Satu jam berlalu dengan piring yang sudah kosong dan minuman kami berdua yang hampir habis di depan meja. Kami bicara banyak hal mengenai apapun dan itu sangat menyenangkan untukku. Dan kuharap juga untuknya. Beberapa kali ia memiringkan kepalanya dan tersenyum, menyangga dagu di tangannya seraya mendengarku menceritakan kehidupan di kampus. Ia juga menceritakan dosen-dosen di jurusannya yang membuat dia pusing bukan kepalang. Kami tertawa banyak di cerita mengenai ospek dan ia ikut berduka ketika aku menceritakan temanku di jurusan sastra Indonesia yang meninggal.
Hujan tinggal gerimis waktu itu namun langit masih gelap. Di sana, sekelompok mahasiswa yang sedang berbicara mengenai suatu acara sudah pulang, seorang mahasiswa berambut ikal yang tadi kelihatannya sedang mengerjakan tugas juga sudah tidak kelihatan. Meja-meja yang kosong kini sudah hampir terisi, dan kebanyakan dari meja itu diisi oleh pasangan kekasih yang sepertinya sedang malam mingguan bersama.
Aku jadi berpikir, apakah orang-orang di sana juga mengira aku dan Maria sepasang kekasih? Kalau aku keluar dari sudut pandangku dan mengambil pandangan dari arah mahasiswi ber-sweater coklat di sudut ruangan, pastilah ia akan mengira kami berdua pacaran. Karena aku merasa banyak sekali saat dimana bahasa tubuh kami yang seirama, harmonis. Kalau kata dua orang temanku dari jurusan psikologi, salah satu tanda dua orang jatuh cinta itu adalah bahasa tubuh mereka akan seirama. Dan itu terjadi padaku dan Maria.
Rama, mungkin hanya kamu, pikirku, mencoba menetralkan perasaan ini agar tidak terlalu jauh. Tapi, memang kenapa kalau sampai jauh? Bukankah aku ini juga manusia yang normalnya merasakan cinta? Iya, tapi kamu mau pergi ke Amerika! Jangan berikan harapan kepada perempuan kalau kamu engga bisa menepati janjimu padanya. Sttt Rama! Kan kamu juga belum tau ini akan kemana, ya rayakan saja cintanya selagi masih ada! Aku dibungkam diriku sendiri. Akhirnya kuikuti kemana hatiku melangkah, sambil terus menjaganya agar selurus logika.
Ponsel Maria berdering di tengah pembicaraan kami mengenai mana yang lebih baik, menjadi orang yang hidup tanpa tujuan atau tau tujuan hidup namun mati di tengah jalan.
“Halo..” Maria mengisyaratkan dengan bibirnya bahwa itu Fadhil di ujung telepon.
“Iya, enggapapa, kita tunggu ya. Hati-hati di jalan sama Caca.” Maria memutus sambungan teleponnya dan memberitauku bahwa Fadhil dan Caca baru akan berangkat. Kurang lebih tiba di sini dalam setengah jam.
Aku mengiyakan dan melanjutkan pembicaraan kami mengenai hal yang tadi terpotong.
Waktu berlalu begitu cepat jika kita menghabiskannya dengan orang yang kita cintai. Tiba-tiba aku teringat perkataan Ayah waktu yang lalu, ketika melihat jam di ponselku menunjukkan pukul 16:45 sambil menunggu Maria yang sedang ke toilet.
Pintu restoran terbuka, Fadhil dan Caca masuk ke dalam, mencariku. Aku yang sudah melihat mereka duluan memanggilnya dan mereka menghampiri.
“Hey, bro!” Aku berdiri dan memeluk Fadhil.
“Wah Ram, kabar baik kan?” tanya Fadhil.
“Baik, baik, lo gimana?”
Maria sudah bergabung bersama kami dan memeluk Caca. “Sayang, kangen..” kata Maria. Aku dan Fadhil yang sudah selesai berpelukan sedang memperhatikan para wanita sedang sayang-sayangan. Fadhil merasa lucu, namun aku membayangkan bahwa Maria berkata seperti itu padaku.
“Aku juga kangen, sayang..” balas Caca, mempererat pelukan mereka.
Aku masih dalam angan-anganku. Sekarang Maria sedang memeluk Fadhil, sedangkan Caca mengernyitkan keningnya melihatku mematung dengan tatapan kosong. Caca ingin memelukku namun aku sedang tidak ada di sana. Di bayanganku, aku dan Maria sedang berjalan-jalan di UI sambil berpegangan tangan mesra selayaknya muda-mudi berpacaran. Kami baru akan sampai di kursi yang kita tuju di pinggir danau, sebelum akhirnya badanku digoyangkan Caca sambil ia berkata, “Ram, lo kenapa? Engga kenapa-kenapa kan? Lo sakit?”
Aku menggelengkan kepala dan membuyarkan bayanganku sendiri, melihat ke arah Caca yang merengut. “Ah Rama engga mau pelukan sama gue, sebel. Padahal kita temen.” Caca menyilangkan tangan di dadanya.
Aku tertawa dan langsung memeluknya. Ia juga ikutan tertawa.
Maria dan Fadhil tersenyum melihat kejadian ini. Akhirnya kami semua duduk di kursi, memesan makanan dan minuman lagi, seraya berbicara banyak hal. Kami berempat sudah seperti teman yang akrab sekali rasanya. Banyak hal yang kami setujui bersama. Pun kalau tidak disetujui, tetap ada saling menghargai tentang keputusan masing-masing. Dan untungnya, tidak ada pendapat atau keputusan yang benar-benar di luar batas kemanusiaan dan logika yang keluar dari mulut masing-masing kami. Syukurlah, tidak perlu ada di antara kami yang harus menyeret-nyeret salah satunya untuk berpikir dua kali sebelum bertindak. Karena masing-masing dari kami jelas sudah berpikir ratusan kali sebelum melakukan hal-hal penting.
“Instant connection,” kata Fadhil sambil sesekali melihat Caca yang memeluk mesra lengannya.
Kami sedang membicarakan masalah cinta dan salah satu ciri dari jodoh menurut Fadhil dan Caca adalah Instant Connection.
“Kami dulu begitu. Baru bertemu sekali dan kami merasakannya,” kata Caca.
Ohya, aku lupa. Akan kuberitau kalian semua tipe wanita seperti apa yang Fadhil sukai. Caca adalah perempuan setinggi 170 cm dengan rambut pendek sebahu dicat ungu, berpakaian serba hitam, pun lipstiknya hitam. Pakai sepatu bot yang semua orang yakini dapat mematahkan leher penjahat sekali tendangan saking terlihat mengerikannya dengan beberapa tanduk tumpul berwarna perak di punggung sepatu. Orang-orang awam yang melihat Caca pasti akan berpikir untuk tidak memiliki masalah apapun dengannya karena wajahnya yang sangar. Pun Caca kelihatannya tidak akan berpikir dua kali untuk meninju siapapun yang berani melanggar batas tak terlihat yang selalu ia katakan pada orang-orang di sekitarnya.
“Hey, jangan langgar batas ini.” Caca membuat lingkaran tak terlihat sepanjang tangan di sekeliling tubuhnya, pada laki-laki yang dari tadi dilihat ingin mendekat dan mencoba mengganggunya.
Untunglah belum pernah ada yang benar-benar punya masalah dengan Caca kecuali Bagong, sebutan akrab Davin, karateka sekaligus mahasiswa yang satu jurusan dengan Caca.
Waktu itu, Bagong hanya ingin mengetahui seberapa kuat Caca dibandingkan dirinya. Dan ia menyesal minta ampun ketika lehernya hampir patah di depan semua orang ketika dirinya melanggar batas yang Caca berikan.
Kalau kalian lupa, Caca adalah perempuan yang mengatakan anak-orang-kaya-gila sebutan Fadhil dengan kata yang lebih kasar: brengsek, waktu mereka masih menjadi mahasiswa baru di Bandung. Setelah kejadian itu, Fadhil dan Caca berteman sampai dua tahun, sebelum akhirnya Fadhil menyatakan cinta padanya dan mereka berdua berpacaran. Dan kalau sudah pernah kukatakan bahwa Fadhil berubah menjadi pria kekar berpenampilan menarik dengan tatapan jangan-macam-macam-denganku-atau-pacarku, itu salah satunya berkat Caca. Caca adalah bahan bakar dan penyemangat Fadhil untuk bisa membela dirinya sendiri dan memperbaiki penampilannya.
“Maria juga tau kejadian-kejadian yang waktu itu ya, Mar,” kata Caca.
Maria mengangguk sambil tersenyum.
“Ngomong-ngomong kalian kenapa udah balik lagi ke Bandung? Aku kan masih kangen.” Maria cemberut sambil memegang tangan Caca yang duduk persis di depannya. Caca balas memegang tangannya dan bersayang-sayangan. Aku melihat hal ini sambil menelan ludah. Haruskah aku berpegangan tangan juga dengan Fadhil, yang duduk persis di depanku sambil memperlihatkan tatapan kau-jangan-sentuh-aku. Kuputuskan untuk menggodanya dengan mengikuti perkataan Maria. Fadhil terlihat jijik denganku dan semuanya tertawa. “Iya, kami mau bulan madu,” kata Caca, melingkarkan pelukannya di lengan Fadhil. Mereka berciuman. Maria dan aku sama-sama menelan ludah ketika bibir mereka berpagutan. Mata mereka terpejam dan tangan Fadhil sudah mejalar kemana-mana hampir meremas payudara Caca sebelum Maria dengan berbisik menyuruh mereka berhenti karena tidak enak dilihat pengunjung kafe lainnya. Fadhil dan Caca saling tersenyum dan melihat mata keduanya lekat-lekat, sebelum akhirn
Hujan turun tidak berhenti sedari pagi. Rupanya aku memang tidak diizinkan untuk pergi keliling Jakarta hari ini. Rencanaku bisa saja berubah karena kondisi-kondisi tertentu yang tidak memungkinkan, namun bukan karena aku tidak mengusahakannya. Aku sudah menunggu sampai siang dan berencana segera berangkat jika saja hujan reda. Namun malam menjelang dan hujan hanya berhenti sebentar, kembali lagi saat aku mau siap-siap berangkat untuk makan di luar. Tidak masalah. Dan terima kasih Tuhan karena atap kamar kos-ku tidak bocor kali ini. Aneh juga sebenarnya. Hujan yang dari tadi pagi turun ini cukup deras, dan hampir pasti jenis hujan begini akan membuatku menggeser meja belajar ke samping ranjang sehingga aku bisa menadahkan air hujan ke dalam ember. Yah, disyukuri saja. Jarang-jarang kejadian seperti ini terjadi, pikirku. Sebenarnya tubuhku butuh sedikit olahraga karena dari pagi aku hanya mendekam saja di kamar. Namun ragaku menyukainya. Bermalas-malasan di atas ranja
Tidak seperti kemarin, pagi ini langit cerah luar biasa. Suara kicau burung bersahutan mengisi keindahan yang selalu ada di bayanganku, yang kini jadi nyata. Aku baru saja selesai sarapan dan mandi, sebelum ponselku berdering, Ibu memanggil. “Halo, Ibu. Ada apa Bu?” tanyaku. Aku bisa merasakan di ujung telepon, air muka Ibu sumringah mendengar suaraku, seperti biasanya. “Halo, Nak Rama. Kabarmu baik? Kapan pulang ke rumah?” “Rama baik, Ibu baik? Iya Bu, Rama pulang ke rumah akhir minggu ini ya setelah semua barang dibereskan.” “Ibu baik. Oh begitu, yasudah kalau begitu. Kalau butuh bantuan Mas Yanto, bilang ke Ibu ya, supaya Ibu bisa suruh Mas Yanto ke sana.” Mas Yanto adalah salah satu tetangga yang tinggalnya hanya beberapa rumah dari kami. Ia seorang pria bertubuh kurus yang biasanya membantu memperbaiki AC dengan kakaknya. Namun ia bisa dipanggil sewaktu-waktu jika sedang tidak ada kerjaan untuk membantu Ibu mengantarkan kue-kue buat
Kami berjalan ke arah halte bus yang akan menuju ke Stasiun Kota. Sudah hampir pukul 9 dan haltenya cukup ramai. “Ngomong-ngomong kamu engga ada kuliah hari ini?” tanyaku. Maria tertawa kecil, malu-malu. “Hehe aku bolos.” Kami berdua tertawa. “Kenapa bolos?” “Hm…” Maria mempertimbangkan apakah akan meberitauku atau tidak, ia kelihatannya urung. “It’s okaykok kalau engga mau kasih tau,” kataku sambil tersenyum. Ia membalas senyumku. Lalu kami bicara hal-hal lainnya sambil naik ke dalam bus yang baru saja sampai. Kota Tua tidak begitu jauh dari sini, berarti berdiri sebentar lagi tidak akan membuat kakiku sakit, karena toh nanti aku akan jalan seharian. Dan mungkin akan seharian dengan Maria, itupun kalau ia ingin. “Kamu sendiri, kenapa ke Kota Tua?” tanya Maria. “Oh, aku mau keliling Jakarta sebelum berangkat.” “Wah, mau kemana aja kalau begitu?” tanya Maria semangat. “Hm, e
Kafe Batavia tidak terlalu ramai di hari Selasa siang waktu itu. Hanya ada beberapa turis dan orang Indonesia yang sepertinya berkantor dekat Kota. Kami mengambil meja di samping jendela lantai dua agar bisa melihat Museum dengan jelas. Makanan kami datang tidak terlalu lama dan kami bicara banyak hal. Dari hal-hal remeh sampai sudah menyinggung hal-hal personal mengenai keluarga, teman, diri sendiri, maupun cinta. “Sebenarnya alasanku bolos hari ini karena aku lagi bermasalah sama pacarku, Rama.” Hatiku mencelos mendengarnya. Maria sudah punya pacar? Kenapa tidak ada yang bilang? Kenapa Fadhil malah menyuruhku mendekatinya? Brengsek Fadhil! Hatiku bergejolak namun kutau yang harus kulakukan adalah mendengarnya bercerita. “Kamu punya pacar?” tanyaku, teringat bahwa wajah Maria memang seperti habis menangis di awal bertemu tadi. “Punya. Aku dan Gilang udah pacaran tiga tahun,” kata Maria lesu. Gilang namanya. Laki-laki keparat
Kereta yang kami naiki untuk sampai ke stasiun UI penuh. Kami semua harus berdesak-desakkan agar lebih banyak orang yang pulang kantor dapat segera sampai di rumah mereka masing-masing. Aku memikirkan Maria yang kelihatannya tidak begitu nyaman, berdiri benar-benar menyentuh tubuhku dengan aku yang berusaha tidak menyentuh tubuhnya. Tangan kiriku memegang hand-strapdan Maria memegang tangan kananku. Masih ada sisa ruang di antara kami, jadi kami bisa saling berpandangan, tertawa kecil jika beberapa orang berdesak-desakan turun atau naik di stasiun berikutnya. Namun di stasiun ketiga, lebih banyak orang masuk dan tidak ada yang dapat kami lakukan selain berpelukan. Tidak ada ruang di sekeliling kami, semua terisi dengan manusia-manusia yang sepertinya tidak butuh berpegangan karena semuanya saling berdempetan. Untungnya aku sempat menarik Maria ke pojok persis di sebelah pintu keluar kereta agar kami bisa menghirup udara segar kalau pintu terbuka di stasiun-sta
Malam ini Maria tidur di tempat kos temannya yang baru bisa kuhubungi setelah Maria selesai berpakaian. Aku sempat tanya padanya apakah ada bagian tubuhnya yang sakit. Wajahnya kembali memerah dan ia mulai menangis sesenggukan. Aku peluk lagi tubuhnya untuk menenangkannya. Januari, teman yang satu jurusan dengan Maria tiba segera dan memeluknya erat. Tangisan Maria pecah lagi di pundak temannya. Aku kaget karena Januari tak ada habis-habisnya mengucapkan sumpah serapah di udara untuk Gilang. Aku belum sempat mengenalkan diri, namun Januari sudah tau namaku. “Halo, Rama kan?” katanya masih memeluk Maria dan menatapku. Aku mengangguk sambil mengelus rambut Maria. “Malam ini Maria tidur di kos-mu dulu ya..” “Iya Mar, malam ini kamu tidur di kos-ku dulu ya. Biar nanti kami yang urus si bajingan itu.” Januari mengangguk ke arahku, mengisyaratkan bahwa kami berdua yang akan ke kantor polisi mengurus masalah ini. Maria masih sesenggukan, sebelum akhi
Di sela-sela haru begitu pikiranku bisa-bisanya melayang ke mimpi basah yang waktu itu kualami mengenai Maria. Ia juga hanya mengenakan handuk, namun tanpa riasan di wajahnya. Dan bedanya lagi, ia sedang menangis tepat di depanku sekarang. Fadhil ikut memeluk Maria dan menenangkannya. Aku mengelus-elus pundaknya dan tangis Maria makin menjadi-jadi. Sekilas ia melihat ke arahku dan menggenggam tanganku erat. Sekitar lima menit berlalu dengan Caca dan Fadhil yang terus berkata menenangkan Maria yang tidak ada habis-habisnya meminta maaf karena tidak mau percaya dengan kata-kata kedua sahabatnya itu. Caca dan Fadhil saling pandang dengan iba pada Maria dan terus menenangkannya, berkata bahwa tidak masalah, mereka akan terus bersama Maria. Ohya, aku belum menceritakan ini pada kalian, bagaimana Fadhil, Caca, dan Maria bisa saling kenal. Maria itu sahabat Caca sedari SD, walaupun mereka beda 2 tahun. Dulu rumah mereka berdekatan sebelum Caca dan keluarganya pindah