Pagi hari masih sekolah seperti biasa. Saya kira, belum ada yang mengetahui bahwa saya akan menggantikan gus Hamid. Pasalnya, mereka sebagian besar masih membincangkan siapa yang akan menggantikan gus Hamid nanti malam.“Tadi pagi gus Hamid dan gus Malik lewat depan pondok, naik mobilnya. Dengar-dengar, ada acara alumni. Lha, yang menjadi pertanyaan, siapa yang akan menggantikan? Kan, jadwalnya gus Hamid nanti malam.” Kata seorang santri kelas dua SMA. Saya tidak ambil pusing soal itu. Lalu, temannya menjawab dengan sok pintar memberikan analisa.“Acara alumni, kan, tidak sampai malam. Nanti siang mungkin sudah kembali. Lagian, kan, mbah Kyai masih ada, atau paling tidak neng Afidah.”Benar apa yang dikatakan santri itu. Sebenarnya, seberapa lamakah acara alumni itu? Saya kira, acaranya akan panjang. Temu alumni, kan, tidak setiap bulan bisa dilakukan, pasti banyak yang menjadi agenda pembahasan. Maka, gus Malik memilih untuk mencari pengganti pada acara nanti malam, dari pada tidak a
Saya sudah menerangkan kepada kelian pada awal cerita, bahwa cita-cita saya adalah menjadi seperti Abdul Shomad. Saya ingin menyampaikan ilmu kepada khalayak ramai dengan menjadi Ustadz. Nampaknya, belakangan nanti saya akan mengganti cita-cita itu. Belakangan, saya akan mengerti bahwa cita-cita menjadi Ustadz itu sangat kecil, sangat kecil.Setelah sholat Maghrib, acaranya seperti biasa jika malam Jum’at, tidak ada pengajian. Malam Jum’at adalah waktu yang bisa santri gunakan untuk libur pengajian. Namun, jika malam Jum’atnya tengah bulan atau awal bulan seperti malam ini, maka pondok mengadakan pengajian bersama seluruh santri. Nah, malam ini saya yang akan menjadi pembicaranya. Sudah saya ceritakan kepada kalian, malam ini saya gemetar, takut, dan minder.Waktu cepat sekali berjalan. Saya yang biasanya menyempatkan diri minum kopi setelah Maghrib disebuah warung dekat pondok, malam ini tidak terpikirkan sama sekali. Di otak saya, saya hanya membayangkan bagaimana nanti malam saya b
Dua Minggu berlalu dari pengajian umum itu. Banyak perubahan yang saya alami dalam keseharian. Mulai dari saya yang lebih rajin untuk belajar, tidak telat memberi makan kambing, hemat uang, sampai perlakuan santri kepada saya yang berbeda.Sore itu, saya mendapatkan telepon dari rumah. Saya diberitahu oleh salah satu pengurus pondok. Wah, saya membatin dalam hati bahwa saya akan mendapatkan kiriman. Cepat-cepat saja saya berjalan menuju kantor pondok. Kantor pondok putra terlihat sepi, tidak banyak orang. Disana, hanya ada beberapa santri yang sedang melakukan tugasnya masing-masing. Ada yang telepon rumah, mencetak tugas, sampai ada yang hanya mencari-cari buku.“Nah, Akmal, ini saudara kamu telepon.” Kata seorang pengurus kepada saya setelah saya masuk kantor pondok putra.“Iya, terima kasih, kang.” Saya menjawab demikian.Lalu, saya mulai pembicaraan dengan saudara yang dimaksudkan kang pengurus tadi. Bukan orang tua saya? Ternyata bukan. Dia, yang telepon, adalah tetangga dekat sa
Akhirnya sore yang tidak pernah dinantikan semua santri, termasuk mbah Kyai, mungkin, telah datang. Semua santri sengaja dikumpulkan oleh keluarga ndalem untuk kepergian gus Malik. Suasana sepi, lengah, sedih, meskipun masih ada satu dua santri yang tertawa cengingisan.Halaman ndalem ramai oleh santri putra-putri. Sore ini kami semua harus merelakan kepergian gus Malik.“Saya pamit, dan akan kembali jika sudah mendapatkan tambahan ilmu. Tidak ada perjalanan yang sia-sia. Semoga, perjalanan saya tidak mendapatkan kesia-siaan.” Akhir dari nasihat terakhir gus Malik sebelum berangkat menuju Mesir.Jadi begini, kawan, setelah acara reunian kemarin di pondok lama gus Malik, beliau mendapatkan tawaran untuk melanjutkan pendidikan di Mesir. Langsung saja dia tidak mensia-siakan tawaran itu. Dia langsung mengambil tawaran tersebut. Dengar-dengar, ada sekitar delapan orang yang berangkat bersama dengan gus Malik.Andai saya bisa seperti dia. Nasab punya, ilmu punya, tampan juga punya. Tapi sa
Untuk kalian yang belum mengenal apa itu pesantren, mari belajar bersama dengan saya. Setidaknya, saya lebih tahu dari pada kalian yang tidak pernah menjadi santri. Walaupun saya baru tiga tahun menjadi santri, pengalaman demi pengalaman telah saya lalui dalam tempo waktu tersebut.Pesantren, adalah sebuah tempat mencari ilmu, ilmu apa saja. Disana, kita akan belajar dengan lebih banyak mengacu pada kitab para ulama salaf, meskipun tidak secara keseluruhan. Kenapa harus ulama salaf? Karena mereka tentunya lebih hebar dari pada ulama sekarang. Mereka lebih dekat dengan jaman Nabi Muhamad.Hidup di pesantren itu indah. Dulu, sebelum saya menjadi santri, pesantren saya bayangkan sebagai tempat yang meanakutkan. Pagi harus bangun sebelum Shubuh, mengaji, membaca Al-Qur’an, mengaji lagi, membaca Al-Qur’an lagi, lalu mengaji lagi. Tidak ada hal yang mengasyikkan di pesantren menurut pandangan saya waktu itu. Ditambah lagi dengan hubungan antara putra dan putri yang sangat dilarang. Apabila
Malam itu, satu hari sesudah penawaran menjadi salah satu pengurus, saya mendatangi kantor pondok. Setelah ngaji Isya, dan belajar bersama, saya berjalan menuju kantor pondok. Disana ada beberapa pengurus harian, sedang membicarakan sebuah hal. Saya tidak tertarik dengan pembicaraan mereka.Setelah mengucapkan salam, dan mereka mempersilahkan saya masuk, dengan tenang saya mengutarakan kesiapan saya.“Saya siap menjadi bagian dari pengurus keamanan.” Kata saya.Mereka bertiga nampak senang dengan kabar yang saya bawakan malam ini. Memang, saya rasa pesantren ini membutuhkan seorang pengurus pembantu, dalam melaksanakan semua kegiatan, dan melancarkan kegiatan belajar mengajar.“Apakah benar demikian?” tanya ketua pondok, “Apakah tidak ada rasa terpaksa?” lanjutnya.“Tidak, saya menerima dengan senang hati dan ikhlas. Semoga menjadi bentuk ibadah dan pengabdian saya.”Syukurlah, akhirnya malam itu saya resmi menjadi pengurus keamanan, pembantu keamanan. Saya menandatangi sebuah surat p
Siang ini adalah hari yang biasa, sama seperti ratusan hari sebelumnya dalam hidup saya. Matahari begitu panasnya mengudarakan keringat, serta beberapa awan mengambang pada birunya langit siang. Indah tapi tidak untuk dinikmati.Pada jam intirahat sekolah, saya menyempatkan diri untuk minum secangkir kopi. Kali ini saya tidak bersama dengan Alfin. Iya, siang ini saya berada pada sebuah warung dekat sekolah, tidak terlalu ramai. Saya senang dengan suasana di sana, tenang, bisa merenungkan tentang kehidupan.Siang ini saya bersama dengan salah satu teman akrab saya, yaitu Ghofur. Dia adalah salah satu santri yang berasal dari Brebes, Jawa Tengah. Penikmat kopi pula seperti saya.“Mal, dengar-dengar kamu sekarang sudah menjadi pengurus.” Kata dia kepada saya, ketika cangkir kopinya hampir terangkat menuju bibirnya.Saya tidak langsung menjawab, menirukan gayanya yang mengangkat cangkir kopi sebelum bicara, dan ketika hampir menyentuh bibir, barulah saya bicara, “Hanya menjadi pembantu ke
Sore hari, selepas pengajian, saya merenungkan kembali sebuah cerita yang dengan cerita itu, saya menemukan sebuah arti baru dalam keluarga. Saya mendengarkan kisah itu dari gus Malik, beberapa tahun yang lalu. Beliau dengan gaya kasnya, menceritakan dengan seksama, runtut, serta mudah dipahami kisah salah satu sahabat nabi. Dia adalah Hudzaifah bin Utbah. Begini cerita yang selalu saya ingat itu :Saat itu, Nabi tengah berdakwah kepada kaum Quraiys, Makkah. Namun, lebih dari sepuluh tahun, mereka tetap saja tidak menerima dakwah Nabi, tidak menerima datangnya Islam. Masih banyak yang menyembah berhala, menyembah patung-patung yang merupakan benda mati itu. Akhirnya, Nabi mendapatkan perintah untuk hijrah menuju Madinah.Madinah adalah tempat yang baru untuk Nabi dan sahabat yang mengikuti langkha Nabi. Di sana, tentunya tidak mudah untuk memulai hidup, walaupun kaum Ansor selalu membantu sahabat Muhajirin. Demikian, banyak muslim yang mengikuti Nabi Hijarh. Dengan demikian, mereka ha