Share

Bab 3

Kamar kos yang kutempati tidak begitu besar. Lebih besar daripada kamarku di rumah, namun tidak lebih besar dibanding kamar di rumahku dulu waktu masih ada Ayah. Jendela persis di samping ranjang ditutup dengan gorden seadanya milik penghuni sebelumnya. Warna merahnya sudah luntur sampai-sampai kalian akan mengira itu memang warna pink sedari awal. Tidak, sebelumnya itu berwarna merah. Tapi tidak masalah. Yang jadi masalah buatku adalah kadang jika hujan turun begitu deras, atap kamarku hampir pasti bocor dan tepat mengenai meja belajar. Alhasil, aku selalu menggesernya ke dekat ranjang supaya bisa kutaruh ember di bawah atapnya.

Tapi yang patut aku syukuri dari semua hal ini adalah karena aku masih diberikan kelengkapan tubuh dan kesehatan, sehingga setiap hari libur Sabtu dan Minggu aku bisa bekerja sebagai fotografer di acara-acara pernikahan ataupun pensi sekolah. Bayarannya lumayan untuk kutabung supaya bisa mencicil rumah untuk istri dan anakku nanti. Kameranya aku beli setengah harga dari Fadhil karena ia tidak menggunakannya lagi.

Selain itu, aku juga melakukan banyak pekerjaan lainnya di waktu yang seharusnya kupakai untuk tidur. Yah, aku tau ini tidak baik untuk kesehatan, tapi mau bagaimana lagi. Ada mimpi yang harus kucapai dan aku bekerja mati-matian untuk itu. Beberapa kali Ibu mengingatkanku untuk istirahat yang cukup dan makan dengan benar, tapi uang untuk makan dan waktu untuk tidur selalu kukurangi untuk bekerja. Dan aku bersyukur luar biasa karena selama ini tidak pernah jatuh sakit. Padahal kalau dipikir-pikir, gaya hidup yang kujalani ini bisa saja sewaktu-waktu membuatku harus dilarikan ke rumah sakit. Tapi aku selalu merasa bahwa Ayah menjagaku dari atas sana, dan ia bicara pada Tuhan untuk memberikan anaknya kekuatan dan kesehatan yang lebih baik dibandingkan manusia-manusia lain. Dan kupikir Tuhan mengabulkan itu.

Terima kasih Ayah.

Ingatanku di masa lalu, duduk dengan Ayah di ruang keluarga di suatu sore, kembali lagi. Aku ingat waktu itu aku masih berumur 10 tahun. Kami sedang membicarakan celengan ayam dari tanah liat milikku yang isinya sudah penuh dan ingin kupecahkan. Ayah bertanya apa yang mau kulakukan dengan uang-uang itu. Aku menjawab dengan santai bahwa uang-uang ini akan kubelikan es krim supaya di dalam freezer lemari es kami tidak hanya ada es batu. Ayah mengelus rambutku dan tersenyum waktu itu, aku ingat sekali. Lalu ia bercerita bagaimana dulu ketika Ayah masih kecil, masih seumuranku, Eyang Kakung – Ayahnya Ayah – bercerita bahwa ia membeli rumah yang dulu masih murah dari celengan ayam – persis seperti celengan ayam milikku saat itu – dan menikahi seorang wanita – Eyang Putri-ku – dari kalangan terhormat karena telah memperlihatkan usahanya berjerih payah bekerja dan memiliki rumah.

Setelah itu Ayah bercerita bagaimana ia dan Ibu bertemu setelah dikenalkan oleh teman mereka di suatu pesta. Ibu adalah satu-satunya anak perempuan dari seorang pejabat daerah di Jakarta dulu. Ia sangat disayang dan dijaga oleh kedua orang tua serta ketiga kakak laki-laki yang usianya terpaut jauh dengannya. Aku selalu menahan tawa ketika mengingat hal ini karena Ayah akan bercerita dengan gagah bahwa Ayah bekerja sampai malam dan mencari pekerjaan tambahan di hari libur untuk membeli rumah supaya bisa mendapatkan hati Ibu dan keluarganya.

“Tapi Rama, maksudnya bukan karena Ayah punya rumah, jadi Ibu mau sama Ayah ya.. Ada ceritanya lagi. Kami jadi dekat setelah pesta itu dan sama-sama tau, hati kami berdua sudah bertaut satu sama lain. Ayah sudah mengatakan kepada Ibu bahwa Ayah ingin melamarnya. Maka dari itu, hampir setiap hari Ayah berkunjung ke rumah Ibu, berniat mengambil hati Kakek, Nenek, dan Paman-paman. Di awal-awal, mereka sangat dingin, kelihatan sekali lebih menyukai pria yang mereka jodohkan dengan Ibu, pria anak orang kaya. Tapi kalau dilihat-lihat, anak orang kaya itu hanya pandai bicara, namun kelakuannya buruk. Ayah pernah melihatnya mengolok-olok seorang pedagang di jalan. Ayah beritahu juga ke Ibu waktu itu, dan Ibu juga merasakan hal yang sama tentang pria yang dijodohkan dengannya. Dan sepertinya keberuntungan ada di pihak Ayah. Anak orang kaya itu ketahuan telah mencuri banyak uang di kantor keluarganya dan akhirnya perjodohan diputus dari keluarga pihak Ibu. Kakek, Nenek, dan Paman-paman lama- kelamaan pun mengizinkan Ayah melamar Ibu setelah melihat kerja keras Ayah dan rumah yang Ayah beli. Dan akhirnya kami memiliki kalian,” kata Ayah sumringah, memelukku.

“Nak, usaha seorang laki-laki itu dilihat dari kerja kerasnya untuk membahagiakan istri dan anak-anak mereka. Dan itu tidak akan pernah berubah, Rama. Tidak akan pernah berubah.” Perkataan Ayah ini yang selalu terpatri di pikiran dan hatiku. Sejak saat itu, aku selalu menabung dan membayangkan akan membeli rumah untukku dan calon istriku nanti dengan uang-uang yang kuusahakan sedari kecil.

Sejak saat itu juga, aku selalu senang ketika kami semua berkumpul di ruang keluarga pada malam hari dan Ayah bercerita tentang bagaimana ia mendapatkan hati Ibu. Ibu jadi tersipu malu dan setelah itu kami langsung disuruh tidur karena Ayah dan Ibu ingin berduaan, katanya. Setelah tamat SD, aku baru tau apa artinya dan selalu terkekeh ketika Ayah dan Ibu menyuruh kami masuk ke kamar masing-masing karena mereka ingin punya waktu berdua.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status