LOGINSaat mendengar pernyataan Atma aku sedikit terkejut jadi ini masalah sebenarnya yang membuat Asmoro saingan terbesar Dharma, bapak Atma. Asmoro menyukai Ibu Atma yangbernama Terta. Dan baru ku sadari memang Asmoro hanya baik kepada Ibu Atma. Selebihnya dengan keluarga Dharma yang lain akan merendahkan dam sering mengajak bertengkar.
“Aku tidak cemburu dengan bapakmu, Atma ketahuilah bapakmu itu tidak ada apa-apanya dibandingkan denganku,” ucap Asmoro setengah mati menahan amarah.
“Tapi bapakku berhasil mendapatkan wanita pujaanmu dan munculah aku,” balas Atma sambil tersenyum penuh kemenangan.
“Anak sialan kurang ajar, cepat turun ke sini. Akan ku seret kalian berdua di jalanan.”
“Atma bagaimana ini?” tanyaku, “Aku pun tidak tahu, sepertinya Pakdhe marah besar mungkin sebentar lagi akan ada pertarungan di dekat rumahku,” jawab Atma yang membuatku menghela napas panjang.
“Sepertinya aku memang harus menyelesaikan bocah stress ini dulu setelah itu mencari orang tuanya, aku akan mengambil parang untuk kalian tunggu disitu,” ucap Asmoro yang menunjuk kami dan berjalan ke arah pintu belakang.
“Danastri ayo turun, cepat turun sebelum laki-laki tua itu kembali,” ajak Atma yang sambil bersiap turun ke bawah dan lebih dulu turun ke bawah.
“Sebentar selendangku tersangkut,” ucapku. “Mau kemana kalian anak sialan tidak tahu diri, kembali kemari sekarang juga!”
“Tarik saja Danastri.”
“Tidak bisa masih tersangkut,” panikku dan dengan cepat Atma menariknya dengan kencang kemudian menggenggam tanganku untuk keluar dari kebun milik Asmoro.
Kini kami seperti anak kecil yang berlarian di pematang sawah, pemilik mangga itu mengejar kami sambil membawa parang. Tentu saja pemandangan ini dilihat orang-orang yang masih bekerja di sawah. Sesekali aku memarahi Atma yang mengajakku berlari dengan pakaian seperti ini dan jangan lupa aku harus membawa mangga 5 buah yang dibalut kain selendangku.
“Pakdhe Asmoro sedang gila, minggir kalian jika tidak ingin ditebas menggunakan parang!” teriak Atma sambil tertawa.
“Bocah edan, kemari kalian!”
“Ada orang mabuk, awas minggir kalian jika masih ingin melihat matahari esok hari!”
“Atma, kamu ini semakin memperkeruh suasana!” Teriakku yang jujur saja aku sudah lelah karena kami berlari ke arah pasar.
“Danastri hari ini sangat menyenangkan, bukan?” tanya Atma. “Menyenangkan dengkulmu, jika kita tidak mencuri mangga miliknya aku sudah bisa di rumah sekarang,” jawabku yang semakin memperat peganganku karena Asmoro semakin mendekati kami seperti sapi yang mengamuk.
“Ini akan menjadi pengalaman yang menyenangkan dan dapat kita ceritakan ke anak cucu kita nanti,” sanggah Atma yang terlihat menikmati aksi kejar-kejaran dengan orang tua itu.
“Pikiranmu terlalu jauh, Atma. Semoga saja kita hari ini masih selamat,” ucapku setengah berteriak.
“Awas...awas...Pakdhe Asmoro sedang menggila!” Atma memperingatkan orang-orang di sana yang sedang berjualan.
“Bocah gemblung!” Suara ini milik Surip penjual sayur dan buah-buahan.
“Kali ini anak Dharma membuat masalah apa lagi?” tanya Kesih kepada penjual bumbu dapur, Mojo. Mojo hanya menggeleng kepala tidak tahu apa-apa.
“Cepat tangkap anak itu nanti akan ku beri imbalan!” teriak Asmoro memberikan perintah untuk menangkap kami berdua. Dan tentu saja sekarang kami seperti diamuk kumpulan sapi yang berlari ke arah kami.
“Tangkap Atma dan Danastri!”
“Demi imbalan, berhentilah kalian berdua sekarang juga!” “Ayo kita tangkap mereka jangan sampai lepas.”
Berbagai teriakan yang menyuruh dan memaksa kami berhenti semakin banyak di belakang kami. Atma semakin mempercepat laju larinya dan otomatis aku harus bisa mengimbanginya melewati keramaian pasar dan ucapan bahwa yang mampu mendapatkan kami akan diberikan imbalan membuat mereka meninggalkan kegiatan pasar pada umumnya.
“Atma berjanjilah padaku jangan pernah melepaskan tanganmu, jika kamu melakukannya aku akan membencimu!” teriakku yang tidak kalah kencang dengan orang-orang di belakang kami.
“Tidak, tidak akan pernah aku melepaskanmu!”
“Berhentilah kalian berdua sekarang juga!”
“Bocah edan larinya cepat sekali!” keluh salah satu di antara mereka.
“Kita mau kemana lagi, Atma? Aku sudah lelah sekali,” ucapku yang ngos-ngosan karena Atma semakin mempercepat laju larinya sampai aku menyadari sesuatu.
“Bapak...Bapak...Aku hampir dipukuli massa bersama Danastri!”. Ya benar sekali Atma mengajakku ke rumahnya di depan rumah itu sedang ada perkumpulan para saudagar yang cukup terkenal di daerah ini. Teriakan Atma tentu saja akan memancing babak baru antara Asmoro dan bapaknya Atma.
“Ono opo, Le?” tanya Dharma yang langsung berdiri melihat anaknya berteriak-teriak. (Ada apa, nak)
“Itu, Pakdhe Asmoro mau menyeretku ke jalanan dan menyuruh orang-orang pasar menangkapku dan Danastri, aku takut Bapak,” jawab Atma dengan mimik wajah terlihat tegang dan panik, sementara itu langsung melirikku dan tersenyum. Aku hanya menggeleng kepala pelan dan beralih duduk di teras rumah.
“Brengsek, ngopo meneh wong edan siji kae?!” (kenapa lagi dengan orang gila satu itu) suara Dharma menggelegar dan berjalan ke arah luar gerbang rumah di susul beberapa saudagar yang ikut rapat tadi.
“Danastri, mari kita saksikan pertarungan kali ini. Percayalah bapakku akan menang kali ini!” ucap Atma berseru setelah mengikuti duduk di teras. Aku sempat berpikir bahwa Atma ini memang anaknya sangat suka melihat keributan, aku masih ingat sangat tetangga depan rumahnya Miro bertengkar dengan Asmoro bukannya melerai pertikaian, Atma membuka acara pertengkaran itu dengan menjadikan taruhan.
“Atma aku haus sekali,” ucapku. “Oh, iya sebentar aku ambilkan minuman terlebih dahulu. Danastri kemarikan mangganya.”
Benar saja, suara di depan rumah kini sudah bersahutan satu sama lain sebentar lagi pertengkaran akan terjadi jika sampai ada korban luka, maka yang akan disalahkan atas kejadian ini adalah Atma dan diriku. Aku yang baru meminum air yang diberikan Atma langsung berlari mendekati kerumunan itu mencoba sebisa mungkin melerai dan meredam pertengkaran itu meskipun Atma menarikku keluar untuk tidak ikut campur, tapi tetap saja kita berdua salah karena sudah mengambil mangga milik Pakdhe Asmoro tanpa meminta izin terlebih dahulu.
“Danastri–”
“Tunggu Atma kita memang salah karena kita Bapakmu dan Pakdhe Asmoro harus bertengkar dengan disaksikan banyak orang, ini tidak benar!”
“Kamu dengar sendiri, anak ini dan anakmu mencuri manggaku tanpa meminta izin,” tambah Asmoro sedikit mendapat kesempatan untuk mengiyakan ucapanku.
“Memangnya jika mereka izin kamu akan memberikannya?” tanya Miro sedikit mengejek dan diiyakan oleh banyak orang di sana.
“Kamu saja sulit diminta mangga meskipun hanya satu, sekarang kamu bicara tentang izin yang benar saja Asmoro!” ucap salah satu di antara sekian banyak orang yang semakin memperparah suasana kali ini.
Pertengkaran ini berlanjut sampai akhirnya Ibu Terta, istri dari Pak Dharma harus turun tangan melerai mereka semua. Atma, tentu saja aku dan Atma juga dimarahi habis-habisan. Kami berdua harus meminta maaf pada pemilik mangga yang kami curi, Pakdhe Asmoro. Sekarang ini aku hanya di kamarku menatap langit-langitnya, hari ini sangat melelahkan sekali dan jangan lupakan selendangku robek padahal besok aku harus latihan.
Aku tidak tahu sejak kapan, hanya saja kini rumahku menjadi perkumpulan ketiga orang ini, Atma, Barga, dan Manik. Setelah ku ingat-ingat dulu Atma sering sekali bertengkar dengan Barga dan menyuruhku menjauhinya, tapi lihat kini mereka berteman seperti tidak pernah melempari jagung satu sama lain.“Jadi Danastri, apa kamu ikut dengan kami?” tanya Barga setelah menghidupkan rokoknya.“Pergi kemana?”“Tentu saja, pasar malam!” seru Atma antusias sambil melirik ke Manik.“Ayo, Danastri. Akan sangat menyenangkan jika kita pergi bersama,” pinta Manik memohon.“Atma, ini semua akal-akalanmu, kan? Agar kamu bisa pergi bersama Manik,” ucapku sambil menyipitkan mata dan Atma bersiul-siul menatap pintu luar.“Danastri, aku sudah lama sekali tidak pergi denganmu...aku janji akan membelikan apapun yang kamu mau,” tawar Barga yang tetap saja tidak menarik dimataku, dia pikir aku perempuan yang hanya ingin uangnya.“Ayo, Danastri. Tidak mungkin kamu tega membiarkanku bersama dua laki-laki kurang wa
Mataku menemukan wanita menggunakan pakaian berwarna putih bersama salah satu dayang keraton, semua yang ada di keraton terlihat lebih indah saat ada wanita itu mungkin dia salah satu alasan raja berani memperjuangkan cintanya. Selir Kahiyang. Dia tesenyum lembut menatapku dan mendekatiku, rasanya aku tidak sudi memberikan hormat pada orang ini setelah mendengar semua cerita kebenaran tentang orang tuaku.“Namamu tadi siapa? Aku sedikit lupa,” tanya Selir Kahiyang setelah berada di depanku, aku tidak mau melihat wajahnya benar-benar tidak sudi melihatnya.“Da-Danastri.”“Kamu tumbuh dengan baik dan mirip sekali dengan Kinasih, sangat cantik,” pujinya yang memegang daguku dengan cepat aku langsung bersimpuh memberikan hormat.“Maaf, saya belum memberikan salam. Perkenalkan saya Danastri penari keraton bersama Manik,” ujarku yang sepertinya orang itu cukup terkejut dengan reaksiku langsung menjauhinya.“Berdirilah, Danastri. Aku hanya ingin melihatmu,” ujarnya dan dengan berat hati aku
Sesaat setelah aku selesai menjemur pakaian di luar, aku dikejutkan oleh Manik yang menungguku tidak jauh dari tempatku. Wajahnya yang entah menurutku setelah pertengkaranku dengan Ambar dan Suci, wajah Manik lebih lembut atau mungkin karena hubungannya kembali membaik dengan Atma.“Ayo, Danastri,” ajaknya, “Kemana, Manik?” tanyaku yang ku dapati wajahnya sedikit was-was.“Keraton.”“Untuk apa aku kesana? Aku sudah mengatakan padamu tidak akan kembali ke sana,” tolakku yang langsung ingin masuk rumah, tapi tertahan karena lenganku dipegang dengan erat.“Aku tahu...tapi bukan untuk menari melainkan undangan perjamuan dari Ratu.”Mataku membulat sempurna benar-benar enggan untuk pergi, “Tidak, aku tidak mau,” tolakku keras.“Danastri, kamu tidak bisa menolaknya. Kita hanya makan setelah itu pulang,” jelas Manik sambil menyeretku untuk mengikutinya, tapi aku masih kekeuh dengan pendapatku.“Aku tidak mau, Manik. Lepaskan aku!”Manik berhenti dan menatapku sepenuhnya menemukan wajahku yan
Kakikku rasanya terpaku di bumi tidak bisa ku gerakkan, aliran darahku seperti memompa lebih cepat. Dadaku sangat sakit mengingat semua cerita kebenaran tentang keluargaku dan kini penyebab dari masalah ini semua ada di sini di dekatku. Derap langkahnya semakin mendekat, tapi sialnya sangat sial kakikku tidak bisa bergerak. Ku tundukkan leherku dan berusaha sekuat tenaga agar bisa menggerakan kakiku untuk cepat pergi.“Danastri, ada apa?” tanyanya yang mencoba memegang lenganku, “Jangan sentuh aku!” teriakku yang mana dia bisa melihat pelupuk mataku menggenang air dan pergi begitu saja.“A-astaga ada apa dengan anak itu, Raden?” tanya Wardi yang sama terkejutnya mendapati aku seperti itu. Di satu sisi Raden Kaningrat merasa ada yang tidak beres denganku. Malam hari saat aku tertidur aku bermimpi bertemu bapak dan ibu, di sana kami sedang berada di rumah yang mungkin milik keluarga bapak dulu. Suasananya sangat hangat, aku bisa mengetahui wajah bapak meskipun d
Hari-hari berikutnya aku menikmati hidupku sebagai orang yang sudah tidak bekerja di sanggar tari, keputusan itu akhirnya diizinkan oleh keluarga Atma mereka membiarkanku untuk menenangkan diri. Dan pekerjaanku sekarang membantu bapak mengurusi pasokan pangan terkadang membantu ibu membatik untuk di jual di pasar atau dikirim ke tengkulak untuk dijual kembali.“Danastri.” Suaranya membuatku menoleh setelah menyerahkan kain batik pesanan ke pasar dan dengan cepat aku belari menjauhi orang tersebut yang terlihat bingung mendapati reaksiku tidak seperti biasanya.“Danastri ada apa?” tanya Atma yang tidak jauh denganku melihatku sudah berlari pulang, tidak lama matanya berhasil menemukan seseorang yang dia kenal. Wajahnya sangat sumringah mendapati seseorang mendekatinya dengan cepat.“Ma-”“Atma, apa yang sebenarnya terjadi? Sudah dua minggu ini Danastri tidak datang ke sanggar. Apa dia masih sakit?” tanya Manik tecetak jelas di wajahnya penuh kekhawatiran. Tangan kanannya penuh membawa
Sayup-sayup aku bisa mendengar suara anak-anak sedang bermain di luar, dunia yang sangat berbeda denganku saat ini. Air mataku yang tak kunjung berhenti, dan rasa buah-buah ini seperti hilang dari indera perasaku bahkan tenggorokanku masih tercekat karena emosiku sendiri. Ku letakkan pisang yang tidak bisa ku telan lagi dan aku mulai membenci buah pisang tanpa alasan jelas.“Kadang kita diberikan hal-hal yang tidak bisa kita ketahui alasannya, kamu hanya bisa memilih, Danastri,” ucap Pakdhe Asmoro lebih lembut dari biasanya. “Hidup dengan perasaan menerima dan memaafkan mereka atau mengisinya dengan dendam serta amarah...pilihlah itu Danastri untuk kehidupanmu sendiri,” lanjutnya yang membuatku kesal.“Bagaimana bisa aku hidup seperti itu? Setelah semua yang terjadi dan aku baru mengetahuinya setelah usia 24 tahun, aku harus bersikap seolah tidak terjadi apa-apa, Pakdhe.”“Kehilangan orang yang bahkan belum pernah ku temuin karena perbuatan orang lain, sangatlah menyakitkan, Pakdhe.







