RINDU YANG TERLUKA
- Playboy "Om." Daffa mencium punggung tangan Pak Haslam. Tidak mengira kalau lelaki ini akan menjemput Rinjani. Tapi Daffa tahu kalau beberapa hari yang lalu Pak Haslam hendak mengurus pembebasan bersyaratnya Rinjani, hanya saja sudah keduluan dirinya yang memproses. "Apa kabar, Nak Daffa?" "Kabar baik, Om." "Aku akan pulang ke rumah Om, Mas," sela Rinjani. "Kamu nggak kangen Noval? Dia menunggumu di rumah karena mas bilang kalau hari ini kamu pulang." "Hanya Allah yang tahu bagaimana hatiku saat ini," jawab Rinjani dengan netra berkaca-kaca. Kangennya sudah tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Bagaimana bisa suaminya bertanya apa dia tidak kangen anaknya? "Aku akan menemuinya nanti malam. Dia harus melihat ibunya dalam keadaan bahagia dan baik-baik saja. Bukan dalam keadaan seperti ini. Aku ingin menenangkan diri dulu." Rinjani menghindari bersipandang dengan suaminya. Ponsel Daffa bergetar di saku celana. Saat dilihat, tertera nomer rumahnya. Pasti Noval yang menelepon. Anaknya sudah tahu cara menghubungi lewat telepon kabel dari rumah mereka. "Halo, Noval." Daffa sengaja menekan tombol loud speaker supaya Livia mendengarnya. "Pa, katanya jemput mama. Kenapa belum pulang-pulang. Noval nungguin!" Suara di seberang membuat hati Rinjani seperti tersayat-sayat. Itu suara anaknya yang ia rindukan sebulan lebih. Air mata tidak terbendung. "Iya, Sayang. Sebentar lagi papa pulang sama mama, ya. Tunggu di rumah." "Oke, Pa." Daffa mengembalikan ponsel ke saku celana. "Noval tidak masuk sekolah hari ini karena menunggumu pulang. Tadi ngotot ingin ikut menjemput, tapi mas melarangnya. Kita pulang. Kasihan kalau dia kecewa lagi." Rinjani menatap Pak Haslam. Rasanya enggan pulang ke rumah Daffa, tapi hatinya tercabik mendengar suara putranya. Apa dia tega Noval menunggu lagi? Tadi suaranya terdengar penuh harapan. "Ikulah Daffa. Temui Noval dulu. Kasihan dia menunggumu." Pak Haslam menjawab kebimbangan yang ditunjukkan oleh sorot mata sang keponakan. Dia memahami bagaimana perasaan Rinjani. Antara ego dan naluri seorang ibu. "Om, kita bicara sebentar!" Rinjani melangkah menjauhi suaminya diikuti oleh Pak Haslam. Sedangkan Daffa masih diam di tempatnya. Menatap curiga dengan apa yang hendak dibicarakan oleh istri dan omnya. "Saya ingin tetap memproses perceraian setelah wajib lapor saya selesai, Om. Tapi tujuh minggu terlalu lama." Lirih suara Rinjani supaya tidak terdengar sang suami. "Kita bisa bicarakan nanti setelah kamu terbebas dari wajib lapor. Jaga diri kamu baik-baik." Rinjani mengangguk. Mungkin sementara kembali ke rumah suaminya untuk menemui putranya dan menyiapkan berkas-berkas untuk gugatan. ATM, uang, dan semua dokumen pribadinya memang masih ada di sana. Mereka berdua kembali mendekati Daffa. Pak Haslam pamitan pulang. "Om mau pulang dulu, Nak Daffa. Titip Rin, ya." "Iya, Om." Daffa dan Rinjani mencium tangan Pak Haslam. Menunggu laki-laki itu masuk ke mobilnya dan pergi. "Rin, duduk di depan!" Pintu depan sudah dibuka oleh Daffa. Namun Rinjani memilih duduk di belakang. Mobil meluncur meninggalkan rumah tahanan. Rinjani diam memperhatikan sepanjang perjalanan. Hatinya lega bisa menghirup udara bebas, tapi juga terluka. Babak baru akan digelar tujuh minggu setelah hari ini. Ia malas berinteraksi dengan suaminya. Lelaki yang telah mengkhianati pernikahan mereka. Daffa lupa pada janjinya ketika mereka sepakat untuk melangkah ke jenjang pernikahan. "Percayalah aku akan berubah. Nggak mungkin tetap seperti bujangan. Menikahlah denganku, Dokter. Akan kutinggalkan rokok, wine, nongkrong." Itu janji Daffa. Namun menjelang lima tahun pernikahan, Daffa lupa pada komitmennya. Memang dia tidak merokok, tidak minum, juga tidak pernah nongkrong lagi. Tapi bagaimana dengan perempuan? Daffa akhirnya tergoda juga. "Dia itu playboy, Rin. Ngapain kamu mau nerima dia. Banyak cowok yang suka sama kamu. Kenapa harus Daffa?" Protes Desy waktu itu. Teman yang menentang keras hubungannya dengan Daffa. Kala itu Rinjani masih sebagai dokter koas di sebuah rumah sakit. "Tampan, gagah, tajir. Tapi kalau membuatmu sakit hati buat apa." Setelah itu Rinjani menjauh, Daffa terus mengejar. Akhirnya dokter muda itu kembali luluh. Pesona Daffa memang luar biasa memikat. Ditambah lagi Bu Tiwi yang memberikan lampu hijau pada hubungan mereka. "Daffa banyak berubah setelah bersamamu, Rin. Tante berterima kasih padamu. Kalian cepatlah menikah." Siapa yang tidak luluh jika sudah mendapatkan restu dari calon mertua. Waktu itu Rinjani sudah menjadi dokter internship di rumah sakit yang sama saat dia koas. Juga sudah mendapatkan SKD atau Sertifikasi Kompetensi Dokter. Daffa yang mengantar jemput saat Rinjani ujian sertifikasi. Setahun setelah menjadi dokter internship, Rinjani menjadi dokter umum di UGD rumah sakit yang menjadi tempatnya bekerja hingga sekarang. Lalu menikah dengan Daffa di usianya yang ke 26 tahun. Daffa suami yang sangat mencintai dan memanjakannya. Semua keinginan Rinjani dituruti, tapi Rinjani juga harus mengikuti kemauannya. Termasuk melarangnya buka praktek dan tawaran menjadi dokter jaga di sebuah klinik. "Menjadi istriku, kamu nggak akan kekurangan apa-apa. Tapi aku tetap memberikan kesempatan padamu untuk bekerja. Karena menjadi dokter adalah cita-citamu sejak kecil, kan?" Benar, Rinjani tidak kekurangan apapun. Daffa mengajak Rinjani menempati rumah baru setelah enam bulan mereka menikah dan Rinjani sedang hamil anak pertama. Mama mertuanya tambah perhatian dan sayang. Namun notifikasi pesan dengan kalimat mesra itu telah mengungkap pengkhianatan suaminya. "Rin, kita mampir dulu ke toko mainan. Beliin oleh-oleh buat Noval." Daffa menoleh pada istrinya. Rinjani yang melamun hanya mengangguk tanpa membalas tatapan. Dia memang harus membawa buah tangan untuk Noval. Sebab yang diketahui anaknya, Rinjani sedang dinas ke luar kota. Mobil berhenti di depan Playful Minds Emporium. Sebuah toko mainan langganan mereka. Rinjani memilihkan mainan yang edukatif. Lego, puzzle, stacking toys dan pasir kinetik. Sedangkan Daffa mengambil dua mobil remote control. Padahal di rumah mobil-mobilan seperti itu menumpuk di lemari. Pilihan mereka dalam membelikan mainan untuk sang anak pun berbeda. "Mau ke mana, Mas?" tanya Rinjani ketika Daffa menarik tangannya dan mengajak masuk sebuah butik. Usai mereka menaruh mainan yang sudah dibeli ke dalam mobil. "Kita beli baju untukmu."Rasa bahagia sekaligus haru menyelimuti ruang perawatan mamanya Bobby. Pria dengan seragam lapas itu memeluk erat dua putrinya. Air mata tumpah tak terkira. Karena isaknya, sampai menyulitkan untuk bicara.Sang mama yang tergolek di atas brankar tak bisa bergerak selain menangis. Adik Bobby sibuk menghapus air matanya sendiri. Begitu juga dengan Ika. Tidak menyangka jika jalan kehidupan putri-putrinya seperti ini. Reza merangkul sambil mengusap-usap lengan istrinya untuk menenangkan. Ika bukan menangisi Bobby, tapi menangis untuk kedua anaknya.Sedangkan Nasya yang tidak seberapa mengerti, duduk diam di sebelah papanya."Terima kasih banyak, Pak Reza. Sudah menjaga dan membimbing anak-anak saya. Terima kasih. Saya titip mereka." Bobby yang sudah mulai tenang, bicara pada Reza."Jangan khawatir, Pak Bobby. Saya akan menyayangi dan menjaga mereka dengan baik," jawab Reza dengan penuturan sopan dan ramah. Bobby ganti memandang mantan istrinya. "Maafkan kesalahanku. Maafkan keluargaku j
Ika menghela nafas panjang. Pantaslah suara mantan adik iparnya terdengar cemas. Perempuan yang beberapa bulan lalu sempat mencak-mencak dan marah karena sang kakak mendapatkan hukuman lumayan lama, kini melunak. Mungkin sekarang benar-benar merasakan bagaimana kehilangan support dan ATM berjalannya.Selama ini Bobby dan Ika yang mensupport pengobatan wanita itu. Makanya kesehatannya terjaga. Namun mulai drop setelah Bobby masuk penjara dan tidak ada dukungan finansial lagi.Sudah hidup enak karena Ika tidak sayang uang buat mereka, tapi mereka diam-diam malah memberikan dukungan pada Bobby bermain serong. Apa mereka pikir, hidupnya akan jauh lebih baik lagi? Orang tamak akan terperosok pada ketamakannya sendiri."Bagaimana, Ma?" Reza menyentuh pundak sang istri yang masih berdiri di teras rumah.Ika mengajak suaminya duduk. Kemudian menceritakan tentang percakapannya dengan mantan ipar."Sebenarnya ini solusi, Ma. Kalau pihak keluarga Bobby mau mengajukan permohonan supaya Bobby diiz
RINDU YANG TERLUKA- Sehari di Surabaya "Ma, papa nggak ngelarang kamu membawa anak-anak menjenguk papanya. Apapun yang terjadi, nggak ada yang bisa memisahkan darah yang mengalir sama di tubuh mereka. Tapi papa ngasih saran, bisakah diusahakan bertemu selain di penjara?"Malam itu Ika memberitahu sang suami perihal pesan yang dikirim mantan adik iparnya. Tentu Ika harus mendiskusikan bersama Reza untuk mengambil keputusan. "Pikirkan psikologis anak-anak. Selama ini mereka hanya mendengar papanya di penjara dari cerita. Tidak menyaksikan secara langsung. Kalau mereka melihat sendiri, pasti akan menjadi beban mental dan mengusik ketenangan jiwa anak-anak. Terutama Zahra yang sudah besar."Ika mengangguk. Benar yang dikatakan sang suami. Karena dia pun memikirkan hal yang sama."Bobby baru setahun menjalani hukumannya, Pa. Mana mungkin diizinkan keluar sebentar dengan alasan tertentu.""Ada beberapa alasan yang bisa membuat pihak berwenang memberi izin untuk Bobby keluar dalam beberap
"Sudah. Tadi malam Iren ngasih tahu kalau Mas Yansa diopname. Livernya kambuh lagi. Kamu mau nyambangi?""Kayaknya nggak, Mbak. Rin juga lagi sakit.""Sakit apa?""Masuk angin.""Jangan-jangan istrimu hamil lagi?""Nggak. Hanya masuk angin. Beberapa hari ini memang sibuk di klinik sampai malam karena rekannya ada yang cuti. Minggu kemarin, tiga hari Rin juga bolak-balik ke Batu untuk seminar.""Nanti mbak ke rumahmu.""Oke. Kalau gitu aku berangkat dulu, Mbak.""Kamu nyetir sendiri?""Iya. Ibnu sudah berangkat pagi tadi ngantar proposal ke Surabaya."Daffa bangkit dari duduknya. Menyapa sebentar pada Bu Murti yang sedang memetik sayuran di halaman samping, lantas masuk mobil dan pergi.Ika masuk ke dalam rumah dan langsung ke dapur. Sebelum mulai sibuk dengan pekerjaannya, dia selalu menyempatkan untuk membantu memasak. Sambil memotong sayuran, ia teringat dengan sepupunya. Mereka pernah membesar bersama di dalam keluarga besar Joyo Winoto. Itu nama kakek mereka. Disaat masih sekola
"Noval sudah berani tidur sendiri di kamarnya, Mas. Asal sebelum tidur ditemani dulu. Kalau Rachel biar tidur di kamar kita untuk sementara. Setelah dia bisa jalan biar ditemani oleh Mak Sum di kamarnya. Gimana?""Oke," jawab Daffa seraya merapatkan pelukannya. Mereka berdua sedang duduk menyaksikan hujan di luar dari balik jendela kaca."Terima kasih untuk hadiahnya, Mas. Tadi pagi kita buru-buru sampai aku nggak sempat bilang terima kasih." Rinjani berkata sambil menyentuh kalung di lehernya."Apa yang mas berikan tidak seberapa dibandingkan dengan apa yang kamu berikan dalam hidup mas, Rin. Kamu menyempurnakan hidup lelaki yang tidak sempurna ini. "Kamu memberikan gelar lelaki br*ngsek ini sebagai seorang ayah. Memberikan kesempatan disaat kesalahan mas teramat fatal. Maaf, untuk semua kesalahan kemarin. Mas bangga memilikimu.""Nggak usah diingat lagi. Kita sudah melangkah sejauh ini. Yang lalu biarlah berlalu. Kita berjuang untuk masa depan keluarga kecil kita. Tapi sekali lagi
RINDU YANG TERLUKA - Biarlah Berlalu Kejutan macam apa ini. Daffa malah sukses membuat Rinjani kelabakan dan tergesa-gesa ke klinik dengan rambut yang belum kering. Dan jadi pusat perhatian, karena belum pernah ia datang ke klinik dengan rambut seperti ini.Mau marah, tapi ini hari ulang tahunnya. Mau marah, tapi Daffa seromantis itu. Ah, sejak dulu sebenarnya Daffa memang sangat romantis meski kemauannya tidak bisa dibantah. Bahkan di tengah perselingkuhannya, Daffa tetap romantis plus egois.Rinjani menghela nafas lalu duduk di kursinya. Meraba kalung berlian di balik kerah bajunya. Daffa yang memakaikannya sesaat sebelum pria itu membawanya terbang ke nirwana."Ini harus dipakai. Nggak mengganggu aktivitasmu, kan?"Sekarang hadiah istimewa itu melingkar dan di sembunyikan di balik kerah baju. Rinjani selalu memakai baju dengan kerah yang menutupi leher jenjangnya."Nanti malam kita dinner dan nginap di Batu," kata Daffa sebelum Rinjani turun dari mobil saat di antar tadi. Jarak