LOGINAlexa sengaja bangun lebih awal, berangkat ke sekolah sebelum Theo sempat membangunkannya dengan cara aneh yang tak pernah ia duga. Setelah percakapan semalam, ada sesuatu yang membuatnya merasa terancam, atau mungkin hanya imajinasinya sendiri.
"Aku tidak seharusnya takut padanya. Kalau benar dia pedofil, dia tidak akan menargetkan diriku, kan?" batinnya. Namun seketika ia mengumpat dalam hati. "Sialan, tapi tubuhnya memang bagus sekali." "Tubuh siapa?" suara Felix membuatnya hampir melompat dari kursi. Felix meletakkan satu kotak sandwich di hadapan Alexa sambil duduk di bangku sebelahnya. Alexa tersentak kaget, lalu buru-buru menutupinya. "Seseorang yang bikin aku iri," jawabnya seenaknya. Felix menatap curiga, keningnya mengernyit. "Jangan bilang orang yang sekarang tinggal denganmu. Kau bahkan tidak pernah memberitahuku siapa dia. Kenapa bisa tiba-tiba kau tinggal di rumahnya?" "Kau pikir aku kenal orang itu sebelumnya?" ketus Alexa sambil menggigit sandwich. "Aku bahkan tidak tahu ibuku akan mempercayakan aku pada seseorang yang sama sekali asing bagiku." Felix berpindah duduk di kursi depan Alexa, menopang dagu sambil menatap wajahnya. "Kalau begitu, apa kau ingin melarikan diri? Aku bisa bantu." Alexa mendesah berat, menunduk sebentar. "Tidak, Felix. Kalau aku kabur, warisanku bisa terancam. Kali ini ibuku serius." Felix mengangguk kecil. "Lalu… Dylan? Apa kekasihmu tahu kau sudah tidak tinggal di rumahmu sendiri?" Alexa berhenti mengunyah, lalu bersandar malas ke kursi. "Sebaiknya jangan beritahu Dylan. Dia pasti kaget kalau tahu aku sekarang tinggal bersama… guru privatku." Mata Felix melebar. "Guru privat? Jadi apa dia seorang laki-laki?" Alexa mengangguk cepat, lalu mencondongkan tubuhnya sedikit, berbisik. "Dan usianya hampir sama dengan ibuku." Felix terdiam sejenak sebelum mengangguk-angguk dengan wajah sulit dibaca. Tak lama, dua siswi lain masuk dan duduk di samping Alexa. Mereka berbisik penuh antusias. "Kau lihat tadi? Dia guru baru di sini, kan?" "Aku rasa begitu. Astaga, bagaimana aku bisa konsentrasi kalau guru sesempurna itu ada di depan kelas?" Alexa dan Felix spontan saling pandang. Felix menaikkan alisnya penuh arti, sementara Alexa hanya mengedikkan bahu santai dan melanjutkan makannya. Sepuluh menit kemudian, kelas semakin riuh. Obrolan dan tawa bercampur hingga suasana nyaris seperti pasar. Namun seketika pintu terbuka, suara dehem terdengar. Seseorang melangkah masuk dengan langkah mantap. Seorang pria berkacamata berdiri di balik meja guru, tatapannya tegas membuat ruangan yang tadinya ribut langsung hening. Alexa yang tengah mengapit leher sahabatnya dengan lengan seketika membeku, tawanya berhenti. Matanya melebar, wajahnya jelas tak bisa menyembunyikan keterkejutan. Guru privatnya. Theo. Alexa menelan ludah keras-keras. "Sial… aku sengaja datang pagi untuk menghindarinya. Tapi kenapa sekarang dia malah jadi guru di kelasku?!" Dalam sekejap, suasana kelas berubah tertib. Semua siswa sudah kembali duduk rapi, pembelajaran dimulai. Alexa berusaha keras untuk tidak menoleh ke arah Theo, menghindari tatapan tajam yang seolah selalu mengawasinya. Namun dari bangku sebelah, bisikan lirih kembali mengusik telinganya. "Dia tampan sekali… apa dia sudah menikah?" "Aku jadi semangat belajar kalau dia gurunya," timpal siswi lain sambil menahan tawa kecil. Alexa hanya menghela nafas jengah. "Aku justru kehilangan semangat kalau gurunya dia. Seakan-akan pria itu selalu membuntutiku kemanapun aku pergi." batinnya menggerutu. Namun begitu Alexa memberanikan diri melirik ke depan, sepasang mata tajam Theo sudah mengurungnya dari balik kaca bening kacamata. Hanya beberapa detik, cukup membuat jantung Alexa berdetak tak karuan, sebelum Theo mengalihkan pandangannya ke siswa lain. "Ya Tuhan… dia memang tampan, tapi belajar jadi terasa paling membosankan." Alexa memutar bola mata, mengetuk-ngetukkan pulpen di atas bukunya, mencoba melarikan diri dari perasaan aneh yang membelenggunya. Begitu bel istirahat berbunyi, tanpa menunggu lama, Alexa langsung melesat keluar kelas. Ia tahu Theo menatapnya, namun kali ini ia tidak peduli. Yang ada di kepalanya hanyalah Dylan, ia ingin menemui kekasihnya itu dan bermanja manja seperti biasanya. Namun setibanya di kelas Dylan, lelaki itu tidak ada di tempat. "Di mana Dylan?" tanya Alexa pada salah seorang temannya. "Dia keluar lebih awal. Aku tidak tahu ke mana." Alexa mulai resah. Ia mencari ke tempat-tempat yang biasa Dylan kunjungi, tapi nihil. Dengan cepat, ia mengeluarkan ponselnya dan menekan nomor Dylan. Tidak dijawab. Ia terus mencoba hingga akhirnya terdengar suara dering ponsel tak jauh dari tempatnya berdiri. Langkah Alexa melambat. Ia menajamkan telinga, mengikuti sumber suara itu. Samar-samar terdengar suara perempuan. "Ponselmu berdering." "Biarkan saja," sahut suara yang sangat familiar, suara Dylan. "Pasti orang yang tidak penting." lanjutnya. Dada Alexa serasa diremas. "Tolong jangan… jangan dia." Dengan tangan gemetar, ia mencoba menghubungi lagi. Suara dering itu terdengar jelas dari balik pintu yang setengah terbuka. Diam-diam, Alexa mendorong pintu perlahan. Pandangannya langsung membeku. Dylan, lelaki yang selama setahun ini menemaninya kini tengah mencumbu perempuan lain dengan penuh gairah. "Kau punya kekasih, Dylan. Bagaimana kalau Alexa tahu?" bisik perempuan itu. "Dia tidak akan tahu. Lagi pula, dia tidak semenggoda dirimu. Hanya dengan melihatmu saja… aku sudah ingin menenggelamkan diri ke dalam kehangatanmu." Ucapan itu menghantam Alexa seperti palu. Tubuhnya bergetar hebat, matanya panas, napasnya memburu. BRAK! Pintu dibanting keras. Dylan dan perempuan itu sontak terkejut, menoleh dengan wajah panik. "Alexa?" Dylan berusaha menyamarkan kepanikan sambil merapikan pakaiannya. Alexa berdiri di ambang pintu, matanya berkaca-kaca penuh amarah. "Tidak tahu malu! Di lingkungan sekolah pun kalian melakukan hal menjijikkan ini!" Dylan mendekat, mencoba menenangkan. Namun sebuah tamparan keras mendarat di pipinya. PLAK! Satu lagi. PLAK! Alexa tidak peduli tangannya perih. Ia menatap perempuan yang tengah syok di belakang Dylan dengan sorot mata membunuh. "Prestasi yang sangat membanggakan, bitch. Kau pasti bangga jadi jalang, tidur dengan banyak pria meski tahu orang itu punya pasangan." Dylan hendak meraih tangan Alexa, namun ia kembali ditepis kasar. Satu tamparan lagi mendarat, lebih keras dari sebelumnya. "Jangan harap aku mau bersama laki-laki brengsek sepertimu lagi! Layani saja jalangmu itu. Kau pasti belum selesai menuntaskan gairahmu padanya, kan?" Kata-kata itu menusuk, meninggalkan Dylan terdiam tanpa suara. Alexa berbalik, melengos pergi. Pandangannya buram, air mata nyaris tumpah. Ia menggigit bibir, berusaha menahan tangis, langkahnya makin cepat hingga tak sadar menabrak seseorang. Saat mendongak, ia mendapati sosok berkacamata berdiri di depannya. Tatapan tajam itu kini penuh keheranan. "Alexa… ada apa denganmu?" tanya Theo, suaranya lebih lembut dari biasanya. Bibir Alexa bergetar. Pertahanannya runtuh seketika. Tangis yang sejak tadi ia tahan, akhirnya pecah di depan pria yang paling ingin ia hindari.Dengan hanya mengenakan celana renang pendek, tubuh Theo masih memancarkan kelembapan dari air kolam. Rambutnya yang basah menempel di dahi, meneteskan air yang mengalir di sepanjang lekuk tubuh atletisnya yang terpahat sempurna. Dari balik kacamata hitamnya, Alexa mengamati setiap gerakan pria itu, tubuh yang semalam mengguncang dunianya, membuatnya menjerit dalam kenikmatan yang memalukan. Meski tahu itu Theo yang sama, Alexa masih bertanya-tanya dalam hati, apa yang membuat pria yang selalu terkendali ini akhirnya melepas semua kendali? Apakah karena permintaannya yang blak-blakan? Ataukah Theo memang sudah mencapai batas kesabarannya? Bayangan pagi tadi di kamar mandi kembali menghantuinya. Wajah Alexa memerah. Dia tak pernah menyangka bisa begitu liar, Theo berhasil memicu adrenalinnya hingga seperti kucing yang sedang birahi. "Apa yang kau pikirkan?" tanya Theo tiba-tiba, duduk di kursi santai di sebelahnya sambil mengambil segelas jus jeruk. "Paman pemain yang hebat," sahut
Ruangan yang temaram seakan menyulut api gairah di antara dua insan yang terbuai dalam dekapan hangat ranjang. Ciuman-ciuman kasar dan penuh nafsu mengubah udara di sekeliling mereka menjadi panas dan sesak, seiring dengan satu per satu helai pakaian Alexa yang terlepas dan terlempar tak beraturan di lantai. Dengan gerakan penuh kuasa, Theo membalikkan tubuh gadis itu, mengambil alih kendali sepenuhnya. Nafas Alexa tersengal-sengal, matanya berkaca-kaca menatap Theo yang terlihat begitu berbeda malam ini. Pria yang biasanya tenang dan terkendali itu kini berubah menjadi sosok liar dan agresif, seolah semua batasannya runtuh dalam gelora nafsu yang tak terbendung. Ciuman-ciumannya yang membara bergerak turun dari lekuk leher, membasahi setiap inci kulit Alexa, dari dada yang bergairah, perut yang bergetar, hingga pinggang yang meliuk-liuk, meninggalkan jejak basah yang membuat Alexa merintih lemah. "Paman..." desahnya, suara parau penuh hasrat. Tapi Theo tak peduli. Dengan gerakan pe
Nafas Alexa masih tersengal-sengal, bibirnya terasa hangat oleh bekas ciuman Theo yang baru saja terjadi. Dalam-dalam, seluruh tubuhnya berteriak untuk menyerah, untuk tenggelam lebih dalam dalam momen itu. Tapi ingatan akan malam memalukan itu menyergapnya bagai air pasang, bayangan Theo yang mendorongnya pergi tepat di puncak keintiman mereka. "Tidak," desisnya pada dirinya sendiri, suaranya gemetar. "Aku tidak akan membiarkan diriku dipermalukan untuk kedua kalinya." Dengan sekuat tenaga, dia mendorong dada Theo, memutuskan kontak yang membuatnya nyaris kehilangan akal. "Cukup, Paman," ujarnya, menunduk agar Theo tidak melihat mata yang pasti penuh kerinduan. Sebelum Theo bisa berkata-kata, Alexa sudah berbalik dan pergi dengan langkah cepat. Kali ini, Theo tidak mengejar. Sebuah senyum kecil muncul di bibirnya, dia tahu Alexa sedang melarikan diri, tapi bukan karena tidak ingin. Gadis itu hanya takut kehilangan kendali lagi. "Dia begitu... menggemaskan," gumam Theo, menyaksik
Matahari Miami bersinar tajam, memantulkan kilau emas di atas pasir putih. Pantai dipenuhi wisatawan yang ingin membakar kulit mereka menjadi coklat keemasan, dan Alexa adalah salah satu di antaranya.Hari keduanya berlibur sendirian. Tidak ada Felix, tidak ada Gio, tentu saja… tidak ada Theo. Hanya dirinya, laut biru, dan kebebasan.Alexa berbaring sambil tertawa kecil ketika menonton video lucu di ponselnya. Rambutnya sedikit berantakan karena angin pantai, tapi justru itu membuatnya terlihat semakin natural dan memikat.Hingga bayangan seorang pria menutupi cahaya matahari di wajahnya.“Hey, want to try surfing?” suara pria itu hangat, santai, jelas-jelas tipe surfer lokal yang mudah akrab dengan siapa saja.Alexa menurunkan kacamatanya, menatap pria itu sebelum tersenyum kecil. Ia bangkit, meraih rambut panjangnya dan menyibakkannya ke belakang bahu.“Ya, kebetulan aku—”Kalimat itu tidak pernah selesai.Tiba-tiba sebuah tangan kuat melingkari pinggangnya dengan posesif, membuat t
“Jujur saja, peningkatanmu dalam belajar itu melonjak drastis,” komentar Felix sambil meletakkan satu kaleng minuman di depan Alexa dan Gio. Ia lalu ikut duduk, menyandarkan punggung santai. “Dulu peringkatmu… yah, kita semua tahu kondisinya. Tapi sekarang? Kau membuktikan kalau diri sendiri tidak boleh diremehkan.” Gio mengangguk, senyumnya tulus. “Aku sempat kira aku salah lihat hasilnya. Nilaiku saja dibuat minder kalau dibandingkan lonjakanmu.” Alexa hanya tersenyum tipis, memainkan ujung kalengnya. “Aku perlu mengubah beberapa hal dalam hidupku. Kalau ingin mencapai tujuan, ya… harus serius.” Nada suaranya pelan, tapi tegas. “Selama perubahan itu ke arah yang benar, kami selalu dukung,” sahut Felix, memantapkan ucapan Gio. “Bagaimana kalau kita rayakan saja? Tidak perlu mewah,” usul Gio. Felix menatap Alexa, siap mengikuti keputusan apa pun. Namun Alexa terlebih dulu menggeleng. “Tidak perlu. Sore nanti aku harus bekerja. Tidak ada waktu.” “Kalau begitu… ulang tahunmu nanti,
Tidak ada balasan apa pun dari Alexa. Nafas gadis itu tersengal, air matanya jatuh satu per satu tanpa ia sadari. Theo yang masih memeluknya setelah ciuman singkat yang kacau barusan, perlahan menarik diri. Jemari pria itu terulur, menyapu air mata di pipi Alexa dengan lembut, terlalu lembut untuk seseorang yang selama ini menjaga jarak. Namun Alexa menepis tangannya. Tidak keras, tapi cukup tegas untuk membuat Theo membeku. “Jangan…” suara Alexa bergetar. “Jangan membuatku berharap lebih darimu, Paman.” Ia menunduk, kepalanya tertutupi rambut yang berantakan, seolah bersembunyi dari tatapan Theo. “Aku hanya seseorang yang kau anggap anak kecil. Aku tidak menarik untuk orang seperti paman.” Theo terdiam. Nafasnya terdengar berat, seperti menahan sesuatu yang tidak bisa ia jelaskan. “Maaf,” ujar Theo akhirnya, lirih, namun jelas menusuk. “Aku tidak pernah berniat mempermainkanmu.” Alexa menegakkan kepala seketika, menatap Theo dengan mata yang masih basah. “Tidak mempermainkanku?







