Share

Episode Enam : Yang Tidak Ia Mengerti

Embun mengusap kening bumi. Angin bersenandung riang dengan menggesekkan tubuhnya pada puluhan daun bambu. Burung duduk manis menyambut sapaan mentari. Pagi terbangun. Detik menunjukkan waktu terang. Aktivitas mulai meratap. Peluh bersiap mengeluh. Penduduk telah berbisik-bisik membahas gosip selebriti di teras rumah masing-masing sembari menggesekkan lidi ke tanah, yang lain ikut menyahut, tertawa atau hanya diam saja. 

Tiga gadis masih meringkuk di dalam selimut. Bibirnya menganga, matanya sedikit terbuka, begitulah ia lelap sepanjang hari. Fira memeluk tubuh mungil, membelakangi adik kecilnya. Ia lelap sangat, matanya belum terbuka sama sekali semenjak pukul dua dini hari. Kelelahan. Tubuhnya menggigil, selimut kembali ditarik, memeluk lebih erat tubuh yang lembut. Bantal guling seukuran tubuh Lala menjadi tempatnya membuang rindu pada peluk ibu. Kaki Lala terbuka lebar, yang kiri di atas punggung Fira, yang satu di perut Caca. Wajahnya telah diperciki sinar mentari yang lancang masuk dari celah tirai jendela. 

 Gerungan kucing di dapur berusaha membangunkan. Ia mengendap masuk. Mendorong pintu kamar yang tidak dikunci. Loncat ke atas tubuh Lala. Gadis itu terhentak dari alam mimpinya. Melonjat histeris. Menangis keras. Bangun. Terduduk sendirian. Menoleh kakaknya yang masih khidmat memejamkan mata. Menepuk bahu Fira. Diam. Kakaknya tidak merespon. Kantuk menguasai kesadarannya. Menengok ke arah Caca, gadis itu mendengar suara tangisan, membuka matanya perlahan, kemudian menutupnya kembali, acuh! Caca belum pengertian. Waktu mendenyutkan nadi pada detakan ke enam lewat lima belas menit. Senyum alam semakin riang. Hujan semalam berhenti. Ibu berangkat digiring kerlip bintang juga senyum rembulan. Kerajaan awan mengusir kabut, sang lawan. Maka malam tadi, embun yang menetes usai fajar menguap berpesta pora merayakan binaran tawa langit yang cerah.

 Kucing duduk manis di bantal Lala. Merebahkan tubuh, tak peduli dengan benua peta khayalan yang dibuat oleh pemiliknya. Gadis yang matanya basah itu tidak senang, reflek menarik bantal, memangkunya, kuncing mengeong, mengeluarkan bahasa binatang yang tidak dimengerti Lala. Ia berdiri, melangkah maju mendekati Lala. Hendak menyandarkan kepalanya di pangkuan Lala. Gadis itu justru menendang kasar, terjadilah peperangan anak adam dengan seekor kucing. Lala memukul kepala kucing, binatang itu berusaha mencakar kepalan Lala. Bantal dijadikannya tameng. Sebab geram, ia memukulkan kain berisi kapuk itu ke tubuh kucing. Tidak terima mendapatkan perlakuan kasar, kucing mendekatinya, ancang-ancang siap melompat. 

 Kasur memantul-mantul, pagi yang dramatis, ayam jago milik tetangga berkokok menjadi suporter kucing. 

“Au!” Wajah Lala memerah. Tiga garis membekas di pipi. “Huaaaaaaaaaaaaa.........” Menangis lebih kencang. Kucing merasa menang, ia lompat dari ranjang, melangkah keluar. Fira bangun. 

 “Ada apa?” Suaranya masih parau. Perlahan ia kucek matanya, menguap. Caca ikut bangun. Wajah sayu tiga belia berpandangan. “Kenapa menangis, La?” Bangkit. Menyibak selimut, mengabaikan guling. “Sini,” menarik tubuh adiknya. Mengusap ubun. “Kucing! Sakit! Pipi Lala sakit!” Merengek minta diperhatikan. 

 “Lain kali Lala boleh berbuat baik kepada kucing, dielus kepalanya pasti kucingngya tidak nyakar Lala lagi,”

 Dua belas tahun, ya usia gadis itu mengangkat tubuh Lala. Membopong, mendudukkan di kamar mandi, perlahan mengusap wajah, menyiram kaki. Kembali ke kamar, menyisir rambut acaknya. “Adik harus menyayangi binatang,” bibirnya terus berceloteh. Lala acuh, meraih boneka panda memeluk atau memukul-mukuli kepala. 

 “Ibu di mana?”

 “Sudah berangkat ke pasar,”

 Mata Lala berkaca, ia menatap jam yang menempel di dinding, berharap jarumnya segera berhenti pada titik angka lima atau di sela-sela angka lima dan enam, maka ibu akan ada di hadapan, sementara Caca turun dari ranjang, meraih handuk, bergegas mandi, siap-siap berangkat ke sekolah. “Ibu,” kembali merengek. Tabah sekali Fira mengusap ubunnya. 

 “Doakan ibu baik-baik saja ya? Ibu sedang membelikan adik jajan,”

 Akhirnya gadis itu diam. “Ayo turun, kakak mau buat sarapan.” 

Lala taat. 

Selimut masih berantakan. Bantal berserakan. Tak peduli. Jendela dibuka, tirai tertarik lebar, alam pamer kecantikan. Langit biru mempesona, burung berkicau, angin membuat berpuluh-puluh macam tanaman hias berdendang. Ayam tetangga sibuk mencari cacing. Warga mulai menjejak langkah mencari nafkah. Anak-anak sekolah pamer ransel di beranda rumah, ada pula yang merengek meminta uang saku tambah.

Sementara Fira. Menyalakan kompor. Mengaduk telur dengan garam, menyatukannya, lantas memasukkan ke teflon usai minyak mendidih. Menu pagi, telor goreng nasi putih. Ia siapkan di meja makan lantas menghampiri Lala yang duduk manis melempar-lempar bola di ruang tengah. Merayunya agar mau mandi. Air dingin dipanaskan. Sabar, tangannya merajuk adiknya agar taat. Berkali-kali lari tak mau masuk kamar mandi. Caca usai, merapikan buku-buku sekolah. Memasukkan pensil dan gerutan pensil ke ransel. Menyisir rambut, juga seragam meski lupa belum disetrika. 

 “Adik ayo mandi! Mandi air hangat!” Menangkap tubuh Lala yang bersembunyi di balik sofa, menghempaskan boneka, melempar bola ke wajah Fira. Gadis kecil itu tersenyum, adik meronta. Digendong paksa. Pakaian dilucuti. “Harus mandi biar cantik!” 

“Tidak mau!” Mendorong tubuh kakaknya. 

Mereka bertiga ditakdirkan Tuhan hidup mandiri, berteman embun pagi, di dalam gedung mewah yang tak memiliki harga diri. Mereka bertiga yang setiap senja menunggu kehadiran senyum malaikat dengan mata berkaca-kaca. Tegak tak rapuh meskipun waktu hendak merobohkan. Sanggup beraktivitas. Alam mendidik dengan riang. Bagi Fira, pagi adalah momen menyenangkap, sanggup berkejaran dengan adiknya yang lugu. 

 Byur! Air diguyur. Baju tidurnya basah. Lala memercikkan air ke tubuhnya. Ia acuh. Tertawa tak marah. Tubuh dipoles sabun, lembut. Amat sangat lembut. Ia senantiasa mengenang gerakan tangan ibu menggosok punggungnya waktu dulu, kini dirinya praktik meski tidak disuruh. Lala diangkat, dibawa ke kamar. Menghandukinya. Menyiapkan pakaian tercantik. Memoles wajah dengan bedak. Menjepit rambut dengan penghias rambut bunga warna pink. 

Adiknya terlihat anggun menggemaskan, Wangi! Caca siap! Sudah duduk di meja makan. Ia membopong Lala, menyuapinya. Mengingatkan agar Caca makan dengan pelan, tidak membuahkan bunyi gaduh sendok dengan piring. 

Setengah tujuh. Waktu berjalan cepat. Fira belum siap-siap. Bergegas meraih handuk. Mencuci muka. Gosok gigi! Cuci muka saja! Tak sempat mandi, terpenting adiknya harum. Terpenting mereka tampak jelita. Ia melupakan nilai keindahan dalam dirinya. Maka bumi berguncang, menjerit dengan luapan emosi yang mengiris. Si kecil itu, bahkan belum memahami makna pengorbanan. Sementara ia telah melakukannya. 

 Berangkat sekolah. Mengantar Lala. Ia duduk di TK kecil SD. Sementara dirinya belajar di Madrasah Ibtidaiyah, jaraknya satu kilo meter dari rumah. Lalalah yang sekolah paling dekat dengan rumah. Caca dan Fira jauh. Mungkin kau akan mengatakan jarak itu dekat, namun si kecil itu, menapak dengan langkah, jejaknya belumlah selebar jangkauan kakimu. Mereka lari mengejar terlambat. Tertawa riang. Kendaraan hilir-mudik abai. Ransel bergoyang-goyang. 

Caca ditakdirkan dengan kecerdasan alam. Sementara Fira, Fira yang buta dengan makna perjuangan, jangankan menghitung, membaca pun ia tak bisa. Huruf alvabet hanya tahu, A juga U! Gadis kecil itu mahir merayu dan menenangkan tangisan kedua adik, namun jarang mampu menundukkan emosi guru yang kesal dengan ulahnya. 

 Mengantar terlebih dahulu ke kelas Caca. Tingkatan satu. Menambah lajuan, lebih mempercepat. Kelas tiga tertulis di papan pintu. Tersenyum. Mengetuk pintu. Melirik sekilas halaman sekolah. Sepi. Semua siswa telah masuk ke dalam kelas masing-masing. Ia berdiri mematung usai guru membukakan pintu. Menatap garang. “Telat lagi?”

 Nilai jarang indah, lebih sering datang terlambat. “Maaf, saya bangun telat, Pak!”

 Telinga dijewer. Mata teman menatap geli. Tertawa sebagai hiburan di pagi hari. Meja kursi protes, tak terima anak itu diperlakukan kejam. Maka dinding mengusam, coretan tangan jahil semakin bertambah. Papan tulis menjatuhkan debu kapur, sementara penghapus hendak melemparkan diri ke wajah guru yang dianggapnya beringas. Kumis hitam sok gagah. Baju cokelat yang setrikaannya rapi pun tak menampakkan kekuasaan, arlojinya menyeringai. Sementara dasi di leher, tak mau ikut campur permasalahan anak adam. Kaca mata yang dikenakan melorot beberapa senti ke hidung. 

 “Sudah sana! Duduk!” Jeweran dilepas. Ia melangkah perlahan menuju bangkunya yang terletak di belakang. Menyapa teman. Ingat! Ia tidak menangis. Tetap dapat tertawa. Riang. Wajahnya tampak manis, meski napasnya tersengal-sengal kelelahan. Beberapa menit lalu lari di koridor sekolah. Menjebakkan langkah pada pusara waktu agar tetap diizinkan belajar. Sebab, lima belas menit terlambat, maka ia harus hormat di hadapan tiang bendera. Baru sepuluh menit. Bibirnya tertarik menakjubkan.  

 Pikirannya melayang bebas. Tak fokus dengan perkataan guru di depan papan tulis. Catatan putih. Tak ada noda yang dimuntahkan ke dalam buku. Ia melirik jam dinding. Berharap waktu cepat berlalu. Maka pintu akan terbuka, secepatnya ia akan mengambil ancang-ancang untuk melesat. Lari maraton, satu kilometer. Memeras peluh. Mempermaikan detak jantung. Membuang malu. Acuh dengan tatapan guru yang meratap di kantor. Yah! Sepuluh menit lagi. Jemarinya menghitung mundur sampai angka satu, dari detik enam puluh. Begitu diulang-ulang sampai enam ribu detik. Guru berkacamata telah berdiri di sisinya, melirik buku kosong, teman menyenggol pundak, memberi isyarat. Ia abai! Kepala masih dipusatkan menatap jam dinding. Kapur mengenai pelipisnya. Leher reflek tergerak menoleh. Menyeringai tanpa merasa bersalah. 

 “Dari mana kamu akan sanggup membaca? Menulis saja kamu tidak mau? Selalu saja melamun di dalam kelas! Bagaimana jika kau tidak naik kelas?”

 Tersenyum. Lagi-lagi tidak merasa bersalah. Jiwanya kalut. Ia hanya sedang mengkhawatirkan nasib Lala. Duduk di ayunan TK, menatap iri kawan yang pulang dijemput ibunda. Memainkan kaki, melambai-lambaikannya sendirian, mengusir penat, jika bosan maka akan berkaca-kaca. Ia tak akan membiarkan adiknya menunggu terlalu lama. “Maaf, Pak! Saya izin ke kamar mandi!” Lari, pura-pura kebelet. Memegangi pantat. Di depan melambaikan tangan, seolah meledek. 

 “Firaaa!!!” Geram sekali guru itu. Anak-anak terbahak. Ia lari menelusuri koridor sekolah. Mendorong gerbang saat penjaganya lengah. Berhasil kabur lebih awal. Adiknya, pulang setengah sepuluh. Ia harus menjemput, tak mungkin membiarkan adiknya merana di rumah sendirian. Tidak rela jika kejadian buruk menimpanya. Si kecil itu! Bahkan belum mengerti arti kata peduli!

 Terengah-engah. Lala sudah menunggu di gerbang dengan seorang guru. “Maaf, Bu! Saya sedikit terlambat menjemput adik saya, Pak Guru ngomel terus, nyebelin!” Ia merajuk.  

Guru tersenyum. Mengelus ubun Fira. “Tidak papa. Besar nanti kau akan menjadi anak cerdas!” Doa dilayangkan. Langit menerima. Alam mendukung. 

 Lala dinaikkan ke punggung. Lihatlah dengan seksama! Gadis kecil itu, melangkah tanpa beban, riang sangat. Menerabas jalanan. Kadang berjingkat-jingkat menghentakkan tubuh adiknya. Lala tertawa. Kadang menjambak kepalanya. Jika pagi tubuh ransel yang bergoyang, maka menyambut siang, pantat Lala yang bergoyang. Dua lengan menjadi tumpuan di punggung, erat ia mengaitkan. Cinta tumbuh tanpa disadari, kasih sayang mekar. 

Kembali berlari, ia tidak ingin mengulangi kata terlambat. Absensi dengan namanya akan selalu merah. Bosan diceramahi. Ia yang berumur dua belas tahun, dibebani bocah empat tahun. Pemandangan getir yang membuat awan tak tega terisak. Maka, siang itu, sungguh indah dan cerah. 

 Sukses! Ia tidak terlambat. Lala diajak masuk ke dalam kelas. Bayangkan, Kawan! Ia yang kecil, bahkan tak diberi kesempatan waktu istirahat. Teman yang lain bermain petak umpet, ia lari menjemput separuh bagian hidupnya, yang lain menikmati jajanan di kantin, ia melupakan haus dan lelah tersengat terik di jalanan. Yang lain, membincangkan benda pemberian orang tua di rumah, ia justru memikirkan nasib adiknya yang sendirian. Gadis itu! Pantas direkam dan diabadikan jejaknya oleh alam. Namun siapakah yang hendak mempedulikan? Kembali, wajah memuakkan dipamerkan guru. 

 “Kau mengajak adikmu? Di mana ibumu, Fira? Ia akan sangat mengganggu kosentrasimu! Dan kapan kau akan sanggup membaca?”

 “Lala! Beri salam kepada ibu guru!” Runtuh amarah guru. Dadanya bergemuruh. Sesak rasanya. Ada linangan hangat yang hendak meluncur. Si kecil yang lebih mungil mengulurkan tangan. Cermati, tatapan tanpa dosa itu, menarik sebuah pelangi di bibir. Guru menjabat, jidad Lala diciumkan. Sungguh adegan yang dramatis. Waktu bertepuk tangan. Fira menuntun adiknya ke bangku. Memangku. Meraih bukunya. Membuka, menyiapkan pensil. Teman melirik heran. Beberapa acuh. Devi, sahabat sebangkunya menjawil pipi Lala. Ia senang, tak merasa keberatan jika Fira membuat bangkunya sedikit sesak, sebab ia amat gemar mencubit Lala gemas.

 “Baik, buka catatan! Kita ulangan!” Guru berteriak. Ia mulai menulis soal di papan tulis. Lala dinaikkan ke atas meja. Diserahkan harta penumpas kebodohannya. 

 “Adik, ini polpen untukmu menulis, coba gambar sesuatu di sini!” Menunjuk halaman kosong. Lala patuh, garis tak jelas dirangkainya asal-asalan. Fira bertepuk tangan. 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status