Hari-hari awal di rumah kontrakan itu berjalan seperti biasa.
Tak ada kejadian aneh. Hanya... udara yang sedikit lembap dan langit-langit yang terasa terlalu tinggi. Pagi ke kampus, sore leyeh-leyeh. Malam masak mie bareng. Rumah itu perlahan mulai terasa seperti milik mereka sendiri. --- Sore hari keempat Tiara duduk di teras depan, buka keripik dan minum teh kotak. Anggi lagi ngepel lantai sambil nyalain musik di HP. Zaki ngedit video buat tugas mata kuliah, sambil sesekali buka TikTok. Raka ngeluarin jemuran, ngelamun sambil nyiumin baju yang belum kering. Suasananya santai banget. Seperti hari-hari biasa di kontrakan mahasiswa. Zaki: “Bro, rumah ini tuh vibes-nya kayak villa horor. Tapi dihuni anak kos. Ironi banget ya.” Tiara: (ngeremahin) “Villa apaan, lantainya masih bunyi ‘krek krek’ kalau diinjak. Sofa-nya juga bikin gatel.” Anggi: “Eh tapi serius, rumah ini adem sih. Cuma kadang hawanya kayak… terlalu sepi?” Raka: (masih mandangin langit) “Karena di sini tuh gak ada suara burung, gak ada suara motor. Kayak... kedap gitu.” --- Malamnya... Hujan turun ringan. Gak deras, tapi cukup buat suasana jadi dingin. Tiara ngeluarin selimut sambil duduk di depan TV kecil warisan kos lama. Anggi: “Aku duluan ya, salat isya terus mau tidur. Besok kelas pagi.” Zaki: (bengong ke layar HP) “Oke, aku begadang ngedit. Tapi... bosen juga lama-lama di rumah ini.” Tiara: “Kenapa?” Zaki: “Gak tau. Kayak... makin malam, rumah ini makin nyempit. Aneh ya.” Tiara: “Ya lo aja yang makin parno.” --- Sekitar jam 2 pagi Anggi terbangun karena kebelet pipis. Lampu kamar dimatikan, hanya remang cahaya dari luar jendela. Ia membuka pintu kamar pelan. Lorong rumah sunyi. Cuma suara hujan kecil di luar dan bunyi detak jam dinding di ruang tengah. Sambil jalan ke kamar mandi, ia sempat melihat ke tangga... Ada sesuatu di sana. Tapi gelap, samar. Mungkin cuma bayangan pohon dari jendela atas. Ia masuk kamar mandi. Baru menyalakan lampu, tiba-tiba... keran air menyala sendiri. “Plok... plok... plok...” Ia mendekat. Kerannya memang agak longgar. Mungkin kebuka sendiri. Ia matikan perlahan. Tapi saat membalik badan... Cermin di depan wastafel berembun. Padahal dia belum mandi. Dia dekati, tiup pelan ke permukaan kaca. Embunnya pelan-pelan membentuk... tiga goresan samar. Seperti coretan. Ia terpaku sebentar. Lalu... embun itu hilang sendiri. Anggi menghela napas. “Kayaknya udah harus ganti kran deh…” Ia keluar dari kamar mandi, menoleh ke tangga. Masih kosong. --- Paginya Raka: (sambil ngaduk kopi) “Keran bocor ya? Malem-malem bunyi netes mulu.” Anggi: “Iya. Tapi... gak tau. Semalam nyala sendiri, padahal udah ditutup.” Zaki: (senyum-senyum) “Wah... fix, hantu rumah ini doyan air bersih.” Tiara: (sambil ngeringin rambut) “Atau doyan nonton kita mandi?” Anggi: “Tiara... plis...” --- Hari-hari berikutnya tetap terasa biasa, tapi... ada yang berubah. Lampu lorong sering kedap-kedip sebentar pas jam dua pagi. Kadang suara lantai berderak sendiri. Tiara sempat nemu boneka kecil aneh di laci lemari—padahal mereka gak bawa boneka apa-apa. Tapi mereka tetap tertawa. Tetap makan bareng, ngopi bareng, bercanda soal horor yang katanya cuma mitos. Karena mereka belum tahu... Rumah itu belum mulai. Ini baru... pembuka. Malam hari, jam 9.30. Empat mahasiswa itu duduk di ruang tengah sambil makan mie instan dan gorengan. Hujan rintik-rintik masih turun di luar. Zaki: (ambil tahu isi, duduk selonjoran) “Serius dah, mie instan di rumah ini tuh rasanya beda. Kayak... lebih enak gitu.” Tiara: “Itu karena perut lo kelaperan, bukan karena mie-nya spesial.” Anggi: (nyeruput kuah pelan) “Gak tau ya, aku masih belum bisa tidur nyenyak di sini. Tiap malam tuh ngerasa kayak... kebangun terus.” Raka: (sambil buka-buka P*F kuliah) “Kebangun kenapa?” Anggi: “Gak jelas. Tapi kayak ada yang jalan pelan... terus berhenti di depan kamar.” Zaki: (langsung megang sendok kayak mikrofon) “Breaking news! Seorang gadis muda mengaku mendengar suara langkah misterius. Apakah itu Kevin, bocah kecil penasaran? Atau hantu kontrakan iseng yang kesepian?” Tiara: (lemparin tisu ke Zaki) “Becanda mulu kerjaan lo. Ntar kalo beneran diganggu jangan nangis ya.” Zaki: (ketawa, tapi pelan) “Eh tapi ya... gue juga semalam denger suara kayak ketawa kecil. Dari arah lemari.” Raka & Anggi: (serempak) “Hah?” Zaki: “Iya. Awalnya kukira suara HP aku lagi nyala, tapi pas dicek... HP-nya mati.” Tiara: (diam sebentar) “Lu yakin... itu suara ketawa?” Zaki: “Yakin. Kayak... cewek muda gitu. Tapi lirih. Cuma... satu kali.” Anggi: (pelan) “Natasya?” Zaki: (langsung liat Anggi) “Eh jangan nyeletuk gitu lah, Gi... serem tau.” Raka: (nada tenang, tapi dalam) “Nggak usah mikir aneh-aneh dulu. Mungkin suara dari luar. Atau tetangga sebelah.” Tiara: “Emang rumah ini deket sama siapa, sih? Kanan-kiri juga kosong.” Zaki: (berusaha ketawa) “Ya siapa tau... suara dari dimensi lain. Hahaha... ha…” (semua diam sebentar) --- Malam makin larut. Tiara dan Anggi pamit tidur duluan. Zaki dan Raka masih di ruang tengah. Zaki: (pelan, sambil main HP) “Rak... lu percaya gak sih... sama yang kayak gituan?” Raka: (sambil ngecek jadwal kuliah di HP-nya) “Dulu enggak. Tapi sekarang... aku pikir mungkin ada hal-hal yang gak bisa dijelasin logika.” Zaki: “Jadi lo percaya... rumah ini angker?” Raka: “Bukan masalah angker atau enggak. Tapi... rumah ini pernah nyimpen energi orang-orang yang meninggal gak tenang.” Zaki: “Energi ya... bukan hantu ya?” Raka: “Iya. Dan energi itu... bisa nempel. Bisa hidup. Apalagi kalau rumahnya... diingetin terus sama orang yang datang.” Zaki: (diam sebentar) “Kayak kita?” Raka: (angguk pelan) “Kita mungkin... ngebangunin sesuatu.” --- Jam 1.53 dini hari. Di kamar Anggi dan Tiara, lampu tidur temaram menyala. Tiara gelisah. Bolak-balik di kasur. Tiara: (setengah ngantuk) “Gi... kamu belum tidur?” Anggi: “Belum. Kenapa?” Tiara: “Tadi aku mimpi... kamar ini terang. Tapi ada cewek berdiri di pojok, ngeliatin aku tidur. Tapi mukanya buram... kayak ketutup kabut.” Anggi: (menelan ludah pelan) “Sama. Aku juga mimpi aneh.” Tiara: “Mimpi apa?” Anggi: “Seseorang nulis nama kita di cermin. Tapi gak kelihatan siapa orangnya.” Tiara: “Jangan cerita sekarang... aku masih pengen tidur.” Anggi: (pelan) “Iya. Tapi jangan heran kalau besok kita nemu sesuatu yang beda…” --- Sementara itu di lorong rumah... Satu bayangan berdiri diam. Tak bergerak. Menghadap ke kamar mandi. Lalu pelan-pelan... lampu kamar mandi menyala sendiri. Pukul 02.07. Tiara tiba-tiba terbangun. Lampu kamar masih redup, Anggi tidur membelakangi, napasnya pelan dan teratur. Tiara duduk sebentar. Tenggorokannya kering. Ia capai botol minum di meja kecil… tapi botol itu jatuh sendiri. “Plak!” Tiara: (kaget) “Astaga...” Ia membungkuk ambil botolnya. Tiba-tiba... Suara ketukan. Pelan. Di jendela kamar. “Tok… tok…” Tiara langsung menoleh. Jendelanya tertutup tirai. Tapi dia bisa lihat bayangan—seperti ada seseorang berdiri di luar. Ia tahan napas. Dua detik. Lima detik. Bayangan itu… hilang. Tiara: (bisik, ke diri sendiri) “Angin… angin doang. Gak usah drama.” Tapi pas dia rebahan lagi… Tirai jendela tiba-tiba bergerak sendiri. Padahal semua jendela tertutup rapat. --- Keesokan paginya – dapur Zaki lagi masak telur ceplok. Pakai kompor portable. Raka duduk di meja makan, masih setengah ngantuk, rambut awut-awutan. Zaki: “Bro… gue tuh semalem ngimpi aneh.” Raka: “Apa?” Zaki: “Gue kayak tidur… tapi sadar. Tau gak sih? Kayak lucid dream. Dan gue ngerasa... ada yang duduk di pinggir kasur gue. Gue ngelirik, tapi gak bisa gerak. Terus... orang itu bisik di kuping gue.” Raka: (angkat alis) “Bisik apa?” Zaki: “Dia bilang... ‘Jangan buka lemari.’” Raka: (diam beberapa detik) “Lemari lo…? Yang deket jendela itu?” Zaki: “Yoi. Dan pas gue bangun... pintu lemari itu kebuka. Dikit.” Raka: “Lo yakin gak kebuka sendiri?” Zaki: “Gak tau, bro. Tapi jujur aja, gue sekarang tidur sambil nutup pintu pake kursi. Wkwk.” --- Ruang tengah – siang hari Anggi lagi bersih-bersih. Tiara duduk selonjoran sambil scroll TikTok. Anggi: “Tia, lo semalem denger suara ketukan gak?” Tiara: (berhenti scroll) “Denger. Di jendela. Dua kali. Tapi pas gue intip... kosong.” Anggi: “Gue juga. Tapi di cermin kamar mandi.” Tiara: “Hah? Maksudnya?” Anggi: “Gue gak tau ini cuma pikiran capek atau apa... Tapi pas gue abis cuci muka, gue liat ada bayangan di cermin. Tapi pas gue balik, gak ada siapa-siapa.” Tiara: (langsung bangun duduk) “Gi… ini rumah seriusan mulai gak lucu.” Anggi: “Makanya, gue bilang dari awal. Jangan terlalu banyak bercanda tentang rumah ini.” --- Sore itu, mereka kumpul berempat Raka: “Guys, aku gak mau bikin kalian panik. Tapi menurutku... apa yang kita alami udah cukup buat jadi sinyal.” Zaki: “Kayak sinyal wifi ya? Makin kuat makin serem.” Tiara: “Zaki... tolong ya... ini serius.” Raka: “Kita coba saling cerita dari awal. Siapa yang ngalamin apa. Kita kumpulin dulu semuanya. Gak usah lebay, gak usah takut-takutin. Tapi... minimal kita sadar, kita gak sendirian di rumah ini.” Anggi: “Setuju. Karena kalau terus kita abaikan... takutnya nanti... mereka makin berani.” Tiara: “Mereka?” Anggi: “Maksudku... apa pun itu.” --- Di malam keempat itu, mereka tidur lebih awal. Lampu-lampu dimatikan. Rumah mulai gelap kembali. Tapi saat jam menunjukkan pukul 02.14, ...lampu ruang tamu menyala sendiri. Lalu… TV menyala. Padahal tidak ada remote yang tertekan. Layar putih. Suara kresek-kresek. Lalu muncul gambar hitam putih… seorang gadis berdiri di lorong. Menatap lurus ke arah kamera. Gadis itu mengenakan baju tidur singlet lusuh dan celana pendek. Dan di belakangnya, perlahan, muncul siluet anak kecil memeluk boneka. --- Besok paginya, TV itu mati dengan sendirinya. Tidak ada yang tahu siapa yang menyalakannya semalam. Tapi rekamannya... tersimpan otomatis di flashdisk Zaki yang tertancap di port USB.Lorong yang terbuka di depan mereka tampak berdenyut, dindingnya seperti daging hidup yang mengisap cahaya dari senter Zaki. Di balik lorong, terdengar suara tangisan Kevin yang bergema panjang, bercampur bisikan-bisikan yang saling bertindihan: > “Masuklah… di sini kalian lengkap… di sini kalian pulang…” Zaki menarik Tiara mendekat, napasnya berat. “Ti, kalau kita masuk ke sana, mungkin nggak ada jalan balik.” Tiara menggenggam tangannya erat. “Zak, kalau kita tetap di sini, rumah ini bakal ngambil kita semua. Kita harus ambil risiko.” Dari belakang mereka, suara langkah kaki mendekat. Raka berdiri di ujung lorong, wajahnya pucat, mata merah berair. “Jangan lawan rumah ini. Semakin kalian melawan, semakin dia lapar…” > “Raka, ikut kami keluar!” Zaki berteriak, suaranya bergetar. Raka tersenyum samar, ada sedih di sana. “Aku nggak bisa. Aku udah jadi bagian dari rumah ini. Tapi kalian masih bisa keluar… kalau ada yang tinggal di sini sebagai gantinya.” --- Tiba-tiba, Anggi m
Sejak malam terakhir itu, hidup Zaki terasa seperti menunggu sesuatu yang tak bisa dihindari. Setiap hari seperti berjalan di pinggir jurang; setiap malam, rumah nomor tujuh memanggilnya. Ia duduk di kamar kontrakannya, dikelilingi peta dan coretan di dinding: semua tentang lokasi rumah itu, struktur lantai, bahkan catatan tentang apa yang dia ingat dari malam mengerikan tersebut. Tapi semakin ia mencoba memahami, semakin pusing kepalanya — seolah rumah itu sendiri berubah setiap kali ia mengingatnya. Di meja, ponselnya bergetar. Pesan masuk. > Tiara: “Aku nggak bisa terus begini, Zak. Semalam Anggi duduk di ujung ranjangku lagi. Dia bilang kalau kita nggak balik, mereka bakal datang jemput kita sendiri.” Zaki mengetik cepat: > “Aku juga diganggu. Kita harus balik, Ti. Nggak ada jalan lain.” Balasan datang hampir instan: > “Kapan?” Zaki terdiam sejenak, lalu menulis: > “Besok malam.” --- Hari berikutnya terasa panjang. Zaki menghabiskan waktunya membeli perlengkapan seada
Hujan rintik-rintik membasahi jalanan kota baru tempat Zaki tinggal. Sudah tiga bulan sejak malam itu, tapi tidur nyenyak jadi sesuatu yang asing. Ia sering terbangun basah kuyup keringat, seolah baru saja berlari dari sesuatu yang tidak bisa dilihat. Di kamar kontrakannya, ia menatap cermin. Matanya merah, wajahnya pucat. Setiap kali ia menutup mata, ia kembali berada di ruang tengah rumah nomor tujuh. Raka berdiri di ambang pintu, memanggil namanya tanpa suara. --- Tiara menjalani terapi di rumah sakit jiwa. Psikiaternya mencatat, “Subjek sering berbicara dengan entitas yang tidak terlihat. Mengaku mendengar suara ‘Raka’ setiap malam.” Malam itu, perawat mendapati Tiara duduk di pojok kamar, menggambar. Puluhan lembar kertas memenuhi lantai — semua gambar denah rumah nomor tujuh, detail demi detail, lengkap hingga goresan kecil di dinding. “Tiara?” Tiara mengangkat kepalanya. “Dia belum selesai di sana. Dia masih butuh kita…” --- Zaki mencoba mengabaikan semuanya. I
Jam menunjukkan 03:43… tapi rasanya waktu tak bergerak.Udara makin berat, seperti paru-paru dipenuhi lumpur.Langkah mereka makin berat, bukan karena lelah —tapi karena rumah ini menolak mereka untuk tetap manusia.Raka berdiri di tengah ruang.Tapi bukan Raka lagi.Tubuhnya masih utuh. Tapi yang bicara… bukan dia.> “Rumah ini ingin ditemani.Dan kalian semua asing.Kecuali aku.”Tiara berbisik ke Zaki, “Kita harus kunci dia. Kita harus tahan dia… sebelum dia—”BRAK!!Raka melompat ke arah mereka.Mata hitamnya bersinar.Senyumnya miring.Ia bergerak seperti orang kaku — cepat, patah-patah.Zaki menarik Tiara ke dapur, mengunci pintu dari dalam.“Gimana bisa dia secepat itu?!”Tiara terduduk di lantai, gemetar.“Kita harus keluar dari rumah ini... atau kita bakal jadi kayak dia!”Anggi masih di ruang tengah. Ia berdiri membatu di pojok ruangan.Raka — atau roh yang menguasainya — tidak menyentuh Anggi.Malah... mendekat, dan berbisik ke telinganya.> “Kamu gak perlu takut. Mereka
Langit belum menunjukkan tanda pagi, meskipun jam dinding menunjuk pukul 03.15.Hujan masih turun, tapi kini tanpa suara.Rumah itu seperti mengurung dunia mereka dalam satu dimensi terkutuk —sunyi, hampa, dan terlalu sempurna untuk disebut dunia nyata.Zaki duduk membelakangi jendela, memeluk lutut, tubuhnya berkeringat dingin meski suhu turun drastis.Matanya terbuka lebar, tapi kosong.Tangannya terus menggambar pola-pola aneh di lantai dengan ujung pisau dapur.Melingkar. Runcing. Seperti simbol-simbol kuno yang tak ia mengerti.Tiara mulai bicara sendiri.Kalimatnya pendek, pelan, dan berulang.“Jangan buka pintunya… jangan buka pintunya… dia belum siap…”Raka berdiri terpaku di depan cermin kamar.Refleksinya... tidak bergerak bersamaan.Saat ia memiringkan kepala, bayangannya tertinggal.Matanya merah. Tapi hanya di dalam pantulan.Anggi?Sudah sejak satu jam lalu ia bicara dengan udara kosong.Katanya, sedang menemani “Kevin” bermain kartu di pojok ruang tengah.> “Dia menang
Jam di dinding menunjukkan pukul 11 malam.Hujan turun deras sejak magrib tadi. Suara rintiknya menghantam genteng seperti derap langkah kaki seribu orang.Di ruang tengah, mereka berempat duduk melingkar tanpa banyak bicara.TV mati. HP mati. Sinyal lenyap. Listrik kadang nyala, kadang meredup sendiri.Rumah itu terasa hidup. Tapi napasnya… berat.Tiara bersandar di tembok, memeluk bantal. Wajahnya lelah.Zaki menempelkan telinga ke lantai, katanya dia bisa dengar suara langkah dari bawah.Anggi memandangi langit-langit tanpa ekspresi.Dan Raka, duduk paling ujung, menatap pintu kamar mandi yang setengah terbuka.Lalu tiba-tiba, suara tawa kecil terdengar dari lorong.Tawa anak kecil. Lembut. Seperti sedang bermain kejar-kejaran.Tiara menutup telinganya.“Udah cukup... gue gak mau lagi denger itu...”Zaki berdiri, memegang pisau.“Kalo mereka pikir kita bakal diem aja... gue bakal tunjukin gue gak takut!”Dia melangkah ke lorong. Lampu berkedip pelan.Langkahnya menggema, padahal di