Share

Bab 2

“Terima kasih banyak Pak Joko,” kataku sambil tersenyum, berjalan menjauhi kantornya di gedung kampusku.

Helaan napas panjang dan senyum sumringah aku berikan kepada tak siapapun ketika aku sampai di depan gedung jurusan geografi dan melihat ke memori-memori di depanku. Mengenang  waktu-waktu yang kuhabiskan di salah satu universitas terbaik di Indonesia ini. Aku sungguh bangga pada diriku sendiri karena berhasil melewati segala hal buruk dan menikmati segala hal baik yang pernah terjadi empat tahun belakangan.

Kalau saja Ayah masih hidup. Pikirku, merenungi lantai di depan.

Bayangan-bayangan tak nyata tentang Ayah yang bangga kepadaku ketika namaku ada di pengumuman penerimaan mahasiswa baru. Wajah bahagianya ketika aku mengenakan jaket kuning kebanggaan kami, semangat yang ia berikan ketika aku pertama kali masuk kuliah, dekapannya ketika aku merasa semua ini sulit, semua sarannya mengenai kehidupan, dan semua teladan yang ia berikan. Diterimanya beasiswa ke Amerika yang kuajukan, serta tangis haru dan bangga di wajahnya sebelum aku pergi ke sana sebentar lagi.

Air mata tak mampu lagi kubendung. Aku berjalan cepat ke arah toilet sebelum menutup biliknya dan menangis tertahan. Aku rindu Ayah. Rindu berat.

Ayah, Rama mau cerita. Banyak sekali hal yang terjadi setahun belakangan. Salsa udah masuk SMA dan sekarang Rania kuliah di Bandung. Ambil jurusan arsitektur, seperti yang dulu Ayah pernah bayangkan tentangnya. “Rania suka sekali dengan bangunan ya? Nanti besar bisa jadi arsitek!", kata Ayah. Lalu Rania mulai menggambar denah-denah rumah impian Ayah, Ibu, Rama, Salsa, dan Rania sendiri di buku milimeter blok yang Ayah belikan. Dan ketika Rania tanya, Ayah bilang bahwa rumah impian Ayah adalah rumah yang ketika dibuka pintunya, ada Ibu, Rama, Rania, dan Salsa yang menyambut Ayah. (Air mata keluar lagi di sudut mataku). Lalu Ayah bilang dimanapun Ayah tinggal, kalau tidak ada kami semua, itu berarti bukan rumah untuk Ayah. (Aku terdiam sejenak). Ayah, apakah Surga itu bukan rumah untuk Ayah?

Setengah jam rasanya seperti setahun lamanya. Untung sedang tidak terlalu banyak orang di kampus, pikirku. Helaan napas panjang keluar beriringan dengan doa yang kupanjatkan untuk Ayah. Hatiku cukup lega karena telah menangis dan mengeluarkan hampir semua rasa ini.

Terima kasih Ayah.

Toilet di gedung fakultasku cukup besar. Beberapa urinoir terletak di sudut sehingga tidak begitu terlihat ketika orang membuka pintu. Ada beberapa bilik dan kaca besar di depan wastafel yang hampir tidak pernah dipakai terlalu sering oleh mahasiswa laki-laki – sebaliknya pasti yang terjadi di toilet untuk perempuan – dan satu gudang kecil yang menyimpan alat-alat kebersihan.

Pantulan di cermin memperlihatkan pria setinggi 170 cm dengan rambut cepak dan berkulit putih, kalau kalian ingin tau tentang diriku. Namun mata dan hidungku sekarang merah karena habis menangis. Ditambah kepalaku sakit sekali. Aku berencana untuk segera kembali ke kos dan menunggu pukul 3 sore untuk bertemu dengan Fadhil di kafe dekat kampus.

Ohya, ngomong-ngomong tentang Fadhil, ia berubah drastis sekarang. Semenjak berkuliah di Bandung ia jadi lebih memperhatikan penampilan dan mulai berolahraga, ketika beberapa mahasiswa baru laki-laki yang populer – dapat dilihat bahwa mereka tampan dan menaiki mobil mewah – tanpa sengaja (atau sengaja?) melempar botol minuman ke arahnya. Mereka pikir Fadhil tempat sampah. Sialan, memang.

“Oops, sorry.” Beberapa laki-laki yang mengenakan kemeja putih dengan celana hitam sedang duduk-duduk sambil merokok di dalam sebuah mobil yang keempat pintunya terbuka. Pagi itu Fadhil sedang terburu-buru kembali ke fakultasnya untuk menghadiri pertemuan mahasiswa baru, dan sialnya harus dibuat jengkel oleh mereka, mahasiswa-mahasiswa baru dari entah fakultas apa.

“Brengsek!” kata Fadhil dalam hati. Ia tidak begitu memperhatikan karena sedang membersihkan noda minuman di kemeja putihnya. Dan ia juga tidak bisa menghadapi mereka sendirian. “Goblok, gue masih sama pengecutnya kaya Fadhil waktu kecil,” katanya dalam hati.

Aku ingat waktu itu sore hari di perpustakaan kampus. Di layar ponselku, Fadhil menelpon. Ia teriak-teriak sampai hampir terdengar seisi ruangan tempatku membaca. Aku berlari ke area koridor dan mendengar semua cerita Fadhil mengenai anak-anak populer yang ia sebut anak-orang-kaya-gila tadi pagi di kampusnya.

“Persetan dengan mereka, akan kubuat anak-anak itu melongo!” kata Fadhil dengan napas yang terengah-engah saking kesalnya.

“Bagus, jadiin ini bahan bakar lo, Dhil.” Aku setuju.

“Dan lo mau tau apa yang lebih gila lagi, Ram?” kata Fadhil sungguh-sungguh.

“Apa?” tanyaku penasaran.

Aku bisa merasakan di ujung telepon Fadhil sedang tersenyum dan wajahnya merona, sebelum ia berkata, “tadi ada perempuan tipe gue banget yang langsung nyamperin gue dan bilang brengsek ke anak-orang-kaya-gila itu. Gue dibantuin dia buat bersihin baju gue, Ram. Ah, rasanya seneng banget!”

Aku diam seribu bahasa. Baru kali ini aku melihat. Ralat. Mendengar teman baikku itu jatuh cinta.

“Dhil, lo jatuh cinta? Perdana?”

“Yeee, perdana lagi.. Dasar lo! Gue pernah jatuh cinta, kali. Tapi dulu banget, waktu SD. Di SMA kita engga ada perempuan yang tipe gue,” kata Fadhil sok keren.

“Heh jangan sok Anda,” kataku, tertawa.

“Hahaha iya maaf-maaf. Sejelek-jeleknya gue ya boleh kan gue punya tipe perempuan yang gue suka?!”

“Hahaha, ya boleh dong..” Kami tertawa.

Dan kalian mau tau, tipe perempuan seperti apa yang Fadhil sukai? Nanti jam 3 sore ketika aku bertemu dengannya, akan kuberitau kalian semua.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status