MasukSatu jam berlalu sejak Theo mulai menjelaskan materi, tapi Alexa sudah lebih dulu menyerah. Tubuhnya jatuh setengah malas ke atas meja, pipi menempel pada buku catatan yang isinya pun tidak ia pahami.
Sementara itu, Theo tetap fokus. Dengan posisi setengah membelakanginya, pria itu sibuk menjabarkan rumus-rumus panjang di papan tulis. Dari celah lengannya, Alexa mengintip, lalu tanpa sadar mulai menirukan gerakan bibir Theo, seolah mengejek. "Kau tidak lelah?" tanya Alexa tiba-tiba, suaranya terdengar manja sekaligus jengah. Theo menoleh sebentar, lalu menatap jam tangannya. Jarum pendek hampir menyentuh angka sepuluh. "Kau bisa istirahat. Besok sebelum pukul tujuh, kau harus sudah siap ke sekolah." Alexa memutar bola matanya, ingin membantah. Namun sebelum sempat berkomentar, Theo meraih buku catatan di depannya. Alis tebal pria itu terangkat tinggi ketika melihat hasil kerja Alexa selama satu jam terakhir. Ketukan ringan sebuah pulpen mendarat di kepala Alexa. "Aw!" pekiknya, sambil mengusap rambutnya. "Satu jam penuh, dan dari lima soal, hanya satu yang kau kerjakan dengan benar. Selebihnya… apa ini?" Theo menunjuk lembaran penuh coretan tak jelas. Alexa hanya menyunggingkan senyum kaku, lalu bangkit berdiri. "Kau bilang aku boleh istirahat. Jadi… selamat malam." Nada suaranya dibuat seenaknya, jelas ingin membuat Theo jengkel. Theo menatap tajam. "Aku menyuruhmu mengerjakan tugas, bukan menggambar monster aneh di bukumu." Alexa menghentikan langkahnya, berbalik perlahan dengan nafas panjang. "Paman, biarkan aku bernafas. Ini baru hari pertama aku tinggal di rumahmu, dan kau sudah menjejalkanku dengan rumus-rumus memusingkan. Aku bahkan belum sempat mengenal siapa orang yang kini harus kuhadapi setiap hari." Ia melangkah lebih dekat, menengadah menatap Theo yang tubuhnya menjulang kokoh, bayangannya saja sudah membuat Alexa seakan terperangkap. Senyum licik muncul di wajahnya, dibuat semanis mungkin. "Selamat malam, Paman," ucapnya menggoda, lalu berbalik meninggalkan ruang baca tanpa menoleh lagi. Theo hanya bisa menghela nafas panjang. Pandangannya jatuh kembali pada buku di meja, halaman penuh coretan gambar abstrak yang jelas bukan bagian dari pelajaran. "Pantas saja Nyonya Roselinda hampir putus asa mendidik putrinya sendiri," gumamnya pelan, sebelum menutup buku itu dengan gelengan kepala. ** Alexa merebahkan tubuhnya di ranjang baru, berguling ke kanan dan kiri, mencari posisi paling nyaman. Tempat tidur itu empuk, sprei bersih, dan bantalnya wangi. Tidak ada yang salah, kecuali kenyataan bahwa ia harus tidur di rumah asing, milik pria yang baru saja ia kenal semalam. "Apa sebenarnya hubungan Ibu dengan Paman Theo?" gumam Alexa lirih. Ibunya pernah mengatakan keluarga Theo dekat dengan keluarga Moore. Tapi anehnya, selama hampir sembilan belas tahun hidup, Alexa tak pernah sekalipun mendengar nama Theo ataupun keluarganya. Ia mendengus kesal, lalu bangkit ketika melihat jam sudah lewat pukul sebelas malam. Rasa kantuk sama sekali tak menghampiri. Dengan langkah malas, ia menuju dapur. Begitu pintu kulkas dibuka, matanya terbelalak melihat berderet stok makanan memenuhi rak. Tanpa pikir panjang, ia meraih satu kotak anggur dan menutup pintu. Namun baru saja pintu kulkas tertutup, Alexa terlonjak kaget. "Shit! Kau mengagetkanku!" pekiknya keras. Theo berdiri tegak di sampingnya, tubuh besar pria itu seolah menelan ruang sempit dapur. Ia menoleh sekilas ke arah jam dinding. "Jam segini, dan kau masih belum tidur?" suaranya terdengar tenang tapi mengandung teguran. "Aku cuma ingin makan. Kenapa kau repot-repot mengatur hidupku?" gerutu Alexa, lalu berjalan ke ruang tamu dengan kotak anggur di tangan. Ia menjatuhkan diri di sofa, meletakkan kaki ke atas, dan memangku kotak anggur sambil mulai memakannya. Theo menyilangkan tangan di dada, berdiri sambil menatap tajam gadis itu. Merasa diperhatikan, Alexa meliriknya sekilas. "Kau teman ibuku, ya?" tanyanya, nada suaranya datar. "Hanya sebatas rekan kerja," jawab Theo akhirnya, lalu ikut duduk di kursi tak jauh dari sofa. Alexa memiringkan kepala, menyipitkan mata. "Jangan bilang kau pria simpanan ibuku." Theo menghela nafas panjang, nada suaranya sedikit berat. "Sepertinya kau butuh menyucikan pikiranmu, Alexa. Aku dan ibumu tidak punya hubungan lain, selain urusan bisnis keluarga yang sudah berlangsung lama." Alexa mengangguk-angguk, seolah puas dengan jawaban itu, sambil terus menyuapkan anggur ke mulut. "Kalau begitu, berapa umurmu, Paman? Kau terlihat tak jauh beda dengan Ibu. Apa kalian seumuran?" "Tidak. Kami terpaut delapan tahun." "Aah… Ibu sekarang berusia empat puluh. Jadi, kau tiga puluh dua?" tebak Alexa cepat. Theo menatapnya sebentar. "Hampir menginjak tiga puluh tiga." Alexa mengangguk lagi sambil tersenyum nakal. "Pantas. Tapi kenapa Paman belum menikah?" Theo akhirnya berdiri, jelas tak ingin melanjutkan interogasi konyol itu. "Kau sudah terlalu banyak bertanya. Setelah makan, segera tidur. Kalau tidak, aku sendiri yang akan menyeretmu ke sekolah besok pagi." Alexa hanya terkekeh, pura-pura tidak peduli, sementara Theo berjalan pergi dengan langkah tegap, meninggalkan atmosfer dingin sekaligus aneh yang masih menggantung di ruang tamu. Setelah menghabiskan hampir setengah kotak anggur, Alexa beranjak menuju kamar. Namun langkahnya terhenti begitu melihat Theo berdiri di balkon, membelakanginya. Asap tipis mengepul dari ujung rokok yang terjepit di bibir pria itu, melayang bersama angin malam. Pelan, Alexa mendekat lalu berhenti di ambang pintu. Theo sadar akan kehadirannya, tapi sengaja tak menoleh, seakan membiarkan Alexa menatap punggungnya. Dari balik bahu Theo, Alexa memperhatikan setiap kepulan asap yang ia hembuskan. "Tubuhnya… benar-benar proporsional," batin Alexa, matanya menelusuri garis bahu kokoh hingga pinggang ramping yang hanya terbalut kaos abu-abu tipis dan celana panjang. Perbedaan tinggi dan postur itu sering membuatnya merasa kecil, bahkan terintimidasi, di hadapan Theo. Tanpa pikir panjang, Alexa membuka mulut. "Paman bukan seorang gay, kan?" celetuknya tiba-tiba. Theo terhenti. Rokok di bibirnya nyaris jatuh karena kaget oleh pertanyaan itu. Namun dengan gerakan terkendali, ia menekan bara rokok ke asbak di meja sebelah, lalu perlahan berbalik menghadap Alexa. Alisnya terangkat tipis. "Mengapa kau begitu ingin tahu hal pribadiku?" tanyanya tenang, tapi tatapannya menusuk. Alexa mengedikkan bahu santai. "Karena paman belum menikah. Biasanya pria di umurmu sudah berkeluarga." Theo menunduk sedikit, suaranya berat. "Belum menikah bukan berarti aku gay." Ia melangkah maju, menekan telapak tangannya pada dinding di sisi Alexa. Aroma asap rokok bercampur parfum maskulin langsung menyerbu hidung gadis itu, jarak mereka kini begitu dekat. "Aku pria normal. Jadi tak perlu meragukanku… kecuali kau mau membuktikannya sendiri." Alexa terkekeh kecil, pura-pura tak gentar. "Apa paman suka anak di bawah umur? Jangan bilang kau pedofil," ejeknya setengah berani, setengah gugup. Senyum miring terbit di bibir Theo. Ia condong lebih dekat, sampai suaranya berbisik tepat di telinga Alexa. "Bagaimana kalau aku katakan… itu benar?" Mendengar itu, mata Alexa seketika membelalak kaget.Dengan hanya mengenakan celana renang pendek, tubuh Theo masih memancarkan kelembapan dari air kolam. Rambutnya yang basah menempel di dahi, meneteskan air yang mengalir di sepanjang lekuk tubuh atletisnya yang terpahat sempurna. Dari balik kacamata hitamnya, Alexa mengamati setiap gerakan pria itu, tubuh yang semalam mengguncang dunianya, membuatnya menjerit dalam kenikmatan yang memalukan. Meski tahu itu Theo yang sama, Alexa masih bertanya-tanya dalam hati, apa yang membuat pria yang selalu terkendali ini akhirnya melepas semua kendali? Apakah karena permintaannya yang blak-blakan? Ataukah Theo memang sudah mencapai batas kesabarannya? Bayangan pagi tadi di kamar mandi kembali menghantuinya. Wajah Alexa memerah. Dia tak pernah menyangka bisa begitu liar, Theo berhasil memicu adrenalinnya hingga seperti kucing yang sedang birahi. "Apa yang kau pikirkan?" tanya Theo tiba-tiba, duduk di kursi santai di sebelahnya sambil mengambil segelas jus jeruk. "Paman pemain yang hebat," sahut
Ruangan yang temaram seakan menyulut api gairah di antara dua insan yang terbuai dalam dekapan hangat ranjang. Ciuman-ciuman kasar dan penuh nafsu mengubah udara di sekeliling mereka menjadi panas dan sesak, seiring dengan satu per satu helai pakaian Alexa yang terlepas dan terlempar tak beraturan di lantai. Dengan gerakan penuh kuasa, Theo membalikkan tubuh gadis itu, mengambil alih kendali sepenuhnya. Nafas Alexa tersengal-sengal, matanya berkaca-kaca menatap Theo yang terlihat begitu berbeda malam ini. Pria yang biasanya tenang dan terkendali itu kini berubah menjadi sosok liar dan agresif, seolah semua batasannya runtuh dalam gelora nafsu yang tak terbendung. Ciuman-ciumannya yang membara bergerak turun dari lekuk leher, membasahi setiap inci kulit Alexa, dari dada yang bergairah, perut yang bergetar, hingga pinggang yang meliuk-liuk, meninggalkan jejak basah yang membuat Alexa merintih lemah. "Paman..." desahnya, suara parau penuh hasrat. Tapi Theo tak peduli. Dengan gerakan pe
Nafas Alexa masih tersengal-sengal, bibirnya terasa hangat oleh bekas ciuman Theo yang baru saja terjadi. Dalam-dalam, seluruh tubuhnya berteriak untuk menyerah, untuk tenggelam lebih dalam dalam momen itu. Tapi ingatan akan malam memalukan itu menyergapnya bagai air pasang, bayangan Theo yang mendorongnya pergi tepat di puncak keintiman mereka. "Tidak," desisnya pada dirinya sendiri, suaranya gemetar. "Aku tidak akan membiarkan diriku dipermalukan untuk kedua kalinya." Dengan sekuat tenaga, dia mendorong dada Theo, memutuskan kontak yang membuatnya nyaris kehilangan akal. "Cukup, Paman," ujarnya, menunduk agar Theo tidak melihat mata yang pasti penuh kerinduan. Sebelum Theo bisa berkata-kata, Alexa sudah berbalik dan pergi dengan langkah cepat. Kali ini, Theo tidak mengejar. Sebuah senyum kecil muncul di bibirnya, dia tahu Alexa sedang melarikan diri, tapi bukan karena tidak ingin. Gadis itu hanya takut kehilangan kendali lagi. "Dia begitu... menggemaskan," gumam Theo, menyaksik
Matahari Miami bersinar tajam, memantulkan kilau emas di atas pasir putih. Pantai dipenuhi wisatawan yang ingin membakar kulit mereka menjadi coklat keemasan, dan Alexa adalah salah satu di antaranya.Hari keduanya berlibur sendirian. Tidak ada Felix, tidak ada Gio, tentu saja… tidak ada Theo. Hanya dirinya, laut biru, dan kebebasan.Alexa berbaring sambil tertawa kecil ketika menonton video lucu di ponselnya. Rambutnya sedikit berantakan karena angin pantai, tapi justru itu membuatnya terlihat semakin natural dan memikat.Hingga bayangan seorang pria menutupi cahaya matahari di wajahnya.“Hey, want to try surfing?” suara pria itu hangat, santai, jelas-jelas tipe surfer lokal yang mudah akrab dengan siapa saja.Alexa menurunkan kacamatanya, menatap pria itu sebelum tersenyum kecil. Ia bangkit, meraih rambut panjangnya dan menyibakkannya ke belakang bahu.“Ya, kebetulan aku—”Kalimat itu tidak pernah selesai.Tiba-tiba sebuah tangan kuat melingkari pinggangnya dengan posesif, membuat t
“Jujur saja, peningkatanmu dalam belajar itu melonjak drastis,” komentar Felix sambil meletakkan satu kaleng minuman di depan Alexa dan Gio. Ia lalu ikut duduk, menyandarkan punggung santai. “Dulu peringkatmu… yah, kita semua tahu kondisinya. Tapi sekarang? Kau membuktikan kalau diri sendiri tidak boleh diremehkan.” Gio mengangguk, senyumnya tulus. “Aku sempat kira aku salah lihat hasilnya. Nilaiku saja dibuat minder kalau dibandingkan lonjakanmu.” Alexa hanya tersenyum tipis, memainkan ujung kalengnya. “Aku perlu mengubah beberapa hal dalam hidupku. Kalau ingin mencapai tujuan, ya… harus serius.” Nada suaranya pelan, tapi tegas. “Selama perubahan itu ke arah yang benar, kami selalu dukung,” sahut Felix, memantapkan ucapan Gio. “Bagaimana kalau kita rayakan saja? Tidak perlu mewah,” usul Gio. Felix menatap Alexa, siap mengikuti keputusan apa pun. Namun Alexa terlebih dulu menggeleng. “Tidak perlu. Sore nanti aku harus bekerja. Tidak ada waktu.” “Kalau begitu… ulang tahunmu nanti,
Tidak ada balasan apa pun dari Alexa. Nafas gadis itu tersengal, air matanya jatuh satu per satu tanpa ia sadari. Theo yang masih memeluknya setelah ciuman singkat yang kacau barusan, perlahan menarik diri. Jemari pria itu terulur, menyapu air mata di pipi Alexa dengan lembut, terlalu lembut untuk seseorang yang selama ini menjaga jarak. Namun Alexa menepis tangannya. Tidak keras, tapi cukup tegas untuk membuat Theo membeku. “Jangan…” suara Alexa bergetar. “Jangan membuatku berharap lebih darimu, Paman.” Ia menunduk, kepalanya tertutupi rambut yang berantakan, seolah bersembunyi dari tatapan Theo. “Aku hanya seseorang yang kau anggap anak kecil. Aku tidak menarik untuk orang seperti paman.” Theo terdiam. Nafasnya terdengar berat, seperti menahan sesuatu yang tidak bisa ia jelaskan. “Maaf,” ujar Theo akhirnya, lirih, namun jelas menusuk. “Aku tidak pernah berniat mempermainkanmu.” Alexa menegakkan kepala seketika, menatap Theo dengan mata yang masih basah. “Tidak mempermainkanku?







