Langkah kaki bergema di koridor yang sunyi, berat dan berirama, seperti denting jam yang kehilangan waktu. Di ujung lorong, seorang pria berdiri di depan pintu besar yang menjulang kokoh. Ia mengetuk. Suaranya memecah keheningan.
Dari dalam, terdengar suara datar, “Masuk.”
Ia menarik nafas, lalu mendorong pintu perlahan. Cahaya temaram dari jendela besar menyinari sosok pria yang berdiri membelakangi pintu.
Pria yang baru masuk berhenti beberapa langkah di belakangnya. Ia membungkuk, memberi hormat. “Tuan. Saya membawa kabar… Dia telah kembali. Setelah tiga ratus tahun.”
Keheningan jatuh. Detik jam berdetak pelan, seolah waktu menahan nafas.
Tuannya perlahan berbalik. Tatapannya tajam, dan senyum licik merekah di bibirnya.
“Akhirnya… Hari itu tiba juga.”
Tangannya mengepal.
“Mulai rencanakan pergerakan. Kali ini, tanpa kesalahan.”
“Siap, Tuan.” Pria itu membungkuk dan pergi tanpa suara.
Tuannya menatap ke luar jendela. Jemarinya mengetuk-ngetuk meja. Di matanya, berkecamuk ambisi yang telah dipendam berabad-abad.
“Sudah waktunya… orang itu tahu,” bisiknya. Lalu ia menarik Maphir dari balik mantelnya, menyentuh perlahan. Cahaya samar mulai membentuk huruf.
*****
Di tempat lain, dunia terasa lebih damai.
Liora duduk di bawah pohon rindang, mengawasi naga kecil yang melayang-layang ceria di udara. Sayap mungilnya bergetar kuat, membuat dedaunan menari.
Kael datang membawa dua gelas minuman dingin. “Istirahat dulu.”
Liora menyambut dua gelas itu sambil tersenyum. Pandangannya tetap tertuju pada naga kecil itu.
“Dia terlihat bahagia,” ucapnya.
“Tentu saja. Naga adalah makhluk yang haus pengetahuan dan kekuatan.”
Sudah sehari penuh sejak telur itu menetas. Retakan kecil berubah menjadi momen tak terlupakan saat makhluk mungil bersisik hitam itu muncul dan memanggilnya, “Mama.”
Liora sempat membeku. Tapi ia tak bisa menolaknya. “Panggil aku Lyara. Dan dia, Kean. Tapi kalau lagi bertiga kau bisa memanggil kami Liora dan Kael.”
Naga kecil itu mengangguk riang, lalu melesat kembali ke udara. Liora menyandarkan punggung, menikmati ketenangan yang jarang ia rasakan.
Namun pikirannya tak sepenuhnya tenang. Sistem mulai aktif kembali.
Sistem
[Misi Baru: Lindungi Aelric Skywarden untuk menghentikan kehancuran Desa Talewind.]
[Waktu tersisa: 4 hari]
Namun, karena dua hari ini Liora memilih istirahat dan mengajarkan naga beradaptasi, sistem mulai mengganggunya dengan notifikasi yang membuatnya frustasi.
[Cepat pergi! Waktumu tinggal 4 hari untuk menyelesaikannya!”]
“Diamlah,” desisnya dalam hati. “Biarkan aku istirahat.”
[Kau kesal karena aku tidak membantumu, kan?”]
Liora mendengus. Tentu saja. Nyawanya nyaris melayang kemarin dan sistem itu tak memberi satu pun petunjuk berguna. Tapi… ia tahu, sistem itu tetap satu-satunya harapannya untuk bertahan hidup.
“Kalau saja kau lebih berguna,” gumamnya sinis.
Ia menarik Maphir, kertas sihir yang diselipkan di balik sakunya. Peta dunia perlahan terbentuk di hadapannya, penuh tanda-tanda magis dan wilayah misterius. Salah satunya Desa Talewind.
Misi dalam game legenda Desa Talewind yang ia mainkan, saat festival desa berlangsung, monster penjaga mereka akan mengamuk dikuasai oleh sihir kegelapan.
Liora mengepalkan tangan. “Ini lebih dari sekadar misi. Ini jurang kematian.”
“Kael,” panggilnya.
Kael menoleh, refleks membaca perubahan nada suara Tuannya.
“Kita berangkat besok. Kita akan mencari tahu tentang Aelric.”
Kael hanya mengangguk. Ia tahu, saat Liora berbicara seperti itu, tidak ada ruang untuk ragu.
Naga kecil yang sedang bermain tiba-tiba melompat. “Aku ikut!”
Liora tersenyum tipis. “Tentu saja.”
Angin sore menyapu halaman, membawa aroma tanah basah dan bisikan masa depan yang belum pasti. Tapi di tengah ketidakpastian itu, ada satu hal yang pasti…
Bersiap melawan musuh mereka.
Perlahan, angin kencang dengan salju menjadi badai ganas, menggulung langit kelabu dan membekukan nafas siapapun yang berdiri disini. Ini bukan sekedar badai biasa tapi kemarahan dari Fronstntra.Dua matanya yang membara membelah kabut, menatap tajam ke arah mereka yang berdiri di hadapannya.“Kemurahan hatimu, Cael…. telah membawa kehancuran ini! Sudah kuperingatkan kau!”Cael mengepalkan tangan, rahangnya mengeras. Dia tahu, semua ini adalah buah dari keputusannya sendiri. “Saya… akan bertanggung jawab, Sang Naga.”Ysirth mengeluarkan tawa panjang, bergema hingga puncak gunung yang jauh. Suaranya mengguncang salju.“Ha..Ha…Ha.. Tanggung jawab?”Badai makin menggila. Liora yang berdiri di sisi Cael menatap sosok naga itu dengan tajam. Namun, saat matanya bertemu dengan tatapan biru Ysirth, sejenak waktu terasa seperti terhenti.“Zuko…” suara naga itu menggelegar, menyebut nama yang membuat mereka menegang.“Kau akan menerima hukuman atas kematian Lore.”Cael membatu.Lore yang menjag
Happy Reading ❄️Aelric berteriak, “Lioraaa!!”Tanpa sadar, Liora mengalirkan elemen Electro dari dalam tubuhnya. Pedangnya berubah memancarkan cahaya ungu menyala.Dalam satu tebasan cepat, ia membelah serangan es yang meluncur ganas ke arahnya. Retakan es menyebar di udara menjadi serpihan debu putih.Dari kejauhan, Cael menyipitkan mata, terkekeh. “Huh, keren juga. Tapi aku tidak akan kalah.”Ia melompat turun dari punggung Row dengan kelincahan khasnya, elemen icy mulai berputar di sekelilingnya.Liora melirik ke arahnya, senyum tipis muncul di bibirnya. “Kalau begitu, waktunya kita tunjukkan siapa yang sebenarnya berkuasa di medan ini.”Tanpa aba-aba, Blizzenok melolong dan meluncurkan serangan es ke arahnya. Bongkahan es sebesar manusia ditembakkan, memecah tanah. Liora melesat ke kanan, lalu ke kiri, menghindari setiap serangan dengan gerakan yang lincah dan berani. Saat satu serangan nyaris mengenainya, ia meloncat tinggi, mengalirkan elemen Electro ke pedangnya hingga bilahny
Cael dengan hati-hati memasukkan bunga Cryzale ke dalam ramuan yang sedang mendidih. Aroma manisnya menyebar di gubuk kecilnya, mengisi udara dingin dengan harapan yang hangat. Dengan cepat, ia melumuri ramuan itu ke seluruh tubuh ayah Erdo, yang terbaring membeku dalam keheningan. Seketika, cahaya biru berkilau memancar dari tubuh Erdo yang pucat, dan perlahan-lahan, warna kehidupannya kembali pulih.“Ughh... Aku di mana?” suara ayah Erdo terdengar lemah, tetapi penuh kebingungan.“Ayah..”Erdo memeluk ayahnya dengan penuh kebahagiaan, air mata mengalir di pipinya. Ramuan yang Cael berikan telah menghapus kutukan yang mengikat ayahnya, mengembalikan harapan yang hilang.“Terima kasih, Tuan Cael.” ucap Erdo, suaranya bergetar penuh rasa syukur.Namun, Cael hanya mengangguk acuh, wajahnya kembali dingin dan tak terbaca. “Kalian harus pergi dari sini, Liora,” katanya, nada suaranya tegas.“Tuan Cael, Anda harus kembali ke desa,” pinta ayah Erdo, gelisah, matanya penuh harap.“Tidak. Ram
Di puncak tebing berselimut salju, seorang pria bertopeng berdiri membisu, menatap ke bawah. Di bawah sana, kawanan Blizzenok bersorak liar, menikmati pesta dingin mereka dengan raungan yang menggema di udara. Angin membawa tawa dan teriakan mereka, tetapi Maltherio hanya menatap, muak karena harus tetap diam.“Berapa lama lagi kita hanya akan menonton?” gumamnya kesal, suaranya penuh ketidakpuasan. “Ayolah, Zuko. Sudah waktunya membuat sedikit kekacauan, bukan?”Anak laki-laki berjubah dengan kepala tanduk rusa perlahan menatap Maltherio. Ia melepas penutup kepalanya, memperlihatkan mata emas yang menyala di tengah badai salju, seolah menyimpan kekuatan yang tak terduga.“Diam,” ucap Zuko dingin, suaranya seperti salju yang jatuh perlahan, menambah ketegangan di antara mereka.Maltherio mendengus, topeng di wajahnya menyembunyikan senyum miring. “Kau tahu aku tak suka dipaksa menunggu. Kekacauan... adalah permainan yang lebih mengasyikkan daripada hanya diam melihat kawanan Blizzenok
Happy Reading ❄️Liora menghentikan langkahnya. Matanya menyipit, berusaha menangkap suara itu.“Aelric… kau dengar itu?”Aelric menoleh. Ekspresinya menegang.“Ya, aku mendengarnya.”Di kejauhan, bayangan gelap mulai terlihat di balik kabut. Para monster sedang mengelilingi sesuatu, gerakan mereka lincah dan penuh ancaman. Liora menahan nafas, jantungnya berdegup kencang.Lima monster kristal salju berdiri mengelilingi sesuatu di tengah lingkaran mereka. Tubuh mereka transparan, berkilau seperti pecahan kaca, memantulkan cahaya bulan yang redup.“Aertherwing, lihat dari atas!” perintah Aelric tegas, suaranya penuh otoritas.Burung besar itu langsung mengepakkan sayap emasnya dan terbang menembus hawa dingin, menghilang ke dalam kabut.Beberapa detik kemudian, Aertherwing kembali turun, wajahnya serius. “Ada anak laki-laki di sana. Ia terjebak... oleh Blizzenok.”Liora menegang. “Blizzenok?”Aelric tidak menjawab. Ia sudah menarik tombaknya, melempar dengan kekuatan mana penuh ke arah
Liora menatap kastil megah di halaman belakang Duke, dikelilingi oleh rimbunnya pepohonan yang menjulang tinggi. Saat gerbang besi perlahan terbuka dengan derit berat, hawa dingin dan misterius menyambut mereka. Langkah kaki mereka menggema di halaman belakang yang luas, menciptakan suasana yang penuh harapan dan ketegangan.“Jika ini dunia nyata,” pikir Liora, “kastil ini sudah pasti aku jadikan latar utama dalam novel.”Baginya semua terasa terlalu sempurna untuk dianggap nyata, terutama sosok karakter game Aelric, Roderick, dan sang Duke sendiri. Mereka bukan hanya berkarisma, tetapi juga tampak menakjubkan dalam kenyataannya.Di depan pintu belakang kastil, Aelric berdiri dengan Aertherwing, burung itu bertengger tenang di pundaknya. Di sebelahnya, Duke Vireon dan Theo menyambut mereka dengan senyum tipis.“Selamat datang, Liora,” ucap Duke Vireon, suaranya dalam dan penuh wibawa.“Terima kasih, Yang Mulia,” balas Liora, sedikit membungkuk dengan rasa hormat.Ia membalas senyum Ael