan dianggap kalah.Arena pertarungan itu sendiri berbentuk bundar dengan diameter cukup luas, yakni dua puluh kaki. Penonton yang hadir duduk dengan posisi lebih tinggi dari arena pertarungan.Kali ini, delapan perguruan sudah menghadiri Pertemuan Agung. Dan sebagai tuan rumah, Lu Thong memberikan sambutan dan mengingatkan kembali akan sejarah Pertemuan Agung.“Pertemuan Agung adalah sarana, bukan ajang menampilkan kesombongan.”Per

  • Rimba Memburu Senala   80- AKu Bukan Bayanganmu

    Merasa sebagai putra Lu Thong, kesombongannya pun tampak. Lou Cho Nghek mengira bahwa dia sudah menggenggam kemenangan. Mempelajari Seribu Angin Membelah Salju hanyalah formalitas saja, pikir Lou Cho Nghek.“Darah yang mengalir di tubuhku adalah penentunya,” ujar Lou Cho Nghek menyeringai.Bagi Thong Chai, diberi kesempatan diajari teknik Seribu Angin Membelah Salju adalah sebuah kebanggaan. Menurut dia, dari puluhan murid Sekte Yǒngjiǔ, hanya dua yang terpilih. Itu adalah sebuah bukti bahwa Thong Chai mampu mewarisi jurus yang keberadaannya masih misteri, tetapi sudah pasti Seribu Angin Membelah Salju bakal mengguncang ajang Pertemuan Agung nantinya. Thong Chai yakin benar jurus itu akan menjadi jurus pamungkas yang akan membuat Sekte Yǒngjiǔ kian harum dan tersohor di seantero dunia persilatan. Maka dari itu, Thong Chai begitu berharap dia mampu mempelajarinya melalui Lu Thong.---Seperti apa yang dikatakan Lu Thong, Lou Cho Nghek dan Thong

  • Rimba Memburu Senala   79- Seribu Angin Membelah Salju

    Lu Thong duduk di kursi sendirian. Di balkon, dia mengamati perseteruan Lou Cho Nghek dengan Thong Chai. Jenggotnya yang panjang berwarna campuran hitam dan putih sesekali bergerak tertiup angin.Ada kegetiran dan cemas menggurat raut wajah Lu Thong. Sekte Yǒngjiǔ satu saat akan ditinggalkannya. Namun, dia belum sreg mati kalau belum menemukan penggantinya kelak. Memang secara silsilah, selalu saja kepemimpinan Sekte Yǒngjiǔ akan dilanjutkan oleh keturunan sedarah. Lu Thong pun menjadi pemimpin Sekte Yǒngjiǔ lungsuran dari ayahandanya yang mati muda. Kala itu, dia baru berusia belum genap delapan tahun. Namun berkat pengajaran sang kakek, Lu Thong berhasil menyerap ilmu bela diri andalan Sekte Yǒngjiǔ yang diwariskan turun-temurun. Bahkan, Lu Thong berhasil memadukan beberapa bagian jurus-jurus Sekte Yǒngjiǔ menjadi satu jurus andalan sektenya, yakni “Seribu Angin Membelah Salju”.Kesedihan melanda diam-diam manakala Lu Thong melihat watak anaknya semenjak

  • Rimba Memburu Senala   78- Demi Pertemuan Agung

    “Dasar budek!” Lelaki gagah dengan pakaian mewah berwarna merah marun terlihat kesal. Dalam satu ruangan yang dipenuhi dengan sepuluh pelayan lelaki dan perempuan, titahnya tidak dipenuhi oleh satu pelayan.“Saya mohon maaf, Tuan Lou.” Pelayan itu berkata sembari membungkuk. Suaranya parau penuh kecemasan.Sementara pelayan lainnya hanya berdiri tegak, tegang wajah-wajah mereka.“Aku menginginkan makanan malah kau bawakan minuman,” ketus lelaki itu melampiaskan kekesalannya.“Tuan Lou, Anda meminta minuman cingcau,” ujar si pelayan memberanikan diri mengangkat wajahnya agar gerak bibirnya dilihat oleh lelaki gagah itu.Lelaki itu menyibakkan lengannya sedang matanya memperhatikan pelayan itu. “Aku mau itu. Ya, barusan aku minta makanan itu.”“Yang Tuan mau itu adalah minuman, bukan makanan,” bantah pelayan itu sembari telapak tangannya mengarah pada satu gelas berisi cin

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status