Bagian 4: Kena Skak
“Berkat bundamu di rumahlah, kalian bisa seperti ini, Maya. Kamu jadi sarjana yang pernah membanggakan Ayah karena cumlaude serta pernah bekerja di tempat yang bonafide. Sedangkan adikmu, Navita, dia bisa jadi juara tiga umum di sekolahnya saat penerimaan nilai ujian sekolah kemarin. Semua berkat Bunda Lisa hanya seorang ibu rumah tangga yang tidak ke mana-mana.” Ayah malah memberikan pembelaan. Membuat hatiku jadi perih sendiri.
Walaupun sudah dibela, muka Bunda kulihat tetap merah padam. Pasti karena ucapanku yang sangat nyelekit tadi. Rasakan itu, Bun. Aku bisa lebih pedas lagi kalau dia berani-beraninya menyinggung tentang pekerjaan maupun bentuk fisikku. Lihat saja!
“Besok aku mau jadi ibu rumah tangga juga kaya Bunda. Makanya aku mau cari suami yang kaya raya biar aku nggak perlu capek-capek kerja begadang. Kalau Mas Refal sih, sebenarnya juga udah mapan menurutku. Mungkin karena dari Mbak Mayanya sendiri nggak sih, yang kaya kurang bersyukur gitu?” Navita malah menimpali dengan kalimatnya yang lagi-lagi memojokanku.
Aku membeliakkan mata. Benar-benar keterlaluan bocah ini. Mulutnya ternyata sangat berbisa. Kupikir, kalau sudah berada di rumahku, Navita akan sangat jinak. Soalnya, saat jumpa di rumah Ayah saja, dia lebih banyak diam sambil memasang muka jutek. Kenapa sekarang malah jadi semakin membabi buta begini?
“Nggak kok, bukan karena Maya nggak bersyukur,” tampik Mas Refal. Lelaki tampan itu tengah menikmati hidangan yang kusajikan. Mukanya terbalut senyuman manis. Terarah pas menuju Navita.
“Aku cuma ngisi waktu senggang aja. Punya suami kaya dan mapan juga nggak ada masalahnya kok, kalau ikutan bekerja. Toh, aku bukan mencuri atau menipu orang,” sahutku super ketus.
Navita ikut merah padam mukanya persis Bunda. Mereka berdua kini kompak diam sambil meneruskan makan dengan gerakan yang cepat. Rasakan! Ini rumahku, lho. Bukan rumahnya kalian. Jadi, kalau kalian ingin mempermalukanku di depan suami dan ayahku sendiri, kalian salah alamat!
***
“Semuanya biar aku yang bereskan, Mbak,” ucap Navita sambil merebut piring dari tanganku.
Acara makan malam kami baru saja usai. Bunda, Ayah, dan Mas Refal baru juga bangkit dari tempat duduk masing-masing. Aku pikir, Navita tidak akan mau membantuku karena setahuku di rumah Ayah dia juga jarang beres-beres. Maklum. Ayah menyediakan seorang pembantu di rumah kami. Namanya Bi Wati. Hampir semua pekerjaan rumah tangga dia yang handle. Bunda hanya kebagian jatah masak, menghidangkan makanan untuk Ayah, dan menyiapkan pakaian serta kebutuhan kerja beliau. Plus mengajari Navita seperti guru les. Makanya Navita bisa jadi bintang kelas di setiap jenjang pendidikan. Wajar. Berbeda denganku. Bunda memang pernah sih, mengajariku saat aku masih duduk di bangku SD. Hanya saja, kalau Bunda yang mengajariku, aku jarang paham. Soalnya saat mengajariku, muka Bunda terkadang seperti orang yang kurang senang dan selalu saja terburu-buru. Sekarang aku paham dengan alasannya. Mungkin karena aku bukan anak kandungnya.
“Kamu yakin? Nanti kamu capek,” kataku memperhatikan wajah Navita.
“Nggak, kok. Aku nggak capek sama sekali. Aku akan bereskan piring dan cuci semuanya. Mbak Maya istirahat saja. Barangkali mau ngobrol sama Ayah-Bunda dan Mas Refal di depan.” Navita tersenyum lebar. Kali ini sikapnya manis luar biasa. Piring di tanganku pun sudah beralih ke tangannya.
“Oke. Ya, sudah. Aku nggak nyuruh, lho,” sindirku. Sengaja kutoleh Ayah dan Bunda. Penasaran dengan ekspresi mereka.
“Nggak apa-apa, May. Navita kan, memang anak yang rajin. Di rumah juga dia sudah biasa cuci piring dan cuci pakaian sendiri. Biarkan saja. Bunda nggak marah!” Bunda berkomentar. Beliau senyum enteng sambil mengibaskan tangan ke arahku.
“Anak gadis zaman sekarang langka yang jago beres-beres. Keren, Nav. Pertahankan itu!” Mas Refal malah memuji adik tiriku. Dia mengacungkan dua jempolnya sambil berjalan beriringan dengan Ayah untuk meninggalkan meja makan.
Aku auto cemburu. Hatiku berdesir. Entah kenapa, pujian itu sangat tidak pantas dilayangkan oleh suamiku kepada adik iparnya.
“Ah, itu biasa saja, Mas! Aku masih gadis dulu malah lebih-lebih dari ini. Tinggal di asrama bertahun-tahun, bangun jam tiga pagi, langsung ngosek WC, nyapu halaman asrama segede gaban, bahkan nguras kolam ikan asrama setiap minggunya.” Aku yang keki menjawab ketus. Sambil balik badan dan menyusul langkah Mas Refal, aku memasang muka kesal karena suamiku kunilai terlalu berlebihan.
“Kasihan sekali kamu dulu ternyata, Mbak. Untung aku nggak dikasih masuk asrama! Hihi!” Navita malah ngakak di belakangku. Membuatku semakin keki saja.
“Ya, nggak apa-apa. Yang penting sekarang hidupku seperti ratu!”
Seketika semua orang diam. Aku gegas menggamit lengan Mas Refal. Kutoleh sepintas, muka suamiku entah kenapa malah berubah tak enak hati. Ngapain juga kamu nggak enak hati, Mas? Iparmu itu tidak perlu dibela! Omonganku benar, kok!
***
“May, kamu kenapa kaya ketus banget sih, ke Navita?” tanya Mas Refal tiba-tiba saat kami sudah hendak tidur di ranjang.
Aku yang semula nyaris memejamkan mata, sontak melek, dan menoleh ke arah suamiku. “Ketus? Kata siapa?” Aku balik bertanya. Kurang sreg juga dengan tema pembahasan Mas Refal. Bukannya tadi setelah ngobrol sama orangtuaku di luar, Mas Refal tadinya hanya diam saja sampai kami sama-sama sudah hampir tidur lelap?
“Kataku. Aku agak kurang suka kalau kamu bersikap begitu sama keluargamu, May. Nanti, aku malah dikira ngajarin kamu yang nggak-nggak.” Muka Mas Refal seperti orang yang setengah marah. Dia menatapku serius dan dalam.
Deg! Kenapa Mas Refal jadi begini?
“Itu perasaanmu aja, Mas!” sangkalku. Kukibaskan tanganku di depan Mas Refal. Pria itu malah menangkap lengan tanganku.
“Aku serius, Sayang. Jangan kasar-kasar sama Navita, dong. Aku nggak enak sama Ayah dan Bunda. Mereka bisa tersinggung.”
Aku rasanya jadi manusia yang paling tersisih di muka bumi ini. Tidak Ayah, tidak Bunda, tidak suamiku sendiri. Semuanya seolah-olah hanya memikirkan Navita, Navita, dan Navita saja! Lantas, yang memikirkan perasaanku sendiri siapa?
(Bersambung)
Bagian 5: Terserah Saja! “Kamu aneh, Mas! Udah jelas-jelas kamu dengar sendiri kan, kalau aku pas makan malam tadi habis-habisan dipojokin sama mereka bertiga. Kok, kamu malah bilang aku kasar ke Navita? Kamu serius, Mas?” Mataku langsung membulat sempurna. Aku pun bangkit dari rebahku. Duduk bersila dengan dua bahu yang tegang. Mas Refal pun jadi ikut bangkit dari tidurannya. Terlihat bahwa pria berambut lurus itu menghela napasnya panjang. Tangan Mas Refal lalu mengurut-urut pelipisnya. “Ya, udah. Kalau memang kamu merasa dipojokin, aku rasa cukup kamu dengarkan saja, May. Itu nggak ngaruh buat kehidupanmu, kan? Meskipun dikata-katain sama keluargamu sendiri, apa nggak sebaiknya kamu diam aja? Nggak usah ditanggepin. Toh, kamu tetap jadi Maya yang smart dan punya karier editing bagus. Oke?” Mas Refal meraih dua bahuku. Tatapan manik hitamnya pun dalam ke arah bola mataku. “Jadi, maumu apa setelah menceramahik
Bagian 6: Terkulai Lemah “Maya! Kamu ini kenapa, May?!” Suara bentakan itu menyeruak ke telingaku. Seketika duniaku jadi hening sejenak. Tak lagi ada suara-suara desahan erotis itu lagi. Perlahan aku membuka mataku. Kulihat, Mas Refal sudah duduk sambil menatapku dengan muka yang syok. Matanya membeliak kaget. Astaga! Mimpi buruk lagi! Sudah dua kali aku memimpikan hal yang sangat tidak pantas tentang Mas Refal dan adik tiriku sendiri. Ya Allah, aku ini kenapa? “Kamu kenapa teriak seperti itu, May? Kamu sampai bilang aku berzina segala! Istighfar!” Mas Refal tampak marah. Kedua tangan lelaki itu lalu menarik tanganku agar aku bisa segera bangun. “M-maaf, Mas ….” Aku berucap lirih. Ketika bangun pun, pemandanganku langsung berkunang-kunang. Segera saja aku menutup mata sejenak, tetapi tetap duduk sambil bersandar di kepala ranjang. “Astaga! Kepalamu panas ini, May! Kamu demam. Sampa
Bagian 7: Astaga! “Maya, kamu demam?” Aku terbangun dari lelapku. Kupandangi sosok di sebelah tempat tidur yang berdiri sambil memperhatikanku dengan raut khawatir. Dia adalah Bunda. Wanita kepala empat itu terlihat sudah cantik dan rapi. Rambut sebahu hitamnya dia gelung ke atas seperti pramugari. Sedangkan tubuhnya yang tinggi langsing dia balut dengan blus berwarna hitam dan celana panjang warna krem. Mau ke mana Bunda pagi-pagi begini? “Iya, Bun. Tenggorokanku sakit,” ucapku dengan suara parau. Aku berusaha untuk bangkit dari ranjang. Kepalaku ternyata masih berat. Tumben-tumbenan, pikirku. Biasanya, kalau sudah minum obat pereda nyeri seperti parasetamol, sakit kepalaku akan sembuh dalam waktu singkat. Namun, kali ini malah berbeda. Aneh! “Kata Refal tadi malam badanmu panas dan kena radang. Kasihan Refal tadi pagi. Nggak ada makanan buat sarapan di meja. Jadinya Navita yang inisiatif bikinin nasi goreng b
Bagian 8: Sorry, deh! “Nggak janji, Bun. Aku pikir, Navita ngambil kuliahnya mirip-mirip sama aku. Entah ekonomi atau mungkin akuntansi dan semacamnya. Kalau harus ambil fakultas kedokteran atau farmasi, terus aku diminta untuk membayarkannya secara full apalagi di kampus swasta favorit, aku mohon maaf. Aku nggak sanggup, Bun,” jawabku tegas. Muka Bunda langsung berubah merah. Dia buru-buru menarik genggaman jemarinya dari tanganku. Tentu saja perubahan ekspresi yang begitu tiba-tiba dan drastis tersebut membuatku ikut syok. Bunda, ternyata kemanisannya hanya karena ada mau belaka. “Kamu mau membuat mimpi adikmu kandas, May?” tanya Bunda. Mukanya seperti orang yang sudah kehabisan sabar. “Bukan begitu. Silakan bermimpi setinggi apa pun, Bun. Cuma, kalau aku harus disuruh menanggung semuanya, aku tidak mampu, Bun. Coba Bunda minta tolong ke saudara-saudara Bunda saja. Tante Amel dan Tante Alya kan, suaminya punya pekerjaan bag
Bagian 9: Tak Percaya “Mas, kamu itu kenapa, sih? Kenapa kamu tiba-tiba marah besar untuk hal sepele kaya begini? Aku memangnya salah apa sama kamu?!” Aku yang sudah kehabisan sabar pun akhirnya memuntahkan kemarahanku juga. Tidak bisa dibiarkan, pikirku. Mas Refal seperti orang yang kesetanan kalau menyangkut masalah keluarga dan adikku. Kenapa, sih? Kaya aku ini orang yang paling salah sedunia saja. Hanya karena makan malam, reaksi dia bisa seperti orang yang kebakaran bokong! “May, kamu masih tanya aku kenapa? Astaga, May! Kamu seharusnya mikirlah, May! Aku ini menantu laki-laki pertama dan satu-satunya dari orangtuamu! Apa kamu nggak mikir tanggapan dari orangtuamu ke aku bagaimana? Aku hanya nggak mau dibilang mantu durhaka yang membuat istriku jadi tidak bakti ke orangtua kandungnya sendiri. Come on, Maya! Aku begini karena aku sayang sama kamu. Aku susah untuk meyakinkan ayahmu dulu pas meminang kamu. Beliau kasih restu dengan catata
Bunda, Ayah, dan Navita pun tiga puluh menit kemudian tiba di rumah kami. Begitu girangnya Mas Refal kulihat. Dia yang tadinya murung seperti orang menahan rindu satu ton, akhirnya berseri-seri seakan tengah jatuh cinta. Terlebih saat Navita memberikan oleh-oleh yang dia pinta. “Mas Refal, ini kopi pesanannya. Mau dimasukin ke kulkas dulu apa mau langsung minum?” Adikku yang tinggi semampai dengan pinggang ramping dan bagian bokong berisi itu menawarakan. Tubuhnya yang seksi malam ini dia bungkus dengan sebuah kaus hitam ketat lengan pendek dan celana jins cutbray yang tak kalah ketatnya. Aku yang sesak melihat penampilan Navita. Apa dia tidak risih melihat cetakan bodinya yang begitu ‘nyeplak’? “Mas langsung minum aja. Makasih ya, Nav. Makasih Bun, Ayah, udah kasih oleh-oleh.” Mas Refal langsung menyambar kopi tersebut. Suamiku pun lalu berjalan menuju kursi makan yang berada di seberang tempatku duduk. Dia duduk pas di sebelah Ayah. Tersen
“Kalau aku pribadi tidak sanggup, Mas. Upahku sebagai editor tidak begitu besar. Aku tidak mampu kalau harus membiayai kuliah Navita di kedokteran. Kalau hanya memberinya uang saku bulanan senilai satu juta atau membantu per enam bulan paling banyak sepuluh juta sudah termasuk uang saku dan biaya semesteran, yah akan kuusahakan. Cuma, kalau harus membiayai penuh dan menanggung semua-semuanya, aku tidak mau. Aku juga punya kebutuhan. Kamu juga kan, harus rutin memberi ibumu uang, Mas. Jangan sampai Ibu protes jatahnya berkurang gara-gara membiayai adikku.” Aku berkata dengan nada yang lantang. Semua orang langsung terdiam. Termasuk Bunda yang mulutnya paling cerewet sejak tadi. Muka Mas Refal langsung merah padam. Biar saja orangtuaku tahu kalau suamiku ternyata rutin mengirimkan orangtuanya uang setiap bulan. Ibu memang sudah janda. Anaknya ada tiga dan Mas Refal yang paling kecil. Kakak Mas Refal semuanya laki-laki. Dua-duanya mana ada yang mau peduli untuk masal
Bagian 11: Tidak Ada Ampun “Astaghfirullah, Maya! Kenapa kamu jadi sangat kasar begini, sih?” Bunda terlihat tercengang dengan perubahan drastis pada sikapku. Aku hanya mengecimus sebal. Siapa pun yang telah diinjak-injak, mana mungkin tetap bersifat malaikat? Aku ini hanya manusia biasa! Bukan nabi atau rasul yang memiliki sabar lebih serta hati bersih nan mulia. Ada kalanya aku akan naik pitam, terlebih jika terus menerus ditekan oleh keluargaku sendiri. “Bun, tolong jangan playing victim! Sekali lagi aku tegaskan Bun, aku memberikan masukan kepada Navita untuk kuliah di sini karena aku sayang kepada dia! Apa pun yang pernah Bunda lakukan kepadaku termasuk bersikap cuek dan dingin di saat aku masih kecil, aku tidak mempermasalahkan itu! Aku tidak pernah dendam. Aku malah ingin semakin berbakti kepada kalian dan membahagiakan adikku satu-satunya. Namun, kalau begini caranya, aku minta maaf ya, Bun. Aku tidak sanggup! Apalagi kalau harus membiayai Navita de