Tidur nyenyak Akhtar terganggu dering telpon. Pukul satu dini hari, ponselnya bergetar memohon perhatian. Ia acuh, membalik punggung dan menarik selimut. Malam telah larut, tidak logis orang menelpon di waktu istirahat seperti itu jika bukan hal mendesak. Sayangnya Akhtar tak berpikir panjang. Ia melanjutkan tidur, melipat mimpi-mimpinya dengan rapi. Membuang lelah ke dalam pejaman mata rapatnya. Memeluk dingin di balik selimut tebal. Hujan di luar menciptakan suasana tidur yang nikmat. Cicak bernyanyi mengiringi kegaduhan percik air yang jatuh menimpa asbes-asbes rumah. Dedaunan di luar basar kuyup, bunga mawar menggugurkan beberapa kelopak cantiknya sebab tak mampu menampung beban hujan dari langit. Angin berembus kencang. Orang tua Akhtar lelap saling peluk. Pembantu mendengkur.
Ponsel Akhtar masih berdering, melantunkan lagu Westlife, Flying Without Wings. Kali ini Akhtar membuka selimut, membuang bantal guling ke lantai, dengan geram ia menggayuh ponsel. Sebelum mengangkat ia memastikan penelponnya, kata Fira mengambang di layar.
‘Ada apa bocah itu malam-malam menelpon! Mau mengumpatkah?’
Suara Fira terekam dinding bercat biru, wajahnya dilukiskan angan-angan di atas permukaan plafon kamar, tangisnya diterjemahkan detik-detik, gerak kakinya disembunyikan hujan-hujan, kekonyolannya dipudarkan temaram malam, keceriaannya dilenyapkan waktu yang terekam dalam pesan lirihnya di balik ponsel.
“A.l.d.i.t.o.l.o.n.g.”
Bukan Akhtar yang tersebut, justru nama orang lain. Telpon Fira salah alamat di waktu darurat. Akhtar membanting telpon usai mematikan sepihak. Ia kesal.
Jauh di seberang sana, terbentang jarak puluhan kilo meter. Pria berbaju batik terkapar di luar kamarnya, tubuhnya terlentang menatap remang-remang cahaya bintang, ingatannya bergulir pada titik tidak jelas. Hujan memerciki tubuhnya, namun ia sama sekali tak merasakan dingin. Mulutnya beraroma alkohol, bibirnya mengucap lirih kata ‘Fira’. Sosok yang seharusnya mendapatkan telpon itu justru terkapar dalam keadaan mabuk, lima menit kemudian ia tak sadarkan diri.
Keesokan harinya, Akhtar dilanda gelisah. Ia terus-terusan memikirkan suara Fira semalam, suara yang terdengar lirih, terpatah-patah, dan suara yang membuktikan ketidakberdayaan tubuhnya. Fira meminta tolong! Kuliahnya tidak diselesaikan. Ia justru melamun memutar-mutar telpon gengganmnya di alun-alun kota, perasaannya gamang. Hendak menelpon Fira atau menanyakan keadaan Fira kepada Caca.
‘Mungkinkah Caca mengetahui kondisi kakaknya? Sementara yang dihubungi adalah orang lain? Apakah Fira sakit? Apakah ia dirampok? Kecelakaan, atau...?’
‘Haruskah aku menelpon gadis menyebalkan itu?’
‘Ah biarlah, lagi pula bukan diriku yang dihubungi.’
Akhtar akhirnya pulang. Ia bermain game, mendengarkan musik, menonton film, berusaha keras mengusir pikiran tentang Fira, sayang sampai malam berganti pagi kegelisahannya tidak kunjung hilang. Akhirnya egonya kalah, ia hubungi kontak Fira.
‘Nomor yang Anda tuju sedang tidak aktif.’
‘Nomor yang Anda tuju sedang tidak aktif.’
‘Nomor yang Anda tuju sedang tidak aktif.’
‘Nomor yang Anda tuju sedang tidak aktif.’
‘Nomor yang Anda tuju sedang tidak aktif.’
Begitu terus-menerus.
‘Ca, aku ada kegiatan kampus di Jogja, kirimi alamat Fira, aku akan mampir menjenguknya!’ pesannya dibubuhi kebohongan, hanya malam yang tahu. Waktu itu juga ia langsung mengambil kunci mobil Pak Bagas, tanpa pamit ia pergi menuju kota di mana Fira tinggal, tidak peduli pesannya belum terbalas.
***
Sudah tiga hari Fira absen kerja tanpa memberi kabar. Berkali-kali Aldi, Roni dan teman-temannya menghubungi nomor Fira namun hasilnya tetap sama, tidak aktif. Karin mengabarkan kamar Fira sepi tak berpenghuni, terkunci, entah di mana keberadaan gadis itu. Semua orang tidak mengetahui. Mungkinkah pulang? Mustahil ia pulang jika bukan karena dorongan kepentingan mendesak, Fira juga tidak menceritakan keinginannya untuk pulang, yang Aldi ingat terakhir kali bertemu dengan Fira, keadaan gadis itu sedang dilanda kepedihan stadium akhir.
Ballroom penuh dengan tamu undangan acara pernikahan. Restoran sedang disewa untuk pesta penyatuan dua pasang manusia. Kegembiraan terpancar di wajah-wajah mereka. Anak kecil berlarian mengelilingi meja dan kursi-kursi. Bir-bir dengan kandungan alkohol rendah terpesan ludes. Beberapa pria dewasa maju ke panggung, menyanyikan lagu lawas yang luwes dipersembahkan untuk pengantin baru.
Malam itu Aldi lembur, keringat memandikan leher keringnya. Berkali-kali ia usap kening yang berpeluh, tetap saja cairan bukti lelah itu muntah. Roni hilir-mudik mengambil stok minuman keras dari gudang. Anggun mengangkut piring dan gelas-gelas kotor yang sudah ditinggalkan tamu. Waiter sibuk sampai menjelang pagi. Tukang sapu membersihkan ruangan ketika ayam berkokok. Aldi terkapar di lantai gazebo, telinganya tuli dari panggilan adzan subuh. Karyawan lain telah pulang ke kos masing-masing. Hanya Aldi yang membaringkan lelahnya di restoran tersebut, ia tidak pulang.
Pukul tujuh pagi dengan langkah terhuyung-huyung ia sebrangi jalan raya, melintasi gerbang kos-kosan Fira, menyapa Anggun yang sedang menjemur pakaian.
"Sejak kapan kau menjadi perempuan, Di?” sindir Karin yang baru saja pulang membeli sarapan. Bubur ayam tergantung di kantung keresek hitam tangan kirinya, sementara yang kanan sibuk dipergunakan untuk menggenggam ponsel.
“Di mana kamar Fira?”
“Aku sudah bilang dari kemarin, kosan Fira kosong, tak ada sumber kehidupan di dalamnya!”
“Menurutmu Fira kemana?”
“Entahlah, mungkin kabur dibawa angin malam!” Karin acuh tak acuh, ia berlalu memasuki lorong kos-kosan. Beberapa gadis yang hanya memakai handuk di lorong berteriak-teriak mengusir Aldi, mau tak mau ia pun memutar langkah, kembali ke restoran, menggagalkan rencananya masuk ke kamar Fira, ia paham jika lelaki memang dilarang keras masuk ke kos-kosan itu.
Di depan gerbang kos-kosan, Aldi melihat Akhtar turun dari mobilnya. Wajah Akhtar kusut, kantung matanya hitam, terbukti dua malam ini ia tak mampu memejamkan mata. Rambutnya awut-awutan. Ia memakai kemeja sewarna senja dengan stelan celana jins panjang. Beruntung ketika fajar terbit pesan Akhtar terbalas, ia langsung menuju lokasi yang disebutkan. Caca tak menanyakan banyak hal, ia hanya berpesan untuk tidak berkata kasar kepada kakaknya.
“Kau…” Aldi terbata, “mau apa?”
“Tunjukkan kamar Fira!”
“Ini kos perempuan, kita dilarang masuk!”
“Bodoh!” umpat Akhtar. Ia bergegas masuk ke kos-kosan, melintasi lorong kamar, membiarkan penghuninya berteriak-teriak. Mengabaikan lemparan pakaian yang mengenai wajahnya. Seketika keadaan gaduh.
“Aku tidak membawa masalah dan tidak ingin menciptakan masalah, tunjukkan kamar Fira!” ucap Akhtar, sejenak keadaan menghening. “Setelahnya aku akan pergi.”
Aldi mematung di depan kamar Anggun.
“Dia siapa?”
“Entahlah!” jawab Aldi angkuh.
Karin meletakkan bubur ayamnya di bangku jemuran kemudian menghampiri Akhtar, lelaki yang tidak dikenalnya. Ia menunjukkan letak kamar Fira dengan jari telunjuk. Kamar berpintu cokelat tertutup rapat, benar memang tampak tak berpenghuni. Rak sepatu di sebelah kanan pintu tertata rapi, sendal jepit beserta sepatu Fira tergeletak penuh debu. Tiga hari posisinya tidak berubah sama sekali, membuat Karin dan teman-temannya yakin bahwa Fira tidak kemana-mana dan tidak berada di kamarnya. Mustahil Fira betah di dalam kamar tiga hari, tanpa mencari makan, minum, atau setidaknya keluar untuk membuang hajat.
Akhtar mengetuk pintu kamar Fira pelan-pelan, tidak ada jawaban dari dalam.
“Ada kunci cadangan?”
“Ada, tapi dibawa ibu kos, dan beliaunya sedang pergi ke pasar!” jawab salah satu penghuni.
“Tiga hari yang lalu,” Akhtar berkisah ketika Aldi menghampirinya, “Fira ingin menelponmu, tapi salah memencet tombol kontakku, mungkin karena nama kita berawalan huruf yang sama,” lanjutnya.
“Apa yang dia katakan!”
“Minta tolong!”
Perasaan Aldi kacau, tanpa pikir panjang punggung tangannya mendobrak pintu. Satu kali gagal, dua kali gagal, tiga kali gagal, kali ini Akhtar menendang pintu. Kayu itu pun rusak. Penghuni kos-kosan penasaran dengan kelakuan dua laki-laki asing itu. Mereka melongok keluar, ada juga yang berdiri mematung seperti menyaksikan putaran film di bioskop.
Kamar Fira terlihat dari luar, boneka beruang besar bersandar tanpa ada yang memeluknya, dipan yang hanya memuat satu orang tak berpenghuni, seprainya rapi, selimutnya juga terlipat rapi, lima buku bacaan tersandar di sudut dipan. Almari tertutup. Handuk tersampir di gantungan pakaian. Jam dinding berputar, detiknya terdengar jelas, sebab seketika waktu membisu, semuanya terperangah melihat ke dalam.
Akhtar menghela napas. Ada sesak yang tiba-tiba menjalar di dadanya. Rasa bersalah mengalir di sela-sela denyut nadi. Andaikan saja malam itu ia tidak melanjutkan tidur, tidak mematikan telepon Fira, dan dua hari tidak mengabaikannya, tentu saja saat ini ia tidak akan melihat sesosok gadis lugu itu tergeletak di samping muntahannya sendiri. Ia terbaring di lantai selama tiga hari tanpa sadarkan diri, wajahnya tertutup rambut. Tragisnya, pintu yang didobrak menimpa kepalanya. Darah keluar dari kening karena tergores paku engsel pintu.
“Firaaa!”
Aldi segera mengangkat pintu, ia membuangnya keluar. Akhtar membopong tubuh Fira tanpa berkata apa-apa, ia membawanya masuk ke dalam mobil, pergi meninggalkan kos-kosan. Aldi meminjam sepeda motor Karin, mengikuti mobil Akhtar di belakang, sayang jejaknya menghilang, laju mobil begitu cepat.
Batrai ponsel Fira habis, ia menggunakannya terakhir untuk menghubungi Akhtar yang dikiranya Aldi, dan malam itu juga ia tak sadarkan diri. Akhtar sungguh menyesal, benar-benar menyesal. Andaikan ia tidak mengedepankan egonya yang membenci Fira hanya karena label masa kecil, tentu saja kejadian buruk ini tidak akan pernah dituliskan takdir. Sayang apa boleh buat, nasi telah menjadi bubur, kertas telah dirobek, tidak mungkin bisa kembali pulih seperti sedia kala. Waktu yang diabaikan tak akan pernah bisa kembali mundur.
“Bertahanlah, Fir!” desis Akhtar sembari menatap wajah Fira yang tak berdaya. Ia mendudukkan di sisinya. Tangan kirinya sibuk memegang kemudi, sementara tangan kanan memegangi tubuh Fira agar tidak terlungkup.
Lantas kotak yang dibawa Akhtar ia sembunyikan, ia kulum senyum sembari memandang wajah Fira. Pemuda yang dianggap tampan oleh bening embun tersebut berusaha tegar meski ada sedikit gelenyar perih yang mengendap di dadany—gadis yang diam-diam ia cintai dan ingin dimiliki—sudah disematkan cincin indah di jari manisnya—lantas berkenan untuk dijadikan putri, rupanya memikirkan laki-laki lain. Akhtar memacu kendaraannya menuju Yogyakarta, ke tempat yang dipenuhi dengan kenangan emosinya mengenai Fira. Bayangan saat dirinya memukul tubuh Aldi yang mabuk kembali terpampang. Amarahnya yang saat itu sungguh tidak mampu dibendung masih terasa kental dalam ingatan. Lantas detik itulah ia sadar bahwa Fira adalah gadis yang ingin ia jaga. "Terima kasih kau sudah banyak membuat Caca berkembang," kata Fira memulai obrolan. Di hadapan mereka bangunan ruko-ruko menjulang tinggi. Lampu-lampu kendaraan menyala terang-benderang. Senja menyelinap di ufuk timur, terlihat anggun dan mengagumkan serupa l
Waktu cepat berlalu, pergerakan detik pada dinding berputar sangat cepat. Fira merasa Lukisan-lukisan Caca banyak yang memesan, meski potretnya hanya gambar sketsa perempuan dan pemandangan. Semula ia ingin fokus pada kegiatan baru mengurus butik pakaian bersama Mamak dan Fira, tetapi saudata perempuannya melarang. "Mimpimu harus tetap berkembang, Ca! Jangan menderita karena diriku," kata Fira di suatu senja ketika mereka menyesap teh hangat di balkon rumah. "Kau tidak suka aku melukis, kan, Kak?" "Mulanya begitu, tetapi sekarang aku tidak bisa memungkiri kemampuanmu yang hebat, orang-orang akan sedih jika kau berhenti menjadi seniman. Berkembang biaklah dengan menjadi Caca yang utuh, jangan jadikan aku alasan dirimu melukis atau menghentikan lukisanmu," ucap Fira lagi sambil menepuk bahunya. "Hmm, akan aku pertimbangkan jika kau tidak keras kepala lagi, Kak." Lalu mereka tertawa berdua. Tetiba ada bening yang singgah di wajah Fira, ada perasaan haru tak tanggung-tanggung. Ia hend
Cairan bening asin dan getir dimuntahkan. Wajahnya lesu. Ia tidak berselera makan. Jika diibaratkan sebagai bunga, maka kali itu dirinya adalah kelopak berguguran. Fira putus asa, ia tak tahu bagaimana lagi membuat Caca bicara apalagi sampai mau mendengarkannya. Adiknya berubah menjadi sosok tak tahu diri, egois, bahkan enggan mendengar nasihatnya untuk tidak pulang larut malam. Ia stres, sampai lupa makan sehari kemarin. Sudah bisa ditebak, maagnya kambuh.Mengapa kenyataan sering berjalan tidak seimbang? Ketika perasaan manusia siap menerima takdir yang diberikan, yang diharap malah bertolak belakang, akhirnya— menggerutu lagi, lupa bersyukur, bahkan sampai menyerah pada titik terendah. Buat apa semangat? Jika kehidupan tidak pernah berubah? Fira merasa hari-harinya berada di titik koordinat sebelah kiri, berhenti pada angka nol, jarang maju ke angka satu, lebih sering mundur menjadi minus! Ya! Perasaan bahagianya semakin berkurang seiring bertambahnya detik.&nb
Caca kali ini menyadari keikhlasan kakaknya yang amat suci. Setelah tahu Fira susah payah hilir mudik dari kampung ke kecamatan, ke pusat kota, browsing sana sini, namun tak menemukan pekerjaan cocok dengannya. Ia tak tahan melihat kemurungan Fira memandang langit dengan gerakan bibir putus asa menghitung bintang-bintang sementara telunjuknya diarahkan ke angkasa, lalu pelan bulir-bulir diterpa cahaya rembulan. Malam merekam sesok gadis berambut panjang duduk bersandar tembok di balkon rumah, tangan kirinya dipangku di atas lutut sementara satunya bergerak ke kanan ke kiri di udara."Ibu, keahlian apa yang harus kubeli agar punggungmu berhenti bekerja?" ceracaunya sambil menyeka air mata sendiri.Caca mengintip dan menguping dari balik jendela. Ibu dan Lala telah pergi ke tanah mimpi untuk mengubur kepingan lelah yang dipanen sewaktu terang. Caca ingat betul ucapan terima kasih bertumpuk-tumpuk terbubuhi peluh dan ungkapan maaf ketika dirinya menyampaikan u
Kisah ini akan usai, seperti pengalaman kerja Fira yang berhenti tanpa diminati. Ia anggap semua ini terjadi sudah sesuai porsi takdir. Menyesalinya? Mustahil, toh dirinya memang berbuat salah, pantas diundurkan. Ia akan berpisah dengan kamar kos, meninggalkan ballroom, dan tentunya tak akan sentuh botol miras serta setumpuk lembar rupiah di kasir. Paling akhir, ia akan menjadikan Aldi beserta rekan kerja lain sebagai kenangan."Jangan pernah main ke sini lagi!" kata Aldi terdengar seperti sebuah ancaman padahal suaranya keluar begitu lembut. Fira ditemani membereskan kamarnya. Ibu kos mengijinkan pria masuk ke tempat Fira karena ditemani Caca juga Akhtar. Barang-barang Fira dikeluarkan semua, kecuali kasur dan bantal.Caca menyeret koper baju, sementara Akhtar membawa boneka beruang dan beberapa buku bacaan. Mereka semua bergantian memasukkan ke dalam mobil. Aldi dan Fira melangkah pelan-pelan di belakang menikmati hari-hari akhir."Kenapa? Be
Hari ini sabtu, anak-anak berseragam cokelat melipat kesenangan mereka di dada. Wajah diluruskan demi menatap gerik bibir Caca menjelaskan. Ada sebuah kanvas di depan papan tulis, Caca memberi coretan sketsa sungai dan rumput, kemudian bibir dan tangannya bekerjasama menuntun para siswa. Kuas bergerak ragu-ragu. Ruang kelas disorot cahaya pagi melalui gorden jendela.Sepekan lalu ada surat datang ke rumah, sebuah permohonan pengajar ekstrakurikuler seni lukis di sebuah SMA swasta, sekali dalam satu pekan itu ia setujui. Karir Caca melonjak. Ia tidak sempat membaca komentar netizen di dunia maya. Sengaja melupakan tragedi malam pameran. Bahkan jika mampu menghapus maka akan dihapus secepat kilat. Caca tahu banyak makian dan umpatan ditujukan kepada Fira, ia hanya meyakini umpatan mereka sebentar lagi sirna. Sekali lagi ia tidak pendam amarah, hanya saja ada hal ganjil yang membuatnya belum siap menemui Fira. Entah apa itu—'Ca, kau harus bertemu kakakm
ATM dimasukkan ke mesin, ia pencet sandi kemudian menentukan nominal yang akan ditransfer ke rekening Caca. Ia tak mau berspekulasi apa-apa mengenai ibu, yang mendadak membutuhkan uang. Ibu tidak suka berbohong, Fira yakin ibu tidak melakukan tindakan memalukan tersebut. Sungguh ibu dalam kesusahan. Ada hal terbesit dalam keningnya, mengapa Caca yang notobenenya sedang berlimpah uang tidak tahu masalah ibu?Fira tak sadar berapa jam lamanya ia menyiksa kedua mata Akhtar. Pemuda itu semalaman menemani perasaan nanar bercampur tangisnya, puluhan kilometer dihabiskan berkawan angin dan kesunyian jalan. Fira memohon dirinya untuk mengantar ke ATM setibanya di kos-kosan. Harusnya Fira pulang ke kampung halaman, namun ia menutup hati, raut mukanya belum siap dipertemukan dengan Caca.Ketika media masa sibuk membicarakan kelancangan tangan Fira menampar seorang seniman, Akhtar justru lelap bersaksikan setir mobil. Rambut awut-awutan, dua kancing kemeja yang lepas,
Aldi seumpama bohlam lampu di atas kepala Fira, sinarnya menyinari seluruh wajah namun tak mudah digapai. Begitu karakternya belakangan ini, meski setiap hari bertemu namun ia jarang memberi sapa. Senyumnya seolah baru dicuri hantu, rautnya sedingin es apalagi jika Fira mengajaknya bicara. Ada pagar yang membatasi pergaulan Aldi, entah itu apa. Siapa pun yang mengajaknya bicara, responnya hanya deheman atau anggukan kepala, bahkan ia tak lagi seramah dahulu tatkala menyambut tamu. Aldi kehilangan harta paling berharga, meski ia sendiri buta dengan yang diharga."Apa aku membuat kesalahan?" Fira menerka-nerka sambil meletakkan nampan di meja. Ia baru selesai mengantarkan pesanan. Hari ini hari terakhir dirinya menjalani hukuman, pekan depan kembali menjadi kasir."Kau malas bicara padaku?"Aldi diam, ia menenggak mineral lalu meninggalkan Fira. Maka yang bisa gadis itu lakukan hanyalah mengutus kedua langkahnya untuk mengejar sampai ke ruang wai
Ibu orang jujur dan selalu menerima apa adanya. Ia tak pernah protes sekalipun jasanya lupa belum diupahi. Senyumnya juga senantiasa subur, walaupun ucapan pahit dari teman-teman seperjuangannya menciptakan kemarau panjang di dada. Orang-orang melunasi lelah malam mereka dengan menjalankan aktivitas pagi seperti biasa.Lidi bergesekan dengan tanah, permukaan genting mengepulkan asap-asap dapur, anak-anak kecil berlomba menuju sekolah dan kaki lima menyiapkan dagangan dalam gerobak, sementara kucing tetangga malas-malasan dengan tidur di bangku teras.Ketika semua orang menjelmakan cinta dalam kesibukan, Ibu justru mondar-mandir pendam gelisah. Usai menyibak gorden jendela ia mengintip kamar Caca. Memperhatikan setiap gerik jari-jari putrinya menuangkan cat dalam kanvas. Sudah beberapa hari ini Caca bangun sebelum fajar bernapas untuk menyapa kanvas-kanvas kosongnya yang tergeletak di sebelah dipan.Kamar Caca lebih layak disebut gudang lukisan