Part 21"Suami kamu?" tanya Devan singkat."Akan menjadi mantan suami," sahut Alice acuhDevan tersenyum mendengar ucapan Alice. Ia terdiam sejenak, sebelum akhirnya melanjutkan makan siang, dan mengabaikan kejadian barusan.Alice yang melihat sikap acuh Devan atas kejadian tadi hanya tersenyum. Setidaknya ia tahu bagaimana karakter Devan, jika menghadapi suatu masalah."Apakah itu istri keduanya?" tanya Devan lagi, diselimuti rasa penasaran.Alice hanya menganggukkan kepala tanpa berkata-kata. ia tetap menikmati makan siang kesukaannya tersebut. Seolah tidak terpengaruh oleh kata-kata Devan barusan."Apa kamu mengetahui pernikahannya tersebut?" selidik Devan."Tahu dan aku mengijinkannya." Alice menimpali ucapan Devan dengan santai.Sikap Alice tersebut membuat Devan terkejut, sebelum akhirnya kembali tersenyum. Ia sudah membayangkan, bagaimana sabarnya Alice dalam menjalani rumah tangganya."Hey Van, lanjutkan makanmu. Kok malah bengong?" ledek Alice melihat pria itu terus menatap
Part 22Pertengkaran terus mewarnai kehidupan Barana dengan Sarah. Terlebih pasca dirinya bercerai, sikap wanita itu malah semakin menjadi. Bahkan kali ini Sarah menuntut agar ia dinikahi secara negara.Sarah yang memang berniat menuntut harta gono-gini milik Barana, mencoba mendatangi Alice ke rumahnya. Kedatangannya bersama Mariam tersebut tanpa sepengetahuan Barana, namun sayangnya wanita itu telah pindah rumah. Amarah Mariam pun meledak, saat mengetahui Alice telah menjual rumahnya tanpa memberikan uang sepeser pun kepada Barana.Wanita paruh baya itu pun mencoba mencari dimana Alice tinggal sekarang. Namun hasilnya nihil, karena tidak seorangpun yang ingin memberitahukan keberadaan Alice.Sebenarnya rumah itu dibeli oleh Devan, bukan dengan orang lain. Karena saat Alice ingin menjualnya, ia merasa kesulitan karena lama terjual. Alice pun tidak tahu, jika rumah itu dibeli oleh Devan. Karena semua urusan jual beli tersebut di urus oleh asisten pribadi pria itu. Devan memang seng
Part 23Perceraian Alice dengan Barana sudah melewati waktu hampir satu tahun. Devan yang pada akhirnya mengetahui status Alice, mencoba memberi sinyal kepada wanita itu agar mau menerimanya. Namun sayang, rasa trauma dan juga takut akan mendapatkan perlakuan yang sama, membuat Alice masih mempertimbangkan semuanya.Hingga suatu hari Kania menghubungi dirinya. Nada bicaranya seolah terdengar sedikit sedih. Namun Alice berusaha untuk tidak terpengaruh."Devan sudah cukup lama menunggu kepastianmu loh, Lice," ungkap Kania."Siapa yang menyuruhnya untuk menungguku, Nia?" Alice malah membalikkan pertanyaan."Alice … tolonglah! Jangan biarkan rasa takut itu terus menghantui dirimu seumur hidup. Dokter telah menyatakan kandunganmu sehat dan baik-baik saja. Ayolah Lice, buka matamu! Di luar sana, ada seorang pria yang masih menunggumu dengan sabar dan setia!" cetus Kania sedikit kesal.Alice terdiam. Pikiran melayang kepada pria yang dimaksud oleh sahabatnya itu. Devan, pria tampan juga mapa
Part 24Rintihan suara kesakitan terdengar begitu jelas di telinga Barana, sehingga membuatnya penasaran ingin melihat siapakah yang baru saja masuk ke ruang UGD tersebut. Namun sayangnya, Mariam pun tengah membutuhkan dirinya."Dok … tolong anak saya, Dok!" seru suara di sebelah ranjang Mariam, yang hanya terhalang oleh tirai.Barana tersentak kaget saat mendengar suara itu. Suara yang tidak begitu asing di telinganya, yang membuat hatinya tergelitik untuk mengetahui orang tersebut."Mama Indah!" Barana tersentak kaget, saat mengetahui siapa pemilik suara tersebut."Barana?!" Indah pun tak kalah kaget saat mengetahui siapa yang memanggilnya."Siapa yang sakit, Ma?" tanya Barana khawatir."Kamu sendiri ngapain di sini?" Indah malah balik bertanya pada menantunya."Ibu terkena stroke, Ma. Tadi mendadak pingsan di rumah." Barana menoleh ke arah ranjang Mariam."Ya Allah Mariam … terus bagaimana keadaan ibumu sekarang?" tanya Indah.Barana kemudian menceritakan kepada Indah, semua ucapan
Part 1"Dasar mandul!" Alice hanya menahan tangisnya, manakala mendengar ucapan Mariam, sang ibu mertua barusan.Matanya menatap ke arah Barana, suaminya. Seolah memohon bantuan dan juga pembelaan atas semua cacian dari sang ibu mertua.Tetapi Alice malah mendapatkan kekecewaan, manakala melihat Barana tidak bereaksi sedikit pun atas ucapan yang dilontarkan oleh Mariam."Orang lain mungkin sudah punya anak dua, mengingat usia pernikahan kalian sudah tujuh tahun. Lah ini, satu orang anak pun belum juga dapat kamu berikan kepada kami." Mariam menatap sinis ke arah Alice. Wanita paruh baya itu memainkan wajahnya, menahan emosi manakala menatap wajah Alice yang terlihat datar, meski menahan air mata."Coba kau tengok mantan kekasihmu itu, Bar! Sudah punya anak tiga dia, lucu dan tampan anaknya. Andaikan kau jadi menikah dengannya, takkan malu aku melihat rumah tangga kalian ini." Wanita paruh baya itu pun berdiri dan masuk ke dalam kamarnya, meninggalkan Alice dan juga putranya yang sej
Part 2Ucapan Kania hari itu selalu terngiang-ngiang. Beberapa kali ia berusaha menepis rasa curiga, yang sempat terlintas akibat ucapan rekan kerjanya tersebut.Gak mungkin mas Bara mandul. Bukankah ia terlihat baik-baik saja dan memiliki sperma yang cukup bagus. Alice membatin dalam hatinya. Seraya mengungat-ingat kembali, saat dirinya berhubungan intim dengan sang suami.Tiba-tiba sebuah suara khas mengejutkan dirinya, dan telah berada tepat di belakangnya."Wah, wah, ternyata begini toh kerjaan kamu saat sedang libur kerja. Lihat nih, rumah berantakan kaya gini tapi kamu malah leyeh-leyeh." Mariam tersenyum sinis ke arah Alice. "Bu, kapan datang?" Alice segera menghampiri dan mencium tangan Mariam."Sudah dari tadi. Ibu ucapin salam, tapi kamu tidak juga menyahut. Akhirnya ibu langsung masuk saja." Mariam menjawab seraya menerima tangan Alice dengan ekspresi datar."Maaf Bu, aku sedang menyelesaikan pekerjaan. Besok ada event, jadi harus benar-benar dipersiapkan dengan matang." A
Part 3"Alice … ada apa? Kuperhatikan sejak beberapa minggu ini, kamu berubah. Lebih banyak diam dan melamun. Ada masalah apa? Apakah masih masalah yang sama?" Kania mencecar Alice dengan banyak pertanyaan, semenjak ia melihat Alice berubah sikapnya.Alice yang posisi duduknya membelakangi Kania, tidak menjawab apapun. Wanita cantik itu masih terdiam seribu bahasa.Kania yang memperhatikan Alice sejak beberapa minggu terakhir ini, ikut merasakan ada yang tengah dirasakan dan dialami oleh rekan kerjanya tersebut. Alice menjadi lebih banyak menyendiri dan jarang tersenyum seperti dulu.Senyum manis yang biasa menghiasi bibir tipis Alice, tak lagi nampak terlihat. Beberapa rekan kerja mereka pun bertanya-tanya, namun sungkan untuk menanyakan langsung kepada Alice."Lice, kamu baik-baik saja kan?" Kania kembali bertanya. Kali ini nada suaranya setengah berbisik, seraya membelai bahu Alice.Tiba-tiba Kania terkejut manakala merasakan tubuh Alice berguncang.Ia pun segera membalikkan tubuh
Part 4Usai mendengar cerita bu Urip, Alice pun segera pulang. Ia tak ingin lagi berlama-lama di situ. Tujuannya sekarang adalah ke rumah Kania, sahabatnya.Alice tidak lagi memperdulikan waktu yang telah semakin beranjak larut malam. Suara deru motornya tenggelam, bersama suara bising kendaraan lain yang masih berada di jalan raya. Tadi Alice sempat menitip pesan pada Kania. Ia tidak memperdulikan sahabatnya itu membalas atau tidak. Terpenting baginya saat ini adalah ia butuh tempat untuk berbagi.Perjalanan yang memakan waktu hampir satu jam, akhirnya membuat ia tiba di sebuah perumahan yang cukup luas. Awalnya ia merasa sungkan untuk meneruskan niatnya. Akan tetapi, setelah membuka ponselnya dan membaca balasan pesan dari Kania yang berisikan[Datanglah, Lice. Pintu rumahku selalu terbuka untukmu. Kutunggu sekarang ya.] Dirinya pun tersenyum lalu segera melajukan motornya masuk, ke dalam perumahan tersebut dan langsung menuju ke rumah Kania.Rumah minimalis berwarna putih bersih