Share

Episode Tujuh : Cinta yang Lupa

Damai sekali melihatnya lelap usai sebulan bekerja meninggalkan rumah, meninggalkan cinta hanya mengangkut jejak ke tanah rantau. Ia menggadaikan lelahnya demi kasih tak terhingga dalam hayat. Ia pelipur lara yang tertanam dalam ceruk-ceruk rindu. Ia penerang gulita saat malam terpeluk. Sesosok pria dewasa yang kini rebah di pembaringan. Ialah yang menggendong Fira kecil, penumpah cinta dalam jantung gadis lugu itu yang penuh. 

Sepaham Fira ayah tidak pernah marah. Ia selalu berbuat baik, terbukti ketika ayah pulang dari pekerjaannya, ia membawa banyak jajanan, esoknya mengajak Fira dan kedua adik jalan-jalan ke pasar, bahkan tak segan menuruti seluruh permintaan anak-anaknya. Ayah sosok ramah, setiap tetangga bahkan orang asing yang berpapasan dengannya akan mendapatkan lengkung pelangi di bibir dengan gratis. Ayah bukan orang pelit, jika ada pengamen dan pengemis, satu lembar entah seribu, atau lima ribu bahkan sepuluh ribuan diberikan cuma-cuma. Ayah bukan orang malas, ketika ia di rumah, maka perabot dan lantai akan bersih pun tak ada cucian menumpuk di kamar mandi. Ayah ringan membantu ibu. Demi anak-anak ayah juga mahir memasak. Dua hal yang tidak pernah ayah lakukan, mendongeng ketika tidur dan memberi contoh gambar untuk ditiru Caca.

Itu dahulu ketika usia anak-anak masih belia, juga sebelum wanita cantik itu datang. 

Ada tragedi hebat yang tertanam di benak Fira lekat-lekat. Senja itu berembun, langit mengabu-abu. Fisik ayah sehat. Ia tak tampak seperti orang sekarat. Senyumnya memang tidak merekah, namun ia sanggup menelusuri gang demi gang menuju tempat mengaji Fira dan Caca. Alunan melodi huruf hijaiyyah terdengar terbata-bata. Suara merdu anak-anak kecil terdengar damai sampai ke dada. Beberapa anak usil melompati dampar, bergurau dengan sajadah yang disampirkan di bahu mereka, imajinasinya membayangkan sebuah pedang. Ustadzah geram, mereka meringkuk di sudut pintu beberapa menit kemudian duduk rapi, jika sudah bosan kembali membuat ulah. 

Gadis-gadis kecil memamerkan mainan barbie yang mereka angkut dari rumah, diam-diam dimasukkan ke tas mengaji bercampur dengan buku iqro’ atau juga Al-Qur'an. Ustadzah melenguh panjang, menyita sebentar, ada yang merengek minta dikembalikan, beliau tidak peduli. 

“Kita ngaji dulu nanti mainannya Ustadzah kembalikan.”

Mau tak mau anak-anak tunduk. Tapi lain cerita dengan gadis kecil Fira, ia memainkan bonekanya di bawah meja dampar, melucuti pakaiannya, hendak diberi ganti, katanya biar tidak gerah, sebab kelas terasa panas, kipas anginnya mati. 

“Kak Fira nanti kena tegur loh!” Caca mengingatkan. 

“Ssstt, jangan berisik nanti bonekanya kebangun bisa nangis!”

Caca menggeleng-gelengkan kepalanya. Ia menepuk jidadnya sendiri. Rasanya malu memiliki kakak yang kurang kerjaan seperti Fira. 

Tiba-tiba ketika semuanya sibuk dengan kegiatan mengaji masing-masing, ketika Fira dan Caca saling main mata pelotot-pelototan, ketika Ustadzah sibuk mengajari ejaan huruf hijaiyyah, ketika seorang lelaki tua lari pontang-panting di luar gedung mengaji dengan kepala penuh lumuran darah. Ketika tetangga-tetangga sekitar dihunus aura takut pada sosok tak asing. Ketika ayam-ayam berhenti berkokok. Ketika senja mulai melinangkan air mata langit, embun-embun menyerbuki jalan, kering menjadi basah, gerah menjadi gigil, ketika suara mereka dikalahkan jeritan warga sekitar. Lala, si gadis mungil itu menangis menjerit-jerit. Ustadzah membopongnya berusaha mendiamkan. Kegiatan mengaji berjeda. Fira meletakkan bonekanya, ia melompati dampar sembarang, langsung merebut Lala. 

“Ada apa adikku sayang? Kau takut kena marah Ustadzah karena belum bisa membaca? Tenanglah Ustadzah tak segalak guru sekolah Kak Fira!” 

Caca geram dengan kalimat kakaknya, jika mampu ia ingin menimpuk kepala kakaknya. Ustadzah melotot. Ia tak mau tahu, sesegera mungkin mengeluarkan pakaian ganti adiknya dari dalam tas, meminta ijin kepada Ustadzah untuk ke kamar mandi. Hal yang pertama Caca perhatikan ketika adiknya menangis adalah pantatnya, basah itu pertanda si gadis kecil ngompol. Anak balita jijik dengan ompol dan kotoran tinja mereka. 

“Ayo Kak, kita ke kamar mandi!”

“Cup! Cup! Cup Cantik!”

Fira bergaya seperti seorang ibu sesungguhnya. Ustadzah tak lagi melotot, ia tersenyum seketika. Sayang alam tak mengizinkan mereka pergi ke kamar mandi, takdir membiarkan pantat Lala basah karena ompolnya. Ia pun meraung tak henti-henti. Teman-teman Fira dan Caca serempak mentertawakan kepedihan yang di mata mereka sebuah lelucon. Ustadzah hendak membantu tapi dijeda keputusan detik. 

Lelaki dengan kepala berlumuran darah masuk tiba-tiba, membuat ruang gaduh karena tawa tercekam ketakutan. Semua murid berebut memeluk Ustadzah. Napas-napas tercekat, semula hanya Lala yang menangis, kini bertambah. Senja itu dipenuhi dengan paduan suara tangisan memilukan. Orang tua yang mengantarkan anak-anaknya dan menunggu di luar ruangan berusaha menolong lelaki berlumur darah, namun lagi-lagi takdir tak membiarkan lelaki itu tertolong. Semuanya dihunus hawa ketakutan dalam, senyum mereka ditelan keputusan takdir yang tak mau memahami. Tuhan seolah tak berkendak senja berembun itu disambut dengan keceriaan. Seorang lelaki tua yang lain berteriak-teriak sembari menudingkan pisau ke atas langit. 

“Dengarkan! Aku sangat mencintai keluargaku! Aku bukan orang yang berkhianat! Aku sudah memiliki tiga putri cantik-cantik. Bagiku mereka cukup membuat hidupku berarti! Kau… jangan sekali-kali meretakkan kebahagiaan utuh keluargaku! Atau kubunuh kau!” suara itu menjelegar, merontokkan terang, gelap seketika menyelimuti langit beriringan dengan adzan maghrib. 

Tetangga sedang berkasak-kusuk mengenai nasib lelaki tua yang kehilangan ingatan tersebab perasaannya hancur dikeping-kepingkan waktu. Lugunya mereka menghilang dari kerumunan gosip senja, mereka menutup pintu rumah rapat-rapat, tak berkenan angin sore menyibak kedamaian pikir mereka, semuanya kompak bersembunyi di balik rumah, namun mengintip keadaan luar melalui jendela, kecuali tiga orang; lelaki berlumur darah, lelaki tua malang itu dan seorang ibu setengah renta yang berlari tergopoh-gopoh menuju tempat mengaji. 

Caca menyadari ada hal ganjil. Ia secepat kilat membopong Lala yang masih berderai air mata, Fira diseret tangannya. Cepat-cepat ia lari melalui pintu belakang. 

“Caca, sakit!”

Caca tidak mendengarkan keluhan kakaknya, ia abai, yang terpenting saat itu ia hendak lari dari kenyataan. Kenyataan bahwa lelaki tua itu yang melukai lelaki satunya hingga berlumur darah. 

“Cacaaaa! Berhentiiii!” Fira berteriak keras-keras. Lagi-lagi Caca tidak mau tahu, ia terus berlari, menggendong Lala yang menangis dan menarik lengan Fira amat erat, langkah Fira terpaksa mengimbangi laju adiknya. 

“Untuk apa kita lari, ada ibu di belakang…”

“Ada pisau di tangannya, benda tajam tak boleh berada di dekat anak kecil,” ungkap Caca dengan keluguannya, “kita harus pergi, lelaki itu berlumur darah,”

“Ibu ada di belakang, dia akan kebingungan mencari kita!”

Caca acuh, ia terus berlari mencari persembunyian, menerobos temaramnya langit. Tiga bocah kecil-kecil menghiasi bigron lelapnya senja. Mereka terlukis di jalan utama desa, di hadapan gunung megah menjulang tinggi, disaksikan burung-burung prenjak pulang ke sangkar, dipotret ayam-ayam buta yang telah dirabunkan waktu. Tangan kiri Caca mencengkeram lengan Fira, sementara tangan kanan memegangi pantat Lala, ia sedikit membungkuk supaya tubuh adiknya imbang dan tidak jatuh, tak hirau dengan bau ompol, tak peduli kain punggungnya basah terkena ompol, ia ingin adik dan kakaknya terhindar dari kecelakaan. 

Pada batas rapuh tenaga Caca, ketika napasnya terengah-engah. Ia menurunkan Lala di emper jalan, mendudukkannya serta melepas lengan Fira. “Kakak tidak mampu berlari lagi,”

“Siapa yang menyuruhmu berlari, Ca?”

“Kak Caca! Lala mau digendong lagi!” tangis Lala reda. Bocah manis itu kali ini merengek minta digendong, ia merasa nyaman diombang-ambingkan langkah Caca di atas punggung. Ia belum mampu memahami kejadian perih, si pemilik mata bulat indah tanpa dosa itu, rasa-rasanya hendak dipeluk angin malam. 

“Ca, apa pun yang terjadi ayah tetaplah ayah kita, aku kangen ayah!” pilu kalimat Fira, ia membalik langkah, hendak menjemput lelaki tua itu, lelaki yang mengacungkan pisau ke atas langit, lelaki tua yang dikejar oleh seorang ibu renta, ibu mereka. 

“Kak Fira boleh kangen dengan ayah, tidak salah! Tapi kali ini dia membawa pisau! Caca sendiri sedikit bingung, mengapa orang dewasa seperti ayah bisa bermain-main dengan pisau apalagi dibawa ke tempat mengaji, sungguh kekanak-kanakan!”

“Ayo kita hampiri ayah dan ibu, aku ingin bertemu dengan mereka, kita ajak mereka pulang!” Fira ngotot. 

Hari itu ibu libur ke pasar karena ayah ada di rumah. Ibu hendak melindungi mereka dari ketidaksadaran lelaki yang mereka cinta dan kasihi. Ibu rela berhutang ke sana kemari demi mencukupi kebutuhan, tahan malu, tahan cemooh, terpenting didekatkan dengan anak-anak. Ibu tak ingin membuat jarak ketika ayah ada di rumah. Ibu hanya mengantarkan anak-anaknya mengaji, menjemput, memasakkan makanan, dan menunggui mereka tidur. Ibu penjaga malam tiba-tiba, menggantikan tugas Fira. 

“Anakku,” ucap ibu dengan suara parau. Matanya sembab. Entah sejak kapan ia sudah berdiri di belakang tubuh anak-anaknya yang sedang berselisih. Secepat kilat ia bopong Lala, mencium keningnya, lalu menuntun Caca. Fira disuruh memegang ujung bajunya. 

“Kita ke rumah kakek, ya! Ayah sedang tidak bisa diganggu!”

"Kenapa ayah membuat lelaki tadi berlumur darah dengan pisau?” tanya Fira. 

“Kau menanyakan sesuatu yang seharusnya tidak ditanyakan, Kak!”

“Sudahlah, kita pulang ke rumah kakek.” Kata ibu lagi. 

“Apakah ayah selamanya akan seperti itu, apakah ayah tidak akan bisa kembali seperti dulu lagi? Ayah selalu mengamuk, marah-marah, mengancam akan membunuh, melempar segala barang yang ada di depannya, apakah ayah tidak lelah?” Fira menanyakan panjang lebar. Ibu menarik napas dalam-dalam, menelan air liurnya, memeluk Lala dalam gendongan lebih erat. Diam seribu bahasa. 

“Ayah seperti itu karena menyayangi kita kan, Bu? Kenapa kita harus meninggalkannya? Di mana ayah sekarang?” rajuk Caca. 

Angin mulai berembus kencang, malam menggeliat malu-malu. Senja sungguh telah terbenam, tak ada lagi warna kemerahan di ufuk timur, birunya langit telah diburamkan. Lelaki tua itu diikat di kandang kambing. Tubuhnya diterlentangkan, kakinya dipasung. Ia meronta-ronta, semua orang mendengar, namun mereka menulikan pendengaran. 

 Cinta ayah yang besar tak terhingga, sayang ayah lebih luas dari semesta, keikhlasannya lebih dalam dari samudera, tak rela dilukai, tak mau diusik, tak dibiarkan terpecah belah meskipun menjadi tanpa arah. 

Kenyataan pahit itu justru membuktikan perasaan putihnya sesuci ruh manusia dalam kandungan. Sayang sungguh malang, cintanya berakhir dalam pasungan. 

***

Tiga gadis kecil-kecil, melihat bintang dari balkon rumah. Setengah jam lalu ibu pamit berangkat ke pasar. Ibu sudah berani meninggalkan putri-putrinya, karena ayah tidak lagi di rumah. Ayah tidur di bawah atap kandang kambing, ayah mengigil di rumah yang berbeda, ayah sedang berteriak-teriak, namun mereka tak mendengar, jauh dalam hati alam bawah sadar ayah menangis meraung-raung kesakitan juga tak kuasa menahan rindu kepada istri dan anak terkasih, kadang ia lupa, kadang juga ia ingat meski hanya samar-samar itu pun sebentar. 

Ayah mengompol dan buang air besar di pasungan, ayah makan disuapi paman, ayah minum diminumkan paman, ayah mengamuk ditemani suara kambing. Kaki dan tangannya merah-merah, namun tak seorang pun membantu mengurangi rasa perihnya. Ikatannya terlalu erat, seerat cintanya kepada keluarga yang tak seorang pun mampu memahami. Saat itulah Fira dan adik-adik melihat dan menghitung bintang-bintang. 

Caca dan Lala tiduran di kaki Fira sementara tubuhnya bersandar di tembok. Mata mereka sama-sama tertuju ke langit malam, terlihat cerah, hitam dan tak berkabut, ada biru yang sedikit jelas di pinggiran tubuh rembulan, melingkar seperti sebuah sketsa. Caca melukis momen pagi itu dalam ingatan. 

“Kak Fira, kenapa ibu dan ayah selalu tidak di rumah?” tanya Lala, ia mulai memahami perbedaan hidup keluarganya dengan keluarga orang lain, sebentar lagi ia akan duduk di kelas TK besar. 

“Ibu perempuan, La. Ayah laki-laki, menurut pelajaran agama Fira di sekolah laki-laki dan perempuan tidak boleh bersama-sama kalau bukan muhrimnya, mungkin ayah dan ibu sekarang sudah bukan semuhrim lagi.” Ungkap Fira sepengetahuannya yang tak mempertimbangkan realitas. 

“Ada foto pernikahan di kamar kita,” Caca ikut nyambung. “Artinya mereka semuhrim!”

“Mereka menikah sebelum kita lahir, Ca. Pernah kau lihat ayah dan ibu menikah?” pertanyaan tak masuk akal Fira diabaikan oleh Caca. Ia tidak meresponnya, justru mengungkapkan kenyataan. 

“Ayah gila suka mengamuk, makanya ayah dipasung dan tidak tinggal di rumah, ibu bekerja untuk memberi kita makan.” Ungkap Caca apa adanya, adiknya mendadak menangis histeris. Ia bangkit dari rebahnya, duduk menghadap wajah Fira. 

“Kak Fira, apakah ayah kita seperti orang gila yang ditakuti teman-teman Lala? Ketika sekolah ada orang gila yang sering lewat depan sekolahan Lala, dia bernyanyi sembarang sambil menggendong sampah-sampah. Apakah ayah kita juga akan seperti itu?”

“Adikku, Lala yang cantik! Ayah kita adalah ayah hebat, tanpa dia kita tidak lahir. Ayah kita memang gila, tapi gila yang berbeda,” 

Lala menyimak dengan seksama setiap kata yang keluar dari bibir kakaknya. 

“Orang gila lain hidup di jalanan, tapi ayah kita tidak, dia hidup di kandang, orang gila lain menggendong sampah meracau tidak jelas dan menyanyi tidak jelas, tapi ayah kita tidak, ayah kita selalu ungkap cinta dan rindu kepada kita semua, hebat bukan? Kita harus bangga punya ayah gila karena ia berbeda!”

Mereka bangga, bangga yang tidak pernah mampu diperjelas oleh detik-detik malam. 

Pada suatu minggu di waktu subuh, Fira mengajak kedua adiknya menerobos ke kandang kambing. Ia sudah tidak mampu menampung rindu yang ditumpuk-tumpuk berhari-hari di dalam hati. Lala digendong, Caca dituntun di pagi buta yang masih enggan menampilkan cahayanya. Warga kampung sedang bersujud di masjid, ibu telah mempersibukkan punggung dengan beban-beban di pasar. Embun masih melekat di pucuk-pucuk daun. Ayam mulai bersiul membangunkan bebek-bebek dan kambing-kambing. Burung prenjak bertengger di kabel-kabel listrik enggan mencari makan karena dipeluk gigil, sayap mereka terkatup semuanya mengerat hangat. Sisa kantuk tiga bocah perempuan digiring ke kandang kambing kakek dan nenek mereka. 

“Orang dewasa selalu membingungkan, mereka tidak pernah paham bahwa sebenarnya ayah kita orang hebat!” umpat Fira sembari membuka kunci pintu yang hanya ditali dengan kawat. 

“Orang dewasa lebih banyak egois!” tambah Caca. 

Lala sendiri hanya tersenyum-senyum, ia tidak sabar ingin memeluk ayahnya. 

Pintu terbuka. 

Kayu-kayu bakar tertata rapi. Rumput-rumput stok makanan kambing berjajar bergulung-gulung. Pencahayaan kandang minim, hanya ada lampu kuning lima watt berumur senja. Udara lembab bercampur dengan bau kotoran kambing menyengat di lubang hidung. Suara kambing mulai menggonggong, sadar ada makhluk yang menjamah persemayaman mereka. Ayah tergeletak dalam ikatan pasung di sebelah tumpukan kayu bakar. Ia tidak tidur semalaman. Fira menyorot wajah ayah dengan senter yang dibawanya dari rumah. Caca jongkok mengelus kedua kaki bengkak. Lala meraba perut lalu memeluknya. 

“Ayah apakah kau mengenali kami?” tanya Caca. 

“Ayah, ayo tangkap kupu-kupu dan capung di lapangan!” kata Lala. 

“Ayah, aku bawakan padamu cahaya agar gelap tidak menakutimu.” Ungkap Fira lembut. 

“Apakah kau benar-benar gila, Yah?” pertanyaan kedua Caca. 

“Dulu ayah berjanji membelikan Lala jajan, lupakah?” pertanyaan kedua Lala. 

“Jika kau gila, kududukkan kau di singgasana bintang, supaya orang-orang bisa melihatmu dari bumi, Yah! Karena di mataku, ayah tidak pernah gila, ayah sesosok raja yang pantas dijunjung jasanya.” Kalimat Fira keluar tergiring imajinasi yang, membuat Caca mendengus sebal. 

“Sampai kapan Kak Fira hidup di dunia khayalan?”

Mereka berdebat. Lala membiarkan kedua kakaknya ribut, ia sibuk membelai tubuh ayahnya yang terlentang tak berdaya dan tak bisa berbuat apa-apa, bahkan meski hanya mengeluarkan suara. Hari itu ayah bungkam beribu bahasa, pikirannya pergi seperti cahaya senter Fira yang tiba-tiba dimatikan karena mendengar langkah kaki di luar pintu kandang. Debat kusir terpaksa diselesaikan. 

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status