Derek terjaga dengan jantung berdebar. Ia tidak ingat kapan tepatnya tertidur, tapi suara itu membangunkannya. Suara benturan keras, seperti sesuatu yang jatuh di lantai. Ia mendengar napasnya sendiri, terputus-putus dalam gelap. Hujan sudah berhenti, meninggalkan udara yang lebih pekat dan dingin di dalam rumahnya.
Lalu, suara itu datang lagi. Brak! Dari rumah sebelah. Derek mengusap wajahnya, mencoba menghilangkan kantuk yang masih tersisa. Ponselnya tergeletak di meja, layar hitam tanpa kehidupan. Ia melirik ke jendela, tirai tidak tertutup sepenuhnya, menyisakan celah sempit yang mengarah ke rumah tetangganya. Lampu rumah itu menyala di beberapa bagian, bayangan orang bergerak di balik tirai yang setengah terbuka. Tidak jelas, tapi cukup untuk menunjukkan bahwa ada sesuatu yang terjadi di sana. Derek mengerutkan dahi. Bukan pertama kali ia mendengar suara ribut dari rumah itu, tetapi kali ini terasa lebih brutal. Suara barang dilempar, kaca pecah, lalu teriakan tertahan yang terdengar seperti… seseorang yang dicekik? Ia menelan ludah. Instingnya mengatakan untuk tidak peduli. Ini bukan urusannya. Tapi sesuatu di dalam dirinya membuatnya tetap terpaku menatap rumah itu. Lalu, sesuatu bergerak di halaman. Sosok kecil. Derek menahan napas. Itu anak kecil. Seorang bocah lelaki, berdiri di rerumputan basah, hanya mengenakan kaus dan celana pendek yang terlihat terlalu tipis untuk udara dingin seperti ini. Bocah itu menatap ke arah rumah Derek. Wajahnya samar dalam gelap, tapi tubuhnya tampak gemetar. Derek tidak tahu harus berbuat apa. Haruskah ia keluar? Menanyakan sesuatu? Tapi sebelum ia bisa berpikir lebih jauh, bocah itu bergerak. Mundur. Perlahan. Lalu berbalik dan berlari menuju rumahnya sendiri, seolah-olah baru menyadari bahwa ia tidak seharusnya berada di luar. Pintu rumah tetangga terbuka sedikit, dan tangan seseorang menarik bocah itu masuk sebelum menutupnya rapat. Derek tetap diam di tempatnya, merasakan perutnya sedikit bergejolak. Rumah itu menyimpan sesuatu. Sesuatu yang gelap. Dan ia baru saja melihatnya lebih dekat daripada yang seharusnya. Malam semakin larut, tapi Derek tak bisa tidur. Suara dari rumah tetangga itu terus terngiang di kepalanya. Ia menghela napas panjang dan berjalan ke dapur untuk menuangkan segelas air. Hening. Terlalu hening, seakan seluruh rumah menahan napas bersamanya. Ia duduk di meja makan, menatap kosong ke dinding. Pikiran-pikirannya bercabang. Seharusnya ia tidak peduli. Ia hanya perlu tidur dan mengabaikan semuanya, seperti biasa. Tapi kejadian tadi tidak semudah itu diabaikan. Tatapan bocah itu… bukan hanya ketakutan biasa. Itu tatapan seseorang yang meminta pertolongan. Derek menggeram pelan. Ini bukan masalahnya. Bukan urusannya. Ia punya hal lain yang lebih penting untuk dipikirkan. Namun, otaknya terus memutar ulang kejadian tadi. Suara teriakan tertahan, bayangan yang bergerak di balik tirai, bocah kecil yang gemetar di rerumputan. Ia bangkit dari kursinya, berjalan menuju jendela ruang tamu dan mengintip lagi ke rumah sebelah. Lampunya masih menyala. Mungkin mereka masih terjaga. Atau mungkin sesuatu sedang terjadi di dalam sana. Derek menghela napas panjang dan akhirnya memutuskan untuk kembali ke kamar. Setidaknya, ia harus mencoba tidur. Ia mematikan lampu dan membaringkan tubuh di kasur, tapi matanya tetap terbuka. Di luar sana, rumah tetangga itu kembali sunyi. Tapi keheningan seperti ini justru lebih buruk daripada suara-suara sebelumnya. Seolah sesuatu sedang menunggu. Mengintai.Cahaya samar menelusup dari celah-celah tirai, membentuk garis-garis tipis di lantai kayu yang dingin. Derek mengerjap, matanya terasa berat. Kepalanya masih diselimuti kabut kantuk yang tersisa dari malam panjang yang tak tenang. Ia bangkit perlahan, tubuhnya terasa kaku. Rumahnya sunyi, hanya terdengar dengung halus dari lemari es di dapur.Namun, saat ia mengingat suara-suara dari rumah sebelah semalam, ketenangan itu terasa semu. Seolah ada sesuatu yang bersembunyi di bawahnya, menunggu waktu yang tepat untuk muncul kembali.Derek menarik napas dalam dan mengembuskannya perlahan. Seharusnya ia tak terlalu memikirkan hal itu. Ia berjalan ke dapur, membuka kulkas, dan mengambil sebotol air. Saat meneguknya, matanya melirik ke arah jendela yang menghadap rumah sebelah. Rumah itu tampak biasa saja di bawah sinar matahari, tak ada tanda-tanda kekacauan seperti yang terdengar semalam.Tapi sesuatu terasa ganjil.Tirai yang kemarin malam setengah ter
Derek merasa ada sesuatu yang menggelisahkan dalam dirinya. Perasaan tak nyaman yang ia rasakan semakin menekan dada. Ia memandang rumah tetangga dengan intens. Setiap kali tatapannya beralih ke jendela di sana, ia bisa merasakan beban ketegangan yang mencekam. Anak kecil itu—siapa pun dia—menyembunyikan sesuatu yang tak bisa diungkapkan dengan kata-kata.Tapi Derek tahu satu hal pasti. Ia harus berhati-hati.Langkahnya perlahan saat ia mendekat kembali ke pagar rumah tetangga. Tidak ada suara, hanya deru angin yang menyapu daun-daun yang gugur. Cahaya sore mulai menembus celah-celah pohon, membuat bayangan-bayangan panjang memanjang di tanah. Derek menundukkan kepalanya, menghindari untuk menatap langsung ke rumah itu. Ada ketakutan yang datang dari dalam dirinya—takut dilihat oleh ayah bocah itu, takut berisiko lebih jauh.Dari balik pagar, ia melihat bocah kecil itu muncul lagi di jendela kamar tidur. Mata mereka bertemu lagi, dan Derek merasa ada sesua
Derek berjalan kembali ke rumahnya dengan langkah cepat, namun pikirannya tetap tertahan oleh percakapan singkat yang baru saja terjadi di halaman. Kata-kata bocah itu terus terngiang di telinganya, menggema dalam benak. Ia bisa merasakan ketakutan yang terpendam di mata anak itu, sebuah ketakutan yang begitu dalam seolah sudah tertanam dalam hidupnya. Sesampainya di rumah, Derek memutuskan untuk tidak langsung masuk. Ia berdiri di depan pintu, merenung sejenak, mencoba mencerna apa yang baru saja terjadi. Setelah beberapa detik yang penuh kebingungan, ia memutuskan untuk kembali ke halaman belakang, tempat ia tadi berdiri. Angin malam mulai berhembus, membawa udara dingin yang menyentuh kulitnya. Ia melangkah pelan, memastikan tidak ada suara yang bisa terdengar. Suara dari rumah sebelah masih sunyi, tapi perasaan was-was yang menggelayuti dirinya tidak pernah benar-benar pergi. Derek tidak bisa membiarkan ini berlarut-larut. Ia harus tahu l
Dengan tekad yang semakin menguat, Derek memutuskan bahwa sudah waktunya untuk mendekati kebenaran yang tersimpan di balik rumah tetangga itu. Ia merasa bahwa satu-satunya cara untuk membantu anak itu adalah dengan mengetahui lebih banyak tentang keluarga yang menyembunyikan rahasia kelam tersebut. Meskipun rasa was-was masih menghantui, Derek mengumpulkan keberanian dan menuju ke depan pintu rumah tetangga. Malam itu, langit kelam diselimuti awan, seolah menandakan suasana hati yang suram. Derek berdiri di depan pintu depan rumah itu, napasnya terengah-engah karena gugup. Dengan tangan gemetar, ia mengetuk pintu, berharap bahwa tindakan kecil ini akan memberinya kesempatan untuk berbicara langsung dengan sosok yang selama ini hanya diselimuti misteri. Tak lama kemudian, pintu terbuka, dan di depannya muncul seorang pria berwajah tegas. Mata pria itu tajam, seolah langsung menilai kedatangan Derek. Rambutnya yang sudah mulai memutih menambah kesan seriu
Derek melangkah perlahan menuruni jalan setapak yang menghubungkan rumahnya dengan rumah tetangga yang baru saja ia kunjungi. Langit yang gelap semakin menambah kesan misterius malam itu. Di pikirannya, berbagai pertanyaan masih bergemuruh—tentang apa yang sebenarnya terjadi di dalam rumah tetangga itu, tentang ayah mereka, dan tentang bocah yang takut itu. Keinginan untuk membantu anak itu semakin menguat, namun rasa takut mulai merayap perlahan, menyadari bahwa ia mungkin telah menginjakkan kaki ke dalam sesuatu yang jauh lebih besar dan berbahaya.Tiba-tiba, sebuah suara tua yang lembut menyapanya, memecah kesunyian malam.“Anak muda, berhenti sejenak.”Derek menoleh. Di ujung jalan, di samping pohon besar yang rapat, tampak seorang pria tua mengenakan pakaian lusuh. Rambutnya putih seperti salju, dan wajahnya dipenuhi kerutan yang dalam. Namun, yang paling menarik perhatian Derek adalah tatapan mata kakek itu. Mata yang tajam dan penuh rahasia.
Setelah percakapan yang menegangkan dengan pria itu, Derek merasa hatinya masih berdetak keras, perasaan gelisah membawanya pulang dengan langkah terburu-buru. Tidak pernah ia merasa sepenat ini, seperti ada sesuatu yang terus mengikutinya, mengendap-endap di belakang punggungnya. Malam itu terasa semakin berat, dan bayangan dari rumah tetangga seolah membuntutinya, bahkan setelah ia menutup pintu rumah dengan hati-hati.Pikiran Derek penuh dengan kata-kata yang diucapkan pria itu, senyumnya yang dingin, dan kata-kata yang tersembunyi di balik omong kosong itu. Ada sesuatu yang tidak beres, dan ia tahu itu. Keinginannya untuk melindungi anak itu semakin kuat, tetapi semakin ia mendekati kebenaran, semakin ia merasa seolah terjerat dalam perangkap yang tak terlihat.Namun, tak ada yang bisa mempersiapkannya untuk apa yang terjadi setelah ia melangkah masuk ke rumah. Saat ia mengunci pintu dengan perlahan dan menyalakan lampu ruang tamu, sebuah rasa dingin merayap da
Malam-malam Derek kini dipenuhi dengan rasa cemas yang semakin mengganggu. Setiap kali ia menutup mata, suara-suara aneh mulai mengisi ruang sekitarnya. Awalnya, ia pikir itu hanya imajinasinya. Namun, semakin lama, suara itu semakin jelas—ketukan halus di dinding, desisan yang berasal entah dari mana, dan bisikan yang begitu samar namun menegangkan. Seakan ada sesuatu yang menunggu di kegelapan, mengintai dari balik bayang-bayang.Hari itu, Derek merasa kelelahan. Ia baru saja kembali dari kunjungan malam yang menegangkan di rumah tetangga itu, dan pikirannya belum juga tenang. Ia duduk di ruang tamu, mencoba menenangkan diri, tapi bayangan pria tua yang memberi peringatan terus menghantui pikirannya. “Hati-hati dengan keluarga sebelah,” kata-kata itu terus berputar dalam benaknya, membuat jantungnya berdegup lebih cepat dari biasanya. Apa yang sebenarnya sedang terjadi di rumah itu? Apa yang mereka sembunyikan? Dan yang lebih menakutkan—apakah Derek juga sudah terperangka
Derek merasakan ketegangan yang terus menggantung di pundaknya begitu dia melangkah keluar dari rumah barunya. Teror yang semakin mencekam membuatnya merasa tak tenang di dalam rumah itu. Ada sesuatu yang tak bisa dijelaskan, sebuah ancaman tak kasat mata yang selalu mengikuti setiap langkahnya, seperti bayangan yang tak bisa ia hindari. Dia membutuhkan pelarian, sesuatu untuk mengalihkan perasaan takut dan cemas itu.Bar itu terletak tidak jauh dari rumahnya, sebuah tempat yang terlihat sederhana tapi menawarkan suasana yang cukup nyaman. Bangunan kecil dengan kayu-kayu berwarna gelap itu memiliki pintu kayu yang berat, dan begitu Derek masuk, udara dingin malam seolah terperangkap di dalamnya. Pemandangan danau yang luas bisa terlihat dari jendela-jendela besar yang ada di bar, menciptakan kesan damai, seolah semuanya di luar sana begitu tenang, jauh dari kegelisahan yang menghantui dirinya.Derek melangkah ke bar dan duduk di kursi panjang yang menghadap ke luar
Derek duduk di kursinya, gelas whiskey di tangan, matanya tetap terpaku pada pantulan dirinya di kaca bar. Pikirannya berputar, berusaha memahami apa yang baru saja diceritakan oleh Joe. Ada sesuatu yang sangat aneh dengan rumah tetangganya—sesuatu yang lebih besar dari sekadar rahasia biasa. Sesuatu yang sangat gelap. Saat Joe berbalik untuk melanjutkan pekerjaannya di balik bar, sebuah suara halus mengganggu konsentrasi Derek.“Joe, beri saya whiskey yang sama,” suara itu terdengar rendah, hampir seperti bisikan yang sengaja ditujukan hanya untuknya. Derek menoleh, terkejut melihat seorang wanita yang baru saja memasuki bar.Wanita itu langsung menuju kursi di sebelah Derek dan duduk tanpa ragu. Rambutnya cokelat panjang dan sedikit bergelombang, wajahnya cantik dengan garis rahang yang tegas dan mata tajam yang memancarkan kepercayaan diri. Sepertinya dia sudah sangat akrab dengan tempat ini, karena Joe segera menyiapkan minuman favoritnya tanpa bertanya lebih l
Derek merasakan ketegangan yang terus menggantung di pundaknya begitu dia melangkah keluar dari rumah barunya. Teror yang semakin mencekam membuatnya merasa tak tenang di dalam rumah itu. Ada sesuatu yang tak bisa dijelaskan, sebuah ancaman tak kasat mata yang selalu mengikuti setiap langkahnya, seperti bayangan yang tak bisa ia hindari. Dia membutuhkan pelarian, sesuatu untuk mengalihkan perasaan takut dan cemas itu.Bar itu terletak tidak jauh dari rumahnya, sebuah tempat yang terlihat sederhana tapi menawarkan suasana yang cukup nyaman. Bangunan kecil dengan kayu-kayu berwarna gelap itu memiliki pintu kayu yang berat, dan begitu Derek masuk, udara dingin malam seolah terperangkap di dalamnya. Pemandangan danau yang luas bisa terlihat dari jendela-jendela besar yang ada di bar, menciptakan kesan damai, seolah semuanya di luar sana begitu tenang, jauh dari kegelisahan yang menghantui dirinya.Derek melangkah ke bar dan duduk di kursi panjang yang menghadap ke luar
Malam-malam Derek kini dipenuhi dengan rasa cemas yang semakin mengganggu. Setiap kali ia menutup mata, suara-suara aneh mulai mengisi ruang sekitarnya. Awalnya, ia pikir itu hanya imajinasinya. Namun, semakin lama, suara itu semakin jelas—ketukan halus di dinding, desisan yang berasal entah dari mana, dan bisikan yang begitu samar namun menegangkan. Seakan ada sesuatu yang menunggu di kegelapan, mengintai dari balik bayang-bayang.Hari itu, Derek merasa kelelahan. Ia baru saja kembali dari kunjungan malam yang menegangkan di rumah tetangga itu, dan pikirannya belum juga tenang. Ia duduk di ruang tamu, mencoba menenangkan diri, tapi bayangan pria tua yang memberi peringatan terus menghantui pikirannya. “Hati-hati dengan keluarga sebelah,” kata-kata itu terus berputar dalam benaknya, membuat jantungnya berdegup lebih cepat dari biasanya. Apa yang sebenarnya sedang terjadi di rumah itu? Apa yang mereka sembunyikan? Dan yang lebih menakutkan—apakah Derek juga sudah terperangka
Setelah percakapan yang menegangkan dengan pria itu, Derek merasa hatinya masih berdetak keras, perasaan gelisah membawanya pulang dengan langkah terburu-buru. Tidak pernah ia merasa sepenat ini, seperti ada sesuatu yang terus mengikutinya, mengendap-endap di belakang punggungnya. Malam itu terasa semakin berat, dan bayangan dari rumah tetangga seolah membuntutinya, bahkan setelah ia menutup pintu rumah dengan hati-hati.Pikiran Derek penuh dengan kata-kata yang diucapkan pria itu, senyumnya yang dingin, dan kata-kata yang tersembunyi di balik omong kosong itu. Ada sesuatu yang tidak beres, dan ia tahu itu. Keinginannya untuk melindungi anak itu semakin kuat, tetapi semakin ia mendekati kebenaran, semakin ia merasa seolah terjerat dalam perangkap yang tak terlihat.Namun, tak ada yang bisa mempersiapkannya untuk apa yang terjadi setelah ia melangkah masuk ke rumah. Saat ia mengunci pintu dengan perlahan dan menyalakan lampu ruang tamu, sebuah rasa dingin merayap da
Derek melangkah perlahan menuruni jalan setapak yang menghubungkan rumahnya dengan rumah tetangga yang baru saja ia kunjungi. Langit yang gelap semakin menambah kesan misterius malam itu. Di pikirannya, berbagai pertanyaan masih bergemuruh—tentang apa yang sebenarnya terjadi di dalam rumah tetangga itu, tentang ayah mereka, dan tentang bocah yang takut itu. Keinginan untuk membantu anak itu semakin menguat, namun rasa takut mulai merayap perlahan, menyadari bahwa ia mungkin telah menginjakkan kaki ke dalam sesuatu yang jauh lebih besar dan berbahaya.Tiba-tiba, sebuah suara tua yang lembut menyapanya, memecah kesunyian malam.“Anak muda, berhenti sejenak.”Derek menoleh. Di ujung jalan, di samping pohon besar yang rapat, tampak seorang pria tua mengenakan pakaian lusuh. Rambutnya putih seperti salju, dan wajahnya dipenuhi kerutan yang dalam. Namun, yang paling menarik perhatian Derek adalah tatapan mata kakek itu. Mata yang tajam dan penuh rahasia.
Dengan tekad yang semakin menguat, Derek memutuskan bahwa sudah waktunya untuk mendekati kebenaran yang tersimpan di balik rumah tetangga itu. Ia merasa bahwa satu-satunya cara untuk membantu anak itu adalah dengan mengetahui lebih banyak tentang keluarga yang menyembunyikan rahasia kelam tersebut. Meskipun rasa was-was masih menghantui, Derek mengumpulkan keberanian dan menuju ke depan pintu rumah tetangga. Malam itu, langit kelam diselimuti awan, seolah menandakan suasana hati yang suram. Derek berdiri di depan pintu depan rumah itu, napasnya terengah-engah karena gugup. Dengan tangan gemetar, ia mengetuk pintu, berharap bahwa tindakan kecil ini akan memberinya kesempatan untuk berbicara langsung dengan sosok yang selama ini hanya diselimuti misteri. Tak lama kemudian, pintu terbuka, dan di depannya muncul seorang pria berwajah tegas. Mata pria itu tajam, seolah langsung menilai kedatangan Derek. Rambutnya yang sudah mulai memutih menambah kesan seriu
Derek berjalan kembali ke rumahnya dengan langkah cepat, namun pikirannya tetap tertahan oleh percakapan singkat yang baru saja terjadi di halaman. Kata-kata bocah itu terus terngiang di telinganya, menggema dalam benak. Ia bisa merasakan ketakutan yang terpendam di mata anak itu, sebuah ketakutan yang begitu dalam seolah sudah tertanam dalam hidupnya. Sesampainya di rumah, Derek memutuskan untuk tidak langsung masuk. Ia berdiri di depan pintu, merenung sejenak, mencoba mencerna apa yang baru saja terjadi. Setelah beberapa detik yang penuh kebingungan, ia memutuskan untuk kembali ke halaman belakang, tempat ia tadi berdiri. Angin malam mulai berhembus, membawa udara dingin yang menyentuh kulitnya. Ia melangkah pelan, memastikan tidak ada suara yang bisa terdengar. Suara dari rumah sebelah masih sunyi, tapi perasaan was-was yang menggelayuti dirinya tidak pernah benar-benar pergi. Derek tidak bisa membiarkan ini berlarut-larut. Ia harus tahu l
Derek merasa ada sesuatu yang menggelisahkan dalam dirinya. Perasaan tak nyaman yang ia rasakan semakin menekan dada. Ia memandang rumah tetangga dengan intens. Setiap kali tatapannya beralih ke jendela di sana, ia bisa merasakan beban ketegangan yang mencekam. Anak kecil itu—siapa pun dia—menyembunyikan sesuatu yang tak bisa diungkapkan dengan kata-kata.Tapi Derek tahu satu hal pasti. Ia harus berhati-hati.Langkahnya perlahan saat ia mendekat kembali ke pagar rumah tetangga. Tidak ada suara, hanya deru angin yang menyapu daun-daun yang gugur. Cahaya sore mulai menembus celah-celah pohon, membuat bayangan-bayangan panjang memanjang di tanah. Derek menundukkan kepalanya, menghindari untuk menatap langsung ke rumah itu. Ada ketakutan yang datang dari dalam dirinya—takut dilihat oleh ayah bocah itu, takut berisiko lebih jauh.Dari balik pagar, ia melihat bocah kecil itu muncul lagi di jendela kamar tidur. Mata mereka bertemu lagi, dan Derek merasa ada sesua
Cahaya samar menelusup dari celah-celah tirai, membentuk garis-garis tipis di lantai kayu yang dingin. Derek mengerjap, matanya terasa berat. Kepalanya masih diselimuti kabut kantuk yang tersisa dari malam panjang yang tak tenang. Ia bangkit perlahan, tubuhnya terasa kaku. Rumahnya sunyi, hanya terdengar dengung halus dari lemari es di dapur.Namun, saat ia mengingat suara-suara dari rumah sebelah semalam, ketenangan itu terasa semu. Seolah ada sesuatu yang bersembunyi di bawahnya, menunggu waktu yang tepat untuk muncul kembali.Derek menarik napas dalam dan mengembuskannya perlahan. Seharusnya ia tak terlalu memikirkan hal itu. Ia berjalan ke dapur, membuka kulkas, dan mengambil sebotol air. Saat meneguknya, matanya melirik ke arah jendela yang menghadap rumah sebelah. Rumah itu tampak biasa saja di bawah sinar matahari, tak ada tanda-tanda kekacauan seperti yang terdengar semalam.Tapi sesuatu terasa ganjil.Tirai yang kemarin malam setengah ter