Share

Bab 6

“Ngomong-ngomong kalian kenapa udah balik lagi ke Bandung? Aku kan masih kangen.” Maria cemberut sambil memegang tangan Caca yang duduk persis di depannya.

Caca balas memegang tangannya dan bersayang-sayangan. Aku melihat hal ini sambil menelan ludah. Haruskah aku berpegangan tangan juga dengan Fadhil, yang duduk persis di depanku sambil memperlihatkan tatapan kau-jangan-sentuh-aku. Kuputuskan untuk menggodanya dengan mengikuti perkataan Maria.

Fadhil terlihat jijik denganku dan semuanya tertawa.

“Iya, kami mau bulan madu,” kata Caca, melingkarkan pelukannya di lengan Fadhil. Mereka berciuman.

Maria dan aku sama-sama menelan ludah ketika bibir mereka berpagutan. Mata mereka terpejam dan tangan Fadhil sudah mejalar kemana-mana hampir meremas payudara Caca sebelum Maria dengan berbisik menyuruh mereka berhenti karena tidak enak dilihat pengunjung kafe lainnya.

Fadhil dan Caca saling tersenyum dan melihat mata keduanya lekat-lekat, sebelum akhirnya aku berdeham dan meminum lemon tea di depan. Aku tau bahwa di dalam pergaulan muda-mudi jaman ini, kebanyakan dari mereka memang sudah melakukan hal-hal yang biasanya di jaman dulu dilakukan oleh sepasang suami istri. Aku tidak keberatan dengan hal itu, menurutku itu pilihan masing-masing orang. Tapi untukku, sebisa mungkin, walaupun pasti sangat sulit menahan kebutuhan biologis, sepertinya lebih enak kalau dilakukan sama istri sendiri.

Tapi aku tidak tau apa yang Maria pikirkan. Apakah ia ingin melakukannya sebelum menikah? Atau sesudah menikah? Atau apakah ia pernah melakukannya dengan pria lain? Oh, pertanyaan terakhir membuatku frustrasi. Lupakan, Rama!

Tidak terasa waktu sudah menunjukkan hampir pukul 10 malam dan kafe akan ditutup. Hanya tinggal beberapa meja yang masih terisi dan setengahnya langsung membereskan barang-barang mereka untuk segera pulang.

“Yah, Ram. Kita berpisah di sini kalau begitu.” Fadhil memelukku dan berbicara empat mata denganku, berbisik-bisik masalah lelaki. Caca dan Maria tidak bisa mendengarnya.

Aku tersenyum mendengar kalimat terakhir Fadhil. Ya, aku tau.

“Yah, Rama bakalan ninggalin kita dong.” Caca cemberut dan memelukku.

“Engga dong, kan kita bisa video-call bareng-bareng, iya engga?” kataku.

“Iya sih, cuma kita engga bisa nongkrong kaya tadi lagi selama 3 tahun.” Fadhil merenung.

“Yah.. Tiga tahun harusnya engga selama itu ya..” Aku mencoba menenangkan mereka.

Kulihat Maria juga sedikit lesu dan cemberut, ikut menenangkan Caca yang keluar air matanya.

Aku akan sangat rindu mereka semua. Fadhil mengajak kami semua pelukan berempat.

It’s okay ya guys, I’ll be back as you guys lecturer,” kataku sombong.

Kami semua tertawa.

“Ngomong-ngomong Maria kan kos-nya searah Rama, balik bareng aja ya, jangan sendirian lho,” kata Fadhil, menyenggol Rama.

“Iya, jangan balik sendirian. Kamu bareng Rama ya.. Kamu bawa motor, Ram?” tanya Caca.

“Engga, gue jalan kaki. Enggapapa kan Maria jalan kaki?”

“Enggapapa kok, aku ke toilet sebentar ya,” kata Maria, disusul Caca. “Aku ikut, Mar.”

Fadhil menggelengkan kepala. “Perempuan emang ya kalau ke toilet mesti bareng-bareng.”

Aku dari tadi memandangi Maria dan tidak memperhatikan apa yang Fadhil katakan.

Fadhil yang aku yakini sekali sudah memperhatikan gerak-gerikku pada Maria pun berkata, “Ram, kalau suka bilang aja. Inget kata gue tadi, kesempatan engga dateng dua kali.”

Kesempatan tidak datang dua kali? Tapi Ayah selalu bilang bahwa selama manusia masih hidup di Bumi, ia akan selalu punya kesempatan.

I know what I’m doing, Dhil. Gue engga mau gerak terlalu cepat,” kataku.

“Butuh tanda apa lagi sih lo? Instant connection udah ada, kalian sama-sama tertarik dan kalian serasi banget! Butuh apa lagi, hah?” Fadhil menggelengkan kepalanya.

“Menurut temen gue yang belajar psikologi” belum sempat kuteruskan, Fadhil memotong. “Iya, tapi cinta engga seharusnya lo tolak, Ram. Dia beneran ada di depan lo dan satu-satunya cara untuk membuktikan apakah dia jodoh atau bukan, lo cuma harus ambil satu langkah yaitu coba saling terlibat di kehidupan masing-masing dan cari tau kalian cocok atau engga. Kalau engga dicoba kan engga bakal tau.”

Aku tersenyum. Entahlah, mungkin aku butuh suatu tanda dari Tuhan yang benar-benar mustahil aku tolak.

Maria dan Caca kembali. Setelah berpelukan sekali lagi dengan Caca dan Fadhil, aku dan Maria berjalan ke arah tempat kos kami yang lumayan jauh satu sama lain.

Tidak ada jalan lain selain jalan terjal dan gelap yang menuju ke dekat kampus. Untunglah Maria tidak pulang sendiri, pikirku.

“Udara malam ini dingin banget ya,” kata Maria tiba-tiba, mengelus kedua lengannya.

Jaket yang kupakai langsung kulepas dari tubuhku dan kupakaian pada Maria. Aku melihat rona di wajahnya saat diterangi satu lampu jalan yang masih menyala ketika kami lewat.

“Kamu engga kedinginan?” tanyanya, agak urung.

“Engga, enggapapa kok, kamu pakai aja.” Senyumku padanya.

Ia balas tersenyum dan berterima kasih.

Kami tengah melewati daerah sebelah lapangan dan Maria menarik napas dalam-dalam. “Udaranya enak, habis hujan.” Ia tersenyum padaku.

“Iya, aku juga suka.”

Ia tambah sumringah.

Jalan di depan sana cukup licin karena habis hujan. Sebelum Maria sempat berjalan lebih jauh dengan sepatunya yang agak tinggi, aku menggandeng tangan kirinya dan menuntunnya berjalan. Ia terlihat kaget dan melihat ke arahku. Senyum kuberikan padanya seraya berkata, “aku engga mau kamu jatuh, jadi kutuntun kamu jalan ya.”

Ia masih kelihatan kaget, sebelum akhirnya menggenggam tanganku sangat erat – sampai aku kesakitan, namun tidak kuperlihatkan – dan membalas senyumku.

Kami berjalan hati-hati sambil jantungku berdegub kencang karena memegang tangannya. Maria sepertinya menyadari kegugupanku dan mengajak bicara. Alhasil, kami bicara lagi banyak hal setelah tadi sempat diam.

Seulas senyum hadir di wajahku bersamaan dengan perasaan bahagia sekaligus tenang luar biasa yang aku dapatkan ketika berbicara atau hanya saling pandang dengan Maria tanpa kata-kata. Entah apa yang merasuki kita berdua, aku merasa ia juga memiliki perasaan yang sama terhadapku.

Tapi aku tidak mau terburu-buru dengan cinta. Seperti yang telah kukatakan tadi, sepertinya aku butuh suatu tanda dari Tuhan yang membuatku tidak dapat berkutik selain menaatinya.  Maka dari itu, setelah aku selesai mengantar Maria, tak pernah ada pesan dariku padanya ataupun darinya padaku. Kami seperti hilang dari kehidupan masing-masing sampai tiga hari berikutnya….

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status