Dua hari berselang, aku berjalan bersama Binti menuju sebuah bukit kecil desa kami. Orang-orang tidak ada yang menanam apapun di sana, tanahnya penuh dengan batu-batuan. Batu besar ada di sana, batu kecil juga ada, bahkan batu bintang juga banyak berserakan di sana. Meskipun begitu, pohon pisang masih banyak, seakan memang tidak ada habisnya. Mereka bergerombolan, seakan membuat geng-geng dengan pohon pisang lainnya.Di sana, di bukit itu, sudah ada banyak anak-anak dan pemuda sepertiku. Mereka adalah orang-orang yang bosan dengan kehidupan desa depan rumah. Akhirnya mereka memilih menghabiskan waktu awal malam dengan mencari sensasi di atas bukit. Bukit itu dinamakan dengan nama fenomenal, ‘Bukit Seribu Harapan’. Bagiku nama itu tidak terlalu istimewa, aku lebih memilih menamakan bukit itu dengan nama ‘Bukit Tursina’. Kalian tahu apa itu bukit tursina? Itu adalah tempat Nabi Musa a.s mendapatkan wahyu secara langsung dari Allah.Tempatnya gelap, tiada penerang apapun selain bintang-b
Matahari mengintip dari balik awan hitam pagi hari, sepertinya dia akan menangis. Pagi-pagi betul aku sudah mandi di sungai. Di sana, aku mandi bersama dengan sapi-sapi yang sedang dimandikan pula. Banyak orang desa yang memandikan sapinya dipagi hari, mungkin agar sapi itu menjadi semangat hidup. Ini adalah hari yang aku nantikan selama beberapa hari lalu.Siang ini, jadwalku adalah akan berangkat menuju kota Surabaya. Nanti, yang akan mengantarkan aku adalah Suwadi, aku pernah menceritakan kepada kalian tentang siapa dia. Teras rumahku ramai oleh orang-orang yang ingin menyaksikan kepergianku. Aku malu, baru kali ini ada orang beramai-ramai menyaksikanku. Ibuku membuatkan mereka semua yang datang satu gelas kopi, setiap satu orang satu gelas kopi.Aku memasukkan pakaian kedalam tas yang sudah kemarin dicuci. Mungkin Ibu kalau tidak Bapak yang mencucinya, tahu-tahu sudah siap sedia. Orang-orang memperhatikanku layaknya melihat seorang artis akan naik panggung. Aku risih dibuatnya, ba
Kotanya ramai, tidak sesepi yang aku bayangkan ketika akan berangkat. Kagum aku dengan keindahan gedung tinggi itu, hotel-hotel yang menjadi bahan obrolan dengan teman-teman di desa. Baru kali ini aku melihat keindahan gedung dari jarak dekat. Sebelumnya, aku hanya melihat-lihat dari koran bekas bungkus cabai, atau bahkan hanya mendengar cerita Pak Rt.Tadi sore, entah jam berapa aku lupa melihat jam, atau mungkin aku baru sadar ternyata aku tidak punya jam tangan, sampailah aku bersama satu orang laki-laki dan perempuan itu di sebuah kota yang dinamakan Surabaya. Tahukah kalian asal-usul kota ini? Ceritanya sudah sangat masyhur, bahkan sampai menjadi lambang kota Surabaya, kelewatan jika kalian mengaku orang Indonesia tapi tidak mempunyai pengetahuan tentang asal-usulnya, terutama kota Surabaya.Sulis masih bersama denganku, dengan kakaknya juga. Mungkin masih belum tega meninggalkan aku sendirian yang tidak tahu arah. Jadilah dia menemani aku keliling terminal, entah apa yang kita c
Dua bulan sudah aku mendapatkan pekerjaan yang rasanya sangat tidak aku sukai. Sebenarnya pekerjaannya tidak berat, hanya saja aku menganggapnya rendah. Aku hanya mendapatkan pekerjaan pada sebuah warung kecil, atau kalian mungkin lebih sering menyebutnya dengan warteg. Aku hanya menjadi orang yang menunggu warung itu, membuat kopi, menyajikan makanan sesuai dengan pesanan pembeli, dan selanjutnya menghitung semua uang yang harus dia bayarkan.Siang ini aku hanya diam diri bersama hamparan kemacetan jalan di depan warung. Jalannya tidak terlalu besar, tapi entah kenapa masih ada penyebab kemacetan. Siang ini juga hujan lebat sejak pagi, tidak ada kata reda sama sekali. Apakah Nganjuk saat ini juga hujan? Apakah orang tuaku juga baik-baik saja di sana? Semoga Tuhan mendengar doaku ketika tengah-tengah malam itu.Tidak ramai warung ini, masih saja seperti hari-hari yang lalu. Ketika aku menghitung pendatang yang datang pada warung ini, ternyata jumlahnya tidak lebih dari seratus orang s
Air hujan masih membasahi jalanan setelah beberapa saat lalu berhenti menetes. Aspal berwarna abu-abu seakan ingin mengatakan kepada dunia bahwa dia merdeka. Tidak ada lagi sebuah alasan untuk menjadikan dia tidak bahagia.Aku pulang dari warung yang aku jaga, jalan kaki. Siang tadi, ketika Pak Bisri datang melihat warungnya, aku memberanikan diri kepadanya bahwa aku ingin meminjam sedikit uang darinya. Aku menerangkan kepada dia bahwa aku mempunyai rencana untuk membeli handphone.“Baiklah, berapa yang kamu butuhkan?”Lalu aku menjawab dengan jawaban apa adanya. Tidak perlu bagus, yang penting bisa telpon atau paling tidak SMS. Tidak perlu bisa menjalankan aplikasi-aplikasi canggih, tidak perlu. Lagi pula, siapa yang akan aku hubungi jika menggunakan aplikasi keren itu? Bukankah nanti aku akan telepon kepada Pak Rt, yang hp-nya sangat-sangat jadul sekali?Akhirnya aku mendapatkan pinjaman sesuai dengan harga hp, tidak lebih dan tidak kurang sama sekali. Sebenarnya aku ingin membeli
“Sudah makan?” tanyaku.“Belum.” Jawabnya sangat datar bagaikan jalan tol Solo-Surabaya.“Makan, yuk!”“Belum lapar!”“Baiklah!” kataku lagi.Dia menoleh ke arahku. Rupanya, ada suatu hal yang dia ingin katakan kepadaku. Dari tadi, dia hanya diam tanpa sebab. Tidak seperti biasanya. Dia yang selalu cerewet dengan hal-hal kecil, malam ini menghilangkan hal besar, dalam hidup kita. Sekarang, aku hanya menunggu dia bicara. Kata-kataku sudah habis. Di mana lagi aku harus membeli sebuah kata? Baiklah, aku akan menunggu dia membuka mulut manisnya.Sekarang, aku berada di sebuah taman ramai kota Surabaya. Satu Minggu yang lalu aku juga kemari. Malam Minggu pula. Sekarang adalah malam Minggu. Dan, sekarang aku tidak ditemani oleh kesepian. Tapi, lebih parah lagi, aku ditemani oleh orang yang kesepian. Dia adalah Sulis orang yang kesepian, tidak jauh dari suasana hatiku. Dia selalu kesepian, kecuali pada waktu-waktu tertentu dalam hidupnya. Aku belum pernah melihat dia sesedih ini. Setahuku, d
Seiring berjalannya waktu, usia bertambah, atau bahkan berkurang, indahnya akan kita nikmati. Benarkah demikian? Apakah ada keindahan di dunia ini? Tidak ada. Keindahan adalah milik Tuhan pencipta keindahan. Jika demikian, dia yang indah itu adalah keindahan Tuhan. Pancarn sinar wajahnya, menunjukkan cahaya Tuhan. Demikian kata orang beragama yang aku dengar. Mereka, mengatakan memang keindahan itu ada pada Dia.Lalu apakah yang aku lihat sekarang ini adalah indahnya Tuhan? Benarkah demikian? Gila, aku terlalu gila memikirkan ini semua. Padahal, pekerjaan saja tidak aku pikirkan dengan serius. Siang itu, entah beberapa hari yang lalu, Sulis datang menemui aku yang sedang bekerja menunggu warung. Dia, lemas sekali. Atau, setidaknya tidak mempunyai tujuan hidup seakan. Dia, mengadukan isi hatinya kepadaku. Masih tentang pekerjaan yang dia rencanakan.“Aku sudah bosan menjadi babu terus!” aku hanya diam.“Aku ingin membuat sebuah usaha!” masih diam.“Aku sudah bosan menjadi manusia seper
Kedatangan matahari menandakan pagi tiba. Sekarang, matahari setengah tinggi ke atas. Dipandangi dari segala penjuru. Membelai setiap mata yang melihat. Mengantarkan pada otak sebuah kenikmatan tiada batasan. Dialah matahari. Makhluk yang paling setia menemani manusia ketika menginginkan sebuah penerangan.Nanti malam, bersama dengan Sulis, aku akan memulai sebuah pekerjaan baru. Namun temanya masih sama, menunggu sebuah tempat. Jika siang hari aku menunggu warung makanan, maka malam hari aku akan menunggu warung kopi sederhana. Tidak apa-apa, namanya juga kehidupan. Nanti, bila sudah datang waktunya, dan aku sangat percaya, akan datang sebuah rencana Tuhan yang tidak mengijinkanku menunggu lagi. Tapi menjadi bos. Entah kapan saat itu akan terjadi. Aku masih saja menunggu.***Beberapa hari ini, setelah pertemuan itu aku tidak melihat Mei. Kenapa dia tidak datang untuk makan? Apakah dia sudah bosan dengan makanan warung kami? Ah, biarkan saja, nanti kalau dia berminat datang, akan dat