Indah sedang duduk di ruang tamu, menatap layar ponselnya. Hari itu ia memilih untuk tetap di rumah. Pikirannya masih penuh dengan kekesalan terhadap Haris dan Esti. Meski sudah berusaha menenangkan diri, hati Indah tetap terasa panas setiap kali memikirkan keluarganya yang terpecah.Saat membuka Instagram, matanya langsung tertuju pada unggahan Mei. Foto-foto keluarga Esti di Bali, meskipun tampak bahagia, membuat dada Indah sesak. Ada foto Esti dan Ais yang duduk bersama di pantai, tertawa bahagia. Ada pula foto mereka bertiga, berpegangan tangan, seolah dunia tidak sedang berantakan.Indah menatap layar ponselnya dalam diam, bibirnya terkatup rapat. Ia tidak bisa menahan perasaan cemburu yang muncul begitu saja. Ada rasa amarah yang mengalir begitu cepat dalam dirinya,“Kenapa mereka bisa bahagia begitu? Mas Haris nggak pernah mengajakku jalan-jalan. Jangan-jangan mereka pergi dibiayai oleh Mas Haris,” gumam Indah pelan, matanya berkilat marahHaris yang baru pulang dari rumah ibun
Kota selanjutnya: Surabaya.Esti dan anak-anak tiba menjelang sore, disambut semilir angin laut yang hangat dan aroma khas kota pelabuhan yang sibuk. Mereka menginap di hotel dekat Tunjungan Plaza, strategis, dan cukup dekat dengan berbagai destinasi kota.Di hari pertama, mereka mengunjungi Museum Kapal Selam, tempat Ais begitu antusias menjelajah lorong-lorong sempit kapal bekas perang itu. Matanya berbinar, membayangkan dirinya jadi kapten kapal.“Kalau Ais jadi komandan kapal, siapa yang jadi krunya?” canda Esti.“Kak Mei, dong! Tapi Kak Mei cuma bagian dokumentasi!” sahut Ais sambil tertawa.Mei hanya menggeleng sambil tersenyum kecil, tapi tawa Ais akhirnya menular juga, Mei tertawa cukup lepas. Esti memperhatikan ekspresi anak sulungnya itu, dan merasa harapannya perlahan terkabul, dinding Mei mulai runtuh.Malamnya, mereka mencicipi rujak cingur dan sate klopo di salah satu tempat makan legendaris. Meski Ais mengernyit karena rasa cingur yang unik, Esti dan Mei tampak menikmat
Liburan sekolah telah tiba, dan suasana di rumah Esti terasa berbeda. Untuk pertama kalinya sejak lama, Esti merasakan semangat yang hangat saat membicarakan rencana liburan. Ia sengaja mengambil cuti kerja, bukan hanya untuk mengisi waktu luang, tapi juga untuk mempererat kembali hubungan dengan Mei dan Ais.“Ais mau ke mana dulu?” tanya Esti sambil menyiapkan koper-koper di ruang tamu.“Bandung!” seru Ais semangat. “Mau lihat kebun stroberi!”Mei yang duduk di sudut sofa hanya mengangguk pelan. Meskipun ekspresinya masih datar, ada cahaya kecil di matanya, sebuah tanda bahwa ia tak sepenuhnya menolak perjalanan ini.Esti tersenyum kecil. Ia tahu, ini bukan hanya sekadar liburan. Ini adalah usaha untuk menyembuhkan luka, membangun kembali rasa aman yang dulu pernah hilang.Mereka merencanakan perjalanan ke beberapa kota besar: Bandung, Yogyakarta, Surabaya, dan Bali. Esti sudah menyusun rencana sederhana, lengkap dengan tempat-tempat edukatif, kuliner khas, dan waktu santai bersama.
Indah duduk di ruang tamu, matanya kosong menatap keluar jendela. Semua yang direncanakannya hancur begitu saja. Haris tidak lagi menanggapi perasaannya dengan cara yang ia harapkan. Bahkan, perceraian yang ia harapkan segera selesai dengan cara yang cepat, kini menjadi semakin rumit dan jauh dari jangkauan.Perasaannya mulai kacau. Tak ada yang lebih mengganggu selain kenyataan bahwa dia kini benar-benar terpojok. Semua yang ia lakukan tampaknya hanya memperburuk keadaan.Keesokan harinya, Indah memutuskan untuk menghubungi ibunya. Ia ingin mencari penghiburan, sesuatu yang bisa membuatnya merasa lebih kuat. Setelah beberapa kali mencoba, ibunya belum juga mengangkat telepon.Akhirnya Indah ke rumah ibunya, ia tahu kalau ayahnya masih bekerja.“Indah, kamu sama siapa? Ada apa?” suara Bu Ratna khawatir, kemudian memeluk Indah.Indah menghela napas panjang, kemudian melepaskan pelukan ibunya. “Bu, aku benar-benar terpojok. Haris udah gak peduli sama aku lagi. Aku udah coba segala cara
Beberapa hari setelah kunjungannya ke sekolah Ais, Haris mencoba menghindari konflik. Tapi Indah makin mendesak.Pagi itu, saat Haris baru saja selesai mandi dan hendak bersiap ke kantor, Indah menaruh secarik kertas di meja makan.“Apa ini?” tanya Haris tanpa melihat.“Formulir pengajuan cerai PNS. Lengkap, tinggal kamu isi dan tanda tangani,” jawab Indah tajam.Haris menatapnya dalam. “Kamu nyari ini dari mana?”“Dari internet. Aku udah tanya temanku yang di BKD juga. Kamu tinggal ajukan ke atasanmu.”“Indah, aku sudah bilang prosesnya nggak sesederhana itu.”Indah menyilangkan tangan, wajahnya dingin. “Bukan nggak sederhana, kamu aja yang nggak serius. Masih nempel sama mantan istri dan anak-anakmu. Kamu janji sama aku mau bercerai. Aku ini istrimu, dan aku lagi hamil! Tapi kamu lebih sibuk urusin mereka!”Haris melempar dasinya ke meja. Napasnya berat. “Iya, aku sayang anak-anakku. Tapi kamu juga harus tahu, perceraian itu bukan hal sepele. Ada aturan, ada proses. Aku gak bisa asa
Hari itu Haris duduk di depan loket Pengadilan Agama, berkas di tangan, wajah kusut dan lelah. Berkali-kali ia membaca ulang dokumen yang katanya masih kurang. Sebagai PNS aktif, prosedur perceraiannya ternyata jauh lebih rumit.“Maaf, Pak,” kata petugas dengan nada datar. “Karena Anda dan istri sama-sama PNS, harus ada izin tertulis dari atasan langsung. Dan juga, berita acara mediasi internal dari BKD belum lengkap.”Haris mengangguk lemah. “Tapi saya udah ke BKD kemarin.”“Kalau belum ada tandatangan kepala bidang, belum sah. Ulangi lagi prosedurnya, Pak.”Haris menatap map cokelatnya dengan pasrah. Ia belum pernah merasa serumit ini. Di kepala, wajah Esti terbayang, tenang, tegas, tapi dingin.Esti memang tak lagi marah. Tapi sejak percakapan terakhir mereka, ia berkata jelas: “Kalau kamu benar-benar ingin menyelesaikan ini, selesaikan sendiri. Aku sudah terlalu lelah jadi pihak yang selalu mendorong proses.”Di sisi lain, Indah terlihat begitu ringan.“Akhirnya kita bisa hidup ta
Haris berdiri di depan pintu rumah Esti. Tangannya sempat ragu untuk mengetuk. Udara sore terasa berat, seperti menahan napas bersama dirinya.Pintu dibuka oleh Esti. Wajahnya datar, tak terkejut melihat Haris berdiri di sana. Seperti sudah bisa menebak.“Mas Haris,” ucapnya singkat. “Ais lagi tidur. Mei di kamar, ngerjain tugas.”“Aku… bukan mau nemuin mereka. Aku mau bicara sama kamu.”Esti hanya membuka pintu lebih lebar, membiarkannya masuk.Mereka duduk di ruang tamu. Tak ada suara selama beberapa detik, hanya bunyi jam dinding yangberdetak pelan.“Aku nggak bisa lanjut kayak gini,” kata Haris akhirnya. Suaranya serak, seperti menahan sesuatu yang terlalu lama disimpan. “Aku udah terlalu lama menggantung semuanya. Kamu, anak-anak dan Indah.”Esti tidak bereaksi. Ia hanya menatap lurus ke depan, menunggu lanjutan dari Haris.“Aku tahu, ini bukan tentang memilih siapa yang paling aku cintai. Tapi tentang siapa yang paling aku hancurkan dengan kebimbanganku.”Esti masih diam.“Aku s
"Sepertinya hubunganmu dengan Mas Haris mulai membaik. Aku lihat dia sering kesini," kata Mita, teman sekaligus tetangga Esti yang sudah seperti saudara.Esti tidak punya teman dekat, di sekolah hubungan Esti dengan rekan-rekan guru biasa saja, tidak ada yang sangat dekat. Dengan Mita, Esti bisa berbagi cerita apa saja, begitu juga sebaliknya."Semua demi Mei dan Ais," sahut Esti. Mereka berdua sedang jalan-jalan mall."Kamu nggak jadi mengurus perceraian?""Bukan nggak jadi, tapi belum.""Kenapa? Dulu kamu ngotot ingin bercerai dengan Mas Haris. Apakah sekarang sudah mulai tumbuh lagi benih-benih cinta?" goda Mita."Kamu ini ada-ada saja, bukan begitu Mita. Aku ingin Indah merasakan apa yang dulu aku rasakan.""Maksudmu?" Mita mengernyitkan dahinya."Aku sengaja mengulur semua ini, supaya nanti anaknya lahir tidak memiliki identitas resmi. Karena mereka menikah siri." Esti berkata dengan tegas.Mita hanya geleng-geleng kepala."Apakah aku jahat?" tanya Esti."Enggak, kamu sudah melak
“Istri Anda sedang hamil,” kata dokter dengan nada serius, “tapi janin dalam kandungannya beratnya jauh dari normal. Sepertinya asupan gizinya kurang. Kami khawatir, jika tidak ditangani, bayi bisa mengalami kekurangan gizi atau komplikasi lain saat lahir.”Haris terpaku. Kata-kata dokter itu menghantamnya lebih keras dari apa pun yang pernah ia dengar malam ini.“Gimana bisa…” gumamnya, matanya menatap kosong ke lantai. “Saya… saya nggak tahu…”Dokter menepuk bahunya. “Sekarang yang paling penting adalah fokus ke pemulihan istrinya dan mulai memperhatikan nutrisi ibu hamil secara serius. Kami akan pantau perkembangannya. Tapi tolong, jangan sampai tekanan emosional ini berlanjut. Itu sangat berpengaruh.”Haris mengangguk, tapi pikirannya sudah melayang entah ke mana. Ia duduk di kursi lorong rumah sakit, wajah tertunduk, tangan mengepal.Tak lama kemudian Esti datang menghampiri. Ia membawa air minum dan duduk di samping Haris tanpa berkata apa-apa.“Anak kami mungkin tidak sehat,” k