Kamar kos yang kutempati tidak begitu besar. Lebih besar daripada kamarku di rumah, namun tidak lebih besar dibanding kamar di rumahku dulu waktu masih ada Ayah. Jendela persis di samping ranjang ditutup dengan gorden seadanya milik penghuni sebelumnya. Warna merahnya sudah luntur sampai-sampai kalian akan mengira itu memang warna pink sedari awal. Tidak, sebelumnya itu berwarna merah. Tapi tidak masalah. Yang jadi masalah buatku adalah kadang jika hujan turun begitu deras, atap kamarku hampir pasti bocor dan tepat mengenai meja belajar. Alhasil, aku selalu menggesernya ke dekat ranjang supaya bisa kutaruh ember di bawah atapnya.
Tapi yang patut aku syukuri dari semua hal ini adalah karena aku masih diberikan kelengkapan tubuh dan kesehatan, sehingga setiap hari libur Sabtu dan Minggu aku bisa bekerja sebagai fotografer di acara-acara pernikahan ataupun pensi sekolah. Bayarannya lumayan untuk kutabung supaya bisa mencicil rumah untuk istri dan anakku nanti. Kameranya aku beli setengah harga dari Fadhil karena ia tidak menggunakannya lagi.
Selain itu, aku juga melakukan banyak pekerjaan lainnya di waktu yang seharusnya kupakai untuk tidur. Yah, aku tau ini tidak baik untuk kesehatan, tapi mau bagaimana lagi. Ada mimpi yang harus kucapai dan aku bekerja mati-matian untuk itu. Beberapa kali Ibu mengingatkanku untuk istirahat yang cukup dan makan dengan benar, tapi uang untuk makan dan waktu untuk tidur selalu kukurangi untuk bekerja. Dan aku bersyukur luar biasa karena selama ini tidak pernah jatuh sakit. Padahal kalau dipikir-pikir, gaya hidup yang kujalani ini bisa saja sewaktu-waktu membuatku harus dilarikan ke rumah sakit. Tapi aku selalu merasa bahwa Ayah menjagaku dari atas sana, dan ia bicara pada Tuhan untuk memberikan anaknya kekuatan dan kesehatan yang lebih baik dibandingkan manusia-manusia lain. Dan kupikir Tuhan mengabulkan itu.
Terima kasih Ayah.
Ingatanku di masa lalu, duduk dengan Ayah di ruang keluarga di suatu sore, kembali lagi. Aku ingat waktu itu aku masih berumur 10 tahun. Kami sedang membicarakan celengan ayam dari tanah liat milikku yang isinya sudah penuh dan ingin kupecahkan. Ayah bertanya apa yang mau kulakukan dengan uang-uang itu. Aku menjawab dengan santai bahwa uang-uang ini akan kubelikan es krim supaya di dalam freezer lemari es kami tidak hanya ada es batu. Ayah mengelus rambutku dan tersenyum waktu itu, aku ingat sekali. Lalu ia bercerita bagaimana dulu ketika Ayah masih kecil, masih seumuranku, Eyang Kakung – Ayahnya Ayah – bercerita bahwa ia membeli rumah yang dulu masih murah dari celengan ayam – persis seperti celengan ayam milikku saat itu – dan menikahi seorang wanita – Eyang Putri-ku – dari kalangan terhormat karena telah memperlihatkan usahanya berjerih payah bekerja dan memiliki rumah.
Setelah itu Ayah bercerita bagaimana ia dan Ibu bertemu setelah dikenalkan oleh teman mereka di suatu pesta. Ibu adalah satu-satunya anak perempuan dari seorang pejabat daerah di Jakarta dulu. Ia sangat disayang dan dijaga oleh kedua orang tua serta ketiga kakak laki-laki yang usianya terpaut jauh dengannya. Aku selalu menahan tawa ketika mengingat hal ini karena Ayah akan bercerita dengan gagah bahwa Ayah bekerja sampai malam dan mencari pekerjaan tambahan di hari libur untuk membeli rumah supaya bisa mendapatkan hati Ibu dan keluarganya.
“Tapi Rama, maksudnya bukan karena Ayah punya rumah, jadi Ibu mau sama Ayah ya.. Ada ceritanya lagi. Kami jadi dekat setelah pesta itu dan sama-sama tau, hati kami berdua sudah bertaut satu sama lain. Ayah sudah mengatakan kepada Ibu bahwa Ayah ingin melamarnya. Maka dari itu, hampir setiap hari Ayah berkunjung ke rumah Ibu, berniat mengambil hati Kakek, Nenek, dan Paman-paman. Di awal-awal, mereka sangat dingin, kelihatan sekali lebih menyukai pria yang mereka jodohkan dengan Ibu, pria anak orang kaya. Tapi kalau dilihat-lihat, anak orang kaya itu hanya pandai bicara, namun kelakuannya buruk. Ayah pernah melihatnya mengolok-olok seorang pedagang di jalan. Ayah beritahu juga ke Ibu waktu itu, dan Ibu juga merasakan hal yang sama tentang pria yang dijodohkan dengannya. Dan sepertinya keberuntungan ada di pihak Ayah. Anak orang kaya itu ketahuan telah mencuri banyak uang di kantor keluarganya dan akhirnya perjodohan diputus dari keluarga pihak Ibu. Kakek, Nenek, dan Paman-paman lama- kelamaan pun mengizinkan Ayah melamar Ibu setelah melihat kerja keras Ayah dan rumah yang Ayah beli. Dan akhirnya kami memiliki kalian,” kata Ayah sumringah, memelukku.
“Nak, usaha seorang laki-laki itu dilihat dari kerja kerasnya untuk membahagiakan istri dan anak-anak mereka. Dan itu tidak akan pernah berubah, Rama. Tidak akan pernah berubah.” Perkataan Ayah ini yang selalu terpatri di pikiran dan hatiku. Sejak saat itu, aku selalu menabung dan membayangkan akan membeli rumah untukku dan calon istriku nanti dengan uang-uang yang kuusahakan sedari kecil.
Sejak saat itu juga, aku selalu senang ketika kami semua berkumpul di ruang keluarga pada malam hari dan Ayah bercerita tentang bagaimana ia mendapatkan hati Ibu. Ibu jadi tersipu malu dan setelah itu kami langsung disuruh tidur karena Ayah dan Ibu ingin berduaan, katanya. Setelah tamat SD, aku baru tau apa artinya dan selalu terkekeh ketika Ayah dan Ibu menyuruh kami masuk ke kamar masing-masing karena mereka ingin punya waktu berdua.
“Rama, nanti ada satu temen gue sama Caca ikut juga ya.. Sekalian, belum ketemu sama kami juga soalnya. Besok gue udah langsung ke Bandung lagi kan,” kata Fadhil di telepon. Aku mengiyakan perkataannya dan berencana melanjutkan tidur siang karena kepalaku masih sakit. Sekarang pukul 11, aku akan bangun pukul 2 dan bersiap-siap, pikirku. Kurebahkan lagi tubuhku yang tadi sempat bangun tiba-tiba karena panggilan telepon. Aku bermimpi bertemu dengan Ayah di suatu tempat yang tidak kukenal. Ruangan itu bernuansa biru dengan detil-detil yang samar. Aku hanya melihat Ayah berdiri di tengah dengan banyak sekelebatan seperti orang-orang berjalan hilir mudik. Yang jelas bagiku hanya Ayah. Ia memakai kemeja putih dan celana coklat favoritnya. Aku tidak begitu memperhatikan sepatunya karena agak samar. Wajahnya persis seperti Ayah namun kelihatan lebih muda dan bahagia. Tidak ada guratan lelah ataupun sakit, hanya ada wajah yang segar. Ayah melihat ke arahku dan tersenyum haru.
Satu jam berlalu dengan piring yang sudah kosong dan minuman kami berdua yang hampir habis di depan meja. Kami bicara banyak hal mengenai apapun dan itu sangat menyenangkan untukku. Dan kuharap juga untuknya. Beberapa kali ia memiringkan kepalanya dan tersenyum, menyangga dagu di tangannya seraya mendengarku menceritakan kehidupan di kampus. Ia juga menceritakan dosen-dosen di jurusannya yang membuat dia pusing bukan kepalang. Kami tertawa banyak di cerita mengenai ospek dan ia ikut berduka ketika aku menceritakan temanku di jurusan sastra Indonesia yang meninggal. Hujan tinggal gerimis waktu itu namun langit masih gelap. Di sana, sekelompok mahasiswa yang sedang berbicara mengenai suatu acara sudah pulang, seorang mahasiswa berambut ikal yang tadi kelihatannya sedang mengerjakan tugas juga sudah tidak kelihatan. Meja-meja yang kosong kini sudah hampir terisi, dan kebanyakan dari meja itu diisi oleh pasangan kekasih yang sepertinya sedang malam mingguan bersama. Aku
“Ngomong-ngomong kalian kenapa udah balik lagi ke Bandung? Aku kan masih kangen.” Maria cemberut sambil memegang tangan Caca yang duduk persis di depannya. Caca balas memegang tangannya dan bersayang-sayangan. Aku melihat hal ini sambil menelan ludah. Haruskah aku berpegangan tangan juga dengan Fadhil, yang duduk persis di depanku sambil memperlihatkan tatapan kau-jangan-sentuh-aku. Kuputuskan untuk menggodanya dengan mengikuti perkataan Maria. Fadhil terlihat jijik denganku dan semuanya tertawa. “Iya, kami mau bulan madu,” kata Caca, melingkarkan pelukannya di lengan Fadhil. Mereka berciuman. Maria dan aku sama-sama menelan ludah ketika bibir mereka berpagutan. Mata mereka terpejam dan tangan Fadhil sudah mejalar kemana-mana hampir meremas payudara Caca sebelum Maria dengan berbisik menyuruh mereka berhenti karena tidak enak dilihat pengunjung kafe lainnya. Fadhil dan Caca saling tersenyum dan melihat mata keduanya lekat-lekat, sebelum akhirn
Hujan turun tidak berhenti sedari pagi. Rupanya aku memang tidak diizinkan untuk pergi keliling Jakarta hari ini. Rencanaku bisa saja berubah karena kondisi-kondisi tertentu yang tidak memungkinkan, namun bukan karena aku tidak mengusahakannya. Aku sudah menunggu sampai siang dan berencana segera berangkat jika saja hujan reda. Namun malam menjelang dan hujan hanya berhenti sebentar, kembali lagi saat aku mau siap-siap berangkat untuk makan di luar. Tidak masalah. Dan terima kasih Tuhan karena atap kamar kos-ku tidak bocor kali ini. Aneh juga sebenarnya. Hujan yang dari tadi pagi turun ini cukup deras, dan hampir pasti jenis hujan begini akan membuatku menggeser meja belajar ke samping ranjang sehingga aku bisa menadahkan air hujan ke dalam ember. Yah, disyukuri saja. Jarang-jarang kejadian seperti ini terjadi, pikirku. Sebenarnya tubuhku butuh sedikit olahraga karena dari pagi aku hanya mendekam saja di kamar. Namun ragaku menyukainya. Bermalas-malasan di atas ranja
Tidak seperti kemarin, pagi ini langit cerah luar biasa. Suara kicau burung bersahutan mengisi keindahan yang selalu ada di bayanganku, yang kini jadi nyata. Aku baru saja selesai sarapan dan mandi, sebelum ponselku berdering, Ibu memanggil. “Halo, Ibu. Ada apa Bu?” tanyaku. Aku bisa merasakan di ujung telepon, air muka Ibu sumringah mendengar suaraku, seperti biasanya. “Halo, Nak Rama. Kabarmu baik? Kapan pulang ke rumah?” “Rama baik, Ibu baik? Iya Bu, Rama pulang ke rumah akhir minggu ini ya setelah semua barang dibereskan.” “Ibu baik. Oh begitu, yasudah kalau begitu. Kalau butuh bantuan Mas Yanto, bilang ke Ibu ya, supaya Ibu bisa suruh Mas Yanto ke sana.” Mas Yanto adalah salah satu tetangga yang tinggalnya hanya beberapa rumah dari kami. Ia seorang pria bertubuh kurus yang biasanya membantu memperbaiki AC dengan kakaknya. Namun ia bisa dipanggil sewaktu-waktu jika sedang tidak ada kerjaan untuk membantu Ibu mengantarkan kue-kue buat
Kami berjalan ke arah halte bus yang akan menuju ke Stasiun Kota. Sudah hampir pukul 9 dan haltenya cukup ramai. “Ngomong-ngomong kamu engga ada kuliah hari ini?” tanyaku. Maria tertawa kecil, malu-malu. “Hehe aku bolos.” Kami berdua tertawa. “Kenapa bolos?” “Hm…” Maria mempertimbangkan apakah akan meberitauku atau tidak, ia kelihatannya urung. “It’s okaykok kalau engga mau kasih tau,” kataku sambil tersenyum. Ia membalas senyumku. Lalu kami bicara hal-hal lainnya sambil naik ke dalam bus yang baru saja sampai. Kota Tua tidak begitu jauh dari sini, berarti berdiri sebentar lagi tidak akan membuat kakiku sakit, karena toh nanti aku akan jalan seharian. Dan mungkin akan seharian dengan Maria, itupun kalau ia ingin. “Kamu sendiri, kenapa ke Kota Tua?” tanya Maria. “Oh, aku mau keliling Jakarta sebelum berangkat.” “Wah, mau kemana aja kalau begitu?” tanya Maria semangat. “Hm, e
Kafe Batavia tidak terlalu ramai di hari Selasa siang waktu itu. Hanya ada beberapa turis dan orang Indonesia yang sepertinya berkantor dekat Kota. Kami mengambil meja di samping jendela lantai dua agar bisa melihat Museum dengan jelas. Makanan kami datang tidak terlalu lama dan kami bicara banyak hal. Dari hal-hal remeh sampai sudah menyinggung hal-hal personal mengenai keluarga, teman, diri sendiri, maupun cinta. “Sebenarnya alasanku bolos hari ini karena aku lagi bermasalah sama pacarku, Rama.” Hatiku mencelos mendengarnya. Maria sudah punya pacar? Kenapa tidak ada yang bilang? Kenapa Fadhil malah menyuruhku mendekatinya? Brengsek Fadhil! Hatiku bergejolak namun kutau yang harus kulakukan adalah mendengarnya bercerita. “Kamu punya pacar?” tanyaku, teringat bahwa wajah Maria memang seperti habis menangis di awal bertemu tadi. “Punya. Aku dan Gilang udah pacaran tiga tahun,” kata Maria lesu. Gilang namanya. Laki-laki keparat
Kereta yang kami naiki untuk sampai ke stasiun UI penuh. Kami semua harus berdesak-desakkan agar lebih banyak orang yang pulang kantor dapat segera sampai di rumah mereka masing-masing. Aku memikirkan Maria yang kelihatannya tidak begitu nyaman, berdiri benar-benar menyentuh tubuhku dengan aku yang berusaha tidak menyentuh tubuhnya. Tangan kiriku memegang hand-strapdan Maria memegang tangan kananku. Masih ada sisa ruang di antara kami, jadi kami bisa saling berpandangan, tertawa kecil jika beberapa orang berdesak-desakan turun atau naik di stasiun berikutnya. Namun di stasiun ketiga, lebih banyak orang masuk dan tidak ada yang dapat kami lakukan selain berpelukan. Tidak ada ruang di sekeliling kami, semua terisi dengan manusia-manusia yang sepertinya tidak butuh berpegangan karena semuanya saling berdempetan. Untungnya aku sempat menarik Maria ke pojok persis di sebelah pintu keluar kereta agar kami bisa menghirup udara segar kalau pintu terbuka di stasiun-sta