Share

5. Bayangan Masa Lalu

Restya tersenyum begitu semua pekerjaannya selesai. Ia bisa pulang lebih awal hari ini. Perempuan itu berencana untuk berjalan-jalan bersama kakaknya ke taman hiburan. Dia ingin sesekali menikmati harinya penuh keceriaan.

Restya langsung memasukkan semua barang ke tasnya. Lalu, memperbaiki penampilan sebelum keluar dari ruangan. Dengan langkah perlahan, perempuan ini meninggalkan ruangannya.

“Dokter Restya,” panggil Estu seraya berlari ke arah Restya.

“Iya?” Restya mengernyit. Ia mengamati Estu yang tengah membawa buket bunga.

“Dokter, ini ada bunga untuk Dokter,” ujar Estu dengan nada sumringah. Restya langsung menerimanya dan tersenyum.

“Dari siapa?” tanya Restya penasaran.

“Lebih baik Dokter baca sendiri saja catatan kecil di dalam buket bunga itu,” jawab Estu dengan nada lembut.

Restya mengangguk. “Terima kasih. Saya pamit dulu, ya,” ujar Restya seraya menepuk bahu Estu pelan. Perempuan itu langsung berjalan seraya mengambil catatan kecil yang ada di sana. Kemudian, ia berhenti di ujung koridor untuk membaca pesan singkat untuknya itu.

Bulan yang cahayanya meredup, kini bersinar terang kembali. Siluetnya terlihat jelas dalam bayang air laut. Angin berembus dengan tenang bersama irama ombak, yang kini tengah mengantarkan nahkoda untuk menyeberangi samudra agar sampai ke pelabuhan.

Restya langsung memejamkan mata. Ia paham, kalau syair itu mengandung makna yang dalam, yakni kerinduan. Hal itu membuatnya tak tahu harus berbuat apa.

“Dokter Restya!” panggil Zio seraya menepuk bahu Restya, membuat perempuan itu terkejut. Catatan kecil beserta bunga di genggamannya terjatuh. Zio yang melihat itu langsung menunduk seraya mengambil bunga dan catatan kecil milik Restya itu.

Restya langsung merebut buket bunga yang ada di tangan Zio, tetapi catatan kecil itu masih di genggaman lelaki itu.

“Dok, berikan note itu kepada saya,” kata Restya dengan nada tegas. Zio mengernyit. Ia sebenarnya memang ingin memberikan catatan kecil itu kepada Restya setelah memungutnya. Namun, dia malah penasaran dengan isi pesan dari catatan kecil itu.

“Cinta yang pernah hilang, kini kembali. Merindukan bayangan masa lalu. Cinta itu akan segera hadir lagi ke pujaan hatinya. Begitukah artinya?” tanya Zio memastikan, seraya membolak-balikkan kertas bermotif hati itu.

“Ngarang. Kekasih yang dulu pergi, kini kembali. Bayangan masa lalu akan hidup lagi. Ia akan segera datang untuk menjemput kekasihnya. Itu yang benar,” jawab Restya seraya menengadahkan telapak tangan kanannya kepada Zio untuk meminta catatan kecil itu. Zio langsung memberikannya kepada Restya. Mimik wajahnya berubah seketika. Dia merasa posisinya terancam sekarang. Ia yakin kalau surat itu dari mantan kekasih Restya yang meminta balikkan.

“Dokter, itu bunga dari siapa?” tanya Zio dengan nada gusar.

Restya tersenyum santai. “Dari calon suami saya, Dokter. Pria yang saya cintai dan juga mencintai saya,” balas Restya dengan nada serius. Dalam hati, ia ingin tertawa. Begitu melihat ekspresi Zio yang tampak tak suka dengan penjelasannya.

Zio memutar bola matanya kesal. Ia tak menyangka, kalau Restya punya nama pria lain di hatinya.

“Dok, enggak bisa begitu. Katanya Dokter kasih saya kesempatan. Ini apaan calon suami? Itu ilegal namanya. Saya enggak restui,” sahut Zio dengan nada tak terima.

“Memangnya Dokter Zio serius sama saya? Sepertinya tidak ada keseriusan dari kemarin. Cari wanita lain saja sana,” goda Restya dengan nada serius. Raut wajah perempuan itu terlihat datar, tetapi menyembunyikan banyak hal.

“Serius, dong. Mantan itu enggak pantas dipungut lagi. Kalau udah putus ya udah, dong. Masa kayak tali rafia aja, kalau putus disambung. Kalau putus cari yang baru. Yang lebih baik dari dulu. Kalau dulu rafia sekarang cari rantai. Pasti enggak bakal putus,” kata Zio asal.

Restya tak mengerti dengan analogi Zio. Apa hubungannya rafia dan rantai?

“Dokter, ngomong apaan sih? Saya enggak paham.”

“Kalau hubungan itu sudah putus terus disambung kembali, pasti hasilnya enggak akan sama. Ibarat tali rafia yang putus terus disambung, pasti bentuknya aneh,” terang Zio dengan nada santai.

Restya masih bingung. Zio yang paham dengan ekspresi ketidakmengertian Restya langsung melanjutkan penjelasannya.

“Hubungan itu jangan kayak tali rafia yang mudah putus, tapi kayak rantai. Kuat dan tak mudah putus. Kalau suatu hubungan itu sudah retak, nanti dibangun kembali enggak akan sama. Mending cari yang baru dengan pondasi yang lebih kuat. Kalau dulu Dokter dengan mantan membangun hubungan kayak tali rafia. Mending cari aja yang mau membangun hubungan yang kuat kayak rantai,” imbuh Zio dengan mantap.

“Terus saya harus membangun hubungan dengan siapa? Dokter? Malah enggak mungkin lagi. Dokter saja tidak mencintai saya. Bagaimana pondasinya bisa kuat?”

Restya menatap Zio lekat seraya tersenyum masam.

“Kita coba dulu, Dok. Saya serius. Saya ngerasain nyaman di dekat Dokter. Sejak pertama ketemu saya sudah tertarik dengan Dokter. Entah kenapa Dokter terus ada dalam pikiran saya. Padahal, saya sudah berusaha jutek dan menjauhi Dokter. Anehnya, saya malah merasa ada yang kurang kalau enggak ketemu Dokter.”

Restya mengerutkan dahinya. Ia tak percaya dengan ucapan lelaki itu.

“Serius?” Restya menatap Zio penuh selidik.

“Benar, Dok. Benar-benar bohong ucapan saya tadi,” kata Zio dengan diakhiri senyuman khasnya.

Restya langsung membuang muka dari Zio.

“Jangan marah dong, Dok. Saya kan cuma bercanda. Kalau saya jujur dibilang bohong, kalau saya bohong, Dokter Restya marah. Saya kan bingung,” jelas Zio seraya menyatukan kedua tangannya di depan dada untuk memohon maaf. Meski Restya membuang muka dari Zio, ia tetap bisa melihat apa yang dilakukan pria itu. Restya tak peduli dengan ucapan Zio. Entah itu benar atau tidak, karena lelaki itu tak berarti untuknya. Dia hanya mengganggap Zio rekan kerja atau seniornya saja.

Zio menggaruk kepalanya yang tak gatal seraya meringis. Ia tak tahu bagaimana membuat Restya memaafkannya. Padahal niatnya cuma bercanda.

“Dok,” lirih Zio dengan raut wajah kebingungan.

Restya akhirnya menengok ke arah Zio lagi seraya tersenyum.

“Maaf, Dok. Saya mau pulang. Ada acara. Permisi,” pamit Restya sopan seraya membungkuk. Kemudian, ia melangkah begitu cepatnya meninggalkan Zio.

Zio hanya terdiam. Ia ingin mengejar Restya. Tapi menurut buku yang ia baca kalau perempuan sedang marah, jangan diganggu. Tunggu saat wanita itu emosinya sudah membaik baru berbicara kembali.

“Zi,” panggil Devan seraya merangkul pundak Zio. Zio langsung melepaskan rangkulan Devan dengan kesal.

“Kenapa?” tanyanya ketus. Zio sedang kesal dengan Devan. Ia malas sekali bertemu dengan temannya itu. Pasalnya, Devan mengatakan kalau dia menyukai Restya. Lelaki itu juga ingin menikahi Restya.

“Masih marah? Katamu Restya tak menarik dan kau tak suka dengannya. Kenapa marah kalau aku ingin mendapatkannya?” cibir Devan mengingatkan kembali Zio akan perkataannya saat Restya pertama kali menginjakkan kakinya di rumah sakit ini. Semua pria menatap Restya kagum, bukan karena kecantikannya saja. Namun, dia begitu cerdas dan memesona. Hanya Zio yang mengatakan kalau perempuan seperti Restya itu pasaran dan tak menarik.

Zio tersenyum masam. “Dasar tukang tikung! Aku bilang dia tak menarik, biasa saja. Bukan bilang aku tak tertarik,” kesal Zio seraya menatap manik mata Devan tajam.

Devan terkekeh seraya berkacak pinggang. Ia menatap Zio penuh mencemooh. Zio langsung berbalik arah untuk berhadap-hadapan dengan Devan.

“Sama saja. Pintar sekali ngeles. Kau bilang juga tak suka dengannya,” imbuh Devan dengan santai.

Zio menghela napas sejenak. “Aku memang tak suka dengan perilakunya. Bukan berarti aku tak menyukainya. Aku hanya tak suka perilakunya yang sekarang. Dia seperti robot,” kata Zio seraya mengingat kembali pertemuannya pertama kali dengan Restya.

Devan mengerutkan dahinya. Ia tak mengerti dengan kata perilakunya yang sekarang. Setahunya Zio dan Restya tak saling mengenal sebelum bekerja di rumah sakit ini. Kalau maksud Zio yang sekarang dan dulu berbeda, pasti bukan perilaku saat Restya telah menapaki rumah sakit ini.

“Maksudmu?”

“Dia tidak sedingin itu. Aku sering melihat senyuman manis yang tulus dari bibirnya. Wajah yang ceria. Bukan kaku dan dingin. Aku awalnya penasaran, lalu lama-kelamaan tertarik padanya. Dia yang dulu hampir sama seperti El,” kenang Zio tanpa sadar kalau dia telah membuka sebuah rahasia. Suatu hal yang ia sembunyikan akan kebenaran perasaannya pada Restya.

“Kau mengenal Restya sejak kapan?” Devan menatap Zio lekat.

Zio yang ditatap seperti itu tersadar kalau dia baru saja menceritakan kalau ia mengenal Restya sejak lama.

“Kau tidak perlu tahu. Aku harap dirimu bisa menjauhi Restya. Dev, kau temanku. Aku tak sanggup bersaing dengan orang yang kusayangi, hanya karena seorang wanita. Itu menyedihkan. Namun, untuk saat ini aku tak mau mengalah. Apa pun caranya akan kutempuh. Restya harus menjadi istriku,” kata Zio dengan mantap.

Devan tersenyum singkat. Meski mendapat tatapan dari Zio begitu tajam bak belati. Apalagi, perkataan Zio yang begitu terdengar dingin. Lelaki itu memahami satu hal kalau Zio sebenarnya menaruh rasa pada Restya. Namun, lelaki itu hanya gengsi atau mungkin takut merasakan sakit yang sama saat kehilangan Elina.

Devan memang kagum dengan Restya, tetapi bukan cinta. Ia hanya mempermainkan Zio agar lelaki itu segera sadar akan perasaannya sendiri.

“Dokter, tidak boleh berkata seperti itu. Saya bukannya kagum tetapi malah takut,” sahut Restya yang berdiri tak jauh dari kedua lelaki itu yang asyik berdebat, tanpa menyadari kedatangannya. Perempuan itu tadi tak jadi pergi meninggalkan Zio karena mengingat sesuatu. Ia kembali malah menyaksikan Zio dan Devan berdebat.

Zio langsung berbalik arah dan mendapati Restya tengah berjalan ke arahnya dengan kedua tangan dimasukkan ke masing-masing sakunya. Ia tak menyangka, kalau Restya kembali lagi. Dia takut Restya malah marah mendengar ucapannya kepada Devan.

“Dok, saya--”

“Saya tahu Anda bercanda. Namun, jangan seperti itu. Saya tidak suka,” potong Restya dengan nada santai. Meski, ia tahu kalau Zio tidak sedang bercanda.

“Sore, Dokter Restya,” sapa Devan untuk mengalihkan ketegangan.

Restya tersenyum.

“Sore, Dok,” balas Restya ramah.

“Dokter Restya dengan Zio ternyata sudah mengenal lama, ya,” kata Devan basa-basi.

“Tidak juga. Saya hanya pernah bertemu beberapa kali dengan Dokter Zio sebelum bekerja di rumah sakit ini. Pertama, kalau enggak salah waktu natal. Saya melihat Dokter Zio sedang berbicara penting dengan seorang wanita, lalu perempuan itu pergi meninggalkan Dokter Zio dengan seorang pria. Kalau enggak salah itu Elina sama saudara kembar Dokter Zio,” ingat Restya kepada kejadian beberapa waktu lalu.

Zio hanya terdiam. Di dalam hati, ia mengatakan tidak. Dia memang mengenal Restya. Bukan dimulai beberapa tahun lalu, tetapi belasan tahun lalu. Ketika dia belum mengenal Elina. Ia menyukai Elina karena memiliki beberapa kesamaan dengan Restya. Ceria, baik, sederhana, apa adanya dan terlalu cuek dengan penampilan. Selebihnya jauh lebih baik Restya daripada Elina. Elina itu ceroboh dan pemalas. Beda sekali dengan Restya yang penuh dengan semangat. Namun, sayangnya tak ada senyuman yang begitu indah yang pernah ia lihat seperti dulu.

 “Saya kira kalian sudah saling mengenal dari lama,” tutur Devan dengan diakhiri senyuman khasnya.

“Emh, Dokter. Boleh saya pinjam Dokter Zio?” ucap Restya pada Devan mengalihkan pembicaraan.

Devan tersenyum, lalu mengangguk. “Tentu, saya duluan. Saya masih ada urusan,” pamit Devan dengan nada ramah. Lelaki itu menepuk bahu Zio pelan sebelum pergi.

Zio masih terdiam. Ia bingung hendak bicara apa. Dia takut salah mengucap dan Restya marah lagi.

Restya langsung menarik tangan Zio.

“Ayo, Dok. Antar saya pulang. Sudah malam. Kakak saya tidak jadi jemput,” kata Restya dengan nada serius.

Zio yang terdiam, langsung mengangguk. Matanya teralihkan kepada tangan Restya. Dia heran kenapa perempuan itu menariknya. Namun, ia penasaran di mana bunga yang dibawa wanita itu tadi.

“Bunganya di mana, Dok?” tanya Zio pada akhirnya karena penasaran.

“Dibuang,” jawab Restya santai.

Zio mengernyit. Aneh, pikirnya. Ia kira Restya masih merindukan mantan kekasihnya.

“Kenapa dibuang?”

Restya menghentikan langkahnya.

“Sesuatu yang tidak berarti, kenapa harus disimpan? Lagi pula, calon suami saya pasti tidak suka kalau saya menerima bunga dari pria lain,” terang Restya asal. Padahal dalam hati, ia masih berharap kenangan masa lalu bisa diulang kembali. Namun, hatinya sudah terlanjur terluka. Ia terus menepis semua rasanya untuk pria itu. Menghapusnya walau masih ada berbekas. Dia tak mau tersakiti lagi.

Restya yang hangat, ceria, penuh senyuman dan penuh warna seperti pelangi, kini sudah mati. Hatinya membeku seperti kristal salju. Begitu dingin.

Zio tersenyum mendengar jawaban Restya. Ia memang tak tahu apa itu jawaban sejujurnya atau tidak. Namun perkataan Restya yang mengatakan, kalau dia melakukan hal tersebut agar suaminya tak marah, membuat Zio bahagia. Secara tak langsung Restya mengatakan kalau dia melakukan itu untuk pria ini.

“Kenapa senyum seperti itu?” tanya Restya dengan tatapan heran.

“Terima kasih, Dok. Sudah memikirkan perasaan saya,” kata Zio dengan nada sumringah.

Restya menatap Zio dengan senyuman masam.

“Percaya diri sekali. Saya melakukan itu menjaga perasaan Dokter Devan,” gurau Restya dengan nada tegas. Ekspresinya dibuat seserius mungkin. Ia menatap Zio dengan lekat. Dalam hati dia ingin tertawa melihat raut wajah murung Zio yang begitu lesu.

“Ahh, saya di-PHP. Ternyata Dokter memilih Dokter Devan. Saya terluka, Dok,” ungkap Zio sambil memegang dada dengan tangan kiri karena tangan kanannya masih digenggam Restya.

“Biarin. Suruh siapa, Dokter kekanakan? Jadi, saya memilih Dokter Devan saja. Dokter pengecut, masa mengancam teman sendiri, hanya karena wanita. Seharusnya Dokter percaya diri. Tindakan Dokter itu juga menunjukkan, kalau Dokter tidak percaya kepada saya,” cibir Restya dengan nada santai.

“Maksudnya?”

“Saya itu sudah memberikan kesempatan untuk Dokter. Mana mungkin saya memberikan kesempatan kepada orang lain. Kecuali kalau Dokter melakukan kesalahan. Maka saya boleh menolak Dokter,” kata Restya dengan santai.

“Jangan lakukan hal konyol seperti itu lagi, Dok,” lanjut Restya dengan nada tegas.

“Maafkan saya. Saya hanya takut kalau Dokter memilih Devan. Saya tahu kalau dibandingkan dengan dia, saya tidak ada apa-apanya. Saya selalu melukai Dokter. Saya tidak bermaksud seperti itu,” lirih Zio dengan nada rendah.

Restya mengangguk. “Dokter memiliki banyak kelebihan, kok. Cuma sifat menyebalkannya saja yang tidak pernah berubah. Kalau dulu, Dokter selalu menggangu saya dengan kata-kata gombalan tidak mutu. Kalau sekarang, suka mengatakan kata-kata pedas kepada saya. Tadi juga, tambang dibawa-bawa,” kesal Restya dengan raut wajah dingin.

Zio malah terkekeh. “Anti mainstream, Dok. Rantai. Ngomong-ngomong, saya tidak pernah menggombali Dokter sebelumnya,” balas Zio curiga.

“Tidak usah amnesia. Dulu setiap saya ketemu Dokter, pasti Dokter punya banyak rayuan yang diutarakan.”

“Maksudnya? Dokter tahu siapa saya?”

Restya memutar bola matanya jengah. “Tahulah. Anaknya Dokter Arvano Steven Gabrilio sama Nyonya Fransisca Fernandez.”

“Bukan. Maksud saya Dokter tahu kalau sebenarnya, dulu kita saling mengenal?”

“Dulunya kapan? Saya hanya tahu nama Dokter. Apa itu bisa dinamakan kenal? Kalau memang iya, anggap saja begitu.”

“Kapan kita pertama kali bertemu?”

“Natal, kan?”

“Bukan. Dokter tidak ingat. Ya sudah. Lupakan.”

“Valentine, Dok. Dokter lari karena mengerjai sepupu Dokter dan menabrak saya.”

Mata Zio membelalak begitu sempurna. Ia mencoba memastikan pendengarannya. Salah atau tidak. Restya, gadis bakungnya yang mempunyai senyum semanis cokelat, mengingat pertemuan mereka. Dia tak menyangka perempuan yang hatinya telah membeku ini akan mengingatnya.

Restya menjentik jemarinya di depan wajah Zio. Lelaki itu langsung mengedipkan matanya. Kembali ke kenyataan yang ada. Begitu lelaki itu tersadar, Restya menurunkan tangannya. Dia menatap Restya lekat yang hanya memasang raut wajah datar.

“Jadi, Dokter ingat siapa saya?” tanya Zio memastikan.

Restya mengangkat sebelah alis, mengedipkan mata lalu tersenyum sekilas.

“Ya, saya ingat,” balas Restya santai.

“Sejak kapan?”

“Baru saja.”

Zio mengerutkan dahi. Baru saja merasa senang kalau perempuan itu tak melupakannya. Namun, nyatanya tidak. Restya tak menyimpan namanya di memori maupun hatinya. Entah kenapa lelaki ini menjadi merasa kesal dan kecewa. Padahal, awalnya juga dia tidak tahu kalau Restya adalah si gadis bakung yang penuh warna seperti pelangi dan begitu ceria. Tidak seperti sekarang. Dingin bak kristal salju di musim dingin. Tak mudah mencair.

Restya mengamati Zio saksama, dia paham kalau lelaki itu kebingungan sekarang.

“Dokter, saya pikir Dokter Restya tidak akan mengenali saya. Lalu, kenapa Dokter bisa mengenali saya barusan?” kata Zio dengan nada lirih.

“Tadi kan saya dengerin pembicaraan Dokter. Kalau dipikir-pikir, pertama kali kita bertemu di hari natal itu tidak mungkin,” ungkap Restya dengan nada datar.

“Maksudnya?”

Restya terdiam. Dia enggan menjawab pertanyaan Zio. Sementara lelaki itu paham akan maksud Restya. Perempuan yang ia temui di hari natal, bukan gadis bakungnya. Gadis bakungnya berubah menjadi hydrangea biru, perlambang hati yang dingin. Tak mudah tersentuh.

Restya yang dulu Zio kenal memang cantik, semakin hari semakin menawan. Apalagi, senyuman yang menenangkan hati yang selalu terpartri di bibirnya. Namun, bukan keindahan fisik yang ia damba dan rindu dari sosok Restya. Tawanya, yang selalu menggetarkan hatinya.

“Sudah, Dok. Kita lupakan. Sudah malam. Ayo pulang,” bujuk Restya seraya menarik tangan Zio.

“Iya, kalau Dokter Restya ingin cerita suatu hal, saya siap mendengarkan,” kata Zio dengan nada serius. Meski dia masih penasaran akan banyak hal tentang Restya. Namun, ia tahu kalau tak sepatutnya dia memaksa perempuan itu untuk mengorek informasi lebih dalam.  Dia tak mau Restya merajuk.

“Iya, Dokter. Saya lapar, mampir rumah makan dulu boleh?” tanya Restya tanpa menoleh ke arah Zio.

“Iya, mau makan di mana?”

“Terserah.”

***

Suasana pengunjung rumah makan sederhana yang disinggahi Zio dan Restya lumayan sepi, karena mau tutup. Restya memakan supnya dengan lahap, membuat Zio tersenyum. Ia merasa senang bisa melihat setiap aktivitas Restya secara langsung. Dia rindu setiap apa saja yang dilakukan perempuan itu.

“Enak, Dok?” tanya Zio lembut.

Restya tersenyum seraya mengangguk.

“Saya pikir putri bangsawan tidak mau makan di rumah makan sederhana seperti ini,” goda Zio dengan nada serius. Lelaki ini masih saja menggoda perempuan itu di saat seperti ini.

Restya menajamkan penglihatan, menatap Zio. Membuat Zio langsung menunduk seraya berdoa dalam hati agar Restya tak murka. Dia pikir, Restya akan mendebat, tetapi dugaannya salah.

“Maaf, Dok. Saya tidak bermaksud menghina Dokter Restya. Cuma bercanda,” lirih Zio dengan nada penuh sesal.

Restya tersenyum.

“Dokter pikir, anak bangsawan cuma bisa makan di restoran mewah? Kalau di tempat pelosok, apa ada restoran mewah? Kalau tidak makan, ya mati dong,” balas Restya dengan nada santai.

“Iya, maaf.”

Restya semakin tersenyum lembar.

“Tidak usah minta maaf. Saya tahu, Dokter Zio memang suka menggoda seperti itu. Boleh saya tanya, kenapa Dokter selalu menggoda saya dengan sebutan putri bangsawan?” tanya Restya penasaran.

“Saya bingung dengan Dokter. Dokter yang dulu saya kenal, begitu lembut seperti sutra. Senyumnya manis bak cokelat. Namun, sekarang Dokter berbeda. Begitu beku seperti kristal salju. Apakah itu karena Dokter anak pengusaha? Jadi, sekarang harus ini-itu. Menjaga sikap dengan hati-hati,” kata Zio apa adanya.

Restya merenung sejenak. Ia paham kalau ia sekarang begitu jauh dari kata ceria. Kutub-kutub di hatinya tertutup rapat. Perempuan ini terus mengubur kebiasaannya yang melekat di masa lalu. Membunuh karakter yang menurutnya mudah diremehkan. Ia ingin kuat seperti baja, bukan seperti plastik yang sekali diremas akan tak berbentuk.

“Orang itu harus berubah seiring dengan perkembangan zaman. Dokter pun sama. Dokter juga berubah,” sahut Restya santai, tanpa pikir panjang.

“Iya, tapi itu aneh. Saya berubah bagian yang mana?”

“Dokter yang saya kenal itu selengekan dan genit. Baguslah sekarang tidak seperti dulu. Kalau tukang tebar pesona, sepertinya masih. Buktinya bisa berkencan dengan banyak model,” cibir Restya dengan nada sinis.

Zio menyugar rambutnya.

“Enggak, Dok. Sumpah saya enggak pernah kencan sama model. Masih aja dicurigain. Dok, saya emang dari dulu begini. Selengekan itu karena saya baca buku kalau mau dapatin hati wanita yang ceria cocoknya berperilaku seperti itu. Bukannya genit, tapi saya enggak bisa ngungkapin perasaan. Cara merayu yang baik aja bingung,” ungkap Zio apa adanya.

Restya dalam hati ingin menertawakan Zio. Dia hanya menemukan satu pria yang selalu bicara apa adanya seperti Zio. Entah begitu naif atau bodoh.

“Tidak usah membaca buku, apalagi browsing. Kadang sesat. Lebih baik tanyakan langsung pada sang perempuan maunya apa, kriterianya seperti apa?”

“Perempuan enggak langsung ngaku. Mereka banyak kode-kode. Nanti kalau enggak paham, dibilang enggak peka. Perempuan selalu benar. Yang amatir kayak saya harus gimana, kalau mau mendapatkan hati perempuan? Saya bingung sendiri.”

“Menjadi diri Dokter sendiri saja, kalau cinta dan setia tidak akan melihat kekurangan dari pasangannya. Cukup Dokter menyayangi dan mengasihi perempuan itu dengan tulus. Menjaga dan tak melukai hatinya. Niscaya perempuan itu nyaman,” jawab Restya dengan tulus.

“Dokter Restya, boleh saya minta sesuatu?” ujar Zio ragu.

“Apa?” Restya mengernyit.

“Saya mau minta Dokter untuk--”

Zio ragu untuk melanjutkan kalimatnya. Ia takut Restya tidak menyukai permintaannya. Restya semakin bingung.

“Dokter mau minta apa?”

“Tapi Dokter Restya jangan marah, ya? Saya takut Dokter Restya marah.”

“Tergantung. Dokter mau minta apa dulu?” tanya Restya lembut.

“Boleh enggak kalau di luar pekerjaan, kita manggilnya jangan Dokter. Biar deket. Saya boleh kan, cuma panggil nama kamu saja?” tanya balik Zio dengan hati-hati.

Restya tersenyum seraya mengangguk. Ia pikir apa. Ternyata hanya hal sekecil itu. Tidak masalah untuknya.

“Terus saya panggilnya apa? Kalau sebut nama saja, tak sopan, kan? Saya lebih muda dua tahun dari Dokter,” ujar Restya dengan nada datar.

“Panggil Kak. Syukur-syukur, Sayang,” sahut Zio dengan semangat.

Restya terkekeh.

“Saya panggil Sayang kalau Kak Zio resmi jadi suami saya. Itu pun kalau kita akhirnya menikah,” balas Restya sekenanya.

Zio mengangguk. Ia menatap manik mata teduh itu. Kemudian, dia ambil tangan mungil Restya. Sontak perempuan itu mengalihkan pandangannya ke arah Zio.

“Res, saya ini serius. Apa tidak ada cara lain, supaya saya bisa meminang kamu secepatnya? Usia kita juga tak lagi muda. Kamu enggak punya keinginan untuk punya anak secepatnya, kah?” Zio semakin mempererat genggaman tangannya.

Restya mencoba tetap tersenyum. Wanita mana yang tak ingin menikah dan punya anak? Dia sudah mendambakan hari di mana ada seorang bayi menangis yang keluar dari rahimnya. Namun, semua baginya hanya mimpi. Masa lalu yang menyakitkan membuatnya takut membina hubungan yang baru. Ia takut kalau semua hanya akan menjadi ilusi. Sampai saat ini, hatinya masih meragu untuk memberikan tangannya kepada seorang pria untuk digenggam menuju altar. Dia pernah dekat dengan seorang pria, tetapi ternyata sama saja. Lelaki itu tak lebih baik dari mantan kekasihnya.

“Tentu, saya ingin punya anak, tapi saya harus pintar memilih calon suami, bukan? Saya enggak mau terburu-buru karena pernikahan itu bukan permainan,” terang Restya santai.

“Kapan kamu memilih? Selama ini, saya hanya melihat kamu yang sibuk bekerja. Belum waktunya kerja, kamu sudah berkutat dengan berkas pasien. Nanti jadi perawan tua loh,” kata Zio dengan nada lembut.

“Saya sudah memilih, kok. Kan saya sudah memilih Kak Zio.”

“Itu kan memilih jadi calon suami dan statusnya masih negatif kata kamu. Kalau saya udah berusaha terus, nanti kalau saya tetap ditolak bagaimana? Terus saya nikah sama siapa?”

“Kak, Tuhan sudah menggariskan jodoh setiap umatnya. Kalau Kak Zio baru umur empat puluh ketemu jodohnya. Siapa yang tahu,” balas Restya santai.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status