Part 5
Kania menatap tajam ke arah Alice, yang memandang sendu ke arahnya. Meskipun Alice adalah atasannya di kantor, namun karena mereka telah bersahabat sejak keduanya baru memasuki kantor tersebut, sehingga tidak ada lagi jarak antara keduanya.
Melihat tatapan mata Alice, membuat Kania kembali menghampiri dan duduk di sisi ranjang tempat Alice terbaring.
"Jawab Lice. Siapa wanita itu?" tanya Kania penasaran.
"Orang yang pernah aku ceritakan kepadamu waktu itu. Yang akan dijodohkan oleh ibu mertuaku …." Alice kembali memalingkan wajahnya dan membiarkan Kania mengurut-urut dahinya yang tidak pening.
"Dia pikir sekarang jaman Siti Nurbaya kali ya? Terus Barana mau gak sama perempuan itu?" selidik Kania penasaran.
"Entahlah. Aku tidak pernah membahasnya dengan mas Barana. Selama ini tidak pernah sedikitpun kutanyakan perihal wanita itu. Aku bersikap seolah-olah tidak mengetahui semuanya." Alice menjawab pertanyaan Kania dengan suara tercekat.
"Kamu terlalu penakut Lice." Kania menimpali ucapan Alice dengan penuh penekanan.
"Penakut? Akan apa?"
"Kamu takut kehilangan Barana. Itu sudah cukup membuatmu terdiam selama ini."
Jawaban Kania barusan sontak membuat Alice terdiam dan merenungi ucapan sahabatnya itu. Mencoba mencerna dan mengingat semua yang terjadi, dalam rumah tangganya selama ini.
"Aku tidak takut kehilangan mas Barana. Hanya saja … aku terlalu mencintainya …." Balas Alice tersenyum samar.
"Apa bedanya Alice Romansa Darmian? Kamu pikir, takut kehilangan dengan terlalu mencintai itu berbeda?" tanya Kania dengan nada sinis.
Alice terdiam, tidak menjawab pertanyaan sahabatnya barusan. Ia sudah tahu jawaban apa yang sebenarnya.
"Kedua kata itu saling terkait namun beda makna, Lice. Jika kamu mencintai, maka akan takut kehilangan orang yang kamu cintai. Tetapi jika kamu takut kehilangan, bukan berarti kamu mencintai. Paham tidak maksud ucapanku?" Kania melirik sahabatnya yang masih melihat ke arah lain
Alice menggelengkan kepalanya. Sebenarnya ia malas berdebat dengan Kania soal cinta, karena pasti akan kalah. Hal itu dikarenakan Kania merupakan primadona saat kuliah dulu, sehingga pengalaman percintaannya lebih banyak ketimbang dirinya.
"Jika kamu takut kehilangan, bukan berarti mencintainya. Tapi rasa ketergantungan terhadap orang tersebutlah, yang membuatmu takut kehilangannya." Kania kembali bersuara. Kali ini ia berdiri agar suaranya terdengar di telinga Alice.
Alice menoleh, lalu berkata, "Berarti aku keduanya, Nia."
"Kalau menurutku, kamu terlalu bodoh, Alice. Sulit membedakan kapan saatnya harus bersikap, manakala cintamu tidak lagi dihargai." Tegas Kania sambil menoleh ke arah pintu masuk ruang UGD.
Alice mendadak gugup, manakala mengetahui suaminya telah berdiri di depan pintu ruang UGD. Tapi tidak dengan Kania. Ia dengan santainya kembali duduk di kursi dekat ranjang dan menatap ke arah Alice.
"Apa yang sedang kalian bicarakan?" tanya Barana menyelidik. Pria itu pun langsung menghampiri keduanya.
"Menurutmu, kami bahas apa?" Kania menjawab dengan balik bertanya kepada pria itu.
Mata Barana menyisiri ruangan UGD yang banyak terisi oleh pasien. Namun orang-orang tersebut sibuk dengan urusan masing-masing, sehingga dapat dipastikan tidak memperhatikan percakapan mereka.
"Bersiap-siaplah, kamu bisa pulang malam ini juga." Nada suara Barana terdengar datar saat mengatakan hal tersebut.
Pria itu tidak menimpali ucapan Kania. Ia malah menyibukkan diri untuk membawa Alice keluar dari rumah sakit, dengan memanggil suster.
Mendengar ucapan Barana barusan, membuat Kania emosi dan segera menarik lengan pria menuju keluar ruangan UGD. Barana tidak menolaknya, ia mengikuti kemauan sahabat istrinya itu.
"Pulang? Jangan gila kamu, Bar! Mental dan hati Alice sedang tidak baik-baik saja saat ini. Dia butuh perawatan medis. Apa kamu paham akan hal itu?!" Kania mendorong lengan Barana dengan keras.
Barana hanya tersenyum, sebelum akhirnya menjawab, "Ini tidak ada urusannya denganmu. Uruslah keluargamu sendiri, Nia."
"Hei, Jangan egois kamu! Apa kamu pikir dengan membawanya pulang, masalah akan selesai? Dia butuh istirahat dengan tenang, butuh perhatianmu, butuh support dari orang di sekelilingnya." Kania menimpali perkataan Barana dengan nada sinis.
"Alhamdulilah keluargaku baik-baik saja dan cukup bahagia. Makanya tidak menguras pikiran dan energiku. Lihat keluargamu, sudah kau urus dengan baik, belum? Jangan mengajarkan aku tentang caranya mengurus rumah tangga. Karena aku mampu melakukannya." Kania kembali menambahkan ucapannya. Sontak hal itu membuat Barana segera terdiam.
Tak lama berselang, Barana pun meninggalkan Kania dan kembali masuk ke dalam ruang UGD. Tampak terlihat ia sedang berbicara dengan Alice, sambil membelai pucuk kepalanya.
Kania yang melihat hal itu langsung menggumam, "Dasar laki-laki."
**
Beberapa minggu kemudian.
Sejak kejadian malam itu di rumah sakit, Alice semakin tertutup, terutama kepada Kania. Beberapa kali ia menolak jika diajak makan siang bersama.
Awalnya Kania menganggap itu adalah hal yang biasa. Akan tetapi, setelah melihat sikap Alice perlahan menjauhinya tanpa sebab yang jelas, membuat Kania segera mengambil tindakan.
"Kamu ada masalah apa denganku?!" tanya Kania dengan tegas, saat menghampiri meja kerja Alice.
"Maksudmu?" Alice balik bertanya, dengan berpura-pura tidak mengetahui maksud dari pertanyaan Kania.
"Sudah cukup pura-puranya, Alice!" Kania berkata tegas. Lalu langsung membawa Alice menuju ke ruang meeting.
"Sekarang katakan dengan jelas. Apa yang terjadi denganmu, sehingga menjauhiku. Katakan semuanya di sini, tidak ada satu orang pun yang dapat mendengar ucapanmu."
"Aku banyak kerjaan. Permisi." Alice mengacuhkan perkataan Kania dan segera menuju pintu keluar.
Sayangnya Kania lebih cepat dari perkiraannya. Wanita itu dengan segera berlari dan mengunci pintu ruang meeting, kemudian memegang kuncinya.
"Aku tahu jalan pikiranmu Alice. Jadi, semua gerakan tubuhmu mampu kubaca. Termasuk perubahan sikapmu kepadaku." Kania mengacungkan kunci pintu ruang meeting dan memasukkan ke dalam saku blazer yang ia kenakan.
"Aku tidak mau bicara dan menjelaskan apapun." Alice memilih duduk di kursi dan berdiam diri sambil memainkan ponselnya.
"Oke, baiklah jika begitu. Aku pun akan melakukan hal yang sama." Kania pun ikut duduk di kursi dan mengeluarkan ponselnya.
Keduanya saling berdiam diri sambil memainkan ponselnya masing-masing. Tanpa terasa waktu pun telah berjalan selama tiga puluh menit.
Hingga akhirnya Alice bersuara, "Mau sampai kapan kita seperti ini?"
"Sampai kamu menceritakan apa alasannya menjauhiku." Kania menjawab dengan acuh, sambil memainkan game di ponselnya.
"Itu aku lakukan karena kau terlalu mencampuri rumah tanggaku!" cetus Alice dengan tatapan mata tajam ke arah Kania.
Kania yang mendengar jawaban Alice, segera meletakkan ponselnya dan membalas tatapan tajam mata Alice.
Alice segera tertunduk, manakala mendapat balasan dari mata sahabatnya itu. Ia pun mengalihkan pandangannya ke luar jendela ruangan.
"Aku … tidak akan mencampuri urusan rumah tanggamu lagi, Ibu Alice yang terhormat. Tetapi hal itu akan aku lakukan, apabila kehidupan rumah tanggamu telah benar-benar bahagia. Paham anda!" Kania pun berdiri lalu pergi keluar dari ruang meeting. Meninggalkan Alice yang duduk terdiam, menahan tangisnya.
***
Part 6 Barana memperhatikan sosok Alice dari kejauhan. Matanya terlihat penuh harap, seolah ada yang ia inginkan dalam hatinya. Alice tersenyum menghampiri mobil sang suami. Keduanya memang janjian untuk menjenguk keponakan Barana yang tengah terbaring sakit di rumah sakit. "Hai Mas, sudah lama menunggu?" tanya Alice seraya mencium tangan Barana dengan takzim. "Aku baru saja tiba kok. Kita jalan sekarang ya, takut kemalaman." Barana mencium kening Alice dan bersiap di belakang kemudinya. Alice hanya menganggukkan kepala, lalu mengenakan sabuk pengamannya. Mobil berwarna putih itu pun mulai melaju, meninggalkan parkiran kantor dan juga seseorang yang sejak tadi mengamati mereka berdua. 'Syukurlah jika hubungan mereka mulai membaik. Semoga kebahagiaan menyelimuti rumah tangga mereka.' Kania membatin sambil memperhatikan mobil berwarna putih itu pergi dari hadapannya. Usai kejadian beberapa minggu lalu di ruang meeting, keduanya memang sudah jarang bertegur sapa. Hanya untuk uru
Part 7Bujukan dan juga rayuan dari Barana akhirnya meluluhkan hati Alice, untuk meminjamkan uang tabungannya bagi pengobatan Janis.Bukannya berterima kasih, Bram dan juga istrinya, Anisa malah berkata jika sebenarnya uang pinjaman tersebut jauh dari kata cukup. Alice hanya terdiam, saat ia mendengar ucapan kedua kakak iparnya. Dalam hati ada penyesalan karena telah membantu keduanya. Tetapi saat ia melihat kondisi Janis, rasa sesal itu mendadak menguap begitu saja."Lice … bisa tambahin tidak uang pinjamannya? Nanti Mas ganti setelah penjualan tanah di daerah S laku." Bram mencoba membujuk Alice, sambil menghitung uang yang baru saja di serahkan oleh adik iparnya tersebut.Belum sempat Alice menjawab, tiba-tiba terdengar ponsel Bram berbunyi, ternyata sebuah pesan masuk dari Mariam. [Bram, jangan lupa yang lima juta untuk Ibu. Kamu titip Anisa nanti ya!][Iya Bu … nanti aku titipkan ke Anisa. Sekarang masih ada Alice di sini.] Bram segera membalas pesan dari Mariam.Annisa menoleh
Part 8Usai keributan di malam itu, Alice mendiamkan Barana. Bukannya membujuk atau meminta maaf kepada sang istri, pria itu malah tetap bersikukuh dengan pembenarannya. Barana tidak mengetahui jika saat itu Alice telah mengetahui semuanya. Kemarahan Alice kian memuncak, manakala operasi Janis berjalan gagal. Gadis kecil itu kehilangan banyak darah dan meninggal dunia pasca operasi. Bram dan juga Anisa malah menyalahkan Alice, karena tidak membantu meminjamkan uang kembali kepada mereka. Sehingga tidak dapat memberirkan pengobatan yang layak untuk Janis.Ingin rasanya Alice berteriak dan mengeluarkan semua yang ia ketahui selama ini. Namun karena masih suasana duka, Alice pun menahan diri untuk tidak berkomentar apapun.Saat pemakaman, Alice tidak diperbolehkan mendekati area pemakaman. Ia memilih melihat dari kejauhan dengan hati menahan perih dan juga rasa sakit hati.Air matanya tiada henti menetes. Membasahi pipinya yang halus dan lembut, serta sedikit tirus. Ya, sejak ia selalu
Part 9Usai kejadian malam itu, Barana semakin perhatian kepada Alice. Ia tidak ingin kejadian dimana Alice mencoba bunuh diri menggunakan pecahan gelas, kembali terjadi.Meski berulang kali sang ibu mengatakan bahwa itu hanyalah akal-akalan Alice, namun ia tetap mengkhawatirkan hal itu."Kita ke dokter ya?" Barana bertanya sekaligus meminta kepada Alice dengan sangat.Alice menggelengkan kepalanya perlahan, menolak permintaan Barana barusan. Baginya semakin hari, dirinya semakin tidak bersemangat menjalani hidup. Hal itu dikarenakan rasa penyesalan atas kematian Janis, keponakan Barana. Meski akal sehatnya terkadang mengingatkan akan sikap dan perlakuan kedua orang tua Janis, namun tetap saja rasa penyesalan itu selalu menghantui dirinya.Barana membelai pucuk kepala Alice dengan lembut. Kemudian pria itu berkata, "Apa yang kamu pikirkan?"Alice kembali menggelengkan kepalanya. Ia menatap ke arah jendela kamar, berusaha sekuat tenaga untuk tidak melihat ke arah sang suami."Alice …
Part 10Keberadaan Atun di rumah Alice cukup membantu. Tidak jarang gadis itu suka meminta para tamu yang datang menjenguk Alice untuk tidak berlama-lama berada di rumah itu. Atun juga mengatakan bahwa majikan perempuannya itu masih membutuhkan waktu untuk beristirahat agar cepat pulih dari sakitnya.Setelah berada di rumah hampir dua minggu lamanya, kesehatan Alice pun kembali pulih seperti sedia kala.Hari ini adalah hari pertama Alice masuk kantor. Selama di rumah dia juga sempat menolak kedatangan Kania dan juga beberapa rekan kerja lainnya yang datang menjenguk.Saat itu yang ia butuhkan hanyalah ketenangan dan juga beristirahat dengan nyaman, tanpa ada yang mengganggunya sama sekali. Kedatangan Bram dan Anisa ke rumahnya juga sempat ia tolak beberapa kali. Sehingga memicu pertengkaran kembali di antara mereka bertiga.Akan tetapi Alice mengacuhkan hal tersebut. Baginya, dukungan dari Barana adalah yang paling utama dan ia butuhkan.**"Tun, kami berangkat kerja dulu. Kalau ada
Part 11Suasana di restoran itu mendadak menjadi hening. Alice yang shock mendengar ucapan Sarah, berusaha mengendalikan dirinya untuk tetap bisa tersenyum.Barana yang melihat sikap Alice, segera menggenggam tangannya kemudian berkata, "Aku akan tetap mendampinginya untuk menjadi seorang wanita yang sempurna."Alice menoleh ke arah Barana. Sentuhan hangat dari tangan suaminya itu membuat ia menjadi lebih baik dan mengendalikan hatinya yang sempat down.Sarah tersenyum mengejek. Pandangannya terus mengarah ke Alice, memindai setiap inchi bagian tubuh perempuan yang ada di hadapannya saat ini.Alice mengulurkan tangannya, mengajak Sarah untuk berjabat tangan. Namun tangannya diraih oleh Barana, sehingga membuat ia batal bersalaman.Alice menoleh, lalu Barana menggelengkan kepalanya. Senyum mengejek di bibir Sarah tak lepas sedetik pun. Matanya menatap tajam ke arah Alice lalu beralih ke Barana.Mereka bertiga diam sejenak, begitu pula dengan orang-orang di sekeliling mereka. Hingga sua
Part 12Setelah malam itu hubungan Barana dengan Alice semakin memburuk. Barana yang tidak menyukai ucapan Alice malam itu, mengacuhkannya selama beberapa hari.Sikap Barana yang mengacuhkan dirinya justru malah semakin membuat Alice yakin untuk berpisah dengan pria itu. Cacian dan juga hinaan keluarga Barana kepadanya, membuat hatinya tidak lagi mentolerir akan perbuatan mereka semua.Terlebih sikap Bram dan Anisa pasca kematian putri mereka, yang terus saja menyalahkan Alice. Seolah semua yang terjadi adalah kesalahannya.Saat ia jatuh sakit beberapa waktu lalu, keluarga Barana tidak ada satupun yang merasa bersalah atau bersedih. Justru mereka menganggap sakitnya itu hanyalah rekayasa, untuk menarik perhatian suaminya."Sampai berapa lama kamu akan bersikap seperti ini?" tanya Barana suatu malam kepada Alice yang tengah berkutat dengan laptopnya.Alice bergeming, matanya tetap mengarah kepada layar laptop dihadapannya. Bahkan ketika mendengar Barana menghela nafas kasar pun, Alice
Part 13Kejadian bulan lalu membuat hubungan antara Barana dengan Mariam semakin memburuk. Alice terus mencoba untuk memperbaiki hubungan dengan sang ibu mertua, namun hasilnya tetap nihil.Mariam terus bersikeras dengan sikapnya, tidak akan menerima Barana selama masih berumah tangga dengan Alice. Dalam hatinya sudah bersumpah, tidak akan mau bertemu dengan keduanya sampai mereka berdua berpisah.Perseteruan yang sudah memakan waktu hingga tiga bulan lamanya, membuat Alice menjadi semakin resah. Berulangkali ia mencoba meminta Barana untuk menceraikannya, namun pria itu pun tetap bersikukuh dengan pendiriannya."Mas … dalam agama pun tetap ibumu yang lebih utama. Pergilah temui Ibu, minta maaflah dan turuti kemauannya." Alice membelai lembut pucuk kepala suaminya.Hatinya luluh lantak akibat pertikaian mereka. Meski dirinya memang sempat ingin berpisah, tetapi itu hanyalah keinginan emosional sesaat.Barana tetap terdiam, matanya menatap langit-langit kamar. Mencoba mencerna semua uc