Bagian 5: Terserah Saja!
“Kamu aneh, Mas! Udah jelas-jelas kamu dengar sendiri kan, kalau aku pas makan malam tadi habis-habisan dipojokin sama mereka bertiga. Kok, kamu malah bilang aku kasar ke Navita? Kamu serius, Mas?”
Mataku langsung membulat sempurna. Aku pun bangkit dari rebahku. Duduk bersila dengan dua bahu yang tegang.
Mas Refal pun jadi ikut bangkit dari tidurannya. Terlihat bahwa pria berambut lurus itu menghela napasnya panjang. Tangan Mas Refal lalu mengurut-urut pelipisnya.
“Ya, udah. Kalau memang kamu merasa dipojokin, aku rasa cukup kamu dengarkan saja, May. Itu nggak ngaruh buat kehidupanmu, kan? Meskipun dikata-katain sama keluargamu sendiri, apa nggak sebaiknya kamu diam aja? Nggak usah ditanggepin. Toh, kamu tetap jadi Maya yang smart dan punya karier editing bagus. Oke?” Mas Refal meraih dua bahuku. Tatapan manik hitamnya pun dalam ke arah bola mataku.
“Jadi, maumu apa setelah menceramahiku panjang lebar begini, Mas?”
“Mauku kamu damai sama Navita. Bersikaplah anggun dan baik apalagi di hadapan kedua orangtuamu, May. Biar aku sebagai suami juga dapat nama baik di depan mereka. Aku sangat respek lho, sama Ayah dan Bunda. Sedih aja kalau mereka malah menduga aku yang ngajarin kamu ngomong kasar dan sinis.”
Benar-benar kalimat menusuk dari bibir merah muda milik Mas Refal itu telah menghunjam jantungku. Nama baiknya? Wow, sejauh itu pemikiran Mas Refal ternyata.
“Oke. Aku akan melakukannya untukmu, Mas. Biar kamu puas,” kataku agak ketus.
Kutepis kedua tangan Mas Refal dari pundakku. Aku cemberut. Buang muka dan langsung kembali tidur lagi. Sengaja kupunggungi Mas Refal agar muka kami tidak saling bertatapan.
“Kamu jangan ngambek gitu, May, kalau dikasih tahu.”
“Masa bodoh,” gumamku sambil memejamkan mata.
Kalau Mas Refal punya pendapat sendiri, salahkah jika aku juga punya pemikiran sendiri dan coba berusaha untuk mempertahankannya? Kenapa Mas Refal jadi berubah dan lebih condong ke pihaknya adik tiriku, sih?
***
“Mas Refal … dekap aku lebih erat, Mas ….”
Suara desah penuh rintihan manja itu tiba-tiba terdengar lagi di telingaku. Sayup-sayup, suara tersebut semakin masuk menembus gendang telinga. Aku kaget luar biasa. Lelapku sontak buyar seketika.
Mataku yang tertutup rapat pun langsung terbuka lebar. Aku menoleh ke sisi kananku. Mas Refal tak ada. Ini persis dengan mimpiku kemarin.
Napasku pun terengah-engah. Aku berusaha untuk bangun, tetapi kenapa kepalaku sangat berat? Untuk menggerakan tubuh saja rasanya sulit.
“A-aku … k-ke-na-pa …?” Aku bertanya kepada diriku sendiri dengan suara yang tergagap dan serak. Sekuat tenaga aku lawan rasa sesak di dada, tetapi anehnya, tak bisa. Tubuhku semakin kaku dan semakin kaku.
“Nav … kamu sangat cantik, Sayang. Ayo, Nav, tunjukan kepadaku bahwa kamu lebih baik daripada istriku sendiri!” Suara milik Mas Refal terdengar dari kamar sebelah. Suara itu cukup nyaring dan diselingi dengan napas yang terengah-engah.
Aku benar-benar syok. Jantungku langsung deg-degan tak keruan. Aku berusaha kuat untuk bangkit dari tempat tidur, tetapi berat.
Kupejamkan mata sesaat. Kutarik napas dalam-dalam dan aku memohon kepada Tuhan agar dimampukan untuk bangun atau minimal berteriak. Aku yakin seribu persen bahwa ini bukanlah mimpi seperti kemarin malam, tetapi sebuah kenyataan yang begitu pahit dan sangat menggemparkan.
“Tolong aku! Seseorang, tolong aku! Adikku dan suamiku sedang berzina di kamar sebelah!”
(Bersambung)
Bagian 26: Maaf, Aku Lelah! “Ibu, aku minta maaf yang sebesar-besarnya. Keputusanku sudah bulat. Mungkin kedengarannya sangat kejam, tapi kami berdua sudah sepakat di depan notaris sebelum menikah, bahwa barang siapa yang berselingkuh, maka dialah yang akan keluar dari rumah tanpa membawa harta sekeping pun!” Aku tegas berucap. Tangisan Bu Rini sedikit pun tidak membuat hatiku luluh. Bukan tega atau kejam kepada orangtua, tetapi di sini aku yang tersakiti. Kupegang kedua bahu ibu mertuaku. Susah payah kubantu beliau untuk bangkit dari simpuhnya. Bu Rini masih saja pecah tangisan pilunya. Percuma, pikirku. Menangis sekencang apa pun ibu mertuaku, hal itu tak akan menjadi sebuah alasan bagiku untuk mengurungkan niat semula. Mas Refal harus mendapatkan ganjaran atas apa yang dia perbuat hari ini. “May … Ibu mohon,” pinta Bu Rini seraya memelukku kencang. Di hadapan banyak orang termasuk anaknya sendiri ya
Bagian 25: Darah Lebih Kental Dari Air Benar saja, Mas Refal dan Navita akhirnya diarak oleh para warga komplek dengan berjalan kaki menuju rumahnya ketua RT yang berada di blok F. Aku dan Bu Rini tentu saja ikut serta. Bedanya, kami berdua naik motor. Aku yang membonceng mertuaku tersebut. Beliau dari tadi hanya bisa terisak-isak sambil memelukku dari belakang. Hati Bu Rini pasti hancur berkeping-keping. Di depan sana, arak-arakkan warga terlihat semakin ramai. Sorak sorai penduduk yang bahkan hanya menyaksikan dari teras rumah masing-masing pun terdengar begitu membahana. Komplek perumahan yang biasanya terasa begitu sunyi di malam hari sebab para penduduknya sibuk beraktifitasi di dalam rumah, kini berubah begitu ingar bingar. Semua kehebohan ini disebabkan tak lain dan tak bukan karena perzinahan Mas Refal bersama Navita. Siapa yang tak malu wajahnya jika sang suami bermain gila di depan mata kepala sendiri? Tentu aku sudah begitu malu den
Bagian 24: Matilah Kalian!Flash ponsel kunyalakan. Kini, di tengah kamar yang remang-remang tanpa pencahayaan kecuali lampu flash ponsel serta cahaya dari lorong di depan kamarku, tampak jelas dua insan biadab tengah bercinta tanpa seutas busana pun. Navita berada di atas tubuh polos suamiku. Keduanya tampak sama-sama syok saat aku dan Bu Rini berhasil memergoki mereka. “Refal! Astaghfirullah! Apa yang kamu lakukan? Ya Allah!” Bu Rini berteriak histeris. Beliau sampai terduduk di atas lantai dengan tangisan yang pecah. “Apa-apaan kalian?” Mas Refal panik luar biasa. Tanpa sadar, dia mendorong tubuh Navita yang masih menempel di atas tubuhnya hingga perempuan itu terjatuh di kasur. Bisa kulihat dengan jelas persetubuhan haram tersebut telah terjadi di atas ranjang tidur kami. Lampu kamar pun kunyalakan, Mas Refal dan Navita sama-sama menyipitkan mata. Mereka berdua kalang kabut mencari pakaian demi menutupi tubuh telanjangnya tersebut. Sedangk
Bab 23: Kutemukan Dia dan Dia Berkhianat Makan malam benar-benar aku yang buat dan hidangkan spesial untuk ibu mertuaku. Dengan bahan makanan apa adanya yang tersedia di kulkas, masakan sederhana itu pun berhasil siap di atas meja makan. Bu Rini kulihat begitu senang dengan hasil karyaku malam ini. Berkali-kali dia memujiku. Padahal, hanya tempe goreng, sayur bening, dan telur dadar yang kubuat untuknya. Masyaallah, beliau memang mertua yang selalu memuji dan tak pernah meremehkan apalagi julid kepada mantunya sendiri. Selesai makan malam, Bu Rini lalu mengajakku untuk salat Isya berjamaah terlebih dahulu. Aku menurut. Kata mertuaku, biar kami lebih tenang kalau pergi-pergi. Meninggalkan rumah dalam keadaan sudah salat adalah sebuah kelegaan tersendiri. Begitu ujarnya. Habis salat, Bu Rini hanya zikir sebentar saja. Dia tidak mengaji, karena aku tahu kami harus buru-buru mendatangi rumah Mas Refal. Takutnya kemalaman di jalan. Apalagi jarak te
Bab 22: Air Mata Ibu “Ibu benar-benar tidak percaya kalau sikap Refal bisa berubah sedrastis ini, May. Ibu seperti tidak lagi mengenali suamimu itu. Dia seperti bukan anak Ibu yang dulu Ibu besarkan dengan penuh kasih sayang. Ya Allah, ada apa dengan Refal sebenarnya?” Bu Rini terisak kembali seusai dia memutuskan sambungan telepon sepihak dari anaknya. Ibu mertuaku itu benar-benar terlihat frustrasi. Tega benar Mas Refal. Lelaki itu seperti orang yang kesetanan. Dia sudah lupa daratan, hingga tega-teganya mencaci maki ibu kandungnya sendiri. Biadab! “Bu, sudah, ya. Ibu jangan sedih lagi. Ada Maya di sini, Bu. Kita jangan bahas Mas Refal dulu. Lebih baik kita lupakan sejenak laki-laki itu. Aku tahu kalau Ibu pasti terluka dengan sikapnya, tapi aku yakin, suatu hari nanti Mas Refal pasti akan menyesal dan meminta ampun kepada Ibu atas kejadian tadi.” Lekas kupeluk erat tubuh Bu Rini. Mau berapa kali dia menangis hari ini. Kasihan sekali, pikirk
Bagian 21: Telepon Makian dari SuamikuKutarik napas dalam-dalam. Kupersiapkan diri untuk menghadapi segala kemungkinan yang akan terjadi saat aku mengangkat telepon dari suamiku tersebut. Semoga saja, isi telepon ini bukan caci maki lagi, sebab aku sudah capek mengeluarkan ucapan tak senonoh dari mulut untuk membalas segala kalimat yang menyakitkan dari orang apalagi suami sendiri. Kuangkat telepon dari Mas Refal sambil ku-loudspeaker-kan. Biar Bu Rini bisa mendengar kata-kata yang terlontar dari anaknya. “Assalamualaikum,” sapaku lembut pada Mas Refal meskipun sebenarnya hatiku begitu sakit dan dongkol. “Kamu di mana?” Dengar sendiri, bukan? Dia bahkan tidak menjawab salam dariku. Malah bertanya di mana diriku berada. Padahal, sekarang baru pukul empat sore, lho. Mas Refal seharusnya masih berada di meja kerjanya untuk meneruskan pekerjaan meskipun pelayanan di bank sudah ditutup untuk para konsumen. "Di rumah ibu