Share

Bab 4

“Rama, nanti ada satu temen gue sama Caca ikut juga ya.. Sekalian, belum ketemu sama kami juga soalnya. Besok gue udah langsung ke Bandung lagi kan,” kata Fadhil di telepon.

Aku mengiyakan perkataannya dan berencana melanjutkan tidur siang karena kepalaku masih sakit. Sekarang pukul 11, aku akan bangun pukul 2 dan bersiap-siap, pikirku. Kurebahkan lagi tubuhku yang tadi sempat bangun tiba-tiba karena panggilan telepon.

Aku bermimpi bertemu dengan Ayah di suatu tempat yang tidak kukenal. Ruangan itu bernuansa biru dengan detil-detil yang samar. Aku hanya melihat Ayah berdiri di tengah dengan banyak sekelebatan seperti orang-orang berjalan hilir mudik. Yang jelas bagiku hanya Ayah. Ia memakai kemeja putih dan celana coklat favoritnya. Aku tidak begitu memperhatikan sepatunya karena agak samar. Wajahnya persis seperti Ayah namun kelihatan lebih muda dan bahagia. Tidak ada guratan lelah ataupun sakit, hanya ada wajah yang segar. Ayah melihat ke arahku dan tersenyum haru. Aku meneteskan air mata dan begitupun dengannya.

Ini berlangsung cukup lama. Ada keinginan untuk berjalan mendekat ke arahnya namun di hatiku seperti ada yang berkata, “bicara saja dari sana, Ayah dengar Rama." Dengan suara yang persis seperti Ayah. Kemudian aku ingat cara ketika aku biasanya berbicara dengan Ayah dalam hati, seperti yang baru kulakukan tadi di toilet kampus.

Ayah, aku rindu sama Ayah. Ayah baik-baik saja kan kabarnya? (Sebenarnya aku sudah tau bahwa Ayah baik-baik saja, dapat dilihat dari keadaannya sekarang). Ibu, Rama, Rania, dan Salsa baik-baik kok, Yah. Kami masih bisa hidup dari uang pensiunan Ayah. Ohya, aku belum sempet cerita mengenai Salsa. Sebentar lagi Salsa ulang tahun yang ke-17. Dia sih engga minta  dirayain, tapi aku tau di lubuk hatinya, ia ingin ada perayaan, walaupun sederhana. Ayah tenang aja, aku sudah siapkan uangnya untuk Salsa kok. (Aku melihat setitik haru di wajah Ayah). Nanti Ayah dateng ya ke ulang tahunnya Salsa. Seperti yang dulu Ayah lakukan juga di ulang tahunku yang ke-17. (Aku ingat Ayah pernah datang ke mimpiku tepat di hari ulang tahunku yang ke-17). (Ayah mengangguk pelan). Ayah, Ibu juga baik-baik saja di sini. Kelihatan lelah tapi juga bahagia ketika kami semua pulang ke rumah. Ayah juga jagain Ibu dari Surga kan? (Ayah mengangguk pelan). Iya, pasti Ayah akan jagain cinta di dalam hidup Ayah ya.. (Aku terdiam sejenak). Ayah, aku jadi penasaran, kira-kira istriku di masa depan itu siapa ya? Ia akan seperti apa? Ayah tau engga? Apakah ia akan seperti yang kubayangkan?

Tiba-tiba saja seperti ada angin yang bergerak ke arahku, mengaburkan pandanganku dari Ayah. Dan sesaat lamanya, aku mendengar suara Ayah berkata lembut, “Ayah sudah tau, Rama. Kalian berdua berjalan saling mendekat.” Seketika itu juga aku terbangun karena alarm di ponselku menyala. Tepat pukul 14:00. Memang sudah saatnya aku bangun.

Kafe yang akan kami kunjungi tidak begitu jauh dari tempat kos-ku. Jadi setelah mandi dan bersiap-siap, kuputuskan untuk jalan kaki saja ke sana. Sekarang masih pukul 14:30, dan aku terbiasa untuk datang lebih cepat dari rencana awal bertemu, mengantisipasi ada kejadian yang tidak terduga atau tiba-tiba hujan di jalan. Dan benar saja, hujan di jalan.

Pukul 14:45 aku tiba di kafe dan mengambil tempat duduk di pojok persis samping jendela. Pemandangan di luar kelihatan riuh dibarengi suara klakson kendaraan bermotor saling mendahului, ditambah suara hujan. Kota Depok sedang macet-macetnya. Dan hujan sedang lebat-lebatnya.

Di dalam ada beberapa orang yang kelihatannya seperti mahasiswa, sedang mengerjakan tugas di laptop atau berbicara berkelompok mengenai acara yang sedang mereka rencanakan. Ini mengingatkan kembali pada masa-masa kuliahku yang menyenangkan. Ada juga beberapa pasang kekasih yang sedang berpegangan tangan mesra sambil bicara. Kalau yang ini tidak mengingatkanku pada hal menyenangkan apapun, karena masa kuliahku penuh dengan Buku, tanpa Pesta, dan Cinta.

Enggapapa, Rama. Masing-masing punya jalan. Nanti kamu juga ketemu sendiri sama jodohmu. Kataku dalam hati.

Belum sempat aku mengalihkan pandangan dari salah satu pasangan yang duduk di tengah, ponselku nyala dan Fadhil menelpon.

“Yo, kenapa Dhil?”

Suara gemuruh hujan terdengar dari ujung telepon, samar-samar suara Fadhil berusaha mengalahkannya. “Hei Ram, sorry banget, gue kejebak hujan di tengah jalan karena naik motor. Gue sama Caca bakal telat banget sih, lo gimana?”

“Oalah, enggapapa, gue udah di tempat. Kursi kalian aman,” kataku.

“Tambah satu kursi kan? Temen gue, Maria, juga mau ikut, yang tadi gue bilang. Anaknya udah di sana katanya. Lo tolong ajak ngobrol dulu ya, gue sama Caca bakalan telat karena nunggu hujan nih.” Suara Fadhil berlomba-lomba dengan hujan.

“Temen lo yang mana? Gue engga tau, coba kasih nomornya ke..” Belum sempat kuselesaikan kalimatku, dari arah depan terdengar suara. “Halo, Rama ya?”

Seorang wanita berambut panjang berkacamata setinggi kurang lebih 155 cm sedang berdiri dan tersenyum di hadapanku. Zink. Konsentrasiku pecah, aku lupa apa yang baru saja kulakukan dan apa yang harus kulakukan setelah ini. Aku diam mematung.

“Ram? Rama?” Suara dari ujung telepon dengan gemuruh petir membangunkanku. Aku menggelengkan kepala dan melihat wanita di depanku tidak lagi tersenyum, namun mengernyitkan kening.

“Oy, Dhil, ini Maria.” Aku langsung menyodorkan ponselku ke tangan wanita di depan yang kuyakini Maria – namun belum pasti – dan benar, ia menyapa Fadhil melalui ponselku dan berbicara entah apa, konsentrasiku belum penuh.

Rama, bangun! Aku menyuruh diriku sendiri sadar akan kekosongan di kepalaku, yang semua isinya memenuhi hatiku. Jantungku berdegub kencang tak keruan. Astaga, ini yang Fadhil katakan padaku ketika ia pertama kali bertemu Caca!

Jatuh cintakah aku?

Maria memberikan ponsel milikku dan Fadhil berkata lagi, “Ram, tolongin dulu ya. Baik-baik lho..”

Baik-baik lho? Memangnya Maria akan kuapakan? Sialan Fadhil! Belum sempat kuberkata-kata, sambungan kami terputus.

Maria masih berdiri di hadapanku. Ia menggunakan pakaian terusan selutut berwarna hitam dan cardigan merah yang mengikuti lekuk tubuhnya. Ia tersenyum lagi padaku.

Aku berdiri dan mempersilahkannya duduk. Satu-dua detik canggung sebelum dengan bersama-sama kami berdua berkata, “kamu …”

Kami sama-sama tersipu. “Maria duluan.” Aku mempersilahkannya bicara dahulu.

Maria menaruh tas hitam di pangkuannya dan berkata, “kamu Rama kan?”

“Iya, aku Rama. Maaf tadi aku.. Entahlah.. Sorry, sorry tadi engga jawab pertanyaanmu waktu kita ketemu,” kataku, salah tingkah.

Maria tersenyum dan menggerakkan kepalanya miring. “It’s okay. Aku Maria, temannya Fadhil dan Caca.”

“Oh, iya kuliah di Bandung juga?” tanyaku.

“Engga, aku kuliah di UI, sama kaya kamu.” Maria tersenyum.

“Ohya? Oalah, jurusan apa?” tanyaku kaget.

“Aku ambil sastra Indonesia. Dan aku baru semester 2. Kita beda 3 tahun, kalau engga salah kata Fadhil.” Maria mengingat-ingat.

“Oalah sastra Indonesia. Aku ada temen di sana tapi pasti kamu engga kenal,” kataku.

“Ohya, siapa? Mungkin aku kenal. Soalnya waktu semester 1 kami di-ospek harus kenal sama semua senior di sana,” katanya terkekeh.

“Oalah, tapi temenku udah meninggal waktu aku semester 2,” kataku lugu.

Senyum paling manis Maria ulaskan di bibirnya, diikuti tawa kecil yang membuat jantungku berdegub makin kencang.

“Kamu lucu, Rama,” kata Maria malu-malu, sebelum ia melanjutkan, “kok aku jadi gemes ya?”

Oh Tuhan, perempuan di depanku ini membuatku kehilangan arah di hatiku sendiri.

Kalau dilihat-lihat, Maria bukan termasuk ke dalam golongan perempuan yang populer karena kecantikan ataupun tubuhnya yang indah. Orang-orang awam yang melihatnya pasti akan menilai wajah Maria biasa saja, hidungnya bisa dibilang cukup besar, dan tubuhnya bukan yang tinggi semampai seperti perempuan-perempuan populer di kampus. Tapi buatku, ia sangat cantik. Dan aku bisa merasakan ketenangan dan bahagia ketika ia hadir – di samping degub kencang jantungku.

Sepertinya aku memang jatuh cinta.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status