Share

Bab 4

Part 4

Usai mendengar cerita bu Urip, Alice pun segera pulang. Ia tak ingin lagi berlama-lama di situ. Tujuannya sekarang adalah ke rumah Kania, sahabatnya.

Alice tidak lagi memperdulikan waktu yang telah semakin beranjak larut malam. Suara deru motornya tenggelam, bersama suara bising kendaraan lain yang masih berada di jalan raya. 

Tadi Alice sempat menitip pesan pada Kania. Ia tidak memperdulikan sahabatnya itu membalas atau tidak. Terpenting baginya saat ini adalah ia butuh tempat untuk berbagi.

Perjalanan yang memakan waktu hampir satu jam, akhirnya membuat ia tiba di sebuah perumahan yang cukup luas. Awalnya ia merasa sungkan untuk meneruskan niatnya. 

Akan tetapi, setelah membuka ponselnya dan membaca balasan pesan dari Kania yang berisikan

[Datanglah, Lice. Pintu rumahku selalu terbuka untukmu. Kutunggu sekarang ya.] 

Dirinya pun tersenyum lalu segera melajukan motornya masuk, ke dalam perumahan tersebut dan langsung menuju ke rumah Kania.

Rumah minimalis berwarna putih bersih itu, terlihat begitu asri karena dihiasi dengan beraneka ragam tanaman di halaman rumah. Alice kembali ragu, saat ingin melangkah masuk ke rumah Kania.

"Alice, sini masuk! Kenapa malah bengong di luar!" seruan Kania membuat Alice segera tersentak, namun langsung tersenyum.

Ia pun segera melangkahkan kakinya masuk menuju rumah sahabatnya itu. Mata Alice berkeliling, mengamati situasi rumah Kania. Ia tidak ingin kehadirannya mengganggu istirahat Kania dan suaminya.

"Cari apa? Mas Bram? Tenang aja, dia lagi tugas di luar kota selama beberapa hari." Kania berkata sambil tersenyum, seolah mengetahui jalan pikiran Alice.

"Syukurlah." Alice hanya menjawab pendek, dan segera meletakkan tubuhnya di atas sofa berwarna abu-abu itu.

Hening mulai menghiasi ruangan tersebut. Kania membiarkan Alice sendirian di ruang tamunya, dan ia pun segera membuatkan teh hangat untuk sahabatnya itu.

"Minumlah, kamu pasti lelah." Kania menyodorkan secangkir teh hangat tersebut ke meja.

Alice hanya melirik, kemudian menganggukan kepalanya sekilas. Lalu ia kembali menatap langit-langit rumah Kania.

"Aku tahu kamu sedang tidak baik-baik saja. Tapi jika dirimu belum ingin menceritakan apapun, lebih baik sekarang istirahatlah. Tubuh dan jiwamu membutuhkan itu." Kania menatap lekat ke arah Alice yang masih duduk termenung.

Alice langsung menoleh ke arah Kania. Kedua netranya mulai berkaca-kaca, dan tiba-tiba pandangannya mendadak gelap disertai rasa sakit di kepalanya. Kemudian ia pun tidak ingat apa-apa lagi.

**

"Dimana ini?" tanya Alice lirih seraya mengedarkan pandangannya ke sekeliling ruangan.

"Kamu tadi pingsan di rumahku. Karena khawatir, aku dan security perumahan pun langsung membawamu ke rumah sakit." Kania membelai tangan Alice dengan lembut.

Alice mengusap wajahnya dengan kasar dan menghapus titik-titik air mata yang mulai mengalir turun. 

"Menangislah, jika itu dapat membuatmu lega. Tapi berhentilah menangis, jika hanya membuat hatimu semakin merasa sakit." Lirih suara Kania terdengar di telinga Alice. Namun mampu membuat air matanya mengalir deras.

"Terkadang air mata adalah obat paling ampuh sesaat, untuk melupakan rasa sakit. Meski bukan untuk selamanya, tapi setidaknya dapat mengangkat beban berat di hati." Kania tersenyum seraya membelai lengan Alice yang tertusuk jarum infus.

Keduanya pun terdiam membisu, Tak lama berselang seorang suster datang menghampiri dan menanyakan identitas Alice. 

"Suaminya belum datang juga ya, Bu?" tanya sang suster menyelidik.

"Suster lihat saja, ada tidak suaminya?!" sahut Kania seraya kembali mempertanyakan ucapan sang suster.

"Maaf Bu, karena ada yang harus dokter jelaskan kepada keluarga pasien. Dan sekaligus ingin menanyakan, apakah pasien bersedia di rawat inap di sini?" Suster kembali bertanya, kali ini dengan senyum yang terpaksa dikembangkannya.

"Rawat aja, Sus!" 

"Tidak perlu!"

Kania dan Alice bersamaan menjawab pertanyaan sang suster. Mata mereka pun bertemu, seolah mengerti keinginan Kania, maka Alice pun terdiam.

"Menurut dokter bagaimana, Sus? Apakah diharuskan sahabat saya ini rawat inap?" Kania kembali melontarkan pertanyaan kepada sang suster.

"Itulah sebabnya, dokter ingin bertemu dulu dengan suami Ibu Alice. Karena ada beberapa hal yang ingin beliau sampaikan." Suster menjawab seraya membetulkan posisi selang infus, yang sempat mengalirkan darah dari lengan Alice.

"Suaminya mati, Sus!" cetus Kania kesal.

Alice segera melotot ke arah sahabatnya itu. Bukannya takut, Kania malah terkekeh melihat raut wajah aneh dari Alice barusan. 

"Sahabat saya ini bohong, Sus." Alice langsung menyanggah perkataan sahabatnya barusan.

"Uhm maksud saya, menuju kematian, Sus!" Kania kembali melontarkan ucapannya, kali ini dengan nada serius.

Alice langsung terdiam, begitu pula dengan sang suster. Ia sempat melirik ke arah Alice dan mulai memahami jika ada yang kurang beres dalam rumah tangga si pasien.

"Bayangkan saja, Sus … kalo dia tidak menuju kematian, seharusnya sudah tiba di sini sejak tadi. Karena saya langsung menghubunginya, ketika sahabat saya ini pertama kali pingsan." Kania menjelaskan dengan terperinci mengapa ia berkata seperti itu.

Alice masih terdiam. Kedua netranya kembali memanas dan mulai mengalirkan air mata perlahan-lahan.

"Bisa gak sih, saya saja yang bertemu dengan dokter? Saya penasaran dengan apa yang ingin dibicarakan oleh sang dokter." Kania segera berdiri dan bersiap menuju ruangan dokter. 

Sebelum sang suster menjawab, tiba-tiba terdengar suara khas yang cukup dikenal oleh Alice dan Kania. Sehingga membuatnya langsung kembali duduk dan dengan seketika ia menyilangkan kedua tangan lalu menekuk wajah cantiknya, manakala mengetahui siapa yang baru saja datang. 

"Aku pikir kamu mati, Bar!" cetus Kania tanpa ekspresi sedikitpun, kepada suami Alice.

"Maaf Nia, saya sedang ada urusan. Jadi tidak sempat membalas pesanmu." Barana segera duduk di samping Alice, yang memalingkan wajahnya dari sang suami.

"Berhubung suami pasien sudah datang, maka saya persilahkan untuk bertemu dengan dokter ya, Pak. Mari ikuti saya." Suster tersenyum lalu melangkah meninggalkan ruangan UGD.

Mata Kania pun melirik ke arah Barana, yang masih terdiam di sisi ranjang tempat Alice terbaring. 

"Kamu dengar ucapan suster barusan gak, Bar?" 

Barana menoleh, lalu segera berlari mengikuti jejak langkah sang suster.

"Emang aneh ya suami kamu itu. Aku lihat wajahnya tidak ada ekspresi khawatir ataupun sedih sedikit pun." Kania mengomentari sikap Barana, dengan posisi kedua tangannya disilangkan di dada. 

Rasa kesal membuncah dalam hati wanita cantik itu. Terlebih melihat sikap Alice yang hanya terdiam membisu seolah tidak dapat berkata apa-apa.

"Apa yang sebenarnya terjadi, Lice? Jawab dengan jujur kepadaku." Kania menatap tajam ke arah Alice yang merupakan atasannya di kantor. Tetapi jika di luar kantor, mereka adalah dua orang sahabat yang selalu berbagi suka dan duka.

"Mas Bara pergi dengan wanita itu, Nia …." Suara lirih Alice mulai terdengar. Bahkan nyaris tidak terdengar karena bercampur dengan rasa sesak di dadanya.

"Apa? Kapan? Waah minta ku maki nih, Bara." Kania segera berdiri dan bersiap untuk keluar ruangan UGD. Membuat mata Alice membulat dan ketakutan melihatnya. 

                         *** 

   

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status