Di tengah hiruk-pikuk kota besar, terdapat sebuah pabrik tekstil yang menjadi kebanggaan Indonesia: PT Ruswan Tekstil Indonesia (PT RSTI). Di balik gedung megah dan mesin-mesin berdentang, ada seorang pemimpin yang tak hanya menggerakkan benang-benang mesin, tetapi juga benang-benang kehidupan.
Namanya Ruswanda. Sebagai CEO pertama di negeri ini, dia telah menorehkan sejarah dengan membangun pabrik tekstil yang menghasilkan kain berkualitas tinggi. Wajahnya yang tegas menyembunyikan latar belakangnya yang unik: ayahnya berasal dari Belanda, sedangkan ibunya dari Portugis. Keduanya telah lama menetap di Indonesia, menciptakan kekayaan dan membangun perusahaan yang menjadi cikal bakal PT RSTI. Setelah kedua orang tuanya meninggal, Ruswanda mewarisi tanggung jawab sebagai anak tunggal. Dia mengambil alih kepemimpinan pabrik dengan tekad yang kuat. Di balik pintu kaca kantor PT Ruswan Tekstil Indonesia, terdapat seorang asisten yang tak hanya mengatur jadwal dan mengelola dokumen, tetapi juga menyimpan benang-benang persahabatan yang kuat. Namanya Sudarta. Sudarta adalah salah satu asisten terbaik di perusahaan ini. Kedisiplinannya, ketelitiannya, dan semangat kerjanya menjadikannya teman setia Ruswanda, sang CEO. Mereka berdua telah berbagi banyak cerita, dari kegembiraan hingga tantangan yang dihadapi perusahaan. Namun, Sudarta memiliki latar belakang yang unik. Sejak kecil, dia telah dibantu oleh orang tua Ruswanda. Ayah dan ibu Ruswanda memberikan perhatian dan dukungan kepada Sudarta, seolah dia adalah bagian dari keluarga mereka sendiri. Sudarta tumbuh dengan rasa terima kasih yang mendalam, dan dia menganggap Ruswanda sebagai saudaranya sendiri. Ketika Ruswanda menghadapi tekanan sebagai CEO, Sudarta selalu ada disisinya. Dia bukan hanya sekedar asisten, tetapi juga pendengar setia. Mereka sering berbicara tentang masa lalu, mimpi, dan harapan. Sudarta mengingatkan Ruswanda akan nilai-nilai yang ditanamkan oleh orang tuanya: integritas, kerja keras, dan kepedulian terhadap sesama. Sudarta tahu bahwa persahabatan adalah benang yang tak boleh putus. Dia mengingatkan Ruswanda bahwa kepercayaan dan kesetiaan adalah pondasi yang memperkuat hubungan mereka. Meskipun terkadang berat, Sudarta tetap berdiri di samping Ruswanda, membantu menyelesaikan masalah dan menghadapi dilema. Dalam benang-benang persahabatan ini, Ruswanda menemukan dukungan yang tak ternilai. Sudarta bukan hanya asisten terbaik, tetapi juga saudara yang selalu ada. Dan di antara mesin-mesin pabrik, mereka menenun kisah persahabatan yang tak tergantikan. “Pak Ruswanda, selamat pagi” sahut Sudarta dipagi hari “Selamat pagi sahabat karibku, silahkan masuk” jawab Ruswanda. Bagaimana dengan kondisi perusahaan cabang kita di daerah Majalengka ? Apa yang terjadi.” “Sampai saat ini, saya belum menemukan keganjalan data kita, setiap hari data yang diserahkan dari mereka berbeda dengan data yang kita punya, entah siapa diantara mereka yang telah mengkorupsi dana keuangan kita hingga perusahaan kita hampir bangkrut.” Kata Sudarta “Lalu apa yang harus kita lakukan ?” Tanya Ruswanda “Kita harus selidiki pak ! Tapi saya masih belum tahu bagaimana caranya.” Jawab Sudarta Ruswanda mengangguk serius. "Saya setuju, Sudarta. Kita harus mengungkap kebenaran di balik perbedaan data ini. Perusahaan kita tak boleh terus merugi." Mereka berdua duduk di meja Ruswanda, menghadap layar komputer yang menampilkan laporan keuangan cabang di Majalengka. Sudarta menggigit bibirnya, mencoba memahami pola yang tak masuk akal ini. "Apakah ada kemungkinan kesalahan teknis?" tanya Ruswanda. "Mungkin sistem mereka bermasalah?" Sudarta menggeleng. "Saya sudah memeriksa, Pak. Sistem mereka berfungsi dengan baik. Tapi data yang mereka kirim selalu berbeda dari yang kita miliki di sini." Ruswanda merenung sejenak. "Kita butuh bukti konkret. Sudarta, kamu punya ide bagaimana kita bisa menyelidiki ini lebih lanjut?" Sudarta menggaruk kepalanya. "Saya pikir kita perlu mengirim auditor ke cabang tersebut. Mereka bisa memeriksa catatan secara langsung dan melihat apakah ada tindakan yang mencurigakan." Ruswanda mengangguk. "Baik, kita akan lakukan itu. Dan Sudarta, saya percayakan padamu untuk mengkoordinasi semuanya. Kita harus mengungkap kebenaran, tidak peduli seberapa sulitnya." Sudarta tersenyum. "Terima kasih, Pak. Saya akan bekerja keras." Hari semakin gelap, dan pabrik tekstil di pusat Jakarta mulai memasuki shift malam. Karyawan-karyawan keluar satu per satu, bergantian mengambil alih tugas. Di balik mesin-mesin berdentang, Ruswanda, sang CEO, masih sibuk di ruang kerjanya. "Sayang," ucap Ruswanda pada istrinya melalui telepon. "Malam ini saya tidak pulang ya. Masih banyak pekerjaan yang harus saya selesaikan di sini." Istrinya, yang berada di rumah, merespons dengan lembut, "Ya, tidak apa-apa sayang. Jangan terlalu larut dan jangan terlalu capek. Nanti asam urat tinggi." Ruswanda menghela nafas. Perusahaan cabang di area Majalengka menjadi beban berat baginya. Data keuangan yang tak konsisten. Namun, dia tak bisa mundur. PT Ruswan Tekstil Indonesia membutuhkan pemimpin yang kuat, terutama dalam masa sulit seperti ini. Di ruangannya yang sepi, Ruswanda menatap layar komputer. Laporan keuangan cabang Majalengka terbuka di depannya. Ada benang-benang yang perlu diurai, kebenaran yang harus diungkap. Sudarta, asistennya yang setia, telah berjanji akan menyelidiki perbedaan data tersebut. Ruswanda mempercayakan padanya, sambil berdoa agar benang-benang kehidupan mereka tak putus. Malam semakin dalam, dan Ruswanda terus menggali data. Sudarta, dengan tekun, menyusun bukti-bukti yang mengarah pada kebenaran. Di balik layar komputer, ada benang-benang yang perlu diikat, rahasia yang harus terungkap. Namun, apa yang mereka temukan? Apakah perusahaan cabang di Majalengka benar-benar terlibat dalam korupsi? Semua pertanyaan ini menggantung di udara, seperti benang-benang yang belum terjalin. Dan di antara mesin-mesin pabrik, Ruswanda dan Sudarta berusaha menemukan jawaban.Marcel mengikuti dokter ke ruang perawatan intensif. Di sana, ia melihat anak itu terbaring dengan berbagai alat medis yang terpasang di tubuhnya. Marcel merasa hatinya hancur melihat kondisi anak itu. Ia berjanji pada dirinya sendiri bahwa ia akan melakukan apa saja untuk membantu anak itu pulih.Saat Marcel keluar dari ruang perawatan, ia bertemu dengan seorang wanita yang tampak sangat cemas. Namun, ia sangat terkejut saat melihat siapa wanita itu. “Mrs. Andrian?” Marcel sangat kaget atas kehadirannya di ruang perawatan itu. Matanya penuh air mata, dan di belakangnya berdiri dua orang bodyguard yang tampak siap siaga.Mrs. Andrian menatap Marcel dengan tatapan dingin. “Apa yang kamu lakukan di sini, Marcel?” tanyanya dengan suara yang penuh kemarahan.Marcel merasa tubuhnya gemetar. “Saya… saya hanya ingin memastikan anak itu baik-baik saja,” jawabnya dengan suara bergetar.Mrs. Andrian menggelengkan kepala. “Kamu sudah cukup membuat masalah, Marcel. Sekarang, keluar dari sini sebe
“Ka Ruswanda,” kata Sumarni, istri Subroto, dengan nada penuh keprihatinan. “Aku tahu apa yang sudah terjadi pada kalian.” Ruswanda hanya bisa mengangguk, tak ada daya dan upaya untuk membantah atau menjelaskan lebih lanjut.“Ini semua salahku, Sumarni,” kata Ruswanda dengan suara bergetar [pada adik kandungnya. “Mengapa dulu aku mengkhianati Ratna saat aku tahu bahwa aku mandul, sehingga aku selingkuh dengan Nayla. Dengan perbuatan kejam, aku pun tidur dengannya.”“Astaghfirullahaladzim! Teganya kamu, Kak Ruswanda,” kata Sumarni, matanya membelalak dengan kekecewaan dan kemarahan.“Tapi semua ini aku sudah bertaubat, sehingga aku mengusir Nayla saat dia hamil, dan sampai saat ini, aku tidak pernah berjumpa dengan anakku,” kata Ruswanda, suaranya penuh penyesalan.Istri Ruswanda, yang duduk di sampingnya, hanya bisa merasa cemburu mendengar pengakuan suaminya. Hatinya terasa perih, namun ia mencoba untuk tetap tenang.Sumarni menghela napas panjang. “Kak, aku tahu ini berat, tapi kamu
Malam itu, Marcel kembali ke ruang kerjanya. Ia merasa lega setelah berbicara dengan ayahnya, namun ia tahu bahwa perjuangannya belum selesai. Ia harus terus bekerja keras untuk mengungkap kebenaran dan menghancurkan Ruswanda.Saat Marcel pergi ke toilet, Sudarta yang merasa penasaran memutuskan untuk masuk ke kamar Marcel. Ia melihat laptop Marcel yang masih menyala dan dokumen-dokumen yang tersebar di meja. Dengan hati-hati, Sudarta mendekati meja dan mulai membaca dokumen-dokumen tersebut.Wajah Sudarta berubah pucat saat ia menyadari apa yang sedang direncanakan oleh putranya. “Marcel… apa yang kamu lakukan?” gumamnya dengan suara bergetar. Ia tidak percaya bahwa Marcel berencana untuk menghancurkan Ruswanda, teman dekatnya selama bertahun-tahun.Marcel kembali dari toilet dan terkejut melihat ayahnya di ruang kerjanya. “Pak, apa yang sedang Anda lakukan di sini?” tanya Marcel dengan nada cemas.Sudarta menatap Marcel dengan mata yang penuh kekecewaan. “Marcel, apa maksud semua in
Siang itu, suasana di perusahaan Ruswanda sangat kacau. Semua pekerja berdemo memenuhi halaman depan perusahaan. Mereka membawa spanduk dan berteriak menuntut keadilan. “Kami butuh gaji yang layak!” “Hentikan pemotongan upah!” “Ruswanda, dengarkan kami!” teriakan-teriakan itu menggema di seluruh area pabrik.Ruswanda duduk di kantornya, wajahnya tampak pucat dan penuh kebingungan. Perusahaan yang ia bangun dengan susah payah selama bertahun-tahun kini berada di ambang kebangkrutan. Ia tidak tahu harus berbuat apa. Setiap hari, laporan keuangan yang masuk semakin memperlihatkan kondisi perusahaan yang semakin memburuk. Utang menumpuk, proyek-proyek tertunda, dan kepercayaan investor mulai goyah.Ruswanda tidak memiliki anak. Ia selalu fokus pada karir dan bisnisnya, sehingga tidak pernah berpikir untuk membangun keluarga. Kini, di saat-saat sulit seperti ini, ia merasa kesepian. Tidak ada satupun yang ingin mewarisi perusahaannya. Tidak ada yang peduli dengan nasibnya.Di luar kantor,
Sudarta kini telah kembali ke rumah, ditemani oleh istrinya, Ibu Ratih. Setelah menjalani operasi jantung yang cukup berat, Sudarta membutuhkan perawatan intensif agar kesehatannya tetap terjaga. Perjalanan pulang dari rumah sakit terasa panjang dan melelahkan, namun Sudarta merasa lega bisa kembali ke rumahnya yang nyaman.Setibanya di rumah, suasana terasa sepi. Tidak ada satupun yang menyambut kedatangan mereka, kecuali pembantu setia mereka, Siti. Sudarta merasa ada yang aneh, biasanya anaknya, Marcel, selalu ada di rumah untuk menyambutnya."Hari ini, aku tidak melihat anakku Marcel, kemanakah dia?" tanya Sudarta dengan nada khawatir."Tadi pagi katanya dia ke perusahaan pusat ingin menemui Pak Ruswanda, Pak," jawab Siti dengan sopan."Ke perusahaan pusat? Ada masalah apa ya, Bu?" tanya Sudarta lagi, kali ini dengan nada yang lebih serius.Ibu Ratih tampak bingung. Ia tahu bahwa ada masalah besar di perusahaan, namun ia tidak ingin membuat suaminya khawatir, terutama saat kondisi
“Alex?” sahut Abidin, suaranya penuh dengan kejutan dan ketidakpercayaan. Semua mata tertuju kepada seseorang yang berdiri di ambang pintu. Alex, keponakan dari Mustafa, ayahnya Abidin, baru saja keluar dari penjara. Skandal besar yang melibatkan perusahaan RSTI dan Mustafa telah membuatnya mendekam di balik jeruji besi selama bertahun-tahun.Kini, Alex hadir dengan wajah yang berbeda. Wajah yang dulu penuh dengan kesombongan dan ambisi kini tampak lebih tenang dan penuh penyesalan. Dia melangkah masuk ke rumah Abidin yang sedang berkabung, membawa aura yang berbeda dari sebelumnya.\“Alex, bagaimana kabarmu? Mengapa kau bisa bebas dari penjara?” tanya Abidin dengan nada penasaran. Matanya menatap tajam ke arah Alex, yang berdiri di ambang pintu dengan senyum tipis di wajahnya.Alex menatap Nayla yang berdiri di samping Abidin dan tersenyum. “Sebelumnya, saya turut berduka dengan kematian istrimu, Abidin,” jawabnya dengan suara rendah namun jelas. “Aku juga ingin mengucapkan terima ka