“Ngomong-ngomong kalian kenapa udah balik lagi ke Bandung? Aku kan masih kangen.” Maria cemberut sambil memegang tangan Caca yang duduk persis di depannya.
Caca balas memegang tangannya dan bersayang-sayangan. Aku melihat hal ini sambil menelan ludah. Haruskah aku berpegangan tangan juga dengan Fadhil, yang duduk persis di depanku sambil memperlihatkan tatapan kau-jangan-sentuh-aku. Kuputuskan untuk menggodanya dengan mengikuti perkataan Maria.
Fadhil terlihat jijik denganku dan semuanya tertawa.
“Iya, kami mau bulan madu,” kata Caca, melingkarkan pelukannya di lengan Fadhil. Mereka berciuman.
Maria dan aku sama-sama menelan ludah ketika bibir mereka berpagutan. Mata mereka terpejam dan tangan Fadhil sudah mejalar kemana-mana hampir meremas payudara Caca sebelum Maria dengan berbisik menyuruh mereka berhenti karena tidak enak dilihat pengunjung kafe lainnya.
Fadhil dan Caca saling tersenyum dan melihat mata keduanya lekat-lekat, sebelum akhirnya aku berdeham dan meminum lemon tea di depan. Aku tau bahwa di dalam pergaulan muda-mudi jaman ini, kebanyakan dari mereka memang sudah melakukan hal-hal yang biasanya di jaman dulu dilakukan oleh sepasang suami istri. Aku tidak keberatan dengan hal itu, menurutku itu pilihan masing-masing orang. Tapi untukku, sebisa mungkin, walaupun pasti sangat sulit menahan kebutuhan biologis, sepertinya lebih enak kalau dilakukan sama istri sendiri.
Tapi aku tidak tau apa yang Maria pikirkan. Apakah ia ingin melakukannya sebelum menikah? Atau sesudah menikah? Atau apakah ia pernah melakukannya dengan pria lain? Oh, pertanyaan terakhir membuatku frustrasi. Lupakan, Rama!
Tidak terasa waktu sudah menunjukkan hampir pukul 10 malam dan kafe akan ditutup. Hanya tinggal beberapa meja yang masih terisi dan setengahnya langsung membereskan barang-barang mereka untuk segera pulang.
“Yah, Ram. Kita berpisah di sini kalau begitu.” Fadhil memelukku dan berbicara empat mata denganku, berbisik-bisik masalah lelaki. Caca dan Maria tidak bisa mendengarnya.
Aku tersenyum mendengar kalimat terakhir Fadhil. Ya, aku tau.
“Yah, Rama bakalan ninggalin kita dong.” Caca cemberut dan memelukku.
“Engga dong, kan kita bisa video-call bareng-bareng, iya engga?” kataku.
“Iya sih, cuma kita engga bisa nongkrong kaya tadi lagi selama 3 tahun.” Fadhil merenung.
“Yah.. Tiga tahun harusnya engga selama itu ya..” Aku mencoba menenangkan mereka.
Kulihat Maria juga sedikit lesu dan cemberut, ikut menenangkan Caca yang keluar air matanya.
Aku akan sangat rindu mereka semua. Fadhil mengajak kami semua pelukan berempat.
“It’s okay ya guys, I’ll be back as you guys lecturer,” kataku sombong.
Kami semua tertawa.
“Ngomong-ngomong Maria kan kos-nya searah Rama, balik bareng aja ya, jangan sendirian lho,” kata Fadhil, menyenggol Rama.
“Iya, jangan balik sendirian. Kamu bareng Rama ya.. Kamu bawa motor, Ram?” tanya Caca.
“Engga, gue jalan kaki. Enggapapa kan Maria jalan kaki?”
“Enggapapa kok, aku ke toilet sebentar ya,” kata Maria, disusul Caca. “Aku ikut, Mar.”
Fadhil menggelengkan kepala. “Perempuan emang ya kalau ke toilet mesti bareng-bareng.”
Aku dari tadi memandangi Maria dan tidak memperhatikan apa yang Fadhil katakan.
Fadhil yang aku yakini sekali sudah memperhatikan gerak-gerikku pada Maria pun berkata, “Ram, kalau suka bilang aja. Inget kata gue tadi, kesempatan engga dateng dua kali.”
Kesempatan tidak datang dua kali? Tapi Ayah selalu bilang bahwa selama manusia masih hidup di Bumi, ia akan selalu punya kesempatan.
“I know what I’m doing, Dhil. Gue engga mau gerak terlalu cepat,” kataku.
“Butuh tanda apa lagi sih lo? Instant connection udah ada, kalian sama-sama tertarik dan kalian serasi banget! Butuh apa lagi, hah?” Fadhil menggelengkan kepalanya.
“Menurut temen gue yang belajar psikologi” belum sempat kuteruskan, Fadhil memotong. “Iya, tapi cinta engga seharusnya lo tolak, Ram. Dia beneran ada di depan lo dan satu-satunya cara untuk membuktikan apakah dia jodoh atau bukan, lo cuma harus ambil satu langkah yaitu coba saling terlibat di kehidupan masing-masing dan cari tau kalian cocok atau engga. Kalau engga dicoba kan engga bakal tau.”
Aku tersenyum. Entahlah, mungkin aku butuh suatu tanda dari Tuhan yang benar-benar mustahil aku tolak.
Maria dan Caca kembali. Setelah berpelukan sekali lagi dengan Caca dan Fadhil, aku dan Maria berjalan ke arah tempat kos kami yang lumayan jauh satu sama lain.
Tidak ada jalan lain selain jalan terjal dan gelap yang menuju ke dekat kampus. Untunglah Maria tidak pulang sendiri, pikirku.
“Udara malam ini dingin banget ya,” kata Maria tiba-tiba, mengelus kedua lengannya.
Jaket yang kupakai langsung kulepas dari tubuhku dan kupakaian pada Maria. Aku melihat rona di wajahnya saat diterangi satu lampu jalan yang masih menyala ketika kami lewat.
“Kamu engga kedinginan?” tanyanya, agak urung.
“Engga, enggapapa kok, kamu pakai aja.” Senyumku padanya.
Ia balas tersenyum dan berterima kasih.
Kami tengah melewati daerah sebelah lapangan dan Maria menarik napas dalam-dalam. “Udaranya enak, habis hujan.” Ia tersenyum padaku.
“Iya, aku juga suka.”
Ia tambah sumringah.
Jalan di depan sana cukup licin karena habis hujan. Sebelum Maria sempat berjalan lebih jauh dengan sepatunya yang agak tinggi, aku menggandeng tangan kirinya dan menuntunnya berjalan. Ia terlihat kaget dan melihat ke arahku. Senyum kuberikan padanya seraya berkata, “aku engga mau kamu jatuh, jadi kutuntun kamu jalan ya.”
Ia masih kelihatan kaget, sebelum akhirnya menggenggam tanganku sangat erat – sampai aku kesakitan, namun tidak kuperlihatkan – dan membalas senyumku.
Kami berjalan hati-hati sambil jantungku berdegub kencang karena memegang tangannya. Maria sepertinya menyadari kegugupanku dan mengajak bicara. Alhasil, kami bicara lagi banyak hal setelah tadi sempat diam.
Seulas senyum hadir di wajahku bersamaan dengan perasaan bahagia sekaligus tenang luar biasa yang aku dapatkan ketika berbicara atau hanya saling pandang dengan Maria tanpa kata-kata. Entah apa yang merasuki kita berdua, aku merasa ia juga memiliki perasaan yang sama terhadapku.
Tapi aku tidak mau terburu-buru dengan cinta. Seperti yang telah kukatakan tadi, sepertinya aku butuh suatu tanda dari Tuhan yang membuatku tidak dapat berkutik selain menaatinya. Maka dari itu, setelah aku selesai mengantar Maria, tak pernah ada pesan dariku padanya ataupun darinya padaku. Kami seperti hilang dari kehidupan masing-masing sampai tiga hari berikutnya….
Hujan turun tidak berhenti sedari pagi. Rupanya aku memang tidak diizinkan untuk pergi keliling Jakarta hari ini. Rencanaku bisa saja berubah karena kondisi-kondisi tertentu yang tidak memungkinkan, namun bukan karena aku tidak mengusahakannya. Aku sudah menunggu sampai siang dan berencana segera berangkat jika saja hujan reda. Namun malam menjelang dan hujan hanya berhenti sebentar, kembali lagi saat aku mau siap-siap berangkat untuk makan di luar. Tidak masalah. Dan terima kasih Tuhan karena atap kamar kos-ku tidak bocor kali ini. Aneh juga sebenarnya. Hujan yang dari tadi pagi turun ini cukup deras, dan hampir pasti jenis hujan begini akan membuatku menggeser meja belajar ke samping ranjang sehingga aku bisa menadahkan air hujan ke dalam ember. Yah, disyukuri saja. Jarang-jarang kejadian seperti ini terjadi, pikirku. Sebenarnya tubuhku butuh sedikit olahraga karena dari pagi aku hanya mendekam saja di kamar. Namun ragaku menyukainya. Bermalas-malasan di atas ranja
Tidak seperti kemarin, pagi ini langit cerah luar biasa. Suara kicau burung bersahutan mengisi keindahan yang selalu ada di bayanganku, yang kini jadi nyata. Aku baru saja selesai sarapan dan mandi, sebelum ponselku berdering, Ibu memanggil. “Halo, Ibu. Ada apa Bu?” tanyaku. Aku bisa merasakan di ujung telepon, air muka Ibu sumringah mendengar suaraku, seperti biasanya. “Halo, Nak Rama. Kabarmu baik? Kapan pulang ke rumah?” “Rama baik, Ibu baik? Iya Bu, Rama pulang ke rumah akhir minggu ini ya setelah semua barang dibereskan.” “Ibu baik. Oh begitu, yasudah kalau begitu. Kalau butuh bantuan Mas Yanto, bilang ke Ibu ya, supaya Ibu bisa suruh Mas Yanto ke sana.” Mas Yanto adalah salah satu tetangga yang tinggalnya hanya beberapa rumah dari kami. Ia seorang pria bertubuh kurus yang biasanya membantu memperbaiki AC dengan kakaknya. Namun ia bisa dipanggil sewaktu-waktu jika sedang tidak ada kerjaan untuk membantu Ibu mengantarkan kue-kue buat
Kami berjalan ke arah halte bus yang akan menuju ke Stasiun Kota. Sudah hampir pukul 9 dan haltenya cukup ramai. “Ngomong-ngomong kamu engga ada kuliah hari ini?” tanyaku. Maria tertawa kecil, malu-malu. “Hehe aku bolos.” Kami berdua tertawa. “Kenapa bolos?” “Hm…” Maria mempertimbangkan apakah akan meberitauku atau tidak, ia kelihatannya urung. “It’s okaykok kalau engga mau kasih tau,” kataku sambil tersenyum. Ia membalas senyumku. Lalu kami bicara hal-hal lainnya sambil naik ke dalam bus yang baru saja sampai. Kota Tua tidak begitu jauh dari sini, berarti berdiri sebentar lagi tidak akan membuat kakiku sakit, karena toh nanti aku akan jalan seharian. Dan mungkin akan seharian dengan Maria, itupun kalau ia ingin. “Kamu sendiri, kenapa ke Kota Tua?” tanya Maria. “Oh, aku mau keliling Jakarta sebelum berangkat.” “Wah, mau kemana aja kalau begitu?” tanya Maria semangat. “Hm, e
Kafe Batavia tidak terlalu ramai di hari Selasa siang waktu itu. Hanya ada beberapa turis dan orang Indonesia yang sepertinya berkantor dekat Kota. Kami mengambil meja di samping jendela lantai dua agar bisa melihat Museum dengan jelas. Makanan kami datang tidak terlalu lama dan kami bicara banyak hal. Dari hal-hal remeh sampai sudah menyinggung hal-hal personal mengenai keluarga, teman, diri sendiri, maupun cinta. “Sebenarnya alasanku bolos hari ini karena aku lagi bermasalah sama pacarku, Rama.” Hatiku mencelos mendengarnya. Maria sudah punya pacar? Kenapa tidak ada yang bilang? Kenapa Fadhil malah menyuruhku mendekatinya? Brengsek Fadhil! Hatiku bergejolak namun kutau yang harus kulakukan adalah mendengarnya bercerita. “Kamu punya pacar?” tanyaku, teringat bahwa wajah Maria memang seperti habis menangis di awal bertemu tadi. “Punya. Aku dan Gilang udah pacaran tiga tahun,” kata Maria lesu. Gilang namanya. Laki-laki keparat
Kereta yang kami naiki untuk sampai ke stasiun UI penuh. Kami semua harus berdesak-desakkan agar lebih banyak orang yang pulang kantor dapat segera sampai di rumah mereka masing-masing. Aku memikirkan Maria yang kelihatannya tidak begitu nyaman, berdiri benar-benar menyentuh tubuhku dengan aku yang berusaha tidak menyentuh tubuhnya. Tangan kiriku memegang hand-strapdan Maria memegang tangan kananku. Masih ada sisa ruang di antara kami, jadi kami bisa saling berpandangan, tertawa kecil jika beberapa orang berdesak-desakan turun atau naik di stasiun berikutnya. Namun di stasiun ketiga, lebih banyak orang masuk dan tidak ada yang dapat kami lakukan selain berpelukan. Tidak ada ruang di sekeliling kami, semua terisi dengan manusia-manusia yang sepertinya tidak butuh berpegangan karena semuanya saling berdempetan. Untungnya aku sempat menarik Maria ke pojok persis di sebelah pintu keluar kereta agar kami bisa menghirup udara segar kalau pintu terbuka di stasiun-sta
Malam ini Maria tidur di tempat kos temannya yang baru bisa kuhubungi setelah Maria selesai berpakaian. Aku sempat tanya padanya apakah ada bagian tubuhnya yang sakit. Wajahnya kembali memerah dan ia mulai menangis sesenggukan. Aku peluk lagi tubuhnya untuk menenangkannya. Januari, teman yang satu jurusan dengan Maria tiba segera dan memeluknya erat. Tangisan Maria pecah lagi di pundak temannya. Aku kaget karena Januari tak ada habis-habisnya mengucapkan sumpah serapah di udara untuk Gilang. Aku belum sempat mengenalkan diri, namun Januari sudah tau namaku. “Halo, Rama kan?” katanya masih memeluk Maria dan menatapku. Aku mengangguk sambil mengelus rambut Maria. “Malam ini Maria tidur di kos-mu dulu ya..” “Iya Mar, malam ini kamu tidur di kos-ku dulu ya. Biar nanti kami yang urus si bajingan itu.” Januari mengangguk ke arahku, mengisyaratkan bahwa kami berdua yang akan ke kantor polisi mengurus masalah ini. Maria masih sesenggukan, sebelum akhi
Di sela-sela haru begitu pikiranku bisa-bisanya melayang ke mimpi basah yang waktu itu kualami mengenai Maria. Ia juga hanya mengenakan handuk, namun tanpa riasan di wajahnya. Dan bedanya lagi, ia sedang menangis tepat di depanku sekarang. Fadhil ikut memeluk Maria dan menenangkannya. Aku mengelus-elus pundaknya dan tangis Maria makin menjadi-jadi. Sekilas ia melihat ke arahku dan menggenggam tanganku erat. Sekitar lima menit berlalu dengan Caca dan Fadhil yang terus berkata menenangkan Maria yang tidak ada habis-habisnya meminta maaf karena tidak mau percaya dengan kata-kata kedua sahabatnya itu. Caca dan Fadhil saling pandang dengan iba pada Maria dan terus menenangkannya, berkata bahwa tidak masalah, mereka akan terus bersama Maria. Ohya, aku belum menceritakan ini pada kalian, bagaimana Fadhil, Caca, dan Maria bisa saling kenal. Maria itu sahabat Caca sedari SD, walaupun mereka beda 2 tahun. Dulu rumah mereka berdekatan sebelum Caca dan keluarganya pindah
Hari ini ulang tahun Salsa yang ke-17. Aku sudah berada di rumah sedangkan Fadhil dan Caca sudah kembali ke Bandung setelah Gilang dijatuhi hukuman penjara empat tahun. Aku bisa merasakan bahwa kini Maria lebih ceria karena ia tidak perlu khawatir dengan teror ataupun kedatangan Gilang tiba-tiba di kos-nya, karena ia yakin Gilang tidak bisa kabur dari penjara semudah itu. Aku baru selesai mandi dan melihat Salsa yang baru bangun tidur berjalan menuju meja makan. Niatku mengagetkannya digagalkan dengan kedatangan tiba-tiba Ibu dan Rania yang berteriak menyanyikan lagu Selamat Ulang Tahunsambil membawa kue dengan lilin menyala di atasnya, menuju meja makan. Aku bergabung bersama mereka. Salsa terlihat ingin menangis menahan haru, masih menggunakan piyama tidurnya dengan rambut panjang belum disisir. Wajah manis berkulit sawo matang yang kulihat ini diwarisi dari Ayah. Ia kelihatan gembira. Aku memeluknya dan memberikan ucapan selamat ulang tahun, diikuti