Share

Bab 5

Satu jam berlalu dengan piring yang sudah kosong dan minuman kami berdua yang hampir habis di depan meja. Kami bicara banyak hal mengenai apapun dan itu sangat menyenangkan untukku. Dan kuharap juga untuknya. Beberapa kali ia memiringkan kepalanya dan tersenyum, menyangga dagu di tangannya seraya mendengarku menceritakan kehidupan di kampus. Ia juga menceritakan dosen-dosen di jurusannya yang membuat dia pusing bukan kepalang. Kami tertawa banyak di cerita mengenai ospek dan ia ikut berduka ketika aku menceritakan temanku di jurusan sastra Indonesia yang meninggal.

Hujan tinggal gerimis waktu itu namun langit masih gelap. Di sana, sekelompok mahasiswa yang sedang berbicara mengenai suatu acara sudah pulang, seorang mahasiswa berambut ikal yang tadi kelihatannya sedang mengerjakan tugas juga sudah tidak kelihatan. Meja-meja yang kosong kini sudah hampir terisi, dan kebanyakan dari meja itu diisi oleh pasangan kekasih yang sepertinya sedang malam mingguan bersama.

Aku jadi berpikir, apakah orang-orang di sana juga mengira aku dan Maria sepasang kekasih? Kalau aku keluar dari sudut pandangku dan mengambil pandangan dari arah mahasiswi ber-sweater coklat di sudut ruangan, pastilah ia akan mengira kami berdua pacaran. Karena aku merasa banyak sekali saat dimana bahasa tubuh kami yang seirama, harmonis. Kalau kata dua orang temanku dari jurusan psikologi, salah satu tanda dua orang jatuh cinta itu adalah bahasa tubuh mereka akan seirama. Dan itu terjadi padaku dan Maria.

Rama, mungkin hanya kamu, pikirku, mencoba menetralkan perasaan ini agar tidak terlalu jauh. Tapi, memang kenapa kalau sampai jauh? Bukankah aku ini juga manusia yang normalnya merasakan cinta? Iya, tapi kamu mau pergi ke Amerika! Jangan berikan harapan kepada perempuan kalau kamu engga bisa menepati janjimu padanya. Sttt Rama! Kan kamu juga belum tau ini akan kemana, ya rayakan saja cintanya selagi masih ada! Aku dibungkam diriku sendiri. Akhirnya kuikuti kemana hatiku melangkah, sambil terus menjaganya agar selurus logika.

Ponsel Maria berdering di tengah pembicaraan kami mengenai mana yang lebih baik, menjadi orang yang hidup tanpa tujuan atau tau tujuan hidup namun mati di tengah jalan.

“Halo..” Maria mengisyaratkan dengan bibirnya bahwa itu Fadhil di ujung telepon.

“Iya, enggapapa, kita tunggu ya. Hati-hati di jalan sama Caca.” Maria memutus sambungan teleponnya dan memberitauku bahwa Fadhil dan Caca baru akan berangkat. Kurang lebih tiba di sini dalam setengah jam.

Aku mengiyakan dan melanjutkan pembicaraan kami mengenai hal yang tadi terpotong.

Waktu berlalu begitu cepat jika kita menghabiskannya dengan orang yang kita cintai. Tiba-tiba aku teringat perkataan Ayah waktu yang lalu, ketika melihat jam di ponselku menunjukkan pukul 16:45 sambil menunggu Maria yang sedang ke toilet.

Pintu restoran terbuka, Fadhil dan Caca masuk ke dalam, mencariku. Aku yang sudah melihat mereka duluan memanggilnya dan mereka menghampiri.

“Hey, bro!” Aku berdiri dan memeluk Fadhil.

“Wah Ram, kabar baik kan?” tanya Fadhil.

“Baik, baik, lo gimana?”

Maria sudah bergabung bersama kami dan memeluk Caca. “Sayang, kangen..” kata Maria. Aku dan Fadhil yang sudah selesai berpelukan sedang memperhatikan para wanita sedang sayang-sayangan. Fadhil merasa lucu, namun aku membayangkan bahwa Maria berkata seperti itu padaku.

“Aku juga kangen, sayang..” balas Caca, mempererat pelukan mereka.

Aku masih dalam angan-anganku. Sekarang Maria sedang memeluk Fadhil, sedangkan Caca mengernyitkan keningnya melihatku mematung dengan tatapan kosong. Caca ingin memelukku namun aku sedang tidak ada di sana. Di bayanganku, aku dan Maria sedang berjalan-jalan di UI sambil berpegangan tangan mesra selayaknya muda-mudi berpacaran. Kami baru akan sampai di kursi yang kita tuju di pinggir danau, sebelum akhirnya badanku digoyangkan Caca sambil ia berkata, “Ram, lo kenapa? Engga kenapa-kenapa kan? Lo sakit?”

Aku menggelengkan kepala dan membuyarkan bayanganku sendiri, melihat ke arah Caca yang merengut. “Ah Rama engga mau pelukan sama gue, sebel. Padahal kita temen.” Caca menyilangkan tangan di dadanya.

Aku tertawa dan langsung memeluknya. Ia juga ikutan tertawa.

Maria dan Fadhil tersenyum melihat kejadian ini. Akhirnya kami semua duduk di kursi, memesan makanan dan minuman lagi, seraya berbicara banyak hal. Kami berempat sudah seperti teman yang akrab sekali rasanya. Banyak hal yang kami setujui bersama. Pun kalau tidak disetujui, tetap ada saling menghargai tentang keputusan masing-masing. Dan untungnya, tidak ada pendapat atau keputusan yang benar-benar di luar batas kemanusiaan dan logika yang keluar dari mulut masing-masing kami. Syukurlah, tidak perlu ada di antara kami yang harus menyeret-nyeret salah satunya untuk berpikir dua kali sebelum bertindak. Karena masing-masing dari kami jelas sudah berpikir ratusan kali sebelum melakukan hal-hal penting.

Instant connection,” kata Fadhil sambil sesekali melihat Caca yang memeluk mesra lengannya.

Kami sedang membicarakan masalah cinta dan salah satu ciri dari jodoh menurut Fadhil dan Caca adalah Instant Connection.

“Kami dulu begitu. Baru bertemu sekali dan kami merasakannya,” kata Caca.

Ohya, aku lupa. Akan kuberitau kalian semua tipe wanita seperti apa yang Fadhil sukai. Caca adalah perempuan setinggi 170 cm dengan rambut pendek sebahu dicat ungu, berpakaian serba hitam, pun lipstiknya hitam. Pakai sepatu bot yang semua orang yakini dapat mematahkan leher penjahat sekali tendangan saking terlihat mengerikannya dengan beberapa tanduk tumpul berwarna perak di punggung sepatu. Orang-orang awam yang melihat Caca pasti akan berpikir untuk tidak memiliki masalah apapun dengannya karena wajahnya yang sangar. Pun Caca kelihatannya tidak akan berpikir dua kali untuk meninju siapapun yang berani melanggar batas tak terlihat yang selalu ia katakan pada orang-orang di sekitarnya.

“Hey, jangan langgar batas ini.” Caca membuat lingkaran tak terlihat sepanjang tangan di sekeliling tubuhnya, pada laki-laki yang dari tadi dilihat ingin mendekat dan mencoba mengganggunya.

Untunglah belum pernah ada yang benar-benar punya masalah dengan Caca kecuali Bagong, sebutan akrab Davin, karateka sekaligus mahasiswa yang satu jurusan dengan Caca.

Waktu itu, Bagong hanya ingin mengetahui seberapa kuat Caca dibandingkan dirinya. Dan ia menyesal minta ampun ketika lehernya hampir patah di depan semua orang ketika dirinya melanggar batas yang Caca berikan.

Kalau kalian lupa, Caca adalah perempuan yang mengatakan anak-orang-kaya-gila sebutan Fadhil dengan kata yang lebih kasar: brengsek, waktu mereka masih menjadi mahasiswa baru di Bandung. Setelah kejadian itu, Fadhil dan Caca berteman sampai dua tahun, sebelum akhirnya Fadhil menyatakan cinta padanya dan mereka berdua berpacaran. Dan kalau sudah pernah kukatakan bahwa Fadhil berubah menjadi pria kekar berpenampilan menarik dengan tatapan jangan-macam-macam-denganku-atau-pacarku, itu salah satunya berkat Caca. Caca adalah bahan bakar dan penyemangat Fadhil untuk bisa membela dirinya sendiri dan memperbaiki penampilannya.

“Maria juga tau kejadian-kejadian yang waktu itu ya, Mar,” kata Caca.

Maria mengangguk sambil tersenyum. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status