"Nggak usah." Rinjani melepaskan tangannya dan berbalik hendak keluar. Namun dengan cepat, Daffa berhasil meraih lengannya. "Sayang, kamu pilih bajunya."
Ini untuk pertama kali, Rinjani merasa muak dengan panggilan 'sayang'. "Nggak perlu, Mas. Bajuku ini pantas kupakai. Segera pulang saja, aku ingin segera bertemu Noval." "Please." Daffa menahan istrinya. "Tidak." Rinjani mendongak dan menatap tajam netra suaminya. Daffa mengalah. Namun setelah keluar toko, Daffa menariknya untuk masuk ke sebuah toko perhiasan yang terkenal paling mahal di kota mereka. Mulai dari emas 24 karat sampai berlian-berlian mewah ada di sana dan bisa di memesan jewelry yang diinginkan. "Nggak usah merayuku dengan benda-benda seperti ini, Mas. Simpan saja uangmu. Memelihara gundik juga butuh uang." Daffa terhenyak sejenak. Ucapan itu cukup menyengat dalam dada. "Coba kamu lihat-lihat saja dulu, siapa tahu ada yang kamu sukai." Rinjani melepaskan tangannya dan melangkah cepat ke arah mobil. Andai dia punya uang, mungkin sudah menyetop taksi untuk pulang. Daffa akhirnya menyusul ke mobil. Sepanjang perjalanan Rinjani diam menatap teriknya sang mentari di luar sana. Para pengendara motor tampak berpeluh-peluh dan tidak sabar untuk melaju dan mendahului. Rasanya geli jika mengingat ucapannya tadi. Uang Daffa tidak mungkin habis untuk memelihara Abila. Sebab gadis itu sudah kaya, dia tidak butuh uangnya Daffa, tapi butuh raganya Daffa. Miris dan lebih berbahaya daripada perebut suami orang yang hanya menginginkan uang pria selingkuhannya. Karena mereka lebih mengutamakan mengeruk harta, tapi Abila .... Dari spion tengah, Daffa berulang kali menatap istrinya yang diam. Ketika mobil memasuki pintu pagar, Rinjani melihat putranya bersorak riang di teras depan. Bocah umur empat tahun itu berlari ke arah carport di mana mobil papanya langsung masuk parkir di sana. Rinjani turun dan langsung memeluk erat Noval. Tangisnya tumpah. "Mama, ke mana saja? Kenapa nggak pulang-pulang. Noval kangen tau." Lengan bocah itu memeluk erat. "Maafkan mama, Sayang. Mama nggak pernah ngasih kabar ke Noval." "Iya. Mama, nggak pernah nelepon. Nomer mama juga nggak bisa di telepon," sungut Noval penuh protes. Bu Tiwi yang muncul dari pintu langsung menghampiri dan memeluk sang menantu. Netra wanita anggun itu berkaca-kaca. Diciuminya Rinjani. "Ayo, masuk!" Rinjani tidak mengira kalau akan disambut baik oleh sang mertua. Padahal Bu Tiwi sempat marah atas tindakannya waktu itu. Daffa meletakkan mainan di atas karpet. "Banyak banget, Pa. Oleh-oleh dari mama, ya?" Noval terlihat girang. "Iya. Mama yang tadi beliin," jawab Daffa sambil memandang Rinjani. Noval minta pangku sang mama sambil membuka mainannya. Rinjani tidak bicara apapun selain menjawab pertanyaan sang anak. Mak Sum mengantarkan teh hangat dan menyalaminya. Disusul Lastri, pengasuh putranya. "Noval, biar mama mandi dan ganti baju dulu, ya. Noval sama nenek sini!" Bu Tiwi bicara pada sang cucu. "Tapi Mama nggak pergi lagi, kan?" Noval memandang mamanya. Rinjani menggeleng. "Nanti temani Noval main ya, Ma. Bacain buku cerita juga." "Iya," jawab Rinjani singkat lantas melangkah menaiki tangga untuk ke kamarnya. Daffa mengikuti. "Bisa tinggalin aku sendirian, Mas," kata Rinjani ketika Daffa menutup pintu kamar. "Aku hanya mandi dan segera keluar." Daffa tidak mengindahkan dan terus mendekat. "Aku nggak lama. Mas, keluarlah," tegas Rinjani. Jika dulu dia paling suka menghabiskan waktu berdua di kamar dengan suaminya. Sekarang merasa jengah. "Oke. Mas tunggu di depan." Daffa kembali keluar. Rinjani membuka lemari pakaian. Dadanya berdesir melihat baju-baju serangamnya tertata rapi di lemari. Jas dokternya tergantung di hanger dan wangi. Apa ia bisa memakainya lagi? Rinjani mengambil setelan baju warna ungu. Wanita itu beralih ke atas meja rias. Segala perlengkapan make up masih utuh di sana. Ponselnya ada di laci dalam kondisi padam. Rinjani mengaktifkan dan ratusan notifikasi menumpuk. Tampaknya sang suami hanya menge-charge saja tanpa membuka isinya. Dompet yang berisi kartu ATM dan kartu identitas lainnya masih tetap di tempat. Tapi di laci spesial, buku nikahnya sudah tidak ada. Daffa pasti memindahkannya. Apa memang sengaja di sembunyikan? ***L*** Rumah yang ditempati hampir lima tahun ini, entah kenapa terasa asing bagi Rinjani. Ia menghindari Daffa yang hendak mengajaknya bicara dan lebih memilih menghabiskan waktu bersama Noval di kamar si kecil. Sementara mama mertuanya telah dijemput oleh papanya Daffa sore tadi. Wanita itu tidak membahas tentang peristiwa yang dialaminya. Berusaha menciptakan percakapan yang hangat dengannya. Namun apa yang diucapkan Pak Farhan tadi sangat menyakiti. "Seharusnya kamu jangan bertindak bodoh, sampai relasi perusahaan sebagian tahu, pihak rumah sakit tahu, keluarga besar tahu. Kamu tahu apa akhibatnya? Reputasi kita sedang dipertaruhkan. Lain kali kalau bertindak pakai otak." Jika keluhan beberapa temannya karena memiliki ibu mertua yang nyinyir, berbeda dengan dirinya. Justru mertua laki-lakinya yang cerewet. Kalau bukan demi Noval, seketika itu juga dia angkat kaki dari rumah suaminya. Dia yang dikhianati, tapi dia yang disalahkan. Terlalu sakit ucapan yang keluar dari mulut lelaki yang dianggap sebagai pengganti ayahnya. Rinjani harus bersabar sampai bulan depan dan dia baru bisa mengurus perceraian. "Lastri, saya tidur di sini malam ini. Saya ambil baju sama selimut dulu." Rinjani bicara pada pengasuhnya Noval. Saat itu putranya telah terlelap. "Njih, Bu." Rinjani pergi ke kamarnya. "Maafkan perkataan papa sore tadi. Mas yang salah, Rin." Daffa masuk saat Rinjani mengambil selimut di lemari. Tanpa menjawab perkataan sang suami, Rinjani melangkah ke pintu. "Kamu mau tidur di mana?" Daffa menahan lengannya. Next ....Rasa bahagia sekaligus haru menyelimuti ruang perawatan mamanya Bobby. Pria dengan seragam lapas itu memeluk erat dua putrinya. Air mata tumpah tak terkira. Karena isaknya, sampai menyulitkan untuk bicara.Sang mama yang tergolek di atas brankar tak bisa bergerak selain menangis. Adik Bobby sibuk menghapus air matanya sendiri. Begitu juga dengan Ika. Tidak menyangka jika jalan kehidupan putri-putrinya seperti ini. Reza merangkul sambil mengusap-usap lengan istrinya untuk menenangkan. Ika bukan menangisi Bobby, tapi menangis untuk kedua anaknya.Sedangkan Nasya yang tidak seberapa mengerti, duduk diam di sebelah papanya."Terima kasih banyak, Pak Reza. Sudah menjaga dan membimbing anak-anak saya. Terima kasih. Saya titip mereka." Bobby yang sudah mulai tenang, bicara pada Reza."Jangan khawatir, Pak Bobby. Saya akan menyayangi dan menjaga mereka dengan baik," jawab Reza dengan penuturan sopan dan ramah. Bobby ganti memandang mantan istrinya. "Maafkan kesalahanku. Maafkan keluargaku j
Ika menghela nafas panjang. Pantaslah suara mantan adik iparnya terdengar cemas. Perempuan yang beberapa bulan lalu sempat mencak-mencak dan marah karena sang kakak mendapatkan hukuman lumayan lama, kini melunak. Mungkin sekarang benar-benar merasakan bagaimana kehilangan support dan ATM berjalannya.Selama ini Bobby dan Ika yang mensupport pengobatan wanita itu. Makanya kesehatannya terjaga. Namun mulai drop setelah Bobby masuk penjara dan tidak ada dukungan finansial lagi.Sudah hidup enak karena Ika tidak sayang uang buat mereka, tapi mereka diam-diam malah memberikan dukungan pada Bobby bermain serong. Apa mereka pikir, hidupnya akan jauh lebih baik lagi? Orang tamak akan terperosok pada ketamakannya sendiri."Bagaimana, Ma?" Reza menyentuh pundak sang istri yang masih berdiri di teras rumah.Ika mengajak suaminya duduk. Kemudian menceritakan tentang percakapannya dengan mantan ipar."Sebenarnya ini solusi, Ma. Kalau pihak keluarga Bobby mau mengajukan permohonan supaya Bobby diiz
RINDU YANG TERLUKA- Sehari di Surabaya "Ma, papa nggak ngelarang kamu membawa anak-anak menjenguk papanya. Apapun yang terjadi, nggak ada yang bisa memisahkan darah yang mengalir sama di tubuh mereka. Tapi papa ngasih saran, bisakah diusahakan bertemu selain di penjara?"Malam itu Ika memberitahu sang suami perihal pesan yang dikirim mantan adik iparnya. Tentu Ika harus mendiskusikan bersama Reza untuk mengambil keputusan. "Pikirkan psikologis anak-anak. Selama ini mereka hanya mendengar papanya di penjara dari cerita. Tidak menyaksikan secara langsung. Kalau mereka melihat sendiri, pasti akan menjadi beban mental dan mengusik ketenangan jiwa anak-anak. Terutama Zahra yang sudah besar."Ika mengangguk. Benar yang dikatakan sang suami. Karena dia pun memikirkan hal yang sama."Bobby baru setahun menjalani hukumannya, Pa. Mana mungkin diizinkan keluar sebentar dengan alasan tertentu.""Ada beberapa alasan yang bisa membuat pihak berwenang memberi izin untuk Bobby keluar dalam beberap
"Sudah. Tadi malam Iren ngasih tahu kalau Mas Yansa diopname. Livernya kambuh lagi. Kamu mau nyambangi?""Kayaknya nggak, Mbak. Rin juga lagi sakit.""Sakit apa?""Masuk angin.""Jangan-jangan istrimu hamil lagi?""Nggak. Hanya masuk angin. Beberapa hari ini memang sibuk di klinik sampai malam karena rekannya ada yang cuti. Minggu kemarin, tiga hari Rin juga bolak-balik ke Batu untuk seminar.""Nanti mbak ke rumahmu.""Oke. Kalau gitu aku berangkat dulu, Mbak.""Kamu nyetir sendiri?""Iya. Ibnu sudah berangkat pagi tadi ngantar proposal ke Surabaya."Daffa bangkit dari duduknya. Menyapa sebentar pada Bu Murti yang sedang memetik sayuran di halaman samping, lantas masuk mobil dan pergi.Ika masuk ke dalam rumah dan langsung ke dapur. Sebelum mulai sibuk dengan pekerjaannya, dia selalu menyempatkan untuk membantu memasak. Sambil memotong sayuran, ia teringat dengan sepupunya. Mereka pernah membesar bersama di dalam keluarga besar Joyo Winoto. Itu nama kakek mereka. Disaat masih sekola
"Noval sudah berani tidur sendiri di kamarnya, Mas. Asal sebelum tidur ditemani dulu. Kalau Rachel biar tidur di kamar kita untuk sementara. Setelah dia bisa jalan biar ditemani oleh Mak Sum di kamarnya. Gimana?""Oke," jawab Daffa seraya merapatkan pelukannya. Mereka berdua sedang duduk menyaksikan hujan di luar dari balik jendela kaca."Terima kasih untuk hadiahnya, Mas. Tadi pagi kita buru-buru sampai aku nggak sempat bilang terima kasih." Rinjani berkata sambil menyentuh kalung di lehernya."Apa yang mas berikan tidak seberapa dibandingkan dengan apa yang kamu berikan dalam hidup mas, Rin. Kamu menyempurnakan hidup lelaki yang tidak sempurna ini. "Kamu memberikan gelar lelaki br*ngsek ini sebagai seorang ayah. Memberikan kesempatan disaat kesalahan mas teramat fatal. Maaf, untuk semua kesalahan kemarin. Mas bangga memilikimu.""Nggak usah diingat lagi. Kita sudah melangkah sejauh ini. Yang lalu biarlah berlalu. Kita berjuang untuk masa depan keluarga kecil kita. Tapi sekali lagi
RINDU YANG TERLUKA - Biarlah Berlalu Kejutan macam apa ini. Daffa malah sukses membuat Rinjani kelabakan dan tergesa-gesa ke klinik dengan rambut yang belum kering. Dan jadi pusat perhatian, karena belum pernah ia datang ke klinik dengan rambut seperti ini.Mau marah, tapi ini hari ulang tahunnya. Mau marah, tapi Daffa seromantis itu. Ah, sejak dulu sebenarnya Daffa memang sangat romantis meski kemauannya tidak bisa dibantah. Bahkan di tengah perselingkuhannya, Daffa tetap romantis plus egois.Rinjani menghela nafas lalu duduk di kursinya. Meraba kalung berlian di balik kerah bajunya. Daffa yang memakaikannya sesaat sebelum pria itu membawanya terbang ke nirwana."Ini harus dipakai. Nggak mengganggu aktivitasmu, kan?"Sekarang hadiah istimewa itu melingkar dan di sembunyikan di balik kerah baju. Rinjani selalu memakai baju dengan kerah yang menutupi leher jenjangnya."Nanti malam kita dinner dan nginap di Batu," kata Daffa sebelum Rinjani turun dari mobil saat di antar tadi. Jarak