Share

Bab 3

Penulis: SILAN
last update Terakhir Diperbarui: 2025-09-29 08:47:14

Theo baru saja membawa dua buku dari kamarnya menuju ruang baca, bersiap memulai pelajaran pertama untuk Alexa. Namun langkahnya terhenti begitu suara deru motor terdengar dari luar.

Dengan langkah cepat, ia membuka pintu, dan matanya langsung menangkap sosok Alexa yang kabur, membonceng di belakang seorang pemuda dengan motor sport.

Theo mendengus pelan, bibirnya meliuk tipis. "Aku rasa ujian kesabaranku dimulai lebih cepat dari yang kuduga."

Motor yang ditumpangi Alexa berhenti di sebuah area balapan liar. Sorak-sorai anak muda, bau bensin bercampur asap knalpot, dan cahaya lampu jalan yang temaram membuat suasana sore menjelang malam itu mendidih.

Alexa melepaskan helmnya dan menyerahkannya pada pengendara, Felix, sahabatnya sekaligus pembalap malam itu.

"Kenapa sekarang kau tinggal di tempat lain, Lexa?" tanya Felix, menatapnya penuh selidik.

Alexa menoleh, nada suaranya penuh nada menantang. "Aku diusir dari rumah oleh ibuku. Sekarang aku harus tinggal di rumah itu demi mengejar nilai yang tertinggal. Tapi tentu saja aku tidak akan melewatkan pertandinganmu melawan Marco malam ini."

Felix menggeleng sambil tersenyum tipis, seolah sudah terbiasa dengan keras kepala Alexa.

Tak lama, seorang lelaki lain datang menghampiri. Dylan, kekasih Alexa, lelaki itu langsung merangkul pinggangnya dengan posesif, lalu mengecup wajahnya tanpa peduli pada tatapan orang sekitar.

"Aku tidak melihatmu sejak kemarin. Pesanku pun tak kau balas. Ada apa?" tanya Dylan penuh curiga.

"Tidak ada apa-apa," jawab Alexa santai. "Jadi, jam berapa pertandingannya dimulai?"

"Sebentar lagi," sahut Dylan, melirik rekan-rekannya yang bersiap di garis start.

Suara riuh penonton semakin membesar. Alexa dengan penuh kebanggaan, berdiri di depan para pembalap sambil memegang scarf. Dialah yang akan memberi tanda dimulainya balapan. Saat scarf itu melayang ke udara, tiga motor melesat kencang, menyalakan adrenalin semua yang menonton.

"FELIX, KAU PASTI MENANG!!" teriak Alexa, suaranya menyatu dengan gelombang sorakan lainnya.

Namun, di tengah euforia itu, pandangan Alexa mendadak terpaku. Di sisi jalan, sebuah mobil hitam berhenti. Seseorang bersandar pada bodi mobil dengan tangan terlipat, Theo berdiri, tatapannya lurus ke arah Alexa.

Darah Alexa seolah berhenti mengalir. "Sial… bagaimana bisa dia tahu aku ada disini?!"

Ia menelan ludah dengan gugup, pandangannya bergantian antara teman-temannya yang asyik bersorak dan Theo yang kini memberi isyarat halus agar ia segera menghampirinya.

"Dia benar-benar mengikutiku…" batin Alexa panik, apalagi ketika Theo beranjak masuk ke mobil, jelas berniat menunggunya.

Balapan pun usai. Felix keluar sebagai pemenang, dan langsung menghampiri Alexa yang sudah terlihat gelisah.

"Kau memang tidak pernah mengecewakan," puji Alexa, meski suaranya sedikit terburu-buru.

Felix terkekeh. "Tentu saja. Tapi… apa aku harus meninggalkanmu dengan Dylan sekarang?"

Alexa menggeleng cepat. "Guys, aku harus pergi."

Dylan menatapnya heran. "Kenapa tiba-tiba? Aku bisa mengantarmu pulang seperti biasa, sayang."

Alexa kembali menggeleng. Ia tak bisa membiarkan Dylan tahu tentang Theo. Itu hanya akan memicu masalah besar, bahkan bisa sampai ke telinga orang tuanya. Dan jika itu terjadi… statusnya sebagai pewaris keluarga Moore bisa benar-benar terancam.

"Tak perlu. Supir sudah menjemputku," katanya berbohong, tersenyum tipis untuk meredakan kecurigaan Dylan.

Felix hanya mengangguk. "Baiklah. Beri kabar kalau kau sudah sampai."

"Ya, tentu. Aku pergi dulu." Alexa bergegas, melangkah cepat menuju mobil hitam yang menunggu di tepi jalan.

Ia membuka pintu samping dan masuk tanpa berani menatap wajah Theo. Sekilas ia menangkap ekspresi dinginnya, tenang, tapi menakutkan.

Mobil melaju, meninggalkan kerumunan yang masih bersorak. Di dalam kabin, hening terasa mencekik. Sesekali Alexa menelan ludah, tubuhnya kaku, sementara atmosfer yang dibawa Theo membuat udara di dalam mobil seolah membeku.

Setibanya di kediaman Theo, pria itu tidak bicara dan justru mengunci pintu memastikan Alexa tidak kabur lagi.

"Bagaimana bisa kau tau aku ada disana?" seru Alexa memprotes.

Alih-alih menjawab, Theo justru berkata. "Nilaimu dikurangi lima poin, dan sekarang nilai yang kamu pegang adalah mines."

Alexa mendelik, memutar matanya dengan malas saat melihat bahu Theo. "Apa kau tidak pernah muda? Aku hanya bersenang senang dengan teman-temanku, mengapa kau malah mengganggu kesenangan remaja seperti kami?!"

Langkah Theo langsung berhenti, pria itu memutar tubuhnya perlahan dan Alexa seketika menegang saat Theo melangkah mendekat. Pria itu sedikit mencondongkan bahu ke arah Alexa, sorot matanya tajam dan dingin, tapi beruntung masih tertolong oleh wajahnya yang tampan sehingga tidak membosankan.

"APA?!" ucap Alexa setengah gugup.

Theo kembali berdiri kokoh, tapi matanya masih menatap dengan sorot intimidasi pada Alexa. "Justru karena aku pernah muda, aku tau mana yang harus aku lakukan untuk mendidik orang sepertimu." Ujarnya, lalu menambahkan. "Sekarang kau adalah tanggung jawabku, Nona Alexa. Ibumu menyerahkan dirimu padaku, jangan pikir setelah orang tuamu menitipkan kau disini lalu kau bisa pergi sesuka hati seperti tadi."

Alexa menggertakkan rahangnya, tangannya mengepal untuk menguraikan emosi yang tertanam dalam diri agar tidak meledak saat ini juga.

"Sebaiknya sekarang kau masuk ruang baca, pelajar pertama hari ini tidak bisa di skip, mau atau tidak kau harus mengikuti aturanku selama kau tinggal disini." ucap Theo telak.

Namun bukan Alexa kalau hanya akan diam saja.

"Memang kau siapa mengatur apa yang aku inginkan, kau bukan bodyguard, kau juga bukan orang yang kenal baik denganku!" bantahnya.

Alis Theo terangkat sebelah seperti mengejek. "Coba saja uji kesabaranku kalau kau ingin tau akibatnya saat aku marah." dan setelah itu, Alexa melihat Theo meletakkan kunci rumah di atas meja.

Tanpa pikir dua kali, Alexa melesat merebut kunci tersebut dan berniat untuk melarikan diri kembali. Namun ketika ia baru saja akan membuka knop pintu, tangannya ditarik dan dalam waktu yang terlalu cepat, tubuh Alexa terangkat, melayang begitu saja dan mendarat di sisi bahu Theo seperti sekarung kentang.

"Turunkan aku!" pekiknya, kedua kakinya berusaha menendang, tapi Theo membawa Alexa ke ruang baca tanpa peduli kata protes.

Pria itu baru menurunkan Alexa ke sofa, tangan besarnya menekan bahu sofa disisi Alexa dengan sorot mata dingin.

"Sebaiknya kau patuh, atau aku akan mendisiplinkan dirimu dengan caraku." ucapnya penuh ancaman.

Untuk pertama kalinya, Alexa merasa takut hingga menelan ludahnya dengan susah payah di hadapan seorang pria seperti Theo.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Ruang Panas Bersama Guru Privat   Bab 6

    Theo menuntun Alexa masuk ke ruang perawatan sekolah, lalu menepuk kursi agar gadis itu duduk. Tanpa banyak bicara, ia menyerahkan selembar tisu. "Seka air matamu," ucapnya singkat, nada dinginnya kali ini dibalut ketenangan yang samar-samar menyerupai kepedulian.Alexa menerima tisu itu, berusaha menghapus sisa tangisnya meski suaranya masih bergetar. Ia tahu, ia tidak boleh mengatakan hal sebenarnya, bahwa baru saja ia menyaksikan Dylan, kekasihnya, mencumbu perempuan lain. Itu terlalu memalukan, dan Theo bukanlah orang yang tepat untuk mendengar rahasia itu.Akhirnya Alexa mengangkat tangan kanannya. Punggung dan telapak tangan itu masih merah, bukti tamparan keras yang tadi ia berikan pada Dylan. "Aku… terjepit pintu. Tanganku sakit," bohongnya cepat.Theo menghela nafas panjang, jelas tidak percaya. Wajah yang semula tampak khawatir kini berubah menjadi ekspresi jengah. "Sebaiknya kau lebih hati-hati, Alexa," gerutunya.Ia lalu mengambil kotak es dari lemari kecil di sudut ruang

  • Ruang Panas Bersama Guru Privat   Bab 5

    Alexa sengaja bangun lebih awal, berangkat ke sekolah sebelum Theo sempat membangunkannya dengan cara aneh yang tak pernah ia duga. Setelah percakapan semalam, ada sesuatu yang membuatnya merasa terancam, atau mungkin hanya imajinasinya sendiri."Aku tidak seharusnya takut padanya. Kalau benar dia pedofil, dia tidak akan menargetkan diriku, kan?" batinnya. Namun seketika ia mengumpat dalam hati. "Sialan, tapi tubuhnya memang bagus sekali.""Tubuh siapa?" suara Felix membuatnya hampir melompat dari kursi.Felix meletakkan satu kotak sandwich di hadapan Alexa sambil duduk di bangku sebelahnya.Alexa tersentak kaget, lalu buru-buru menutupinya. "Seseorang yang bikin aku iri," jawabnya seenaknya.Felix menatap curiga, keningnya mengernyit. "Jangan bilang orang yang sekarang tinggal denganmu. Kau bahkan tidak pernah memberitahuku siapa dia. Kenapa bisa tiba-tiba kau tinggal di rumahnya?""Kau pikir aku kenal orang itu sebelumnya?" ketus Alexa sambil menggigit sandwich. "Aku bahkan tidak ta

  • Ruang Panas Bersama Guru Privat   Bab 4

    Satu jam berlalu sejak Theo mulai menjelaskan materi, tapi Alexa sudah lebih dulu menyerah. Tubuhnya jatuh setengah malas ke atas meja, pipi menempel pada buku catatan yang isinya pun tidak ia pahami.Sementara itu, Theo tetap fokus. Dengan posisi setengah membelakanginya, pria itu sibuk menjabarkan rumus-rumus panjang di papan tulis. Dari celah lengannya, Alexa mengintip, lalu tanpa sadar mulai menirukan gerakan bibir Theo, seolah mengejek."Kau tidak lelah?" tanya Alexa tiba-tiba, suaranya terdengar manja sekaligus jengah.Theo menoleh sebentar, lalu menatap jam tangannya. Jarum pendek hampir menyentuh angka sepuluh. "Kau bisa istirahat. Besok sebelum pukul tujuh, kau harus sudah siap ke sekolah."Alexa memutar bola matanya, ingin membantah. Namun sebelum sempat berkomentar, Theo meraih buku catatan di depannya. Alis tebal pria itu terangkat tinggi ketika melihat hasil kerja Alexa selama satu jam terakhir.Ketukan ringan sebuah pulpen mendarat di kepala Alexa. "Aw!" pekiknya, sambil

  • Ruang Panas Bersama Guru Privat   Bab 3

    Theo baru saja membawa dua buku dari kamarnya menuju ruang baca, bersiap memulai pelajaran pertama untuk Alexa. Namun langkahnya terhenti begitu suara deru motor terdengar dari luar.Dengan langkah cepat, ia membuka pintu, dan matanya langsung menangkap sosok Alexa yang kabur, membonceng di belakang seorang pemuda dengan motor sport.Theo mendengus pelan, bibirnya meliuk tipis. "Aku rasa ujian kesabaranku dimulai lebih cepat dari yang kuduga."Motor yang ditumpangi Alexa berhenti di sebuah area balapan liar. Sorak-sorai anak muda, bau bensin bercampur asap knalpot, dan cahaya lampu jalan yang temaram membuat suasana sore menjelang malam itu mendidih.Alexa melepaskan helmnya dan menyerahkannya pada pengendara, Felix, sahabatnya sekaligus pembalap malam itu."Kenapa sekarang kau tinggal di tempat lain, Lexa?" tanya Felix, menatapnya penuh selidik.Alexa menoleh, nada suaranya penuh nada menantang. "Aku diusir dari rumah oleh ibuku. Sekarang aku harus tinggal di rumah itu demi mengejar

  • Ruang Panas Bersama Guru Privat   Bab 2

    Keesokan harinya, Alexa duduk di ruang tamu sambil menggaruk pelipisnya yang sama sekali tidak gatal. Ia masih tidak percaya dengan kebetulan konyol yang menimpanya, pria yang semalam menyelamatkannya dari dua penjahat ternyata adalah guru privat yang ibunya pilihkan. Sungguh, keberuntungan macam apa ini?Rose, sang ibu, berdiri dengan tangan terlipat di dada, wajahnya jelas-jelas masih menyimpan amarah karena ulah Alexa yang mencoba kabur semalam."Theo, ini putriku, Alexa Moore," ucap Rose tajam. "Aku sudah lelah menasehatinya setiap hari. Jadi aku minta bantuanmu untuk mendidiknya. Aku ingin nilai Alexa jauh lebih baik tahun ini."Theo, pria matang yang semalam tampak gagah saat menolongnya, kini menatap Alexa dengan tatapan tenang namun menusuk. Namun Alexa pura-pura tidak peduli. Ia sengaja mendongak ke langit-langit, menolak balas menatap, seakan-akan keberadaan pria itu tak lebih penting dari debu di karpet."Putrimu ini punya banyak kelebihan, Nyonya," ucap Theo akhirnya.Rose

  • Ruang Panas Bersama Guru Privat   Bab 1

    "ALEXA!" Teriakan lantang memecah keheningan kamar. Pintu terbuka kasar, dan Rose, wanita paruh baya dengan wajah tegang penuh emosi muncul sambil menghentakkan selembar kertas ke atas meja. "Bu, bisakah ibu tidak menggangguku? Aku sedang main game," keluh Alexa malas, tak melepaskan pandangannya dari layar. Namun Rose tak memberi kesempatan. Dengan sekali tarik, kabel komputer tercabut. Layar gelap seketika. Alexa mendengus kesal, melepaskan headphone dan berdiri. Belum sempat ia melawan, sang ibu sudah mengacungkan kertas itu di depan wajahnya. "Kau sudah delapan belas tahun, Lexa. Sebentar lagi sembilan belas! Tahun ini seharusnya kau lulus. Tapi dengan nilai seperti ini…" Rose menepuk keras kertas itu, "universitas mana yang mau menerima murid sepertimu?!" Alexa hanya memutar bola mata. "Bu, lulus atau tidak, aku tetap pewaris perusahaan ayah dan ibu. Aku anak satu-satunya. Tidak ada yang bisa merebut itu dariku." Ucapan itu membuat Rose menarik nafas panjang, berusaha mena

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status