MasukTheo baru saja membawa dua buku dari kamarnya menuju ruang baca, bersiap memulai pelajaran pertama untuk Alexa. Namun langkahnya terhenti begitu suara deru motor terdengar dari luar.
Dengan langkah cepat, ia membuka pintu, dan matanya langsung menangkap sosok Alexa yang kabur, membonceng di belakang seorang pemuda dengan motor sport. Theo mendengus pelan, bibirnya meliuk tipis. "Aku rasa ujian kesabaranku dimulai lebih cepat dari yang kuduga." Motor yang ditumpangi Alexa berhenti di sebuah area balapan liar. Sorak-sorai anak muda, bau bensin bercampur asap knalpot, dan cahaya lampu jalan yang temaram membuat suasana sore menjelang malam itu mendidih. Alexa melepaskan helmnya dan menyerahkannya pada pengendara, Felix, sahabatnya sekaligus pembalap malam itu. "Kenapa sekarang kau tinggal di tempat lain, Lexa?" tanya Felix, menatapnya penuh selidik. Alexa menoleh, nada suaranya penuh nada menantang. "Aku diusir dari rumah oleh ibuku. Sekarang aku harus tinggal di rumah itu demi mengejar nilai yang tertinggal. Tapi tentu saja aku tidak akan melewatkan pertandinganmu melawan Marco malam ini." Felix menggeleng sambil tersenyum tipis, seolah sudah terbiasa dengan keras kepala Alexa. Tak lama, seorang lelaki lain datang menghampiri. Dylan, kekasih Alexa, lelaki itu langsung merangkul pinggangnya dengan posesif, lalu mengecup wajahnya tanpa peduli pada tatapan orang sekitar. "Aku tidak melihatmu sejak kemarin. Pesanku pun tak kau balas. Ada apa?" tanya Dylan penuh curiga. "Tidak ada apa-apa," jawab Alexa santai. "Jadi, jam berapa pertandingannya dimulai?" "Sebentar lagi," sahut Dylan, melirik rekan-rekannya yang bersiap di garis start. Suara riuh penonton semakin membesar. Alexa dengan penuh kebanggaan, berdiri di depan para pembalap sambil memegang scarf. Dialah yang akan memberi tanda dimulainya balapan. Saat scarf itu melayang ke udara, tiga motor melesat kencang, menyalakan adrenalin semua yang menonton. "FELIX, KAU PASTI MENANG!!" teriak Alexa, suaranya menyatu dengan gelombang sorakan lainnya. Namun, di tengah euforia itu, pandangan Alexa mendadak terpaku. Di sisi jalan, sebuah mobil hitam berhenti. Seseorang bersandar pada bodi mobil dengan tangan terlipat, Theo berdiri, tatapannya lurus ke arah Alexa. Darah Alexa seolah berhenti mengalir. "Sial… bagaimana bisa dia tahu aku ada disini?!" Ia menelan ludah dengan gugup, pandangannya bergantian antara teman-temannya yang asyik bersorak dan Theo yang kini memberi isyarat halus agar ia segera menghampirinya. "Dia benar-benar mengikutiku…" batin Alexa panik, apalagi ketika Theo beranjak masuk ke mobil, jelas berniat menunggunya. Balapan pun usai. Felix keluar sebagai pemenang, dan langsung menghampiri Alexa yang sudah terlihat gelisah. "Kau memang tidak pernah mengecewakan," puji Alexa, meski suaranya sedikit terburu-buru. Felix terkekeh. "Tentu saja. Tapi… apa aku harus meninggalkanmu dengan Dylan sekarang?" Alexa menggeleng cepat. "Guys, aku harus pergi." Dylan menatapnya heran. "Kenapa tiba-tiba? Aku bisa mengantarmu pulang seperti biasa, sayang." Alexa kembali menggeleng. Ia tak bisa membiarkan Dylan tahu tentang Theo. Itu hanya akan memicu masalah besar, bahkan bisa sampai ke telinga orang tuanya. Dan jika itu terjadi… statusnya sebagai pewaris keluarga Moore bisa benar-benar terancam. "Tak perlu. Supir sudah menjemputku," katanya berbohong, tersenyum tipis untuk meredakan kecurigaan Dylan. Felix hanya mengangguk. "Baiklah. Beri kabar kalau kau sudah sampai." "Ya, tentu. Aku pergi dulu." Alexa bergegas, melangkah cepat menuju mobil hitam yang menunggu di tepi jalan. Ia membuka pintu samping dan masuk tanpa berani menatap wajah Theo. Sekilas ia menangkap ekspresi dinginnya, tenang, tapi menakutkan. Mobil melaju, meninggalkan kerumunan yang masih bersorak. Di dalam kabin, hening terasa mencekik. Sesekali Alexa menelan ludah, tubuhnya kaku, sementara atmosfer yang dibawa Theo membuat udara di dalam mobil seolah membeku. Setibanya di kediaman Theo, pria itu tidak bicara dan justru mengunci pintu memastikan Alexa tidak kabur lagi. "Bagaimana bisa kau tau aku ada disana?" seru Alexa memprotes. Alih-alih menjawab, Theo justru berkata. "Nilaimu dikurangi lima poin, dan sekarang nilai yang kamu pegang adalah mines." Alexa mendelik, memutar matanya dengan malas saat melihat bahu Theo. "Apa kau tidak pernah muda? Aku hanya bersenang senang dengan teman-temanku, mengapa kau malah mengganggu kesenangan remaja seperti kami?!" Langkah Theo langsung berhenti, pria itu memutar tubuhnya perlahan dan Alexa seketika menegang saat Theo melangkah mendekat. Pria itu sedikit mencondongkan bahu ke arah Alexa, sorot matanya tajam dan dingin, tapi beruntung masih tertolong oleh wajahnya yang tampan sehingga tidak membosankan. "APA?!" ucap Alexa setengah gugup. Theo kembali berdiri kokoh, tapi matanya masih menatap dengan sorot intimidasi pada Alexa. "Justru karena aku pernah muda, aku tau mana yang harus aku lakukan untuk mendidik orang sepertimu." Ujarnya, lalu menambahkan. "Sekarang kau adalah tanggung jawabku, Nona Alexa. Ibumu menyerahkan dirimu padaku, jangan pikir setelah orang tuamu menitipkan kau disini lalu kau bisa pergi sesuka hati seperti tadi." Alexa menggertakkan rahangnya, tangannya mengepal untuk menguraikan emosi yang tertanam dalam diri agar tidak meledak saat ini juga. "Sebaiknya sekarang kau masuk ruang baca, pelajar pertama hari ini tidak bisa di skip, mau atau tidak kau harus mengikuti aturanku selama kau tinggal disini." ucap Theo telak. Namun bukan Alexa kalau hanya akan diam saja. "Memang kau siapa mengatur apa yang aku inginkan, kau bukan bodyguard, kau juga bukan orang yang kenal baik denganku!" bantahnya. Alis Theo terangkat sebelah seperti mengejek. "Coba saja uji kesabaranku kalau kau ingin tau akibatnya saat aku marah." dan setelah itu, Alexa melihat Theo meletakkan kunci rumah di atas meja. Tanpa pikir dua kali, Alexa melesat merebut kunci tersebut dan berniat untuk melarikan diri kembali. Namun ketika ia baru saja akan membuka knop pintu, tangannya ditarik dan dalam waktu yang terlalu cepat, tubuh Alexa terangkat, melayang begitu saja dan mendarat di sisi bahu Theo seperti sekarung kentang. "Turunkan aku!" pekiknya, kedua kakinya berusaha menendang, tapi Theo membawa Alexa ke ruang baca tanpa peduli kata protes. Pria itu baru menurunkan Alexa ke sofa, tangan besarnya menekan bahu sofa disisi Alexa dengan sorot mata dingin. "Sebaiknya kau patuh, atau aku akan mendisiplinkan dirimu dengan caraku." ucapnya penuh ancaman. Untuk pertama kalinya, Alexa merasa takut hingga menelan ludahnya dengan susah payah di hadapan seorang pria seperti Theo.Dengan hanya mengenakan celana renang pendek, tubuh Theo masih memancarkan kelembapan dari air kolam. Rambutnya yang basah menempel di dahi, meneteskan air yang mengalir di sepanjang lekuk tubuh atletisnya yang terpahat sempurna. Dari balik kacamata hitamnya, Alexa mengamati setiap gerakan pria itu, tubuh yang semalam mengguncang dunianya, membuatnya menjerit dalam kenikmatan yang memalukan. Meski tahu itu Theo yang sama, Alexa masih bertanya-tanya dalam hati, apa yang membuat pria yang selalu terkendali ini akhirnya melepas semua kendali? Apakah karena permintaannya yang blak-blakan? Ataukah Theo memang sudah mencapai batas kesabarannya? Bayangan pagi tadi di kamar mandi kembali menghantuinya. Wajah Alexa memerah. Dia tak pernah menyangka bisa begitu liar, Theo berhasil memicu adrenalinnya hingga seperti kucing yang sedang birahi. "Apa yang kau pikirkan?" tanya Theo tiba-tiba, duduk di kursi santai di sebelahnya sambil mengambil segelas jus jeruk. "Paman pemain yang hebat," sahut
Ruangan yang temaram seakan menyulut api gairah di antara dua insan yang terbuai dalam dekapan hangat ranjang. Ciuman-ciuman kasar dan penuh nafsu mengubah udara di sekeliling mereka menjadi panas dan sesak, seiring dengan satu per satu helai pakaian Alexa yang terlepas dan terlempar tak beraturan di lantai. Dengan gerakan penuh kuasa, Theo membalikkan tubuh gadis itu, mengambil alih kendali sepenuhnya. Nafas Alexa tersengal-sengal, matanya berkaca-kaca menatap Theo yang terlihat begitu berbeda malam ini. Pria yang biasanya tenang dan terkendali itu kini berubah menjadi sosok liar dan agresif, seolah semua batasannya runtuh dalam gelora nafsu yang tak terbendung. Ciuman-ciumannya yang membara bergerak turun dari lekuk leher, membasahi setiap inci kulit Alexa, dari dada yang bergairah, perut yang bergetar, hingga pinggang yang meliuk-liuk, meninggalkan jejak basah yang membuat Alexa merintih lemah. "Paman..." desahnya, suara parau penuh hasrat. Tapi Theo tak peduli. Dengan gerakan pe
Nafas Alexa masih tersengal-sengal, bibirnya terasa hangat oleh bekas ciuman Theo yang baru saja terjadi. Dalam-dalam, seluruh tubuhnya berteriak untuk menyerah, untuk tenggelam lebih dalam dalam momen itu. Tapi ingatan akan malam memalukan itu menyergapnya bagai air pasang, bayangan Theo yang mendorongnya pergi tepat di puncak keintiman mereka. "Tidak," desisnya pada dirinya sendiri, suaranya gemetar. "Aku tidak akan membiarkan diriku dipermalukan untuk kedua kalinya." Dengan sekuat tenaga, dia mendorong dada Theo, memutuskan kontak yang membuatnya nyaris kehilangan akal. "Cukup, Paman," ujarnya, menunduk agar Theo tidak melihat mata yang pasti penuh kerinduan. Sebelum Theo bisa berkata-kata, Alexa sudah berbalik dan pergi dengan langkah cepat. Kali ini, Theo tidak mengejar. Sebuah senyum kecil muncul di bibirnya, dia tahu Alexa sedang melarikan diri, tapi bukan karena tidak ingin. Gadis itu hanya takut kehilangan kendali lagi. "Dia begitu... menggemaskan," gumam Theo, menyaksik
Matahari Miami bersinar tajam, memantulkan kilau emas di atas pasir putih. Pantai dipenuhi wisatawan yang ingin membakar kulit mereka menjadi coklat keemasan, dan Alexa adalah salah satu di antaranya.Hari keduanya berlibur sendirian. Tidak ada Felix, tidak ada Gio, tentu saja… tidak ada Theo. Hanya dirinya, laut biru, dan kebebasan.Alexa berbaring sambil tertawa kecil ketika menonton video lucu di ponselnya. Rambutnya sedikit berantakan karena angin pantai, tapi justru itu membuatnya terlihat semakin natural dan memikat.Hingga bayangan seorang pria menutupi cahaya matahari di wajahnya.“Hey, want to try surfing?” suara pria itu hangat, santai, jelas-jelas tipe surfer lokal yang mudah akrab dengan siapa saja.Alexa menurunkan kacamatanya, menatap pria itu sebelum tersenyum kecil. Ia bangkit, meraih rambut panjangnya dan menyibakkannya ke belakang bahu.“Ya, kebetulan aku—”Kalimat itu tidak pernah selesai.Tiba-tiba sebuah tangan kuat melingkari pinggangnya dengan posesif, membuat t
“Jujur saja, peningkatanmu dalam belajar itu melonjak drastis,” komentar Felix sambil meletakkan satu kaleng minuman di depan Alexa dan Gio. Ia lalu ikut duduk, menyandarkan punggung santai. “Dulu peringkatmu… yah, kita semua tahu kondisinya. Tapi sekarang? Kau membuktikan kalau diri sendiri tidak boleh diremehkan.” Gio mengangguk, senyumnya tulus. “Aku sempat kira aku salah lihat hasilnya. Nilaiku saja dibuat minder kalau dibandingkan lonjakanmu.” Alexa hanya tersenyum tipis, memainkan ujung kalengnya. “Aku perlu mengubah beberapa hal dalam hidupku. Kalau ingin mencapai tujuan, ya… harus serius.” Nada suaranya pelan, tapi tegas. “Selama perubahan itu ke arah yang benar, kami selalu dukung,” sahut Felix, memantapkan ucapan Gio. “Bagaimana kalau kita rayakan saja? Tidak perlu mewah,” usul Gio. Felix menatap Alexa, siap mengikuti keputusan apa pun. Namun Alexa terlebih dulu menggeleng. “Tidak perlu. Sore nanti aku harus bekerja. Tidak ada waktu.” “Kalau begitu… ulang tahunmu nanti,
Tidak ada balasan apa pun dari Alexa. Nafas gadis itu tersengal, air matanya jatuh satu per satu tanpa ia sadari. Theo yang masih memeluknya setelah ciuman singkat yang kacau barusan, perlahan menarik diri. Jemari pria itu terulur, menyapu air mata di pipi Alexa dengan lembut, terlalu lembut untuk seseorang yang selama ini menjaga jarak. Namun Alexa menepis tangannya. Tidak keras, tapi cukup tegas untuk membuat Theo membeku. “Jangan…” suara Alexa bergetar. “Jangan membuatku berharap lebih darimu, Paman.” Ia menunduk, kepalanya tertutupi rambut yang berantakan, seolah bersembunyi dari tatapan Theo. “Aku hanya seseorang yang kau anggap anak kecil. Aku tidak menarik untuk orang seperti paman.” Theo terdiam. Nafasnya terdengar berat, seperti menahan sesuatu yang tidak bisa ia jelaskan. “Maaf,” ujar Theo akhirnya, lirih, namun jelas menusuk. “Aku tidak pernah berniat mempermainkanmu.” Alexa menegakkan kepala seketika, menatap Theo dengan mata yang masih basah. “Tidak mempermainkanku?







