Share

Rumah Ramaria
Rumah Ramaria
Author: Sepenuhnya.Manusia

Bab 1

Cahaya matahari masuk dari sela-sela jendela dan membentuk sebuah pola berulang yang indah di dinding kamar. Tanaman anggrek yang ditaruh di pojok ruangan kelihatannya akan tumbuh tambah indah karena bermandikan cahaya hangat sang surya. Namun, tak ada yang lebih indah kelihatannya dibandingkan dengan istriku, Maria. Ia masih terlelap tanpa balutan pakaian apapun, hanya ditutupi selimut yang kami pakai berdua. Wajahnya juga bermandikan cahaya matahari pagi. Matanya, bibirnya, hidungnya, rambutnya yang panjang, jarinya ... jari manis bercincin yang mengikat janji pernikahan kami satu tahun yang lalu.

Aku tersenyum melihatnya meregangkan tubuh sedikit setelah kuelus rambutnya. Ia masih belum bangun dan kelihatannya lelah luar biasa karena semalaman kami memadu kasih. Aku bisa berlama-lama memandangi wajahnya, pikirku. Seulas senyum terbentuk di sudut bibirnya ketika aku mencium wajahnya. Hatiku luar biasa bahagia, dan sekelebat masa lalu hadir di memoriku, mengingatkanku pada pertemuan pertama kami dahulu.

Waktu itu aku baru lulus kuliah dan sedang menunggu keberangkatanku untuk melanjutkan S2 ke Amerika. Nilai-nilaiku bagus, reputasiku sebagai mahasiswa juga baik, dan salah seorang dosen yang membimbingku memberikan bantuan untuk mendapatkan beasiswa, karena beliau tau aku juga ingin menjadi dosen.

“Rama, menjadi mahasiswa S2 di Amerika itu tidak mudah, kamu harus tetap semangat karena akan jauh dari rumah.” Pak Joko masih menatap layar komputernya, mengerjakan beberapa berkas terakhir yang akan dikirimkan ke universitas di Amerika untukku.

“Saya tau kamu itu salah satu mahasiswa yang paling berprestasi di jurusan ini, dan saya yakin mau bantu kamu. Jadi, jangan kecewakan saya ya di sana,” ujar Pak Joko sambil menatapku sekilas.

Aku mengangguk pelan dengan senyuman dan tekad yang kuat di hati untuk tidak menyia-nyiakan kesempatan yang diberikan. Pun sebenarnya, ini bukan kali pertama aku harus berjuang mati-matian demi keberlangsungan hidupku sendiri.

Aku terlahir di keluarga yang sederhana, tidak pernah kekurangan maupun kelebihan. Semuanya cukup. Ayahku seorang pegawai negeri sipil dan ibuku tinggal di rumah mengurus ketiga anaknya. Aku anak pertama dan dua adikku perempuan, masing-masing jarak kami tiga tahun. Hidup kami baik-baik saja sampai ketika aku lulus SMP, Ayah meninggal tiba-tiba karena sakit jantung. Dunia seperti runtuh seketika di hadapanku. Bukan hanya karena aku bingung akan keberlangsungan hidup keluarga ini setelahnya, namun yang paling besar yaitu karena Ayah adalah mercusuar untuk kami semua. Ia adalah sosok ayah, suami, dan pribadi yang sangat baik. Tidak pernah dilihat olehku serta kedua adikku dimana Ayah dan Ibu bertengkar ataupun tidak saling mencintai. Rumah kami selalu penuh dengan cinta dan ketika mercusuar itu tiba-tiba menghilang, kami semua jadi kehilangan arah...

“Nak Rama, tolong bantu Ibu untuk kasih ini Mama Fani ya.” Ibu memberikan sekeranjang penuh kue-kue kecil yang ia buat sendiri untuk dijual.

Setiap harinya sebelum berangkat ke sekolah, aku selalu mampir ke toserba di dekat rumahku yang baru di pinggiran Jakarta, untuk memberikan kue-kue buatan Ibu ke Mama Fani yang anaknya juga satu sekolah denganku. Ya, setelah Ayah meninggal dunia, kami semua pindah ke rumah milik salah seorang saudara yang juga akan pindah bersama orang tuanya ke luar daerah. Jadi kami diperbolehkan untuk mengurus rumah tersebut dan menempatinya tanpa membayar.

“Pagi Mama Fani, halo Dhil,” kataku, memberikan keranjang berisi kue kepada Mama Fani.

“Hai Rama, sudah sarapan?” Mama Fani sedang bersiap-siap membuka toko makanan miliknya.

“Sudah, Mama Fani.” Aku berdiri sambil menggerecoki Fadhil, anaknya Mama Fani sekaligus temanku yang paling dekat.

“Mah, ini si Rama gangguin aku terus.” Fadhil  berambut kribo, berkulit sawo matang, dan bertubuh gempal, sedang duduk di atas dua tumpuk kursi plastik di sisi toko, melahap makanannya. Sepertinya ia merasa risih karena diganggu olehku.

“Ih kak Fadhil cengeng,” ledek Fani, adiknya yang berbeda 180 derajat dengan kakaknya.

Fani adalah anak perempuan cantik dan berkulit putih yang duduk di bangku sekolah dasar kelas 5. Ia adalah anak kedua dari Mama Fani – yang sebenarnya bernama Sinta.

Loh, tapi kenapa Mama Fani tidak dipanggil Mama Fadhil saja? Atau, kenapa tidak dipanggil sesuai nama aslinya, yaitu Ibu Sinta?

“Udahlah, gue ini anak yang engga diinginkan,” kata Fadhil bercanda, setiap kali aku bertanya padanya mengenai hal ini.

“Tapi kenapa engga dipanggil Ibu Sinta aja?” Aku bersikeras.

“Nah kalau itu ada ceritanya. Waktu Fani masih kecil, di komplek rumah kami ada ibu-ibu yang namanya Sinta juga, dan lebih dulu tinggal di daerah sana. Jadi orang-orang panggil Mama dengan sebutan Mama Fani, alih-alih Ibu Sinta,” cerita Fadhil.

“Tapi kenapa engga dipanggil Mama Fadhil, sih?” Aku terus menggodanya, ingin membuat Fadhil kesal dengan pertanyaan bertubi-tubi yang kulemparkan.

“Yah, bentuk gue dahulu kala itu persis sama yang kaya lo lihat sekarang, Ram. Mungkin karena orang-orang engga sadar gue itu anaknya Mama juga, bukan Fani doang. Hahahaha,” kata Fadhil. Kami berdua tertawa.

Fani dan Mama Fani memang dapat dikategorikan sebagai perempuan yang cantik dan berkulit putih, sedangkan Fadhil lebih mirip Ayah mereka, berkulit sawo matang. Tapi rambut kribonya entah dari gen siapa.

“Dari Mama,” kata Fadhil sambil lalu waktu itu.

Ohya mungkin, karena Mama Fani pakai hijab dan aku belum pernah melihat rambutnya.

Fadhil juga beberapa kali cerita padaku bahwa dulu ketika anak-anak di komplek rumahnya sedang bermain di taman, ia selalu ditertawakan karena hanya diam saja dan memiliki bentuk tubuh yang mereka sebut gorilla.

Dan lebih sedihnya lagi, Fani itu anak yang sangat aktif, sehingga Mama Fani lebih memperhatikannya karena berlarian kesana-kemari. Alhasil, Fadhil hanya akan duduk di bawah pohon mangga yang besar dan melihat anak-anak seumurannya bermain bola. Mungkin itu juga alasan kenapa tidak ada orang yang sadar bahwa Fadhil adalah anaknya Mama Fani.

“Gue bahkan pernah dikira genderuwo, Ram.” Mata Fadhil membelalak ketika kami sedang makan di kantin.

“Serius? Gimana ceritanya?” Aku tak bisa menahan tawa.

Kemudian Fadhil bercerita lagi bahwa ia pernah ketiduran di bawah pohon dan langit sudah mulai gelap. Mama Fani rupanya lupa bahwa Fadhil masih di sana dan tidak mengajaknya pulang ke rumah. Tiba-tiba saja beberapa anak perempuan dan laki-laki yang mau pulang lewat situ, menjerit kaget sambil berteriak, “ada genderuwo,” ketika melihat ke arah Fadhil yang waktu itu memakai kaos dan celana hitam. Semuanya berlari ketakutan. Begitupun dengan Fadhil, yang tidak menyangka bahwa dirinya-lah yang dikira hantu.

Kami berdua tertawa terbahak-bahak mendengar kisah-kisah menyedihkan yang sekarang bisa dengan santai Fadhil tertawakan.

Di SMA, setelah pulang sekolah sekitar pukul 3 sore, aku dan Fadhil langsung kembali ke toserba di dekat rumah. Fadhil akan membantu ibunya, sedangkan aku akan bekerja menjaga warnet sampai tengah malam.

“Uang pensiun Ayah, sisanya Ibu tabung untuk keperluan mendesak atau sekolah Rania sama Salsa aja ya Bu. Untuk sekolah Rama, Rama ada uangnya kok.” Ibu memang sudah tau bahwa aku bekerja menjaga warnet, tapi ia tidak tau kalau aku juga banyak melakukan pekerjaan kasar seperti membantu mengangkat galon di rumah susun samping toserba, membantu mengerjakan skripsi untuk anak kuliahan, menjadi fotografer lepas yang kameranya aku pinjam dari Fadhil, dan beberapa pekerjaan lain.

Sudahlah, Ibu tidak perlu tau. Kataku dalam hati. Aku baru pulang dari toserba pukul 1 pagi, kasihan melihat Ibu sedang bersiap-siap membuat kue untuk dijual.

“Ibu mau Rama bantuin?”

Guratan-guratan tipis di wajah Ibu yang kelihatan lesu tiba-tiba berubah karena senyumnya. “Engga, engga, jangan nak, kamu tidur aja. Pasti cape.”

Ibu menahanku ketika kakiku masuk ke area dapur. Ia tersenyum dan memegang pundakku. “Nak Rama istirahat saja ya...”

Aku membalas senyumnya dan pergi ke kamar. 

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Felicia Aileen
awal yang bagus.. boleh kasih tau akun sosmed ga ya soalnya pengen aku share ke sosmed trs tag akun author :)
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status