Kami tiba di bandara sekitar pukul 2 siang. Pesawatku akan berangkat pukul 4 sore dengan dua kali transit sebelum sampai di Bandara Internasional Logan di Boston. Aku yang menyetir mobil ke Soekarno-Hatta dan nanti mobil akan dibawa Rania waktu mereka pulang.
Aku bersyukur bisa menghabiskan dua setengah minggu waktu dengan sangat baik bersama teman-teman dan keluargaku. Beberapa kali aku ke tempat-tempat yang dulu sering kami kunjungi bersama Ayah untuk mengingat kembali memori-memori yang lalu. Aku juga sudah menyempatkan diri hampir seharian berkunjung ke makam Ayah, membersihkan rumput-rumput liar di sekitarnya dan menaburkan banyak sekali bunga di pusaranya.
Ayah, aku akan pergi sebentar. Hanya tiga tahun. Ini engga akan terlalu lama kalau tidak terus dipikirkan. (Aku menghibur hatiku sendiri). Ayah jagain Ibu, Rania, dan Salsa ya. Jagain aku juga dari atas sana. Setelah pulang nanti dan bekerja, aku berjanji akan membeli rumah untukku dan kelua
Udara sedang hangat-hangatnya di Boston. Semilir angin menerpa wajahku di bawah sebuah pohon rindang di komplek universitas. Aku sedang duduk-duduk di sini sambil melihat momen-momen yang kuabadikan dengan keluargaku di Indonesia melalui foto-foto yang saling kami kirim. Fotoku dengan profesor, fotoku dengan teman-teman mahasiswa Indonesia yang juga berkuliah di sini, dan beberapa foto pemandangan di sekitar kampus yang kukirim di grup keluarga dan Maria secara terpisah. Foto Ibu, Rania, dan Salsa di ruang keluarga, foto Ibu dan Salsa sedang dalam perjalanan ke Bandung untuk mengunjungi Rania, serta beberapa foto mereka bertiga di makam Ayah dan tempat-tempat lain yang tidak kukenal di Bandung. Dari Maria ada fotonya dengan Ibu ketika ia sedang berkunjung ke rumah, foto Maria sedang tiduran di ranjang kamarnya waktu bertelepon denganku, dan foto Maria bersama keluarganya ketika mereka berlibur ke Jogja. Sudah satu tahun lebih aku mengenal Maria lewat
“Satu lagi, satu lagi,” kata Maria, menunggu satu cerita lagi tentang diriku. “Oke, aku pikir-pikir dulu. Hm … pilih yang mana?” Aku memberikan tiga jari di tangan kananku pada Maria, agar ia pilih salah satu dan aku menceritakan cerita yang sebenarnya akan sama saja jika Maria pilih jari telunjuk, jari tengah, ataupun jari manis. “Hm, aku pilih jari manis.” Maria tersenyum. “Oke, jari manis itu cerita tentang aku yang pernah suka sama saudara jauhku sendiri.” Aku tersipu malu. Maria terlihat kaget dan bertanya, “serius Rama? Kok bisa? Gimana ceritanya?” Lalu aku mulai bercerita ketika aku masih di kelas 4 SD, keluarga besar dari Ayah sering berkumpul setiap minggu di salah satu rumah dan kami semua bercengkrama, makan-makan, dan nonton bersama. Ada salah satu perempuan yang umurnya satu tahun di bawahku, anaknya sepupu jauh dari pamanku yang kebetulan sedang di Jakarta. Awalnya aku melihatnya turun dari mobil dan seketika itu juga aku tau bah
Ponselku berdering ketika Bondi sedang memberikan jawaban pada Irene mengenai hal-hal apa yang harus Irene lakukan untuk menarik perhatian Maudrick. Aku permisi sebentar, pindah ke salah satu kursi di bar sambil membawa minuman. “Hai Ram, kenapa?” Caca menelpon. “Hai Ca, lagi dimana sekarang?” tanyaku. “Masih di gudang nih, ngurus baju-baju. Ada Fadhil juga. Lo mau tanya apa tadi?” Suara plastik bergesekkan menjadi latar suara pembicaraan kami. “Oh, gue ganggu engga? Lo masih sibuk ya?” Selagi menunggu jawaban Caca, aku mengecek Line, apakah ada pesan dari Maria atau tidak. Dan sekarang, pesanku hanya dibaca olehnya, namun belum dijawab. “Engga kok, enggapapa, ini lagi masukin baju ke packaging aja,” kata Caca, diikuti suara Fadhil. “Oy Ram, ngobrol aja enggapapa, lagi engga begitu sibuk kok.” Aku tidak percaya jika mereka sedang tidak sibuk, karena di Indonesia sekarang pukul 8 pagi dan mereka sudah bangun dari dini
Aku gugup bukan main dan minta waktu sebentar, berdiri agak jauh dari Irene yang memutuskan untuk duduk-duduk di bangku taman. “Halo, Maria?” “Iya,” katanya singkat. Tidak ada nada kesenangan yang biasanya hadir jika kami sedang berkontak lewat Line free-call. “Mar?” kataku lagi, dengan nada semanis mungkin. “Iya kenapa? Tadi katanya mau telpon,” kata Maria, kesal. “Mar, aku minta maaf ya..” “Minta maaf buat apa?” Nada bicaranya terdengar ketus. “Kemarin aku cerita tentang Sarah ke kamu, dan aku seharusnya engga ingat-ingat kembali ke masa itu.” Maria diam, tidak ada suara apapun. “Mar?” kataku lagi. “Apa sih?” katanya dengan nada bicara yang tinggi. Aku diam karena kaget. Baru pertama kali aku mendengar Maria marah. Di ujung telepon, tiba-tiba aku mendengar suara tangis terisak yang semakin lama semakin keras. Itu suara Maria. “Mar … Kamu kenapa?” tanyaku lembut.
Sabtu pagi ini aku hanya akan keluar sebentar untuk berolahraga, dan kemudian sampai siang akan kukerjakan penelitianku di apartemen. Lalu setelah itu aku akan makan siang ditemani Maria. “Irene!” sapaku, melihat Irene memakai pakaian olahraga dan sepertinya mau berlari. “Hei Ram! Mau olahraga juga? Yuk bareng!” Kami berlari di sepanjang trotoar menuju ke komplek universitas. Di dalam ada beberapa orang yang sedang berolahraga juga. Dua-tiga orang membawa serta anjing peliharaannya. Kami sedang berbincang mengenai usaha Irene untuk menarik perhatian Maudrick di taman kampus yang gagal total, karena tiba-tiba tanpa menyiapkan rencana tambahan, Irene melihat Maudrick tersenyum dan berjalan mendekati seorang wanita dengan potongan tubuh seperti model, berambut pira
Astaga, aku pacaran dengan Maria? Aku bangun dan meregangkan tubuh di atas ranjang kamar apartemenku yang berhimpit dengan dinding di ujung ruangan. Di sampingnya ada jendela yang di bawahnya kutaruh meja belajar supaya matahari dapat masuk ketika aku mengerjakan penelitian. Pintu yang menuju ke teras apartemen hampir selalu kubuka karena dengan begitu semilir angin dapat masuk dan biasanya berhasil membuatku terlelap, jika aku sedang tidak ada kerjaan. Kubeli tanaman anggrek berwarna ungu untuk menghiasi meja kecil di sudut teras, sekaligus sebagai pengingatku akan Maria. Di ujung ranjangku ada toilet sekaligus tempatku mencuci pakaian. Lemari kayu yang kuisi dengan buku-buku sekaligus pakaian berdiri diapit pintu masuk dan lorong kecil menuju area dapur. Aku membeli bahan-bahan makananku sendiri di hari Minggu, dan
Halo, ini Sepenuhnya.Manusia! Semoga kalian semua dalam keadaan sehat & bahagia. Maaf ya baru bisa update cerita lagi, dikarenakan penulis sempat sakit dua kali dan ada beberapa hal yang perlu diurus! Semoga ke depannya penulis bisa rutin upload setidaknya sekali seminggu. Mohon dukungan kalian semua ya! Kalau berkenan, bisa mampir juga ke medsos penulis @sepenuhnya.manusia. Mari kita ramaikan! HAHA Dan kalau ada kritik serta saran, boleh banget ditulis di sini atau kirim pesan ke penulis ya! Akhir kata, di akhir tahun ini juga semoga segala cita-cita baik kalian semua ke depannya mengenai hidup masing-masing dapat Tuhan wujudkan, Amin. Trims ya reader! *sending so much love*
Surya sedang main ke apartemenku karena katanya bosan di apartemennya. Ia sedang duduk-duduk di lantai, bergumam tidak jelas sementara aku sedang membuat makan siang untuk kami berdua di dapur. “Ram, ada telpon nih dari Maria.” Surya berteriak karena suaranya kalah dengan letupan minyak di atas wajan. Aku menyuruhnya menggantikanku memasak di dapur sementara kuangkat video-call dari Maria. “Hai, sayang,” kataku dulu. “Hai, sayang. Kamu lagi apa?” “Aku lagi masak, ada Surya juga di sini, dia bosen di apartemennya, katanya.&